Pemikiran-pemikiran Islami

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pemikiran-pemikiran Islami as PDF for free.

More details

  • Words: 26,347
  • Pages: 58
faaqihgroup.wordpress.com ebook gratis – animasi gratis – mp3 arabic gratis – software gratis – islam video gratis – islam galeri gratis – edukasi games gratis – tips/tutorial computer gratis – 3D wallpaper gratis – info bisnis online

Judul Asli Pengarang Penerjemah

: Mafaahim Islamiyyah : Muhammad Husain Abdullah : A.R Al Amien Hasanain

BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM 

Kepada Para Muslim yang ingin menegakkan keadilan Ilahi, walaupun di depannya menghadang batu karang yang besar dan kuat, tapi tanpa peduli diluluhlantahkan penghalang itu, lalu dibangun diatasnya jembatan penyebrangan menuju kepada-Nya.



Kepada para Muslim yang ingin menerangi kegelapan dan kepekatan pemikiran saudaranya yang sudah berjalan dalam masa panjang, dengan pemikiran yang bersih dan lurus.



Kepada para pemuda yang mengharapkan kebangkitan yang benar, di bawah panji perlindungan “Laailaaha illallah”.



Kepada bintang gemilang (al-Islam) yang bersinaran di ufuk langit sebagai tanda turunya hidayah kepada umat menuju jalan lurus. MUQODIMAH

Pemikiran (Al-Fikr) berfungsi sebagai penentu atas realitas. Adapun sarana pengungkap pemikiran adalah bahasa, jadi bahasa bukan pemikiran, namun bahasa sekedar sebagai sarana pengungkapan dan ekspresi pemikiran semata. Perkataan kita “Al-Insan Hayawaanun naatiq / manusia itu hewan yang berbicara dan berfikir” preposisi di atas menunjukan adanya suatu argumen atau dalil dan argumen tersebut adalah pemikiran . Maka jika argumen itu merupakan waaqi‟ khoorijiy (realitas yang nampak oleh indera), akal akan mampu memahaminya, seperti pada preposisi ”Al Insan Hayawaanun naatiq” di atas. Maka preposisi tersebut mudah difahami oleh pemikiran siapa saja yang mendapatkan preposisi itu. Sebaliknya tidak akan bisa dimengerti oleh pemikiran pada preposisi “Manusia itu terbentuk dari materi dan ruh”, pemikiran tidak akan faham karena indera tidak bisa menjangkau argumen preposisi di atas yang hanya menjadi suatu yang mengendap dalam pemikiran saja, tanpa bisa memahaminya. Pemikiran Plato tentang teori “Republiknya” bukan sebuah mafahim, karena argumen-argumen pemikiran yang diungkapkan Plato dengan bahasanya itu, bukanlah sesuatu yang faktual dan terindera di dalam kehidupan. Al-afkaar / pemikiran-pemikiran akan bisa menjadi mafahim bagi manusia, dengan syarat hendaklah argumen pemikiran ini faktual (ada faktanya) bagi manusia. Buku dihadapan anda ini mencakup sebagian mafahim yang akal manusia mampu memahami dan mendapatkan argumen-argumennya pada realitas luar secara langsung, seperti mafahim preposisi “Manusia itu terbentuk dari materi saja” maka preposisi di atas bukan semata makna

lafadz saja, tetapi itu adalah pengungkapan dari pemahaman dan argumen yang sifatnya faktual yang akal bisa mengetahui secara langsung. Buku ini juga mencakup sebagian mafahim yang akal tidak bisa mengetahui dan mendapatkannya secara langsung, tetapi akal bisa mendeteksi atsar / indikasinya, atau mengetahui madhohir / penampakannya, seperti mafahim di dalam diri manusia itu ada potensi sumber daya / khosiyyah yang disebut gharizah nau‟ maka akal manusia tidak akan bisa mengetahui dan mendapatkan secara langsung pada gharizah nau‟ , karena indera tidak bisa mencapainya, tetapi manusia bisa mengetahui dengan penampakan gharizah nau‟ itu yaitu terindera dengan bukti manusia mencintai anaknya, dan anak cederung sayang kepada orang tuanya dan punya kecenderungan mencintai lawan jenis, dan madhohirnya yang bisa diketahui dan di dapatkan ini adalah untuk membantu penjagaan / muhafadhoh kepada keturunan manusia, maka akal manusia mampu mendapatkan dan mengetahui bahwa di dalam diri manusia ada khosiyyah yang akan bisa memenuhi muyul / kecenderungan-kecenderungan itu, dan ini disebut dengan gharizah nau‟. Juga dari mafahim ini dipaparkan pemahaman tentang “ruh sirru alhayah” sungguh manusia mampu mengetahui eksistensi ruh dari eksistensi madhohirnya (penampakan / indikasinya), yaitu kesanggupan dan kecenderungan menjadi banyak, berkembang dan bergerak, dan telah datang ayat karimah yang menjelaskan tentang ketidakmampuan manusia untuk mengetahui dzat dari ruh itu sendiri. “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sekdikit.” (QS. Al Israa 85). Sebagai pengecualian dalam buku ini tidak mencakup mafahim Islamiyyah, mengenai mafahim yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib, seperti surga, neraka dan malaikat. Hal tersebut adalah mafahim yang akal tidak akan bisa mendapatkan dan mengetahui secara langsung, dan juga tidak akan bisa menjangkau dan menemui secara langsung baik itu indikasi ataupun penampakannya. Sesungguhnya akal hanya bisa mengetahui dan mendapatkan dari informasi naqli / wahyu yang pasti dan shahih yaitu dari ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits-hadits nabawiyyah yang mutawatir, yang menunjukan secara dilalah qot‟iyyah (petunjuk yang pasti) atas buktibuktinya, maka petunjuk itu tidak difahami dari lafadznya kecuali arti satu saja (yakni surga dan neraka itu ada). Maka bagi seorang Muslim, neraka dengan siksanya serta surga dengan ni‟matnya adalah mafahim „aqidah dan sungguh dalil realitas neraka telah didapatkan dari wahyu, Allah SWT berfirman: Sesungguhnya orang-orang kafir pada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke dalam tempat yang teduh lagi nyaman.”(QS. An Nisaa’ 56-57). Adapun wujud Malaikat bisa difahami bagi kaum muslimin dari firman Allah SWT: “Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing ada yang dua, tiga dan empat., Allah menambahkan pula ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”(QS. Faathir 1).

Sedang suluk (tingkah laku manusia) terikat mafahim dari kehidupannya (pandangan hidup), sebab mafahim adalah standar bagi suluk. Sehingga bila kita mengingkan merombak suluk manusia , dari suluk yang rendah menuju suluk yang tinggi maka kita harus merombak mafahim yang benar, luas dan tinggi. Dan sesungguhnya mafahim islamiyyah adalah mafahim tertinggi tentang kehidupan, maka menjadi keharusan bagi kita untuk menerangkan mafaahim ini kepada kaum muslimin agar di jadikan sebagai standar gerak hidupnya dan agar mereka bangkit menuju kebangkitan yang benar berasaskan mafahim Islamiyyah. Buku ini kami ibaratkan sebagai sebuah batu bata yang rendah di dalam membangun sebuah istana yang tinggi yakni tsaqofah islamiyyah yang tinggi yang telah memperkuat bangunan itu oleh para pendahulu kita, dan hanya kepada Allah SWT Saya memohon semoga hal ini bisa menjadikan kembalinya api yang bisa menerangi dengan penerangan yang terang benderang untuk kembali cemerlangnya mafaahim Islamiyyah dan untuk mencucikan dari noda-noda yang melekat padanya, dan sungguh Allah beserta orang-orang yang baik. RUH Dan mereka bertanya tentang ruh (QS. AL Israa’ 85) Manusia adalah makhluk yang ada, hidup terbentuk dari maddah / materi, dan Allah menciptakan alam dari tanah, firman Allah SWT: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS. Shaad 71-72) Manusia saling bertanya tentang substansi ruh kepada Rasul Muhammad, maka datanglah waktu untuk menjawab pertanyaan mereka langsung dari Allah Rabbil „Alamin: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu urusan Tuhanku, kamu tidak tiberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.” (QS. Al Israa’ 85). Ruh adalah sirru al-hayah / rahasia kehidupan, mutlak urusan Allah SWT, diletakan di dalam diri manusia dan disandarkan pada dirinya. Firman Allah: “Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku.”, yakni ruh buatan-Ku , hal ini bukan maksud ruh bagian dari Allah SWT, sebab firman selanjutnya: “ Katakanlah: ruh itu adalah urusan Tuhanku.”, yakni tercipta dari perintah Allah SWT. Manusia tidak akan bisa menjumpai dan mengetahui ruh ini secara realistis substansial langsung, akan tetapi manusia bisa mengetahui bahwa ruh itu ada dari mengetahui madhohir-nya (penampakan / indikasi), hanya kemampuan untuk berkembang, bergerak dan menjadi banyak, hal ini menunjukan keberadaan ruh, jadi selama didapatkannya kapabilitas menjadi banyak, berkembang dan bergerak ada pada diri manusia, maka dikatakan manusia itu hidup dan di dalamnya ada ruh, dan jika hilang madhohirnya ini, manusia dikatakan mati berarti tiada ruh di dalamnya. Allah meletakkan ruh pada diri Adam AS. Ruh adalah fenomena yang berhubungan dengan kehidupan, ruh selalu ada pada diri manusia dari zaman Adam AS sampai zaman manusia sekarang, sedang berakhirnya ruh, bila telah lenyap kehidupan manusia dari muka bumi. Ruh menyebar dari manusia ke manusia lain dengan jalan perkawinan antara sperma pria dengan ovum wanita, hal ini dimulai dengan

perkembangan tubuh (jasad bayi) yang baru yang akan terus berkembang hingga menjadi manusia yang sempurna setelah melalui tahap-tahap tertentu, firman Allah SWT: “Hai manusia jika kamu ada dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. “ (QS. Al Hajj 5) Proses terjadinya manusia seperti ini adalah sesuatu yang sudah lazim pada diri manusia, yang bisa diketahui dengan indera, kecuali pada penciptaan „Isa AS. Karena proses penciptaan „Isa AS, Allah langsung meniupkan ruh ciptaan-Nya tanpa ada perpindahan ruh dengan perkawinan, karena Allah memerintahkan ruh lepas secara langsung dan pindah pada diri „Isa AS firman Allah: “Sesunggunya misal (penciptaan) „Isa di sisi Allah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seseorang manusia), maka jadilah dia.”(QS. Ali ‘Imran 59). Yakni Allah menjadikan dan meletakan ruh pada „Isa AS dari tidak ada, seperti menjadikan dan meletakan ruh pada diri Adam, dan firman Allah mengenai Maryam: “Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormantannya, lalu kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. “ (QS. Al Anbiyaa’ 91). Maryam adalah perempuan yang sangat menjaga kehormatannya yang tidak pernah berbuat mesum ataupun kejelekan, tidak bersuami, tidak ada perpindahan ruh ke rahimnya dengan jalan pertemuan sel sperma pria dengan ovum Maryam, akan tetapi Allahlah yang telah meletakan dengan jalan peniupan ruh di dalam rahimnya dengan dominasi kekuasaan-Nya melalui perintah-Nya dari tidak ada menjadi ada, seperti peletakan ruh pada al thin / tanah yang kemudian dijadikan Adam AS. Ruh adalah sirru al-hayah, merupakan hak mutlak dan hanya Allah yang tahu substansinya, dan ruh itulah yang menjadikan materi bisa membentuk tubuh manusia, mempunyai kemampuan berkembang, bergerak dan menjadi banyak. Dan Allah semata yang mampu untuk menghilangkan kemampuan ini dengan mengambil ruh dari tubuh tersebut. Adapun ruh yang disampaikan oleh para ahli barat, dimulai dari para ahli Yunani, yang mengatakan bahwa ruh itu adalah bagian dari manusia, mereka berkata bahwa manusia itu terbentuk dari materi dan ruh, serta ruh adalah limpahan dari Dzat Tuhan, jika ruh mampu menundukan jasmani, maka manusia akan tinggi derajatnya, mulia dan dekatlah perbuatannya dari kesempurnaan Ilahi, akan tetapi bila ruh itu dikalahkan oleh jasmani maka manusia akan menjadi rendah dan hina. Ruh yang disampaikan ahli barat yang wujudnya seperti itu sebetulnya tidak ada dan bukanlah ia sirru alhayah, karena jika dilihat secara indera manusia maka ia bukan lagi sirru alhayah. Sesungguhnya manusia itu terdiri dari materi saja, dan sirru al-hayah itu tidak berkurang juga tidak bertambah dengan rendah atau tingginya derajat manusia. Walhasil, manusia yang bisa tinggi karena adanya ruh adalah sesuatu yang lain, ruh tidak membentuk ataupun menyusun bagian dari manusia karena sesungguhnya ruh itu bersifat tambahan yang datang dari luar dirinya dan mempengaruhi pada suluk / tingkah lakunya, dan dengan ruh itulah manusia akan menjadi tinggi bila hal ini dihubungkan dengan pemenuhan gharizah dan haajah al-„udhowiyyah-nya, dan sifat ini tidak akan ada kecuali

jika manusia menjalankan perbuatannya berdasarkan aturan dari luar dirinya yang datang dari kekuatan yang Maha Tinggi dari pada manusia biasa, Yakni Allah SWT. Dan ketetapan seperti ini tidak akan pernah datang kecuali bagi mereka yang iman kepada Allah SWT dan mendapatkan shilah / hubungan dengannya. Maka dengan begitu ruh yang telah dibahas tadi dan yang bisa meninggikan manusia bukan sirru al-hayah lagi tetapi adalah idraak as shilah billah. Dan tidak akan didapatkan sifat tambahan seperti ini (idraak shilah billah) kecuali bila manusia telah beriman kepada-Nya bahwa pencipta wujud ruh adalah Allah dan setelah manusia mampu mengetahui hubungan dengan setiap ciptaan dengan-Nya yakni (al-kaun, al- insan dan al-hayah), maka jika manusia melihat segala macam makhluk, seperti bulan misalnya maka ia akan idraak / mengetahui dan mendapatkan bahwa bulan mempunyai shilah billah yakni bahwa pencipta bulan adalah Allah SWT, maka idraak / mengetahui ini adalah ruh bagi manusia. Dan jika belum mendapatkan hubungan seperti ini atau masih kosong dari mengetahui ini maka jadilah ia tanpa ruh. Sedangkan ruh yang didakwakan para ahli barat bukanlah bagian dari manusia. Karena sesungguhnya ruh itu adalah idraak as shilah billah yang bila manusia mengerjakan segala perbuatannya berdasarkan perintah dan larangan dari Allah SWT, dan mekanisme inilah yang menujukan adanya ruh ini pada manusia. Dan perasaan manusia akan keagungan Khaliq maha Kuasa dan Maha Mengetahui dibangun atas dasar al idraak ini yaitu al ruhaniyah dan jika terus-menerus perasaan (manusia ) seperti ini maka manusia iru hidup di tengah kedalaman iman, yang membantu manusia mengikatkan dirinya dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan ridho dan tenang / thuma‟ninah. Adapun korelasi (hubungan) al-ruhiyyah pada al-asyya / sesuatu yakni adanya sesuatu yang dicipta oleh sang Pengcipta, maka aspek ruhiyah pada gunung, binatang maupun manusia, ini adalah adanya sesuatu yang dicipta oleh Pencipta, aspek seperti ini tidak akan bisa dijumpai kecuali bagi mereka yang beriman dengan adanya Pencipta yang menciptakan segala sesuatu. Islam telah memotivasi manusia agar mampu memikirkan pada aspek alruhiyyah terhadap segala sesuatu di dalam dirinya, dan ini semua berguna untuk memperkuat ruhiyyah, yakni dengan memikirkan hubungan mahluk dengan Allah, firman Allah SWT: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bgaimana ia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan?, Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan ?, dan bumi bagaimana ia dihamparkan ?” (QS. Al Ghaasyiyah 1720). Dan setelah ayat ini, Allah selanjutnya berfirman: “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS.Al- Ghaasyiyah 21) Maka Allah menyuruh Rasul agar mengingatkan kepada manusia untuk memikirkan hubungan antara makhluk dengan khaliqnya, yakni shilah alkhalqi (hubungan penciptaan) dan itu semua untuk memperkuat ruh bagi manusia, firman Allah SWT: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”(QS. Ali ‘Imran 190) Ayat diatas menunjukan agar manusia memikirman shilah antara makhluk dengan khaliq. Allah SWT memulai wahyu surat Makkiyah dengan menyebutkan makhluk-makhluk-Nya yang bisa menambah kekuatan di dalam aspek ruhiyyah manusia, firman Allah SWT:

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringnya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya.” (QS. Asy Syams 1-6) Firman Allah SWT: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhannmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”(QS. Al ‘Alaq 1-2) Islam menuntut kepada setiap muslim untuk mencampur antara materi / jasad dan ruh, yakni menuntut kepada manusia agar mengikatkan dengan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, firman Allah: ”Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.”(QS. Al A’raaf 3) Firman-Nya: “Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain).” (QS. Al An’aam 153) Firman-Nya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu‟min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu‟min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab 36) Dan Allah menerangkan hukum atas segala sesuatu, firman-Nya: ”Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah 75) Firman Allah SWT: “Menghalalkan (Allah) bagi mereka apa-apa yang baik dan mengharamkan bagi mereka apa-apa yang buruk.” (QS. Al A’araaf 157) Dan keterikatan dengan hukum-hukum ini ketika manusia melakukan aktifitas-aktifitasnya dan inilah yang disebut dengan percampuran antara ruh dan materi, sebab keterikatan dengan hukum-hukum ini di jumpai ketika melakukan aktifitas yang menghubungkan dengan Allah SWT Kesimpulan : Ar-Ruuh : 1. Sirru al-hayah 2.Ruuhiyyah/idraak shillah billah KHAASHIYATUL AL-INSAN ( POTENSI MANUSIA ) Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadianya, kemudian memberinya petunjuk (QS. Thaaha.50) Tiga potensi yang merupakan tiang penyangga utama dalam aktifitas, mobilitas dan kreativitasnya itu adalah : 1. Al-GHARIZATU / NALURI 2 . AL-HAAJAATUL AL‟UDWIYYAH / KEBUTUHAN JASMANI 3. AL-TAFKIR / PEMIKIRAN Manusia tersusun dari materi, Allah telah meletakan di dalamnya ruhsirru al-hayah, dan dalam diri manusia terdapat thooqotu al-hayawiyyah (potensi kehidupan) yang terkumpul di dalam tiga khaasiyah sebagai berikut: al-gharizah, al-hajah al-„uwwiyyah,al-tafkir. Al-Gharizah ( Naluri )

Naluri adalah salah satu potensi yang ada pada diri manusia, yang mampu mendorongnya bertendensi pada al-asyya dan al-a‟maal, atau punya tendensitas untuk menahan dari al-asyya dan al-a‟maal. Semua itu mengacu kepada pemenuhan semua perkara yang terdapat dalam diri manusia. Para pembahas dan para pakar telah berbeda pendapat tentang kuantitas gharizah-gharizah ini, sebab perbedaan ini dikembalikan atas ketidakmampuan indera dalam menjangkau realitas naluri ini, dan tiadanya kemampuan akal untuk memikirkan realitas ini secara langsung. Para pakar dan pembahas menyatakan bahwa madhohir dari gharizahgharizah ini beragam, dan kesimpulannya jumlah naluri itu banyak, seperti gharizah al-khauf (naluri takut), gharizatu al-maili al-jinsi ( instink senang lawan jenis ), gharizah al-tamalluk (naluri ingin memiliki, sense of belonging ), gharizah al-taqdis (naluri beragama), dan gharizah hubbi al-istithla (pamer, suka menampakkan sesuatu) dan lain-lainnya. Setelah faham madhohir dari naluri di atas, dapat dimengerti madhohir tersebut bisa diklasifikasikan di dalam tiga kelompok, dan tiap kelompok mengacu kepada satu gharizah. Jenis pertama dari tiga kelompok gharizah adalah madhohir / penampakan khauf, hubbu al-tamalluk, hubbu al-istithla‟, hubbu al-wathan (cinta negeri), hubbu al-qaum (bangsa, kaum), hubbu al-siyadah (cinta kemuliaan), hubbu al-saitaroh (cinta kepada kekuasaan), dan lain sebagainnya. Semua di atas dikembalikan kepada satu gharizah yakni gharizah baqa, sebab seluruh penampakan ini mengantarkan kepada perbuatan-perbuatan yang membantu baqa (langgengnya) manusia yaitu diri pribadinya. Adapun jenis kedua dari madhohir ini adalah: al-mailu al-jinsi (senang lawan jenis), al -umuumah (keibuan), al-abuwwah (kebapakan), hubbu al-bana (cinta kepada anak), al-„athfi „ala al-insan (kasih sayang kepada sesama manusia), kecendrungan untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan dan lain sebagainya. Semua itu di atas dikembalikan kepada gharizah Nau‟. Sebab semua penampakan di atas mengantarkan kepada perbuatan-perbuatan baqa al-nau‟ (kelanggengan jenisnya). Sedangkan yang ketiga dari madhohir ini adalah al-mailu li al-ihtirom alabthol (kecendrungan untuk menghormati pahlawan), al-mailu li‟ibaadatillah (kecendrungan untuk ibadah kepada Allah), perasaan kurang dan lemah dan membutuhkan serta lain sebagainya dikembalikan kepada gharizah tadayyun sebab penampakan di atas mendorong manusia untuk membahas, mencari kepada al-Khaliq yang kuasa dan sempurna, tidak menyandarkan wujud-Nya kepada orang lain dan makhluklah yang bersandar kepada sang Pencipta. Adapun naluri adalah suatu khaasiyah yang fitri dan ada di dalam diri manusia yang berguna untuk memelihara kepada baqanya dan untuk menjaga kepada nau‟nya juga untuk memahami wujud dari Khaliq. Naluri ini tidak bisa diketahui oleh indera secara langsung, akan tetapi bisa di jangkau oleh akal lewat indikasi madhohirnya. Allah telah menciptakan khasiat-khasiat dan mengilhamkan penggunaannya kepada manusia ataupun hewan, Allah berfirman kepada lisan Musa di dalam menghindari dan menolak keganasan Fira‟un, firman Allah: “Berkata Musa: “ Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadian-Nya, kemudian memberikan petunjuk.”(QS. Thaahaa 50) Yakni Allah meletakkan pada tiap sesuatu sebuah khasiat, dan memberinya petunjuk melalui khasiat ini, di dalam melakukan aktifitas untuk memenuhi rasa ketidakcukupan dan kekurangan oleh gharizah dan haajaah „udwiyahnya. Sebagian ulama telah menafsirkan ayat di atas demikian:

sesungguhnya Allah telah menciptakan setiap sesuatu terdiri dari jenis jantan dan betina dan Allah mengilhamkan cara perkawinannya, maka selanjutnya sebagian ulama tersebut menafsirkan kata kholqohu dengan penafsiran kemiripannya di dalam penciptaan. Adapun makna yang awal adalah lebih „aam (umum) dan lafadz-lafadz nash mencakup segala kholqohu, ini adalah lebih sahih sebab ayat tersebut redaksinya berbunyi kullu syaiin adalah „aam yang mencakup segala macam makhluk. Firman Allah: “Dan Tuhannu mewahyukan kepada lebah:” Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan ditempat-tempat yang dibuat oleh manusia.”(QS. An Nahl 68) Yakni Allah telah memberi dan mengilhamkan kepada lebah khasiat untuk membangun sarang di gunung, pohon dan rumah. Dan Allah telah mengisyaratkan sebagian madhohir gharaiz ini, firman-Nya: Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?” (QS. Yaa Siin 71). Maka Allah menciptakan segala sesuatu bagi manusia, salah satunya adalah binatang untuk dimilikinya sebagai pemuas hubbu al-tamalluknya, sebagai penampakan gharizah baqa. Firman Allah yang ditujukan kepada nabi Ibrahim AS: “Berfiman Allah: sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: JanjiKu (ini) tidak mengenai orang yang dholim.”(QS. Al Baqarah 124). Dari ayat ini terlihat Ibrahim cinta kepada keturunannya dengan memohon kepada Allah agar keturunannya juga dijadikan Imam manusia, apa yang dilakukan Ibrahim adalah penampakan dari gharizah nau‟. Hal ini adalah untuk memnuhi gharizah nau‟ yang telah Allah fitrahkan kepada manusia, dan terbukti Allah mengabulkan doa Ibrahim, banyak keturunannya yang dijadikan Rasul-Rasul tetapi Allah juga menolak dengan Firman-Nya : „ Janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang dhalim.” (QS.Al Baqarah 124) Firman Allah diatas menegaskan kepada Ibrahim bahwa imamah diberikan kepada keturunannya yang shalih, dan janji tersebut tidak mencakup kepada keturunan Ibrahim yang dhalim. Firman Allah: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhan-Nya. Demikian agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf 24). Maka kecenderungan suka kepada lawan jenis adalah penampakan gharizah nau‟, yang juga pada isteri Raja Mesir dengan menyukai Yusuf, dan hal ini adalah untuk memenuhi gharizah nau‟nya. Penampakan ini juga terdapat pada Yusuf, akan tetapi Yusuf tidak melakukan perbuatan tersebut dengan berpaling dari ajakan isteri Raja Mesir, sebab Allah telah memperlihatkan kepada Yusuf apa yang bisa mencegahnya dari keinginan dengan wanita itu. Maka kata “laula” pada firman Allah diatas berfungsi sebagai sekat dan alat pencegah adanya perbuatan kekejian, Yusuf telah menahan dari “keinginan” dengan Isteri Raja Mesir disebabkan telah melihat sinyal yang berupa “tanda” dari Allah, sehingga makna ayat diatas sebagai berikut, seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, maka ia akan “berkehendak” dengan isteri Raja Mesir sebagai hasil dari al-mailu aljunsinya kepada wanita tersebut, akan tetapi Yusuf tidak berkehendak kepada wanita isteri Raja Mesir, sebab ia melihat tanda dari Allah yang menghalanginya dari perbuatan keji dan munkar.

Firman Allah : “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya, dengan kembali kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar 8 ). Firman-Nya lagi : “Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (hari itu) orang-orang bermuka asam penuh kesulitan.”(QS. Al-Insaan 10). Maka kembali kepada Allah dan takut siksa-Nya adalah penampakan dari gharizah tadayyun. Tiga naluri di atas ada pada setiap manusia, dan tidak mungkin diganti dan tidak mungkin disilangkan atau didistribusikan dari manusia satu ke manusia lainnya, tetapi dimungkinkan sebagian penampakan dari salah satu naluri terhimpun dan bertempat salah satunya pada posisi yang lain. Maka dimungkinkan hubbu al-zaujah (cinta isteri) menempati tempat hubbu al-um (cinta kepada ibu), hubbu al-siyaadah menempati tempat hubbu al-tamalluk, dan taqdiisul al-basyar (pengutusan manusia) dan tasdiisul al-asnaam (pemujaan pada patung) menempati tempat ibadah kepada Allah. Akan tetapi tidak mungkin menghapus dan memutus tiga naluri di atas dari manusia, sebab gharizah adalah bagian dari esensi manusia. Sedangkan penampakan dari gharizah bukanlah bagian dari esensi manusia. Adapun bagaimana manusia mengetahui penisbatan penampakan ke gharizah, maka sesungguhnya hal itu adalah dengan mempelajari realitas dari penampakan (madhhar), maka jika madhhar condong atau menahan yang menghasilkan perbuatan untuk membantu baqanya dzat manusia , maka madhhar seperti itu dinisbatkan kepada gharizah baqa seperti takut, kikir berani dan sebagainya. Maka jika madhhar menghasilkan perbuatan yang membantu baqanya al-nau‟ al insaaniy maka madhhar ini dinisbatkan ke gharizah nau‟ seperti mengasihi, lemah lembut, senang kepada lawan jenis dan lain sebaginya. Jika madhhar menghasilkan perbuatan yang membantu perasaan manusia seperti lemah dan membutuhkan kepada Khaliq, maka madhhar ini dinisbatkan ke gharizah tadayyun seperti takut kepada hari akhir, menghormati sesuatu yang lebih kuat dan kagum dengan nidhomu al-kaun dan sebagainya. Maka madhhar adalah tanpa perbuatan, seperti kecenderungan untuk memiliki (al-mailu al tamalluk) bukanlah al-tamalluk (memiliki), karena almailu li al-tamalluk adalah rasa yang ad di dalam diri manusia ketika menghadapi sesuatu itu dan menyimpannya, sedangkan “memiliki” adalah hasil pelaksanaan suatu aktifitas. Seperti menjual mobil atau mencuri harta, jadi madhhar itu tidak memuaskan gharizah, karena sesungguhnya aktivitas yang mendorong kepada madhhar itulah memuaskan gharizah atau yang merealisasikan bagian dari pemuasan, maka kecenderungan mendapatkan keridloan dari Allah bukanlah ibadah, sebab ibadah itu memuaskan gharizah tadayyun, sedangkan kecenderungan semata-mata tidaklah bisa memuaskan gharizah tadayyun dan kecenderungan senang lawan jenis tidaklah bisa memuaskan gharizah nau‟, sedangkan berkumpulnya suami isteri (jima‟) bisa memuaskan sebagian dari gharizah nau‟ ini, sehingga walaupun jima‟ ini dilakukan berulang-ulang tanpa menghasilkan anak, maka aktivitas tersebut tidak memuaskan secara total gharizah nau‟ dari aspek madhhar ini. Karena pada asalnya suatu aktifitas sebagai hasil dari madhhar adalah untuk membantu gharizahnya, yang madhhar menisbatkan pada naluri… sedangkan jima‟ tanpa menghasilkan anak tidak bisa menguatkan pemuasan secara sempurna, karena jima‟ tidak bisa berpengaruh pada kelangsungan tetapnya al-nau‟ al insany maka tidak bisa membatu gharizah nau‟. Penampakan (madhaahir) adalah kekuatan yang bisa menarik dalam rangka pemuasan naluri manusia yang sifatnya dari dalam manusia,

berdasarkan kekuatan yang menyamai pada madhoohir gharizah baqa (seperti al-mailu li al-tamalluk, al-siyaadah, al-saitaroh, keberanian dan lainnya) adalah untuk menarik segala sesuatu yang lazim untuk memuaskan gharizah ini. Naluri dan cabang-cabang dari madhoohirnya berbeda dalam kuat lemahnya diantara manusia yang satu dengan yang lain, dan berbeda di dalam lemah serta kuatnya diri manusia itu sendiri. Perbedaan lemah serta kuatnya mengikuti pengaruh ekstern darinya dan perbedaan dalam tingkatan umur manusia. Maka kita mendapatkan manusia yang hidupnya penuh dengan keinginan dalam pemuasan tiga naluri sekaligus secara kuat, juga kita dapati manusia lain yang di dalam umurnya malas dan lemah sehingga merasa cukup dengan sedikit demi sedikit untuk memuaskan naluri ini. Juga dari sudut pandang yang lain kita dapatkan manusia yang mencurahkan diri di dalam memuaskan gharizah baqa, gharizah nau‟ dan tidak memperhatikan dalam pemuasan gharizah tadayyun. Atau kita bisa memperhatikan kasih sayang ibu dicurahkan kepada suaminya karena kecenderungannya suka kepada lawan jenis dan cintanya kepada pasangannya atau sebaliknya. Juga kita bisa memperhatikan kecenderungan suka kepada lawan jenis pada umumnya timbul secara kuat pada waktu muda kemudian mulai menjadi lemah pada usia tua, yang biasanya dilanjutkan dengan pemusatan ibadah serta takut kepada hari akhir dan ini umumnya terjadi pada waktu tua dibanding pada usia muda. Tingkat perbedaan naluri ini, baik dari skala intensitas, prioritas dan aktualitasnya menjadikan sebagian orang mendahulukan salah satu gharizah daripaa gharizah lainnya. Hal ini kadangkala disebabkan kuat dan lemahnya naluri dan kadangkala disebabkan perbedaan pengaruh-pengaruh yang ada …yakni berbeda dan bertentangan hukum-hukum yang dibuat manusia atas al-af‟aal dan al-asyya yang berhubungan dengan pemenuhan gharizahnya juga pengaruh lingkungan serta pengaruh ekstern lainnya. Manusia telah memberikan macam-macam cara di dalam pemenuhan, salah satunya adalah pemenuhan yang benar yakni aktivitas seseorang di dalam memenuhi gharizahnya pada tempat pemenuhan yang sesuai, yakni denga jalan yang telah ditentukan oleh nidhom yang shahih dalam pemenuhan ini. Sehingga bila mendatangi perempuan dengan aqad yang shahih untuk pemenuhan mailu al-jinsi maka pemenuhan seperti itu adalah pemenuhan gharizah nau‟ yang benar sebab perempuan menjadi pendorong ekstern bagi mailu al-jinsi dan hal ini adalah tempat yang memang telah diciptakan Allah sebagai pemenuhan al mailu al-jinsi laki-laki dan Allah telah mengatur aktivitas ini dengan satu-satunya legalitas yang absah yakni dengan jalan pernikahan. Adapun bila seorang laki-laki mendatangi perempuan yang tidak halal baginya yakni mahram atau mendatangi perempuan yang tanda aqad yang sah maka pemenuhan mailu al-jinsi tersebut adalah salah, sebab ia telah melakukan pemenuhan dengan menyalahi dengan norma yang shahih walaupun ia telah tepat di dalam pemilihan tempat pemenuhan mailu al-jinsi yaitu perempuan. Sedangkan bila laki-laki mendatangi binatang atau sesama laki-laki misalnya maka pemenuhan mailu al-jinsi tersebut adalah syad / menyimpang karena hal itu adalah pemenuhan gharizah yang bukan pada tempatnya sekaligus bertentangan dengan nidhom yang shohih di dalam pemenuhan, sebaliknya begitu pula dengan perempuan. Sedangkan pemenuhan ghaizah tadayyun yang datang dari Allah kepada manusia dengan suatu aktifitas ibadah yang telah ditentukan baik norma fundamen, format sekaligus mekanismenya seperti shalat ini adalah pemenuhan yang shahih, tetapi apabila beribadah kepada Allah dengan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan seperti berputar-putar di

sekitar diri sendiri hal ini adalah pemenuhan yang salah walaupun maksud orang yang berputar tadi adalah beribadah untuk mencari ridlo Allah. Disini kita semakin faham tentang legalitas syahadatain yang sifatnya primordial yakni Islam, sehingga berangkat dari konsep di atas kita bisa menjawab lontaran orang-orang substansial yang biasanya beragumen yang penting tujuan, yang penting baik walaupun itu tidak diatur dalam Islam, lebih-lebih yang memang orangnya tidak melegalisasikan dirinya dengan syahadat. Demikian juga beribadah kepada berhala yang dianggap sebagai Tuhan. Hal ini adalah pemenuhan yang menyeleweng, karena dengan demikian bukanlah tempat pemenuhan gharizah tadayyun sebab penyembahan terhadap berhala tidaklah memuaskan pemenuhan perasaan serba kurang dan lemah yang ada pada diri manusia , karena sesungguhnya berhala lebih lemah dibanding manusia. Dan pemenuhan gharizah baqa seperti al-tamalluk dengan jalan jual-beli adalah pemenuhan yang shahih, sedangkan pemenuhan dengan jalan mencuri harta benda orang lain adalah pemenuhan yang salah, sebab pencurian adalah aktifitas yang dilarang Syara. Adapun pemenuhan gharizah baqa seseorang dengan jalan perdagangan semisal khamr atau babi, ini adalah pemenuhan yang menyeleweng sebab aktivitas ini diharamkan, tiada nilainya di mata Islam dan dilarang memilikinya, seperti itu bukan sebagai tempat untuk pemenuhan yang benar dalam kerangka pandang Islam. AL-HAAJATUL AL-‘UDWIYYAH (KEBUTUHAN JASMANI) (Allah) yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar (masingmasing) dan memberi petunjuk (QS. Al-A’laa 2-3) Jasad manusia adalah materi dalam dirinya ada thaaqotu al-hayawiyyah (potensi hidup) yang terbagi pada naluri, al-haajatul al udwiyyah dan al-tafkir dan khasiat ini tetap ada selama manusia hidup serta akan hilang bila ia mati. Kita telah membahas tiga naluri dan penampaknnya dalam bab terdahulu sedangkan sekarang adalah pemabahasan al-haajatul al-udwiyyah dengan kebutuhannya serta pembahasan tentang tubuh manusia, yakni materi yang membentuk jasad manusia. Jasad manusia yang dapat diraba /disentuh terbentuk dari sel-sel yang bermacam-macam baik bentuk warna dan fungsi. Jumlahnya mencapai lebih dari 300.000 juta sel. Tiap sel tersusun dari dinding sel yang di dalamnya berisi materi-materi makanan yaitu sitoplasma di tengahnya ada inti sel terbentuk dari kromosom-kromosom berjumlah 46 kromosom saja, tidak berkurang dan tidak bertambah kecuali pada sperma laki-laki dan ovum wanita masing-masing berjumlah 23 kromosom. Adapun susunan manusia tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain jika dilihat dari aspek susunan anggota dan fungsi, bilamana berbeda mungkin di dalam warna kulit, postur tubuh dan penampakan gerak tubuh. Setiap diri manusia terdiri dari kepala, jantung perut / lambung, paru-paru, usus dan lain sebagainya dan seluruh tubuhnya terbentuk dari sel-sel yang sama sifatnya seperti yang telah diterangkan di atas. Tiap anggota tubuh membutuhkan zat-zat makanan, pernapasan dan butuh istirahat, berhenti, bergerak, melepaskan sisa-sisa kerja organ dengan jalan yang sama. Khasiyat kebutuhan tubuh manusia hanya pada hal-hal tertentu, dan manusia mencari hal-hal ini, yakni khasiat yang Allah telah menitipkan pada diri manusia yang disebut dengan al-haajatul al-„udwiyyah.

Dan kebutuhan di atas membutuhkan pemenuhan, untuk memenuhi pemuasan ini tubuh membutuhkan kepada audloo‟ (tempat / kondisi), asyya (sesuatu) dan a‟maal (perbuatan) tertentu. Adapun kondisi yang dibutuhkan tubuh adalah tempat tidur, istirahat dan derajat panas tertentu serta suhu udara yang sesuai dengan tubuh manusia. Sedangkan sesuatu yang dibutuhkan tubuh adalah makanan, minuman dan udara. Dan a‟maal yang dibutuhkan tubuh adalah bernafas, aktivitas makan dan buang air. Jika kebutuhan jasmani ini tidak dijaga untuk kelangsungan proses mekanisme tubuh manusia maka akan mengalami kerusakan. Kondisi dan sesuatu ini dituntut oleh tubuh agar bisa melaksakan fungsifungsi tubuh. Maka bila tubuh kekurangan air, melalui otak akan mengirimkan sinyal akan kekurangan air ini, kemudian indera mencari air untuk menutup kekurangan ini. Jika tidak di dapatkan air secara perlahan tapi pasti tubuh tersebut akan rusak. Dan demikian dengan kebutuhan yang lain seperti kebutuhan pada makanan, udara dan tidur. Dalam waktu tertentu tubuh membutuhkan melepas sisa-sisa proses tubuh yang berbahaya bila tidak dikeluarkan seperti keringat, urine, berak dan karbondioksida. Kebutuhan jasmani tetap didapat dari dalam tubuh manusia Allah telah memberi syinyalemen tentang hal ini di dalam Al-quran surat Al-Ruum 23: “Dan diantara tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya.” Dan firman Allah selanjutnya yang menerangkan bahwa Rasul juga manusia biasa: “(Nabi) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan dan minum dari apa yang kamu minum.” (QS.Al-Mukminun 33). Allah telah membolehkan kepada manusia memakan terhadap segala makanan yang telah disediakan Allah untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, kecuali yang diharamkan namun ketika hal itu tidak dipenuhi dan akan menyebabkan rusaknya tubuh, Allah membolehkan memakan yang haram, firman Allah SWT: “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan yang haram) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah 173). Demikan juga khalifah “Umar bin Khaththab tidak memotong tangan pencuri pada waktu musim paceklik yang melanda daerah kekuasaan Islam, karena kebutuhan si pencuri untuk memenuhi Al Haajatul Al-„Udwiyyahnya. PERSAMAAN, PERBEDAAN, HUBUNGANNYA GHARIZAH DAN KEBUTUHAN JASMANI Gharizah dan kebutuhan jasmani mempunyai persamaan jika ditinjau dari karakter khasiat fitriyyah yang ada dari pemberian Allah pada manusia, seperti khasiat banjir pada air, khasiat membakar pada api. Tidak ada seorangpun yang mampu menyilangkan ataupun menghilangkan kecuali Allah Rabbul „Alamin. Sedangkan perbedaan antara kebutuhan jasmani dengan naluri ada dua segi: Segi pertama, pelaksanaan pemenuhan kebutuhan jasmani adalah wajib tidak bisa ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi, tubuh dan aparatur mekanisme akan rusak, jika seseorang tidak tidur atau tidak makan atau tidak bernafas dan lainnya maka lama kelamaan akan rusak.

Adapun naluri pelaksanaan pemenuhan tidak suatu keharusan, jadi bisa ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi tidak akan berpengaruh pada kerusakan tubuh dan mekanismenya, tetapi hanya sebatas pada keguncangan, kacau, gelisah serta tidak tenang. Sehingga bila seseorang tidak memenuhi gharizah tadayyun tidak akan merusak dirinya tetapi akan merasa gelisah, sempit dan goncang, perasaan seperti ini nyata dan jelas pada pasangan suami isteri yang tidak menghasilkan keturunan karena mandul salah satunya atau keduanya. Segi kedua, Sesungguhnya kebutuhan jasmani munculnya dipengaruhi dari faktor intern tubuh, seseorang merasa butuh makan atau minum jika ia lapar atau haus disebabkan tubuh membutuhkan pasokan materi-materi makanan atau minuman yang diuraikankan tubuh untuk kebutuhan internnya, serta merasa butuh tidur atau istirahat jika sangat menagantuk atau payah. Anggota tubuh tidak akan bisa melaksanakan fungsi-fungsinya jika tidak tidur atau tidak beristirahat, setiap kekurangan di dalam kebutuhan jasmani dari tempat dan sesuatu, manusia merasa sendiri dari dalam tubuhnya, jadi bukan tugas indera untuk memberikan syinyalemen bila tubuh memerlukan pemenuhan ini. Lalu bagaimana manusia merasakan kebutuhan anggota tubuhnya kepada kondisi dan sesuatu ? Maka jika kekurangan di dalam kebutuhan jasmani hal ini di mulai dari pengaruh sebagian sel-sel yang tersebar diseluruh jaringan tubuh, kemudian pengaruh ini berpindah melalui syaraf-syaraf menuju pusat tertentu di dalam otak, kemudian otak bekerja dengan pengkaitan Al-ma‟luumaatu al-sabiiqoh dari rasa ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa memenuhinya, maka hal ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa memenuhinya. Sedangkan naluri dipengaruhi dari faktor ekstern tubuh, maka jika melihat harta yang banyak, berpengaruh baginya hubbu al-tamalluk (untuk memiliki) yang muncul dari gharizah baqa, jika melihat mayat akan berpengaruh baginya pemikiran bahwa manusia itu lemah, dan ini adalah penampakan dari gharizah tadayyun, jika melihat seseorang perempuan yang cantik berpengaruh baginya al-mailu al-jinsi dan ini adalah penampakan dari gharizah nau‟, dan kadang-kadang naluri dipengaruhi dari cara berfikir (thoriiqu al-tafkir) pada sesuatu yang mempengaruhi, yang kembali kepada naluri, maka akan tergambar kepada sesuatu yang mempengaruhi tersebut dan menghadirkan sesuatu itu di dalam otak, yang kemudian akan mempengaruhi naluri, sebab manusia telah mengindera sesuatu yang terjadi itu sebelummya, maka terpengaruhlah gharizahnya kepada sesuatu itu, disini terjadi peran persepsi. Dari uraian tersebut ternyata ada hubungan antara kebutuhan jasmani dengan gharizah baqa yaitu apabila sesuatu yang memenuhi kebutuhan jasmani manusia membantu baqa / langgenya manusia pada rantai kehidupannya, seperti makanan, minuman ,bernafas, tidur, buang air dan berkeringat adalah untuk menjaga langgengnya manusia. Semua itu adalah kebutuhan yang merupakan keharusan bagi tubuh dalam menjalankan fungsi-fungsi alamiahnya, akan tetapi mekanisme organ tubuh di atas juga merupakan keharusan bagi kelangsungan rantai kehidupannya. Maka kecenderungan memiliki makanan atau kecenderungan untuk makan adalah penampakan grarizah baqa, karena kecenderungan ini kadang-kadang terdapat pada manusia walaupun organ tubuhnya tidak sedang membutuhkan makanan, hal ini karena adanya ma‟lumat sabiqah tentang lezatnya makanan ini dan bergunanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Maka jika pengaruh-pengaruh datang dari luar manusia saja tanpa adanya anggota tubuh membutuhkan makanan maka itu adalah al-istijaabatu

ghariiziyyah (reaksi gahrizah), dan kecenderungan untuk makan adalah madhhar ghariiziyyah (penampakan yang sifatnya naluri). Dan jika stimulus yang datang dari intern tubuh karena adanya organ tubuh yang membutuhkan makanan maka itu adalah reaksi kebutuhan jasmani, maka aktifitas makan menjadi sifat sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani jika manusia merasa lapar, dan makanan juga sebagai sarana pemenuhan gharizah baqa, jika aktifitas makan manusia semata hasil dari cintanya manusia kepada makanan, walaupun sebenarnya ia tidak lapar dan organ tubuhnya tidak membutuhkan kepada penguraian materi atau gizi-gizi makanan, atau istilah lain memberi makan nafsu, bukan memberi makan perut. Kebutuhan jasmani yang terdapat pada manusia juga terdapat pada hewan, walaupun al-audlo‟ dan al-asyya yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani manusia tidak sama dengan kondisi dan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani hewan, maka makanan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia bukanlah makanan yang bisa memenuhi laparnya perut dari sebagian besar hewan. Bejana dan tempat yang biasa sebagian hewan hidup seperti ikan dan burung bukanlah bejana dan tempat yang biasa manusia hidup, dan hal ini disebabkan perbedaan organ tubuh diantara keduanya. Sedangkan naluri juga terdapat pada hewan, seperti juga yang terdapat pada manusia, semisal gharizah nau‟ dan apa yang muncul dari penampakannya seperti al-mailu al-jinsi dan juga seperti gharizah baqa dan penampakannya seperti takut kepada bahaya. Kecuali penampakan sebagian dari gharizah nau‟ dan gharizah baqa tidak ada pada hewan, seperti hubbu al-istithla‟, dan kecenderungan menyelamatkan diri dari kerusakan dengan berada pada tempat yang tinggi. Atau antara manusia dengan hewan sama-sama memiliki gharizah baqa dan gharizah nau‟ tapi berbeda seperti hubbu al-tamalluk. Sedangkan gharizah tadayyun, antara manusia dengan hewan berbeda penampakannya dan punya cara tersendiri. Manusia tidak bisa mengetahui penampakan gharizah tadayyun hewan, hal ini hanya bisa kita ketahui dari dalil qath‟I yang keabsahannya terjamin, yakni dalil yang datangnya dari AlQur‟an yang mengabarkan tasbih dan shalatnya segala macam kehidupan lainnya, firman Allah: “Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka, sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Israa 44). Firman Allah SWT: “Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah: Kepadanya bertasbih apa yang ada di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Nuur 41) Maka tasbih dan shalat adalah aktivitas sebagai hasil dari kecenderungan manusia untuk mentaqdiskan Khaliq, dan ini adalah sebagian penampakan dari gharizah tadayyun yang semua makhluk melakukan, dan informasi ini datang langsung dari Allah, tetapi kita tidak bisa mengetahui esensi ibadanya, firman-Nya : “Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”(QS. Al-Israa 44). AL-IDRAAK (PEMIKIRAN) Firman Allah SWT: ”Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi kaum yang memikirkan.”(QS. Ar Ra’d 3).

“Sesungguhnya yang demikian terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang menggunakan akalnya.”(QS. Ar Ra’d 4). “Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al ‘Ankabuut 43). Al-Idraak, al-fikr, al-„aql bermankana satu yaitu khasiat yang telah diletakan Allah kepada manusia yang merupakan hasil dari khoosiyatu alribthi (khasiat pengkaitan) yang ada di dalam otak manusia yaitu berfungsi sebagai hukum atas realitas berupa pemindahan penginderaan dari realitas kepada otak beserta adanya ma‟luumat saabiqoh (informasi sebelumnya) yang menafsirkan realitas itu. Kelebihan manusia dari hewan ada pada khasiat al-Idraaknya (akal), dan inilah yang menjadikan manusia pada derajat lebih utama dari hewan, firman Allah: “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqaan 4). Ayat tersebut menunjukan binatang itu tidak berfikir. Proses berfikir harus memenuhi empat syarat, yaitu : 1. Al-dimaagh al-shaalih (otak yang baik) 2. Al-waaqi‟ al-mahsus (realita yang terindera) 3. Al-ihsaas (alat indera) 4. Al-ma‟luumaatu al-saabiqah (informasi yang sebelumnya telah masuk). Al-dimaagh adalah materi yang ada pada tengkorak kepala. Otak ini dikelilingi tiga lapisan / selaput secara baik, yang menembus dari sela-sela lapisan ini syaraf-syaraf yang banyak, yang menghubungkan dengan otak, alhawaas dan seluruh organ tubuh. Serabut-serabut syaraf ini menyebar sampai batas yang sulit dipercayai, karena telah diketahu bahwa urat syaraf / darah tersebar pada seluruh jaringan tubuh yang panjangnya mendekati 200.000 mil. Dalam tugas otak menjaga tubuh melalui 76 urat syaraf kepala. Berat otak manusia dewasa sekitar 1200 gram, yang menghabiskan 25 % dari oksigen yang masuk melalui paru-paru. Para pakar ilmu syaraf telah menguji dengan menggunakan alat dari listrik pada otak manusia, dan berkesimpulan bahwa otak adalah salah satu organ yang berfungsi untuk berfikir pada manusia, serta dari penelitian tersebut diketahui munculnya gelombang listrik secara tiba-tiba dari sel otak, pada saat manusia mengkonsentrasikan fikirannya atau ketika dipengaruhi emosi dan mendengar kegaduhan yang sangat atau ketika menghitung sesuatu yang rumit. Juga para pakar belum tahu tempat secara pasti di dalam otak yang bertanggung jawab pada memori penghafalan informasi. Dan diketahui putusnya sebagian dimaagh pada sebagian orang sakit tidak menghilangkan ingatannya. Juga telah diprediksi oleh sebagian pakar bahwa tempat penyimpan memori dari informasi yang memungkinkan manusia menguasai informasi tersebut sama kapasitasnya dengan 90 juta jilid buku yang penuh berisi dengan tulisan, ini adalah suatu penciptaan yang mengagumkan pada otak manusia sebagai argumen Maha hebatnya kekuasaan Allah, firman Allah : “Dan bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan ?” (QS. Adz Dzaariyaat 20-21). Adapun realitas yang bisa dideteksi indera kadang-kadang realias yang sifatnya materi seperti bulan, buku dan kuda dan juga kdang-kadang realitas yang terdeteksi hanya bekas atau pengaruh dari realitas yang sifatnya materi seperti suara angin, suara kapal terbang dan bau harumnya bunga. Akan tetapi kadang-kadang ada juga realitas yang sifatnya immateri hanya

terdeteksi dari indikasi dan bekasnya saja seperti sifat pemberani, muruuah (malu), takut dan penyayang. Adapun sesuatu yang diketahui wujudnya kadang-kadang mempunyai sifat mahsuusah dan malmuusah (terindera dan terpegang) seperti tali, pohon dan himar / kuda. Dan kadang-kadang hanya mahsuusah tanpa malmuusah seperti gembira, sakit. Juga kadang-kadang tidak mahsuusah dan tidak malmuusah hanya bisa diketahui wujudnya dari wujud penampakannya saja, seperti tiga naluri (baqa, nau‟, tadayyun) dan adanya kehidupan pada manusia. Adapun penginderaan pada realitas adalah pemindahan realitas ke otak melalui alat panca indera yaitu penginderaan penglihatan dengan alat mata, penginderaan pendengaran dengan telinga, penginderaan perabaan dengan alatnya kulit, dan penginderaan rasa dengan alatnya lidah serta penginderaan penciuman dengan alatnya hidung. Adapun mekanisme penginderaan dengan jalan mata secara lengkapnya sebagai berikut: Sampainya sinar yang terang yang terpantul dari benda ke dalam kelopak mata menuju jaring mata, lalu jaring mata meneruskan sinar terang tadi menuju syaraf mata dalam bentuk gelombang-gelombang listrik ke pusat penglihatan di bagian belakang otak, seketika manusia melihat bentuk gambar yang ada di depannya, akan tetapi orang yang bisa melihat tersebut belum bisa memahami gambar yang ada di depannya, yakni tidak bisa menghukumi gambar tersebut kecuali bila mempunyai ma‟lumat sabiqah tentang gambar yang dilihatnya yang sudah tersimpan di dalam otaknya. Penglihatan manusia terbatas karena mata manusia punya daya jangkau penglihatan sampai batas yang tidak mampu lagi melihat, hal ini terbukti ketika mata manusia melihat sesuatu yang sangat lembut atau ketika melihat atom juga ketika melihat sebagian bintang yang sangat jauh. Oleh karena kita tidak bisa melihat sebagian besar apa yang sebetulnya ada, ini karena keterbatasan tadi, firman Allah : “Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” (QS. Al Haaqqah 38-39). Indera pendengaran adalah salah satu indera yang penting, karena melalui indera ini manusia memperoleh ilmu, Allah telah menyebutkan di dalam ayat-ayat-Nya tentang penginderaan ini dengan penyebutan lebih dahulu daripada indera penglihatan, firman-Nya: “Atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan.” (QS.Yunus 31) Firman-Nya : “Dan dia memberi kamu pendengaran dan penglihatan.” (QS. An-Nahl 78) “Sesungguhnya pengendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Israa 36) Indera pendengaran adalah yang menerima gelombang-gelombang suara lalu diteruskan menuju ke syaraf pendengaran kemuadian ke otak. Telinga manusia bisa menangkap getaran-getaran suara yang kecepatannya antara 16-20 ribu getaran tiap detik, adapun suara yang getarnnya lebih cepat dari di atas, telinga manusia tidak mampu memindahkannya ke otak. Sedang telinga kucing kemampuannya 50 ribu getaran tiap detik, dan telinga kelelawar mampu memindahkan getaran yang diterima ke otak sekitar 120 ribu getaran tiap detik, sehingga mampu menggantikan penglihatannya, karena mempunyai ketajaman terhadap benda yang ada di depannya walau tidak melihatnya, Maha Besar Allah , Firman-Nya: Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang yakin. “(QS. Adz Dzaariyaat 20) Dan manusia tidak bisa mendengarkan sesuatu, kecuali sebagian dari suara yang ada di sekitarnya.

Indera perasa dengan syaraf-syaraf yang banyak tersebar diseluruh bagian tubuh manusia, terutama di kulit, tiap syaraf mempunyai fungsi tertentu, maka seperti indera perasa mempunyai syaraf-syaraf yang tidak seluruhnya berfungsi memindahkan indera rasa sakit, atau indera rasa dingin dan indera rasa panas. Seperti syarat-syarat penginderaan rasa sakit terdapat di kulit, sehingga bila ditusukkan sebuah jarum lewat di kulit, maka bila sudah masuk ke dalam otot-otot tidak terasa sakit, firman Allah : Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka meraskan adzab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. An Nisaa’ 56) Setiap Kulit orang kafir itu hangus terbakar api neraka, maka Allah akan menggantikan dengan kulit yang lain agar syaraf-syaraf indera yang ada dikuliti bisa memindahkan kepada orang kafir dengan merasakan sakitnya terbakar. Sedangakan hidung dan mulut memindahkan penginderaan, bau atau makanan melalui proses mekanisme kimiawi, yakni melalui syaraf-syaraf penciuman dan syaraf-syaraf pengecapan ke otak. Dan yang terakhir dari unsur-unsur pemikiran adalah al-ma‟luumat saabiqoh, yaitu apa yang tersimpan di dalam otak dari informasi-informasi yang telah masuk berupa realitas yang terindera. Otak akan mengeluarkan simpanan informasi yang telah masuk tadi, bila dibutuhkan dalam proses pemikiran. Informasi ini ada 2 macam: 1. Pemikiran-pemikiran yang lalu tentang realitas yang terindera, pemikiran inilah yang lazim digunakan untuk mempersepsi atau menghukumi tentang realitas yang ada di depannya, yakni dengan menghubungkan antara al-afkar al-sabiqoh dengan ealitas yang ada didepannya. 2. Informasi yang merupakan hasil dari respon otak karena penginderaannya yang lalu, yang punya hubungan dengan realitas yang terindera, hal ini disebabkan berulang-ulangnya penginderaan kepada realitas yang mempunyai hubungan dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani secara langsung. Umumnya yang membentuk ma‟lumat dari realitas ini adalah dilihat apakah dapat memenuhi atau tidak terhadap al-gharaaiz dan kebutuhan jasmani, ma‟lumat seperti ini tidak sesuai bila digunakan untuk menghukumi sesuatu. Informasi sebelunya dari realitas adalah bagian penting dari mekanisme berfikir („amaliyyatu al-tafkir), Jadi tidak mungkin bisa berfikir tentang realitas tanpa adanya informasi sebelumnya. Sekarang timbul pertanyaan kritis, kalau informasi sebelumnya adalah bagian penting dari mekanisme berfikir, dari mana awal mula datangnnya informasi sebelumnya itu pada realitas pertama yang bisa dibuat pemikiran manusia ? Konsekwensi logis dari manusia, bagaimanapun manusia tetap manusia, dengan asumsi manusia yang pertama kali hidup atau yang pertama kali ada di dunia, lalu bagaimana manusia yang pertama kali itu mendapatkan alma‟luumatu al-saabiqah yang bisa di tangkap oleh inderanya ? Dari sini bisa difikirkan, bahwa manusia yang pertama kali hidup di dunia harus ada informasi sebelumnya dari sesuatu, sehingga ia bisa memikirkan dan mendapatkan informasi sesuatu itu. Manusia tidak mungkin mendapatkan informasi yang bisa dan cocok untuk digunakan sebagai salah satu dari empat syarat berfikir kalau hanya penginderaan yang berulangulang dari sesuatu, apalagi bila digunakan untuk mempersegi atau menghukumi sesuatu, hal ini bisa dihadirkan ketika dihadirkan dihadapan kita realitas yang bisa terindera berupa bahasa china, lalu kita suguhkan

secara berulang-ulangbahasa china tersebut kepada orang yang tidak mengetahui dan sebelumnya tidak pernah paham bahasa ini. Maka orang tersebut tidak akan bisa mempersepsi dan memahami bahasa tersebut walaupun dengan cara diulang-ulang. Jadi harus ada ma‟lumat yang datang dari luar manusia pertama, dan dari luar realitas, karena penginderaan pada realitas bagaimanapun berulangulangnya senantiasa hanya sebatas penginderaan saja, tidak bisa didapatkan ma‟lumat saabiqah yang bisa memindahkan dari penginderaan ke pemikiran. Manusia senantiasa tidak akan bisa membentuk ma‟lumat sabiqah dari sesuatu, dan manusia adalah makhluk tertinggi yang ada di bumi, maka harus ada ma‟lumat sabiqah yang pertama untuk pemikiran yang datang dari luar dirinya yang lebih sempurna dan lebih mengetahui, Dialah Al-Khaliq Allah SWT: Dan Al-Qur‟an telah menukilkan kepada kita, yaitu kalaamullah yang alqoth‟I al-tsubuut, bahwa Allahlah yang telah memberikan kepada manusia berupa ma‟lumat, firman-Nya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Malaikat lalu berfirman Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab:”Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahu lagi maha bijaksana”. Allah berfirman:” hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu. Allah berfirman:”Bukankah sudah-Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah 31-33) Malaikat tidak mampu mengetahui nama-nama benda yang diajarkan kepada Adam karena Malaikat tidak bisa mengidraak / memikirkan namanama benda itu, Malaikat berkata: “Tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al Baqarah 32) Sedangkan Adam dapat memberitahukan kepada Malaikat karena Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, yaitu mengajarkan rahasia sesuatu itu seperti yang dianjurkan Allah kepada Malaikat. Allah memberikan ma‟lumat yang pasti, yang dapat memikirkan sesuatu itu. Sehingga ketika Adam dituntut Allah untuk memberitahukan hakekat sesuatu itu kepada Malaikat, Adam dengan menggunakan ma‟lumat tersebut mampu menerangkan kepada Malaikat. Dan inilah awal penggunaan akal oleh Adam dan awal pemikiran terhadap sesuatu yang dibangun atas ma‟lumat sabiqah dari sesuatu yang diberitahukan Allah Rabbul‟alamin, yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang disembunyikan makhluq-Nya ataupun yang ditampakan, dan ma‟lumat ini adalah ni‟mat besar yang diberikan kepada manusia, firman-Nya: “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.” (QS. Al ‘Alaq 5). Ma‟lumat tersebut adalah inti / butir pemikiran bagi manusia yang bertambah dari sesuatu ke sesuatu dari generasi ke generasi dari zaman ke zaman hingga bermilyar-milyar ma‟luumat, sebagai hasil penggunaan manusia pada ma‟lumat untuk menghukumi al-assyya dan al-af‟aal, sebab pemikiran manusia sebelumnya akan menjadi ma‟lumat untuk manusia yang kemudian, dan hal ini akan berlanjut selama kehidupan manusia di bumi. Lantas bagaimana berhasilnya pemikiran, inilah yang disebut dengan „amaliyyatu al-tafkir al-aqli (mekanisme akal dalam berfikir). Ketika manusia melihat, mendengar, mencium, merasakan dan meraba, indera memindahkan realitas ini ke otak melalui syaraf-syaraf indera, sehingga bila di dalam otak ada ma‟lumat sabiqah dari realitas yang diindera maka otak akan

menyambungkan realitas ini dengan ma‟lumat. Proses selanjutnya otak akan memberikan penafsiran terhadap realitas dan mempersepsi / menghukuminya. Semisal kita menyuguhkan tulisan bahasa inggris kepada seseorang yang mempunyai ma‟lumat sabiqah tentang bahasa tersebut maka indera mata orang tersebut akan melihat tulisan yang di depannya, kemudian dilanjutkan indera ke otak yang di dalam otak tersebut sudah tersimpan ma‟lumat sabiqah terhadap bahasa yang dikirimkan otak, lalu otak tersebut akan memproses apa yang masuk, yang dilanjutkan oleh orang tersebut dengan membaca memahami bahasa tersebut, tetapi bila bahasa tadi disuguhkan kepada orang lain yang tidak mempunyai sedikitpun ma‟lumat sabiqah pada bahasa inggris, maka indera penglihat akan melihat tulisan bahasa inggris yang ada di hadapannya. Walaupun penginderaan terhadap realitas tersebut berulang-ulang hanya jadi sekedar penginderaan saja, tanpa bisa dibuat sebagai hasil dari pemikiran. Adapun proses berfikir kadang-kadang hadir dengan realitas yang terindera tetapi juga kadang-kadang tanpa terindera hanya tergambar di dalam otak saja. Manusia kadang-kadang berfikir tentang seorang laki-laki yang dia lihat fotonya ketika membaca berita kematiannya di koran, maka foto tersebut akan menjadi ma‟lumat di dalam otak dan suatu saat dia bisa mengatakan kepada orang lain bahwa orang yang mati tersebut mulia, karena sebelumnya dia telah memiliki ma‟lumat tentang kemulian orang yang mati tersebut. Kadang-kadang manusia berfikir tentang kapal terbang, dan dia bisa mempresepsi kapal terbang tersebut apakah milik sipil atau militer, dengan mendengar suaranya, karena sebelumnya telah ada ma‟lumat yang masuk tentang ciri-ciri kapal terbang. Penginderaan pada realitas kadang-kadang dengan sampainya indera itu sendiri pada realitas, dengan penginderaan mata dan lainnya , juga kadang terjadi dengan sampainya indera pada realitas tidak secara langsung tetapi berhubungan dengan realitas seperti suara atau gambar. Juga kadangkadang dengan pengembalian indera pada realitas di dalam otak, tanpa adanya realitas atau bekasnya di dalam pusat indera, hal ini sering digunakan di dalam pembahasan di dalam pemikiran politik, pakar politik bisa memecahkan problema politik melalui kumpulan-kumpulan berita, yang dari itu dapat digambarkan sebuah realitas dan kemudian mengeluarkan ide politik tadi, yang sebetulnya indera tidak mendapatkan realitas secara langsung. Seperti apa yang telah dianalogikan oleh sebagian orang bahwa ma‟lumat sabiqah bisa dihasilkan dari eksperimen seseorang pada dirinya sendiri tanpa dimulai dari ma‟lumat sabiqah yang datang dari luar dirinya. Mereka mengemukakan argumen dengan eksperimen dari binatang, yang kemudian dari sini mereka menganalogikan antara manusia pertama dengan binatang. Di dalam eksperimen tersebut mereka berhasil menjadikan beberapa binatang seperti anjing, kera dan tikus tunduk pada eksperimen mereka, yakni mereka memukul bel setiap kali memberikan makanan pada anjing tersebut dan diulangi setiap kali …. Kemudian pada suatu saat mereka memukul bel tanpa diiringi pemberian makanan maka anjing tersebut mengalir air liurnya. Dari sini mereka menyimpulkan bahwa ma‟lumat sabiqah didapat pada anjing tersebut dengan teori berulang kali eksperimen, dan menghukumi pada realitas dengan menggunakan ma‟lumat yang diambil dari eksperimen tadi. Kemudian mereka menganalisa di padang penggembalaan yang banyak binatannya, binatang-binatang tersebut menjauhi dan tidak mau memakan rumput yang kering, maka mereka menghukumi bahwa binatang faham dan bisa memikiran hakekat sesuatu dengan disandarkan pada eksperimen di

atas, yaitu binatang telah mendapatkan ma‟lumat untuk menafsirkan realitas yang dihadapi. Adapun yang benar apa yang dihasilkan dari eksperimen pada anjing di atas adalah rasa naluriah / instink yang berhubungan dengan apa bisa memenuhi rasa naluriah dan apa yang tidak, dan mengetahui secara instink ini adalah hasil dari khasiat yang telah diberikan Allah kepada binatang tersebut, agar bisa menjaga baqa dan nau‟nya. Adapun apa yang dihasilkan binatang tersebut adalah pengembalian penginderaan yang dahulu karena hal tersebut bisa memenuhi gharizah atau kebutuhan jasmani maka hasilnya binatang tersebut menahan tidak memakan rumput kering itu, jadi tidak bisa menghukumi esensi dari sesuatu. Anjing pada eksperimen diatas mendengar suara bel, maka akan muncul reaksi balik pada penginderaan yang dahulu, yakni yang berhubungan dengan pemenuhan rasa lapar berupa makanan, sebab suara bel menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan makanan, yang bisa memenuhi rasa laparnya, maka suara bel tidak ada bedanya menurut anjing dari penglihatannya atau penciumannya pada makanan, maka dua hal ini (makanan dan bel) ada dalam penginderaan yang dahulu yang terkait dengan apa yang bisa memenuhi laparnya. Dan dari sini menjadi jelas, sekiranya kita memukul bel di dekat telinga anjing lain yang lapar, maka eksperimen di atas tentu tidak berguna, juga tentu air liur anjing tersebut tidak akan mengalir. Dan akan mengalir air liurnya bila melihat atau mencium makanan saja yang bisa memenuhi laparnya. Adapun binatang tidak bisa berfikir karena otak yang ada padanya kosong dari khaasiyatu al-ribthi (Khasiat bisa menghubungkan ma‟lumat/ penginterrelasian antara reliatas dan ma‟lumat oleh otak). Jika alat inderanya mengindera suatu realitas, maka otak dan inderanya akan memberikan reaksi balik terhadap sesuatu yang bisa memenuhi gharizah atau haajatu aludwiyyah saja. Jadi binatang bisa mengindera, tetapi tidak bisa berfikir seperti manusia, firman Allah: “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan dari mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, menahan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqaan 44). Dari ayat ini bisa dipahami binatang itu tidak bisa berfikir. Peneliti dari eksperimen di atas telah melakukan kesalahan, karena mereka menganalogikan antara manusia dengan binatang, padahal manusia mempunyai khaasiyatu al-ribthi sedangkan binatang tidak mempunyai, binatang tidak bisa berfikir sedangkan manusia bisa. Juga kesalahan lain adalah menganalogikan orang yang menyaksikan dengan orang yang tidak ada dan tidak menyaksikan, maka mereka menganalogikan antara manusia yang ada sekarang dengan manusia yang pertama ada. Dan analog yang benar adalah antara manusia dengan manusia, dan analog orang yang tidak ada pada orang yang ada / menyaksikan. Masih dalam pembahasan tentang manusia, manusia itu ada dan didapatkan kekhususannya, yaitu manusia tidak bisa berfikir tentang sesuatu serta menghukuminya tanpa ada ma‟lumat sabiqah, maka faedah apa yang bisa kita petik dari mengetahui cara berfikir manusia pertama ? Pertama: manusia pertama memiliki kekhususan yang sama dengan manusia sekarang, dan dengan ini manusia sekarang tidak bisa berfikir menghukumi sesuatu kecuali dengan ma‟lumat sabiqah, begitu juga manusia pertama tidak akan bisa dengan kemampuannya berfikir dan menghukumi sesuatu kecuali dengan ma‟lumat sabiqah, dan inilah yang telah diinformasikan oleh Al-Quran tentang ma‟lumat sabiqah yang pertama yaitu dari Allah:

“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.” (QS. Al-Baqarah 31) Firman-Nya lagi: “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq 5 ) Adapun ma‟lumat yang terbentuk pada manusia dari proses berulangulang pengindraannya yang berhubungan dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani adalah ma‟lumat yang tidak layak untuk menghukumi sesuatu, karena ma‟lumat seperti ini hanya sebatas yang berhubungan dengan bisa dan tidaknya pemenuhan terhadap naluri dan kebutuhan jasmani. Maka khaasiyatu al-ribthi yang terdapat pada otak manusia dan tidak terdapat pada otak binatang, mampu menjadikan inderanya melakukan proses reaksi balik yakni dalam mengembalikan realitas dengan bentuk yang lebih baik dan lebih cepat dari hewan, maka jika disuguhkan kepada manusia sepotong buah yang belum pernah diinderanya, lalu dimakannya dan merasakan rasa serta baunya , dan orang tersebut setelah memakannya merasakan bahwa buah tadi bisa memenuhi kebutuhan jasmani, maka pada suatu saat yang lain orang tersebut melihat melihat buah itu untuk kedua kalinya, maka otaknya akan mengulang kembali ma‟lumat dulu yang telah terbentuk sebagai hasil dari penginderaannya yang pertama kali pada buah tersebut, yakni berhubungan dengan rasa, bau dan bisa memenuhi kebutuhan jasmani. Akan tetapi ma‟lumat seperti ini mempunyai hubungan denga gharaiz dan hajatu al-udwiyyah tidak berarti dan tidak concern untuk menghukumi terhadap esensi sesuatu materi, atau dalam menghukumi terbentuknya materi tersebut. Manusia tidak bisa menghukumi buah di atas dengan pernyataan, apakah masak atau mentah juga apakah buah tersebut mengandung gula, garam dan air serta vitamin-vitamin dan lainnya. Bagaimanapun pengulangan atas penginderaan pada buah tersebut senantiasa akan berkisar pada kesimpulan bahwa buah itu adalah materi yang bisa memenuhi dari rasa lapar saja. Dan jika ingin menghukumi buah tersebut dari segi yang lain maka dibutuhkan ma‟lumat sabiqah dari luar otaknya dan dari luar buah tersebut, maka tanpa ma‟luumat ini senantiasa pengetahuan pada buah tadi berkisar sama dengan penginderaan hewan. Dari preposisi di atas timbul masalah, lebih dahulu mana adanya pemikiran dengan al-maddah (materi)? Untuk menjawab pertanyaan ini kami berkata: Materi lebih dahulu dari fikir hal ini dinisbatkan kepada nabi Adam AS, Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang ada, sebelum pemberian Adam ma‟lumat sabiqah tentang benda-benda tersebut. Materi telah ada sebelum manusia berfikir, tanpa materi (yang berupa realitas) proses berfikir karena berjalan karena realitas adalah unsur asasi dari unsur-unsur berfikir dan karena pemikiran berfungsi untuk menghukumi realitas (alfikru hukmu „ala waaqi‟), jka tidak di dapatkan realitas tentu tidak akan didapatkan pemikiran, jadi materi bila dinisbatkan dengan pemikiran adalah lebih dahulu. Hal diatas bila dinisbatkan dengan manusia, adapun bila materi dinisbatkan dari tidak adanya, telah datang dalil yang jelas dan qath‟I, bahwa perintah Allah lebih dahulu dari adanya materi, firman-Nya: “Sesungguhnya perinyah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “jadilah” maka jadilah ia .” (QS. Yaa Siin 82) Maka perintah Allah dengan “jadilah” lebih dahulu dari adanya materi, maka Allah Azza Wajalla adalah yang awal tempat bergantung yang tidak bisa disandarkan wujudnya atau sesuatu, justru mahkluklah yang disandarkan wujudnya kepada-Nya, Firman Allah: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuranukuran dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan 2)

“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.” (QS. An Nahl 20) MEMAHAMI ‘AMAL (AKTIVITAS) MENURUT ISLAM A. Esensi / Hakekat ‘Amal Manusia dari materi, dan Allah telah meletakan ruh di dalam dirinya sebagai´”sirru al-hayaah”. Di dalam diri manusia tersimpan sumber daya /potensi,yakni berupa tiga khasiat, Hajatu „udwiyyah, naluri dan al-idraak. Ketiga-tiganya itu terdapat di dalam diri manusia yang hidup lalu bagaimana manusia menggunakan khasiat di atas ? Kebutuhan jasmani dan naluri menuntut pemenuhan. Dan akan mendorong manusia untuk memenuhinya karena hasil dari pengaruh intern bila itu kebutuhan jasmani dan pengaruh ekstern bila itu naluri. Maka manusia menggunakan tubuhnya dan angota-anggota tubuh tertentu untuk menjalankan aktifitas-aktifitas yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri. Seorang peneliti mengetahui bahwa „amal / aktivitas manusia adalah berwujud materi saja, karena amal adalah kemampuan / energi (al-thaaqah), dan kemampuan adalah satu bentuk dari bentuk-bentuk materi. Para ahli sampai berkesimpulan pada hakekat ini setelah memecahkan atom, mereka mendapatkan dan mengetahui materi berubah menjadi energi, tetapi juga ahli tersebut mendapatkan energi berubah menjadi materi, kemudian mereka menetapkan tentang proses kerja dari sinar X yang berubah menjadi materi yang tersusun dari anoda yang memproduksi elektron dan menumbuk katoda yang akan menghasilkan foton. Aktivitas manusia adalah suatu kekuatan yang direalisasikan dengan gerakan anggota badan, seperti tangan, kaki, mulut dan sebagainya, sedangkan kekuatan adalah al-thaaqah (energi) sebagai hasil dari proses kimiawi (metabolisme) dari makanan dan udara di dalam tubuh manusia. Setiap aktivitas membutuhkan kekuatan yang besar, membutuhkan kekuatan materi yang banyak. Pandai besi, tukang kayu dan tukang batu yang menggunakan anggota tubuhnya dan otot-ototnya untuk melakukan aktifitasaktifitas tertentu membutuhkan materi-materi yang bukan materi-materi yang dibutuhkan anggota tubuh sebagai alat berfikir yaitu otak, dan itu semua ternyata anggota tubuh melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya. Sehingga bila materi yang merupakan keharusan bagi tubuh berkurang, maka indera memindahkan kekurangan ini ke otak, sehingga manusia terdorong untuk melaksanakan aktivitas yang bisa memenuhi kebutuhan yang dituntut tubuh, sama juga apakah itu kebutuhan yang sifatnya materi (maddah) seperi makanan, minuman, dan udara ataupun yang berbentuk tempat (wadl‟un) seperti tidur dan istirahat. Sehingga bila kebutuhan jasmani tidak terpenuhi maka tubuh akan rusak, karena tubuh manusia dari segi ini tidak ada bedanya dengan mesin pabrik yang bila habis materi yang dibutuhkan mesin pabrik, seperti minyak, lemak, kayu api, dan air maka secara otomatis akan berhenti segala aktivitas dari peralatan mesin tersebut, dan kemungkinan akan dilanjutkan dengan peledakan ataupun mati. Begitu juga dengan tubuh manusia jika habis materi yang di butuhkan tubuh seperti gula, garam, protein dan vitamin serta air, maka lama-kelamaan tubuh menjadi lemah, sakit dan kemudian rusak. Selain energi sebagai hasil dari proses kimiawi tubuh terhadap materimateri yang digunakan tubuh, tidak mungkin bagi tubuh memperoleh materi-materi tersebut tanpa al-thooqatu al-hayawiyyah yang timbul dari adanya ruh-sirru-al-hayaah di dalam diri manusia, karena disana ada

gerakan-gerakan yang tidak disengaja dan tidak dikehendaki anggota tubuh seperti jantung, perut, paru-paru dan lain sebagainya, yang muncul pada manusia yang hidup, maka jika manusia mati berhentilah aktifitas tubuh. Maka al-thooqotu al-hayawiyyah adalah penggerak yang asli pada tubuh yang berwujud naluri dan kebutuhan jasmani serta tafkir dan apa yang dihasilkan dari thooqoh hayawiyyah berupa aktifitas-aktifitas, seperti bergerak, menjadi banyak dan berkembang. B. Tandhiimu Al-‘Amal (Peraturan di Dalam Beraktivitas) Aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan manusia tidak terlepas dari usaha untuk memenuhi naluri dan kebutuhan jasmani misalnya berupa aktifitas shalat, berjalan, jual-beli dan makan. Dan dalam aktifitas-aktifitas ini terdapat hubungan antara manusia, seperti pemenuhan al-mailu al jinsi di dapat hubungan antara laki-laki dan perempuan, sedangkan jual-beli didapat hubungan antara penjual dan pembeli, sedangkan penyelamatan dari tenggelam di dapat hubungan antara penyelamat dan orang yang diselamatkan. Dan hubungan-hubungan ini lahir diantara manusia karena adanya problematika (masyaakil) yang membutuhkan solusi. Sehingga jika tidak ada pemecahan problema manusia akan hidup dalam situasi anarchisme / tanpa aturan dan bingung selanjutnya mereka akan diperhamba oleh kekuatannya, kelemahannya dan pemaksaan serta kodholiman merajalela, maka mereka tidak akan mengindahkan aturan main yang benar dalam pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani, sehingga tersebar disitu ketakutan, pembunuhan dan pergulatan diantara manusia, terutama yang kuat dan yang pandai di dalam usaha pemilikan sesuatu dengan menggunakan kekuatannya, bahkan menggunakan cara-cara pembunuhan dengan penggunaan senjata untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Lalu bagaimana cara agar tiap individu manusia dapat memenuhi naluri dan jasmani dengan benar, dan tidak bertentangan ataupun merugikan kepentingan pemenuhan individu yang lain, sehingga mereka bisa hidup dalam keadaan mulia. Tentu disini dibutuhkan miqyaas (standar) pengaturan hubungan antara sesama manusia, sehingga akan ada aturan yang menjadikan tiap individu memperoleh haqnya dan hidup dalam keadaan baik. Jika menggunakan aturan pada masyarakat yang disandarkan pada akal manusia, maka hukum yang berkaitan dengan al-af‟al dan al-asyya yang lazim untuk pemenuhan kebutuhan manusia, tentu berbeda, berkontradiksi, berat sebelah dan dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini konsekkwensi dari perbedaan naluri dengan kebutuhan jasmani. Maka hal seperti di atas dapat dilihat dari hukuman jariimah pencurian, ada yang mengatakan dimasukan penjara dan yang lain tidak sependapat dengan ide di atas dengan memberikan alternatif hukuman denda harta. Juga tentang zina ada pendapat bahwa layak bagi pelakunya adalah pemberian sebuah hukuman, tetapi yang lain mengatakan pelaku zina tidak perlu dihukum. Juga kadang-kadang bagi mereka yang setuju dengan penghukuman terhadap kejahatan maupun pelanggaran, tapi masih berbeda dalam waktu, persyaratan dan cara penghukuman, ada yang mengatakan pencurian harus dihukum penjara selama sebulan tiap mencuri satu dinar, tapi ada juga yang berpendapat tiap mencuri satu dinar masuk penjara satu minggu, juga tentang liwath (berkumpul sesama laki-laki) ada yang berpendapat perlu ada hukuman karena masyarakat menganggap perbuatan itu adalah kotor, juga ada yang membolehkan liwath karena masyarakat mendiamkan perbuatan itu, tidak mengatakan jelek dan kotor. Walhasil,

banyak terjadi sekelompok masyarakat membolehkan sesuatu dan yang lain mengharamkannya. Hukum-hukum tentang manusia yang berhubungan dengan al-af‟al dan al-asyya sering berbeda, bertentangan atau dipengaruhi lingkungan, apa yang dilihat sebagian orang baik, banyak kemungkinan dilihat oleh orang lain jelek, oleh sebab itu kacaulah hubungan mereka lantas kehidupan mereka menjadi berbeda dan bermusuhan dan tidak ada satu kesepakatan tentang satu nidhom (aturan) yang saling meridloinya. Walaupun bersepakat mungkin hanya sebatas perkara luarnya saja seperti yang terjadi pada komunis (syuyu‟iyyah) dan kapitalis (ro-sumaaliyah), mereka tidak semua ridho menerima aturan yang diterapkan, sehingga bila sudah tidak rela maka dirubahlah atau diganti aturan yang sudah ada, demikian seterusnya dan selanjutnya selalu berganti-ganti aturan. Dan sebab-sebab lain dari ketidakcocokkan hukum wad‟iy (hukum buatan manusia) bagi seluruh manusia terletak tidak adanya chek pemikiran terhadap perbedaan-perbedaan individu yang dituangkan ke dalam aturan tersebut, karena sudah dimafhumi di dalam masyarakat sungguh berbeda di dalam pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani dan khasiat al-ribthi yang ada di dalam otaknya. Juga karena pembentuk hukum wad‟iy / penguasa ketika membentuk undang-undang dipengaruhi dengan khasiat yang penguasa miliki (gharizah, haajah u‟dwiyyah dan idraak). Sehingga ketika pembentuk undang-undang mempunyai gharizah baqa yang kuat, maka dibentuklah undang-undang yang bisa menjamin secara optimal pemenuhan gharizah tadayyun dan gharizah nau‟, karena dua gharizah yang terakhir ini ada dalam keadaan lemah pada pembentuk undang-undang. Begitu juga bila pembentuk undang-undang suka daging kambing dan menyayangi sapi karena disembahnya, maka dia akan menghalalkan kambing dan mengharamkan sapi, walhasil undang-undang way‟iy dituangkan dan diselaraskan dengan naluri, haajaah serta idraaknya pembentuk undangundang tersebut, dan kekacauan ini bisa dilihat di barat maupun di timur baik itu Inggris, Jerman, Amerika, Jepang dan lain-lain. Maka tentu akan terjadi ketidakselarasan dan kelemahan di dalam pemenuhan gharizah dan haajaah orang lain di luar pembentuk undangundang, karena orang yang menetapkan aturan dan undang-undang ini tidak mengetahui batas kuat dan lemahnya tiga khasiat diatas pada seluruh individu pada masyarakat, oleh sebab itu khasiat di atas dicampuradukan kuat dan lemahnya di dalam pembentukan aturan. Dari sinilah nampak hukum wad‟iy itu gagal di dalam pengaturan naluri dan haajaah manusia, pada suatu aturan yang bisa menjamin setiap individu dengan pemenuhan yang benar membutuhkan “pengatur” yang tahu hakekat dari seluruh khasiat yang ada pada manusia seluruhnya secara perindividuindividu. Dan seperti ini tidak akan datang kecuali dari Allah SWT yang menciptakan segala sesuatu dan menentukan ukuran-ukurannya, dan yang menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, yang tentu akan Maha memahami seluruh khasiat yang ada pada diri manusia. Allah telah mengutus Muhammad dengan membawa Islam dan itulah aturan yang mengatur seluruh hubungan antara sesama manusia, dan mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dengan aqooid dan ibadah yang bisa memenuhi gharizah tadayyun yang merupakan pemenuhan yang benar. Dan mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri berupa al-math‟uumaat (makanan) dan al-malbuusaat (pakaian) serta ahklaq. Serta mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dengan „Uquubah (hukuman-hukuman) dan mu‟aamalat untuk memenuhi gharizah al-nau‟ dan baqa serta kebutuhan jasmani. Maka jika ditinjau dari aqooid dan ibadah

sebagai dasar pertama dan utama Islam telah menunjukan satu perkara penting yaitu iman dan apa-apa yang perlu diimani, firman-Nya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur‟an yang diturunkan kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya.”(QS. Al Baqarah 285). Juga Allah menunjukan suatu aktifitas yang harus dikerjakan setiap muslim yang bisa mentaqarubkan diri kepada-Nya dan bisa memenuhi gharizah tadayyun, firman-Nya: “Dan dirikannlah sholat dan tunaikanlah zakat.‟ (QS. Al Muzzammil 20 ). Selanjutnya Firman-Nya: “Berdoalah kepadaku niscaya Aku kabulkan permintaanmu.”(QS. Al Mu’min 60) Dilihat dari segi math‟uumaat (yang berhubungan dengan makananminuman), malbuusaat (yang berhubungan dengan pakaian dan perhiasan) dan akhlaq, Islam telah menunjukan sebuah al-„amaal dan al-asyya yang bisa memenuhi gharizah baqa dan haajaah u‟dwiyyah manusia, firman-Nya: “Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.”(QS. Al A’raaf 157). “Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu.”(QS. Al Maaidah 5) “Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Alah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. AlA’raaf 31). Sabda Rasulullah SAW: Diharamnkan bagi umatku laki-laki mengenakan hiasan kain sutera dan emas dan dihalalkan bagi umatku yang perempuan.”(Al Hadits). Firman Allah: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al-Furqaan 63). Sabda Nabi SAW: Berahklaqlah kepada manusia dengan akhlaq yang mulia.” (Al Hadits) Dan dilihat dari pengaturan u‟quubat dan muamalah, Islam telah menunjukan sebuah al-a‟maal dan al-asyya yang bisa memuaskan gharizah nau dan baqa manusia, firman-Nya: “Dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Maaidah 38) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.” (QS. Al Baqarah 282). Sabda nabi Saw: “Barang siapa yang mati dan tiada dipundaknya bai‟at maka kematiannya adalah kematian jahiliyyah.” (Al Hadits) Seperti itulah Allah mengatur segala al-a‟maal dan al-asyya yang merupakan keharusan untuk dipenuhi oleh naluri dan haajaah u‟dwiyyah. Dan telah dijadikan nash-nash syariat dari al-Qur‟an dan al-Sunnah yang sangat luas untuk menerangkan hukum-hukum yang sudah terjadi atau yang diperbaharui dari al-a‟maal dan al-asyya, firman Allah: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni‟matKu dan telah Ku-ridloi Islam jadi agama bagimu.” (QS. Al Maaidah 3). “Dan kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur‟an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An Nahl 89 ).

Dan Allah telah menuntut kepada manusia untuk menghukumi segala alaf‟al dan al-asyya dengan menggunakan syariat ini firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan .” (QS. An Nisaa’ 59). Kata “kembalikanlah” adalah kepada Al-Qur‟an, Al-hadits, Qiyas dan Ijma‟ shahabat. Maka pada asalnya setiap al-af‟aal terikat dengan hukum syara‟, tidak akan seorang muslim beraktifitas kecuali setelah mengetahui hukum syara‟nya, karena Allah akan menghisab setiap aktifitas yang dilakukan seorang muslim yang mukallaf, baik itu aktifitas yang baik ataupun yang jelek, firman-Nya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar Dzarahpun niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”(QS. Az Zalzalah 7-8) Dan pada asalnya setiap al-asyya adalah ibaahah (boleh) selama belum ada dalil yang mengharamkannya, firman Allah: “Dan Dia menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya.” (QS. Aj Jaatsiyah 13). “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizqi-Nya.”(QS. Al Mulk 15). Maka Allah membolehkan kepada manusia segala apa yang ada berdasarkan dalil-dalil „aam diatas, kecuali yang diharamkan saja yang sebetulnya sangat sedikit dibanding dengan yang dibolehkan, firman Allah: Dan menghalalkan bagi mereka semua yang baik, dan mengharamkan bagi mereka semua yang buruk.”(QS. Al A’raaf 157). “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih dengan nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk behala.”(QS. Al Maaidah 3). Sabda Rasulullah SAW: “Diharamkan khamr (arak) karena bendanya arak itu sendiri.”(Al Hadits). Dan dengan itu semua seorang muslim yang mukallaf terikat dengan hukum syara‟ di dalam segala al-af‟aal (aktifitasnya), dan terhadap al-asyya (sesuatu) yang ia pakai. Hukum syara‟ adalah ketentuan Syaari‟ (Allah) yang dihubungkan dengan aktivitas manusia. Dan ketentuan tersebut diambil dari Al-Qur‟an, Sunnah Nabawiyyah, Qiyas dan Ijma‟ Shahabat. Tetapi juga ada pendapat sebagian orang yang menyangka selain empat sumber dalil diatas, masih ada sumber dalil yang lain sebagai sebagai sumber-sumber syari‟at Islamiyyah, seperti Istihsan, mashaalih mursalah, dan lain sebaginya. Menurut pendapat saya Istihsan, mashaalih mursalah bukanlah sumber hukum Islam, karena hukum yang diistinbathkan (ditarik suatu kesimpulan) dari sumber tadi adalah berpegang kepada istimbath dari dalil yang samar, sedangkan dalil-dalil syar‟iyyah yang ijmal haruslah dari dalil yang yakin, yakni qath‟iy tsubuut dan qath,iy dilalah, firman Allah: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu dari apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesunguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”(QS. Al-Israa’ 36). Yakni janganlah kamu mengikuti terhadap sesuatu yang kamu sendiri tidak mempunyai keyakinan terhadap apa yang kamu ikuti itu. Sesungguhnya Syara‟ telah menentukan penuntutan qiimah dari setiap aktifitas, sehingga seorang Muslim tidak boleh melaksanakan suatu aktifitas untuk mewujudkan suatu qiimah selain qiimah yang ditentukan syara‟ seperti shalat bukanlah untuk mewujudkan qiimah insaaniyah atau maadiyyah, dan

juga berdagang bukan untuk mewujudkan qiimah ruuhiyyah atau khuluqiyyah. Dari sana timbul masalah: apa hubungan pemenuhan antara gharizah, haajaah „udwiyyah dan antara perwujudan qiimah yang empat ? Manusia melaksanakan suatu aktifitas untuk memenuhi gharizah dan haajah „udwiyyah sekaligus simultan dengan aktifitas perwujudan qiimah tertentu. Gharizah tadayyun dari sebagian madhohirnya adalah perasaan manusia dengan kekurangan, lemah, membutuhkan membutuhkan yang “supra” dari dirinya, mendorong seorang muslim untuk melaksanakan aktifitas pemenuhan, maka sempurnalah pemenuhan tersebut dengan perwujudan qiimah ruuhiyyah yang diniatkan pelaku dari aktifitasnya, maka jika seseorang melakukan ibadah haji tentu maksudnya adalah taqarrub ilallah, untuk menambah hubungan dengan-Nya (al shilah billah) akan menjadi terpenuhi gharizah tadayyun dan terwujudlah qiimah ruhiyah. Sehingga bila seseorang berbisnis dan mendapatkan keuntungan akan terwujud qiimah maadiyyah, terpenuhillah gharizah baqanya yang madhahirnya adalah hubbu al-tamalluk. Begitu juga bila seseorang menikah maka terpenuhilah al-mailu al-jinsi yang merupakan madhoohir dari gharizah nau‟, dan terwujud qiimah khuluqiyyah yaitu kasih sayang dan pemeliharaan, lalu jika anak taat kepada orang tua, dan merendahkan diri kepada mereka berdua dengan kasih sayang, akan terpenuhi gharizah nau‟ dan akan terwujud qiimah khuluqiyyah. Jika seseorang bercepat-cepat untuk menyelamatkan orang lain dari tenggelam hal ini untuk mempertahankan gharizah nau‟, maka penyelamatan ini termasuk dalam perwujudan qiimah insaaniyyah. Maka aktifitas yang telah ditentukan syara‟ dalam perwujudan qiimah ruuhiyyah adalah aktifiyas yang sifatnya pemenuhan gharizah tadayyun. Dan aktifitas yang telah ditentukan syara‟ untuk perwujudan qiimah khuluqiyyah dan qiimah insaniyyah adalah aktifitas di dalam rangka pemenuhan gharizah nau‟. Dan aktifitas yang telah ditentukan untuk perwujudan qiimah maadiyyah, adalah aktifitas yang paling umum, yang sering dilakukan manusia adalah untuk pemenuhan gharizah baqa dan haajaah „udwiyyah. Sesungguhnya tahapan-tahapan yang dilewati aktifitas manusia dimulai dari gharizah, maka gharizah baqa misalnya menuntut pemuasan bagi madhoohirnya seperti hubbu al-tamalluk, maka mendorong manusia untuk memenuhi madhoohir ini dengan melaksanakan aktifitas kerja, maka dia mendapatkan uang, dan ini berarti terwujud sudah qiimah maadiyyah. Maka tahapan aktifitasnya terurut sebagai berikut: Gharizah ------ madhoohir / hajah „udwiyyah ------- aktifitas pemenuhan ----- qiimah Adapun aktifitas seorang muslim wajib melewati tahapan sebagai berikut: Gharizah ------ madhoohir / haajaah „udwiyyah ------ ihsaas ------- tafkir sebelum beraktifitas ----- beraktifitas di dalam cakrawala keimanan untuk perwujudan qiimah yang telah ditentukan syara‟. Dan pelaku aktifitas dalam waktu yang sama mewujudkan satu qiimah untuk satu pelaksanaan aktifitas akan tetapi kadang-kadang berhasil mewujudkan qiimah yang lain diluar qiimah yang dimaksud di dalam pelaksanaan satu aktifitas yang sama, tanpa adanya maksud untuk mewujudkan qiimah yang lain di atas. Seorang pedagang yang jujur berdagang untuk mewujudkan qiimah madiyyah, akan tetapi orang lain ketika bermuamalah dengannya memujinya dengan sifat jujur, pujian dengan sifat jujur kepada pedagang adalah qiimah khuluqiyyah yang pedagang itu tidak bermaksud mewujudkan qiimah khuluqiyyah ini.

JENJANG QIIMAH / NILAI Seorang muslim sering menghadapi posisi-posisi yang menuntut aktifitasaktifitas perwujudan terhadap nilai tertentu, diwaktu dia sibuk dengan aktifitas lain untuk mewujudkan qiimah lainnya, lantas bagaimana kita bertindak? Qiimah yang empat di atas tidak ada yang utama atau sama di dalam dzatnya, sebab tidak didapatkan salah satu darinya spesifikasi ciri khas yang menjadikan salah satu menjadi istimewa, kecuali manusia itu sendiri yang menjadikannya istimewa di dalam mewujudkan salah satu qiimah yang dilihat dari perspektif manfaat dan bahaya, untung serta ruginya, lantas dia menciptakan miqyaas / parameter sendiri untuk menentukan istimewa atau biasa, sama atas berlainan diantara qiimah tadi. Maka dengan ini manusia akan berbeda di dalam menentukan manfaatmanfaat dan pengaruh-pengaruh qiimah tersebut, oleh sebab itu berbedalah paramaternya, seseorang yang mempunyai gharizah tadayyun yang kuat, maka ia akan mengutamakan qiimah ruuhiyyah dan cenderung untuk mewujudkan qiimah ruuhiyyah sehingga mengalahkan qiimah yang lain. Begitu juga seseorang yang mempunyai kecenderungan pemenuhan gharizah baqa yang kuat maka ia akan cenderung memenuhinya dan berpaling dari qiimah yang lain. Dari sini terlihat adanya perbedaan bahkan pertentangan antara manusia di dalam menentukan qiimah tersebut, oleh sebab itu seorang muslim haruslah kembali kepada syara‟ sebagai paraneter pembatas di dalam mencari salah satu qiimah sehingga aktifitas yang akan dilakukan akan ada pembatasan qiimah tertentu bila ada pertentangan. Syara‟ telah meletakan jenjang / tangga qiimah yang empat tersebut, sehingga bila ada pertentangan di dalam melaksanakan empat qiimah tadi, harus didahulukan yang satunya, firman Allah: Katakannlah: „Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalann-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq.” (QS. At Taubah 24). Ayat diatas menerangkan agar kita mengutamakan qiimah ruuhiyyah (Cinta Allah, Rasul dan berjihad) sehingga bila ada pertentangan dalam pelaksanaan qiimah ruuhiyyah dengan qiimah maadiyyah misalnya perdagangan dan kemiskinan maka didahulukan qiimah ruuhiyyah dari qiimah maadiyyah dan jika bertentangan qiimah ruuhiyyah dengan qiimah akhlaaqiyyah seperti menghormati orang tua dan saudara, cinta kasih kepada anak dan isteri, maka didahulukan qiimah ruuhiyyah dari pada qiimah akhlaqiyyah. Firman Allah SWT; “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada orang tua. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku khabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.Al Ankabuut 8). Dan jika bertentangan qiimah ruuhiyyah yaitu beribadah semata-mata kepada Allah dengan qiimah khuluqiyyah yaitu berbakti kepada orang tua, maka harus didahulukan qiimah ruuhiyyah. Firman Allah,

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang-orang yang dipaksa untuk kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.”(QS.An Nahl 106). Ayat di atas diturunkan kepada „Ammar bin Yaasir yang dianiaya oleh kaum musyrik Makkah yang hampir membuat dirinya rusak oleh beratnya siksaan tersebut bila tidak mengucapkan dengan mulutnya kekafiran kepada Allah, maka agar dirinya selamat “Ammar mengucapkan kekafiran kepada Allah dengan mulutnya, maka „Ammar mengucapkan kekafiran kepada Allah dengan Mulutnya, maka Rasul bersabda kepada „Ammar: “Dan jika mereka menanyaimu berkali-kali / memaksamu, maka ucapkanlah dengan mulutmu kekafiran (bila kamu tidak mampu bertahan).” (Al Hadits) Syara‟ membolehkan untuk mendahulukan perwujudan qiimah insaaniyyah atas qiimah ruuhiyyah. Firman Allah: “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. An Nahl 94). Ayat di atas menerangkan, menepati janji kepada Allah dan konsisten terhadapnya, sebagai perwujudan dari qiimah khuluqiyyah harus didahulukan karena qiimah madiyyah yakni kemanfaatan duniawi. Maka mendahulukan, mengutamakan dan menyamakan suatu qiimah dari qiimah yang lain hanyalah syara‟ yang berhak menentukannya, karena dengan begitu jikalau seseorang meninggalkan suatu qiimah karena perbedaannya dengan individu yang lain di dalam memperkirakan pengutamaan atau penyamaan ini, mereka akan kembali kepada parameter yang khusus, yaitu syara‟. Oleh sebab itu diharuskan bagi setiap muslim berjalan di dalam kehidupan ini berdasarkan perintah Allah dan larangan-Nya. Dari sini dibangun aktifitas-aktifitas yang hendak diwujudkan dari setiap qiimah, serta mampu menentukan skala pioritas qiimah yang harus didahulukan, bila dalam waktu yang sama ada dua qiimah yang dihadapinya. Dan bukanlah kewajiban seorang muslim, kecuali beraktifitas demi terwujudnya qiimah-qiimah dengan suatu aktifitas yang dituntut Allah. Hal ini dinisbatkan kepada individu, adapun bila dinisbatkan pada masyarakat, maka perwujudan qiimah bagi individu-individu pada masyarakat adalah apa yang merupakan keharusan bagi mereka dalam kehidupannya, yaitu pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah, perwujudan nilai-nilai ini sebelum individu-individu menemukan keseimbangan di dalam masyarakat manusia, dan setelah syara‟ mengatur maka timbullah madhohir kebangkitan pada masyarakat. Maka perwujudan qiimah insaniyyah akan didapatkan seorang fakir dengan seorang yang bersodaqoh kepadanya, dan seorang yang membutuhkan bantuan kepada orang yang menolongnya. Dan hal ini akan dihasilkan ikatan dan kepercayaan yang kuat antar individu-individu di dalam masyarakat dengan akhlaq mulia sebagai karakternya, seperti jujur, adil, iffah / menjaga kehormatan, maka akan terangkatlah derajat kehidupan mereka dengan adanya qiimah maadiyyah dan akan diliputi masyarakat itu dengan cakrawala keimanan yakni adanya perwujudan qiimah ruuhiyyah pada mereka, dan berjalanlah segala aktifitas mereka berdasar perintah dan larangan Allah. Dan dengan itu dianjurkan setiap individu dari masyarakat ini untuk memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyahnya dengan benar. Dengan begitu akan tampak sebuah kondisi masyarakat seperti satu tubuh yang hidup,

masing-masing anggota tubuh saling membantu dalam melaksanakan fungsinya. Otak akan berfikir untuk mengarahkan manusia, jantung memompa darah untuk dialirkan ke urat nadi dan urat-urat lainnya keseluruh tubuh, mata serta indera yang lain membantu sampainya makanan, sel-sel darah putih akan menghadang penyakit yang datang dan menyembuhkan dari penyakit, perut dan usus serta cairan-cairan mencerna makanan sebagai persiapan bila tubuh membutuhkannya, begitu juga dengan masyarakat setiap individu sebagai bagian yang lain di dalam beraktifitas dan berinteraksi dengan masyarakat berdasarkan nidhom yang detail dan teliti. PENGAMBILAN KEPUTUSAN YANG TAJAM Seperti kami sebutkan di atas aktifitas yang sukses harus melewati tahapan-tahapan yang teratur sebagai berikut: Gharizah/haajaah „udwiyyah --- madhar ---- ihsas ----waqi‟----tafkir---- aktifitas untuk mendapatkan salah satu empat qiimah di atas. Di sana ada tempat pemisah antara tafkir dan aktivitas yaitu tahapan pengambilan keputusan yang tajam. Kadang-kadang seorang muslim setelah berfikir atas asas-asas Islam di dalam suatu aktifitas yang akan dilaksanakan, dan qiimah yang akan diwujudkan mengalami keraguan dalam pelaksanaan, dan sering masalah ini menyangkut pelaksanaan suatu aktifitas yang penting, baik bagi pelaku itu sendiri ataupun kepada yang lain, terutama di dalam persoalan nasib hidup. Maka manusia akan berhenti setelah berfikir sebelum melaksanakan aktifitas karena adanya perselisihan dan pertentangan di dalam pemikiran, dilaksanakan aktifitas ini atau tidak? Untuk menerangkan di atas, kami suguhkan kisah sepasukan sahabat Rasulullah secara ringkas pada hari kembali dari suatu peperangan: Datang kepada Rasulullah setelah perang uhud, kabilah „Udhol dan Qooroh dua kabilah dari Arab, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah banyak diantara kami sebagai muslim, maka utuslah beberapa orang dari Sahabat rasul kepada kami, agar kami bisa memperdalam agama, membaca Al-Qur‟an dan menyampaikan Syariat Islam.” Maka Rasulullah mengutus enam sahabat yang berangkat bersama kabilah itu. Mereka adalah shahabat Martsad al-Ghonawy, Khaalid bin alBakir, „Aashim bin Tsaabit, Thaariq bin Abdullah, Khubaib bin „Adiy, Zaid bin al-Datsnah, dengan dipinpin oleh Martsad al-Ghonawy. Lalu mereka keluar menuju ke daerah dua kabilah tersebut, ketika mereka berada di daerah Raaji‟ yang berada disebelah Hijaz, kelompok dari kabilah tersebut menipu kepada para shahabat, ditangan mereka memegang senjata, maka dengan sigap para sahabat menghunus senjatanya untuk memerangi mereka, akan tetapi para musyrikin itu berkata:”Demi Allah kami tidak berkehendak membunuh anda sekalian, kami hanya ingin menjaga anda dari gangguan ahli Makkah, atas kamu janji Allah yang kuat bahwa kami tidak akan membunuh anda sekalian.” Maka Murtsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-Bakir serta „Ashim bin tsabit berkata kepada para musyrik: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan aqod dari kaum musyrik, kemudian „Ashim bin Tsaabit bersyair: Tiada kekurangan bagi saya yang mencegah untuk memerangi kamu, karena saya adalah orang kuat, sebagai pemanah yang ulung. Satu anak panah dari tali panah yang sangat kuat Yang akan meluncur dari muka besur mata panah yang lebar dan panjang Mati itu haq (pasti datang) sedangkan hidup itu bathil (penuh tipuan) Dan setiap apa yang ditetapkan Allah pasti terjadi Dari orang per orang akan kembali kepada-Nya

Jika aku tidak membunuhmu maka ibuku akan kehilangan anaknya (tiada keberanian untuk menjadi mujahid) Maka Martsad al-Ghonawy, “Ashim bin Tsaabit dan Khaalid bin al-bakir memerangi mereka hingga terbunuh shahid para sahabat itu, sedangakan tiga sahabat yang lain : Zaid bin Datsnah dan Hubaib bin „Ady dan Thaariq bin Abdullah mereka lemah dan tipis serta senang hidup, maka menyerahlah mereka lalu ditawan oleh kaum musyrik itu. Lalu para sahabat itu dikeluarkan untuk dijual kepada penduduk Makkah, ketika sampai di daerah Dhohron, “Abdullah bin Thaariq memutus tali yang mengikat tangannya, kemudian mengambil pedangnnya, orangorang yang ada disekitarnya takut lalu mundur dengan melempari kepada Abdullah bin thaariq dengan batu hingga syahidlah beliau. Sedangkan yang dua lagi dijual kepada penduduk Makkah dan tidak lama kedua sahabat itu dibunuh oleh penduduk Makkah. Kisah enam shahabat diatas memberikan kita tiga contoh dalam mengambil keputusan yang tajam dalam suatu keadaan. 1. Contoh pertama, yang terjadi pada Mustsad al-Ghonawy sebagai pemimpin pasukan serta sahabatnya Khalid bin al-Bakir dan „Ashim bin Tsaabit. Menghadapi kondisi keterkejutan para sahabat berfikir dan terlintas secara cepat dalam proses berfikirnya, yakni para sahabat mengambil keputusan yang tegas dan tajam sebelum melakukan aktifitas, keputusan ini jelas dengan ucapan beliau: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan aqod orang musyrik selama-lamanya”‟ juga dari syair „Ashim bin tsaabit. 2. Contoh kedua terlihat dari keputusan Thaariq bin „Abdullah, yang pada mula pertama menyerah, kemudian dijadikan tawanan dan diikat tangannya dengan tali. Kemudian pada keputusan yang kedua yaitu dia meniru keputusan pemimpinnya yakni Murtsad al ghonawy dengan melepas tangannnya dari ikatan, dan mengeluarkan senjata untuk memerangi kaum musyrik yang akhirnya beliau dilempari batu oleh kaum musyrik sehingga mati syahid. 3. Contoh ketiga terlihat dari keputusan Hubaib bin „Ady dan Zaid bin Datsnah yang menerima untuk ditawan, kemudian dua shahabat tadi dibunuh sebagai balas dendam orang musyrik kepada orang kafir karena kekalahan mereka pada perang badar dan sungguh mereka telah menghadapi maut dengan jiwa yang berani dan hati yang tenang dengan qadla Allah. Zaid bin Datsnah berkata sebagai tolakan atas pernyataan yang diajukan oleh abu Sufyan: “Demi Allah saya tidak rela Muhammad SAW sekarang ada di tempat yang banyak durinya dan menyakitinya, sedang saya dalam keadaan duduk berada dalam keluargaku (Rasulullah dalam keadaan banyak gangguan dan Zaid bin Datsnah dalam keadaan tidak menolong.Pen). Juga Hubaib bin „Ady setelah shalat 2 rakaat sebelum dibunuh berkata: “Demi Allah andaikata kamu sekalian tidak menyangka saya menunda kegelisahan dari pembunuhan dengan shalat, tentu saya akan memperbanyak shalat.” Semua shahabat enam tadi mati shahid dijalan Allah, akan tetapi keputusan yang mereka ambil berbeda walaupun dalam kondisi, tempat dan masalah yang sama, perbedaan itu didasarkan atas pemikiran para shahabat sebelum melakukan aktifitas. Setelah tahu kisah mereka di dalam mengambil keputusan yang tajam dalam kondisi dan masalah yang sama seperti yang dialami sahabat, tentu kita memilih keputusan yang pertama yang diambil oleh pemimpin pasukan dan dua sahabatnya. Karena mereka lebih teliti dan cermat dari yang lain di dalam memahami karakter kaum musyrikin yang tidak pernah memelihara dan menepati janji dan aqod jadi Murtsad al-Ghonawy dan dua sahabat lainnya telah mengetahui sinyal-sinyal maksud kaum musyrikin lebih cepat dari sahabat yang lain.

Dan hal ini tidak bermaksud bahwa keputusan yang diambil Thaariq bin „Abdullah adalah haram atau menyerahnya Hubaib bin „Ady dan Zaid bin Datsnah juga haram karena mereka semuah telah mengambil keputusan setelah pengerahan kemampuan akalnya di dalam memahami dan menghukumi situasi yang terjadi yang tentu pemahaman tersebut didasarkan atas hukum syara‟. Maka seorang muslim setelah mengindera realitas, harus memikirkan realitas yang diindera, kemudian mengambil keputusan yang sesuai didasarkan atas hukum syara‟ yang dihubungkan situasi dan realitas, kemudian melaksanakan atau menahan suatu aktifitas untuk mewujudkan qiimah yang telah ditentukan syara‟ pada aktifitas ini. Firman Allah: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.”(QS.Ali ‘Imran 159). Maka setelah mengambil penegakkan pemikiran yang benar dan menghukumi realitas yang dihadapi, seorang muslim harus menetapkan keputusan yang tegas dan tajam, yaitu kebulatan tekad untuk melaksanakan aktifitas dengan bertawakal kepada Allah. Pengambilan keputusan yang tegas dan tajam yang sesuai adalah perkara yang sangat penting di dalam kehidupan individu dan umat, keputusan yang ditetapkan Hamzah pada hari masuk Islamnya adalah contoh keputusan dari kehidupan Hamzah yang berani dan tepat, serta keputusan Abu bakar di dalam memerangi orang yang tidak mau berzakat contoh juga keputusan yang tajam dari kehidupan daulah yang masih muda. AL-SYAKHSIYYAH (KEPRIBADIAN) Manusia melaksanakan aktifitasnya untuk memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyah dan kumpulan dari aktifiats ini adalah suluk (tingkah laku) manusia. Suluk terikat dengan mafaahim manusia dari al-asyya dan alaf‟aal dan al-hayaah. Suluk adalah yang menunjukkan syakhsiyah seseorang, tidak termasuk di dalam syakhsiyah ini seperti poster tubuh seorang dan baik buruknya tubuh, bentuknya, warna kulitnya atau ras bangsanya. Syakhsiyah adalah thariqah akal manusia terhadap suatu realitas, atau muyulnya terhadap realitas. Arti lain dari Syakhsiyah manusia adalah aqliyah dan nafsiyyah manusia lantas apa aqliyyah dan apa nafsiyyah itu ? A. Al Aqliyyah Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarannnya maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr 7) Manusia mengindera realitas dan mengkaitkan dengan ma‟lumat saabiqah yang ada padanya tentang realitas yang diindera itu, kemudian menghukumi realitas tersebut berdasarkan al-qaaidah al-fikriyyah yang dipakai sebagai parameter di dalam proses berfikirnya. Minyak tanah misalnya, yang sering disebut sebagai emas hitam, realitas minyak akan diindera manusia, dan minyak itu kemudian mempengaruhi hubbu al tamalluknya maka dia akan menghukuminya bahwa minyak tadi bisa memenuhi gharizah baqanya. Akan tetapi qaaidah fikriyah yang digunakan manusia sebagai parameter untuk menghukumi sesuatu disandarkan pada penghukuman yang dahulu sama dengan yang akhir. Maka seorang muslim melihat bahwa minyak tanah yang bisa memuaskan gharizah baqa wajib menjadi milik umum, jika dia mengambil akan menguranginya seperti mengurangi sesuatu yang bukan bagiannya,

maka individu-individu dari masyarakat mempunyai hak atas minyak tanah tersebut. Sedangkan kapitalisme / liberalisme melihat bahwa minyak tanah bisa memuaskan Gharizah baqa dan menjadi milik individu, berhak setiap individu untuk memilikinya asal mampu, tanpa mengindahkan kepentingan yang lain. Seorang wanita cantik secara realitas akan mempengaruhi al-mailu al-jinsi bagi seorang pria, maka dia akan menghukuminya bahwa wanita tersebut bisa memuaskan sebagian dari gharizah nau‟nya. Akan tetapi qaaidah fikriyah yang digunakan manusia sebagai parameter dalam menghukumi realitas, disandarkan kepada penghukuman yang pertama (seorang muslim) berbeda dengan yang akhir (kapitalis). Maka seorang muslim melihat bahwa wanita yang bisa memuaskan gharizah nau‟nya adalah sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara, sedangkan kapitalisme / liberalisme melihat wanita selain bisa memuaskan gharizah nau‟nya, juga sebagai barang perniagaan yang bisa dimanfaatkan untuk pemuasan gharizah baqa, juga bisa digunakan di dalam perwujudan usaha-usaha maadiyyah seperti untuk mata-mata / spionase, mengundang seorang pembesar sebagai jamuan dan lain-lain. Dan sebab perbedaan dalam menghukumi sesuatu yang dilakukan seorang muslim dan kapitalis / liberalis atas minyak tanah dan atas wanita dari perbedaan qaaidah fikriyah yang dibuat landasan berfikir. Maka aqidah Islamiyyah yang timbul darinya hukum-hukum bagi seorang muslim bukanlah aqidah kapitalis / liberalis yang menjadi sumber hukum orang kapitalis. Aqliyah adalah cara berjalan atas asasnya untuk berfikir sesuatu atau disebut juga dengan cara manusia mengaitkan realitas dengan ma‟lumat yang disandarkan pada qaaidah tertentu. Adapun aqliyyah Islamiyyah adalah cara berfikir dan menghukumi tentang al-asyya dan al af‟aal yang berlandaskan atas al-qaaidah al-fikriyyah al-asaasiyyah bagi seorang muslim yaitu aqidah Islamiyyah karena hal itu merupakan hukum-hukum syara‟ yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya dan dengan Tuhannya serta dengan yang lainnya. Seorang muslim menggunakan hukum syara‟ untuk menghukumi alasyya dan al-af‟aal dan hukum-hukum ini bersumber dari aqidah Islamiyyah. Seorang muslim yang mengindera realitas kemudian mengkaitkannya dengan ma‟lumat saabiqah maka ia akan menemukan esensi realitas tersebut, kemudian esensi tersebut dibahas dari hukum syara‟ selanjutnya realitas ini dijelaskannya, jadi proses dari ihsaas sampai ke pengaitan penjelasan berdasarkan hukum syara‟ disebut al-aqliyyah al-Islamiyyah. Barang siapa yang menempuh cara ini di dalam memahami realitas dan menghukuminya, maka berarti telah menggunakan „aqliyyah Islamiyyah, sehingga ia dapat menghukumi bahwa jihad itu fardhu, shadaqoh itu sunnat, buah apel itu mubah dimakan, berobat dengan barang yang najis itu makruh dan zina itu haram karena hukum syara khitob pembuat syara‟ yang dikaitkan dengan aktifitas manusia yang tidak akan keluar dari al-ahkaamu al-khomsah, yakni : fardhu, mandhub / sunat, mubah, makruh dan haram. Jadi aqidah Islamiyyah merupakan sumber munculnya hukum syara‟ yang berasal dari wahyu Allah. Firman Allah: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apaapa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.”(QS.Al hasyr 7). Para sahabat nabi semuanya memegang „aqliyyah Islamiyyah mutamayyizah (modern), setiap mendapatkan dan mengetahui realitas dipandang dari sisi dan visi Islam. Dalam perdamaian hudaibiyyah berkata Ibnu Hisyam yang dinukilkan dari ibnu Ishaq dari Al-Zuhri: Ketika selesai perdamaian Hudaibiyyah, tapi masih di dalam tulisan saja, „Umar bin al-Khaththob bergegas mendatangi Abu Bakar kemudian berkata.” Bukankah dia itu rasululah ?”Abu bakar menjawab:”Betul dia Rasulullah.”

Maka berkata lagi:”Bukankah kita kaum muslimin?” Beliau menjawab: Betul, kita kaum muslimin. Berkata lagi „Umar:” Bukankah mereka kaum musyrikin?” Menjawab Abu Bakar:” betul mereka kaum musyrikin.Berkata Umar:” Untuk apa kita memberi kehinaan pada agama kita ( mengadakan perjanjian dengan mereka ?” Berkata Abu Bakar :” Yaa Umar, tetaplah pada prinsipnya (pegang tegung keputusan yang telah dipegang nabi), maka saya bersaksi bahwa dia adalah Rasulullah..” Abu Bakar dengan „aqliyyah Islamiyyah-nya yang tunggal menemukan bahwa perdamaian Hudaibiyyah adalah jaiz / mubah, maka berkata kepada umar yang belum menemukan hukum atas perkara itu: Tetaplah pada prinsipnya yaitu ikutilah perintah Rasul, Saya bersaksi bahwa Dia adalah Rasulullah.” Maka penghukuman perdamaian Hudaibiyah yang dikatakan Abu Bakar berangkat dari pemikiran aqiidah Islamiyyahnya, yakni dengan adanya persaksian beliau terhadap kerasulan Muhammad…, dan datang perkara ini dari Allah SWT. Adapun „Umar bin al-khaththab juga menggunakan aqiidah Islamiyyah mutamayyizah, terbukti dia telah berkata kepada Abu Bakar: “Saya bersaksi bahwa dia adalah Rasulullah”, kemudian beliau mendatangi Rasul dan berkata: “Wahai Rasulullah bukankah anda seorang Rasul? Rasul menjawab:” Benar saya Rasul. Berkata „Umar:” Untuk apa kita memeberikan kehinaan pada agama kita ? Jawab Rasul: Saya hamba Allah dan Rasul-Nya dan tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Allah juga tidak akan mengabaikan saya. Berkata al-Zuhri:”maka „Umar berkata:”Saya senantiasa bersodaqoh, berpuasa, shalat dan memerdekakan budak, saya takut dan berlindung kepada Allah dari perkataan yang saya katakan dan mengharap semua perkataan saya menjadi baik. Maka „Umar berkata: “ Saya bersaksi bahwa dia adalah Rasulullah”, menerangkan bahwa beliau masih muslim, dan masih mengambil penghukuman terhadap sesuatu berdasarkan Islam, lalu beliau pergi kepada Rasul dan melaksanakan dengan ridlo terhadap perdamaian Hudaibiyah. Maka „aqidah Islamiyyah yang digunakan manusia sebagai parameter untuk menghukumi realitas itulah yang membatasi dan membedakan dengan al-aqliyyah yang lain, maka siapa yang berfikir terhadap realitas dari perspektif Islam (Islamic thinking oriented) itulah „aqliyyah islamiyyah dan siapa yang berfikir terhadapa realitas dari perspektif kapitalisme / liberalis maka itulah „aqliyyah kapitalisme dan siapa berfikir terhadap realitas dari perpektif komunis, maka itulah aqliyyah komunisme yang tidak modern. B. Al Nafsiyyah Tidak sempurna Iman salah seorang diantara kamu hingga nafsunya mengikuti apa yang datang dari saya (Nabi). (Al-Hadits) Gharizah dan haajaah „udwiyyah yang dimiliki manusia menuntut pemenuhan, yang akan mendorong manusia melakukan aktifitas pemenuhan tersebut. Manusia akan bergerak secara fitri sebagai pemenuhan (isyba‟) yang disebut dengan dorongan-dorongan (dawaafi‟), maka jika dibiarkan manusia di dalam dorongan-dorongan ini tanpa aturan dan patokan, manusia akan memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyah menurut hawa nafsunya, sehingga haruslah dorongan-dorongan tersebut dikaitkan dengan mafaahim manusia tentang al-a‟maal dan al-asyya. Karena mansuia hidup di dalam masyarakat, maka konsekwensinya disitu harus ada pemikiran-pemikiran tertentu di dalam menghukumi alasyya dan al-af‟al, yang bisa mempengaruhi dan mengakses kepada masyarakat. Sehingga pemikiran tersebut dijadikan sebagai mafahin tertentu untuk menghukumi terhadap dorongan-doronga tersebut. Pengkaitan antara

dorongan-dorongan manusia dan mafahimnya disebut dengan muyul (kecenderungan). Maka muyul itu lebih tinggi dari dorongan-dorongan karena muyul itu dorongan-dorongan yang dikaitkan dengan mafahim. Dorongan-dorongan pemenuhan ada di dalam manusia dan hewan, sedangkan muyul ada pada manusia dan tidak ada pada hewan, karena beda fundamen manusia dengan hewan pada idraak / tafkir, manusia bisa berfikir, hewan tidak dan dengan tafkir saja didapatkan mafahim. Maka nafsiyyah adalah cara mengkaitkan manusia di dalam dorongan-dorongan pemenuhan dengan suatu mafahim, dan mafahim ini kembali kepada pemikiranpemikiran tertentu yang bersumber dari perspektif kehidupan dalam arti hidup itu dibatasi atau tidak. Maka jika mafaahim itu muncul dari „aqiidah islamiyyah tentu nafsiyyahnya adalah nafsiyyah Islamiyyah, begitu juga jika mafahimnya muncul dari aqiidah komunis atau kapitalis maka nafsiyyahnya adalah komunis dan kapitalisme. Dan jika mafahimnya muncul dari qaidah / aturan yang bermacam-macam berarti nafsiyyahnya adalah nafsiyyah yang kacau dan cenderung anarchisme. Nafsiyah adalah yang menjadikan manusia mendahulukan beraktifitas atau menahan beraktifitas dan nafsiyah inilah yang menghukumi dan memutuskan di dalam dorongan-dorongan gharizah dan haajaah „udwiyyah. Seorang muslim sebelum diharamkan khamr, suka meminum khamr, karena mafahimnya terhadap khamr adalah mubah / boleh, maka ketika turun ayat : “Sesungguhnya syaiton itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maaidah 91). Ketika mendengar ayat pengharaman khamr di atas, mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah menghentikan meminum khamr dan menahan mereka yang masih terbelit dengan minuman khamr, lalu dilanjutkan penumpahan seluruh khamr di jalan-jalan madinah, setelah itu mereka tidak meminum khamr lagi. Maka perubahan pemahaman dari khamr, telah merubah muyul mereka kepada khamr. Dan kecenderungan baru ini adalah hasil dari pengkaitan dorongan-dorongan dengan mafahim (nafsiyyah). Mafahim islam datang untuk merubah muyul orang Arab (untuk pertama kali) dan dengan mafahim Islam ini telah mampu merubah totalitas muyul mereka sampai akar-akarnya. Kita bisa menyimak kisah dua saudara sekandung, salah satunya masuk Islam yaitu Muhayyishoh bin Mas‟ud dan satunya lagi masih kafir, Yaitu Huwayyishoh bin Mas‟ud. Ketika Rasulullah menyuruh sahabat yang muslim yaitu Muhayyishoh untuk membunuh Ka‟ab bin Yahuudza. Kemudian saudaranya yang kafir yaitu Huwayyishoh mencela Muhayyishoh seraya berkata: Apakah engkau telah membunuh Ka‟ab bin Yahuudza, sungguh ka‟ab telah sering memberi makan kamu dan tumbuh di dalam perutmu hartanya, sungguh engkau tercela Muhayyishoh. Maka Muhayyishoh bin Mas‟ud menjawab: “ Sungguh Rasul telah menyuruh saya untuk membunuhnya, seandainya Rasul menyuruh saya membunuh kamu maka akan kubunuh kamu. Huwayyishoh menjawab: Demi Allah sungguh agama yang datang padamu itu betul-betul mengagumkan, maka Masuk Islamlah Huwayyishoh bin Mas‟ud. Maka nafsiyyah Muhayyishoh bin Mas‟ud adalah adanya pengkaitan dorongan-dorongan dengan mafahimnya, sehingga menjadikan muyulnya berdasarkan hukum syara‟ hal ini jelas dari perkataan Muhayyishoh kepada Huwayyishoh: “Sungguh Rasul menyuruh saya membunuh Ka‟ab, sehingga seandainya Rasul menyuruh saya membunuh kamu tentu aku akan

membunuhmu”, jadi tidak berdasar gharizah atau kemaslahatan, seperti yang dijadikan pegangan saudaranya yang akfir. Dan itulah nafsiyyah yang benar seperti yang diajarkan Islam sehingga menjadikan kekaguman saudara yang kafir, yang dilanjutkan dengan proklamasi dirinya menjadi Islam. C. Asy-Syakhsiyyatu ‘Aqliyyatun Wa Nafsiyyahtun “Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga aku (nabi) dijadikan akalnya untuk berfikir.” (Al Hadits). “Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu hingga nafsunya mengikuti apa yang datang dari saya (nabi) atau Al hadits. „Aqliyyah adalah cara yang berlandaskan asasnya berfikir tentang realitas, atau juga disebut cara manusia mengkaitkan ma‟lumat saabiqah dengan realitas berdasarkan kepada qaaidah tertentu. Dan nafsiyyah adalah cara manusia mengkaitkan dorongan-dorongan pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah dengan mafahimnya, atau disebut juga dengan muyul yang merupakan hasil dari pengkaitan mafahim dengan dorongan-dorongan. Lantas apa pengait antara aqliyyah dan nafsiyyah? Sesungguhnya sudah merupakan urusan alami manusia adalah berfikir tentang al-asyya dan al-a‟maal, kemudian menghukuminya berlandaskan qaaidah tertentu seperti aqidah yang dipegangnya. Dari tafkir ini akan dihasilkan mafahim yaitu menjadikan pemikirannya sebagai dalil-dalil atas realitas yakni indera menemukan relitas atau tergambarnya realitas di dalam otak dan meyakininya seperti menemukan realitas yang bisa diindera langsung. Mafahim ini mempengaruhi pada dorongan-dorongan pemenuhan. Maka jadilah baginya muyul pemenuhan sebagai hasil dari pengkaitan antara mafaahim dengan dorongan, bagi mafahim ada ikatan antara „aqliyyah manusia dengan nafsiyyahnya, karena mafahim yang terbentuk adalah dari jalan berfikir tentang realitas (aqliyyahnya) yang akan menghukumi muyul yang dihasilkan dari pengkaitan antara mafaahim dan dorongan-dorongan (nafsiyyahnya). Dan pengkaitan antara „aqliyyah dan nafsiyyah nampak jelas di dalam syakhsiyyah mutamayyizah contohnya yang bisa diteladani adalah Anas bin Nadhor salah satu sahabat semoga Allah ridlo padanya, dalam perang Uhud beliau bersama „Umar bin al-Khaththab dan Tholhah bin „Ubaidillah melewati kelompok shahabat muhajirin dan anshor, kelompok shahabat tersebut duduk dan melemparkan senjatanya setelah tersebar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Maka Anas bin nadhor berkata kepada mereka:” Apa yang membuat anda sekalian duduk? Mereka menjawab: “ Rasulullah SAW terbunuh”, berkata Anas bin Nadhor: “ Apa yang akan anda perbuat dengan hidup anda setelah Rasulullah mati? (apakah anda akan berhenti berjuang dengan wafatnya Rasul SAW?) bangkit dan matilah seperti matinya Rasulullah, kemudian mereka bangkit dan menghadapi kaun Quraisy lalu memeranginya sehingga mereka mati syahid. Suluk dari Anas bin Nadhor menunjukan sebuah syakhsiyyah mutamayyizah, menunjukan adanya ikatan yang kuat antara „aqliyyah dan nafsiyyahnya. Anas bin Nadhor mengindera realitas yakni para shahabat membiarkan tidak saling menolong dalam peperang an setelah tersebar berita terbunuhnya Rasululah dan Anas bin Nadhor mengikatkan realitas dengan ma‟lumat saabiqah (pahitnya kekalahan dan haramnya berpaling pada hari kepayahan pada waktu perang dan pengaruh tersebarnya kematian Rasulullah pada shahabat) Anas bin nadhor berpijak dari pemikiran qaaidah asasiyyah yaitu aqidah Islamiyyah dan bahwa peperangan itu wajib dan

balasan bagi mujahid atau mati sahid adalah surga juga ajal itu sudah ditentukan Allah dan lari dari peperangan adalah haram. Pemikiran-pemikiran ini bagi Anas bin Nadhor sebagai mafahim karena beliau yakin dan percaya atas pemikiran tersebut, kemudian mengkaitkan antara mafahim ini dengan dorongan-dorongan gharizah baqa‟ yang terlihat madhahirnya dari para sahabat yaitu menjaga kehidupan dan takut dari mati, kemudian Anas bin Nadhor menyesuaikan dorongan-dorongan ini dengan mafahimnya maka jadilah mereka cenderung untuk berperang walaupun mereka melaksanakan sesuatu yang kontradiksi dengan dorongan-dorongan gharizahnya, maka „aqliyyah Anas bin Nadhor adalah aqliyyah Islamiyyah beliau bisa merubah dorongan-dorongannya dan menjadikannya sebagai muyul yang Islamiyyah, sehingga jadilah nafsiyyahnya cenderung berperang melawan musuh dan lebih baik mati sahid menyusul Rasulullah. Sungguh Anas bin Nadhor telah menterjemahkan Syaksiyyah mutamayyizah yang tinggi kepada suluk yang menjasad (mengkristal) dalam dirinya dengan memerangi kaum Musyrikin. Adapun aktifitasnya bukanlah Syakhsiyyah buka pula „aqliyyah dan bukan pula nafsiyyah akan tetapi merupakan bekas dari bekas-bekasnya syakhsiyyah,‟aqliyyah dan nafsiyyah. Syakhsiyyah kadang-kadang bisa berbentuk syaksiyyah mutamayyizah dan syaksiyyah ghairu mutamayyizah. D. Syakhsiyyah Mutamayyizah Syakhsiyyah mutamayyizah adalah syakhsiyyah yang antara aqliyyah dan nafsiyyah dalam satu jenis yakni dari satu sumber aqidah, maka muyulnya ikut pada mafahimnya, yaitu nafsiyyahnya ikut kepada aqliyyahnya, yaitu kecenderungan kepada al-asyya dan al a‟maal di dalam memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyah berdasarkan mafahim yang bersumber dari qaiidah fikriyyah asasiyyah yang semua pemikiran disandarkan kepadanya. Sehingga syakhsiyyah mutamayyizah mempunyai warna tertentu, dan haruslah qaaidah fikriyyah asassiyyah yang timbul darinya hukum-hukum pemiliknya sebagai penghukum atas realitas, qaaidah asasiyyah „ammah hendaknya sebagai rujukan, karena darinya bersumber hukum-hukum yang lazim untuk mengatur hubungan manusia, dengan tuhannya, dirinya dan lainnya. Dan hal itu tidak akan bisa datang kecuali jika qaaidah asasiyyah sebagai fikroh kulliyyah (pemikiran yang total) dari kaun, insan dan kehidupan, sehingga dijadikan qaidah asasiyyah sebagai pengurai problema besar („uqdatul Kubra) bagi manusia, yaitu pemenuhan perasaan kekurangan, kelemahan dan membutuhkan yang kemuadian akan muncul nidhom pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah secara keseluruhan. Syakhsiyyah mutamayyizah tidak akan ada kecuali sebagai mabda, seperti syakhsiyyah Islamiyyah, syakhsiyyah ro‟sumaaliyyah, syakhsiyyah syuyu‟iyyah, karena aqliyyah dan nafsiyyah seluruh darinya menggunakan ukuran pemikiran dan muyul dari aqidah aqliyyah yang terpancar darinya nidhom yang mengatur seluruh hubungan manusia dan itulah mabda, atau lebih mudahnya mabda adalah pemikiran yang mendasar yang diatasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain. Dan syakhsiyyah Islamiyyah yang tinggi sebagai al-diin Islam menyebar di atas bumi, sudah berjasad pada diri manusia yang beriman kepada aqiidah Islamiyyah, sebagai fikroh kuliyyah atas kaun, insan dan kehidupan serta apa-apa sebelum hidup di dunia dan apa-apa setelah hidup di dunia dan hubungan antara sebelum dan sesudah hidup di dunia. Jadilah aqidah ini sebagai qaaidah fikriyyah yang diatas asasnya seorang muslim berfikir, dan mengkaitkan realitas dengan ma‟lumat saabiqah dan menghukumi realitas

dengan parameter hukum syara‟ yaitu: fardlu, madhub, mubah, makruh dan haram. Dan jadilah aqidah ini sebagai asas pada muyulnya maka jadilah mafahimnya mengkaitkan dengan dorongan-dorongan pemenuhan yang merupakan reaksi dari aksi thaaqah hayawiyyah yang berupa gharizah dan haajaah „udwiyyah. Dan dengan itu jadilah syakhsiyyah islamiyyah adalah syaksiyyah mutamayyizah, aqliyyah dan nafsiyyah dari satu jenis, yang keduanya disandarkan kepada satu qaaidah asasiyyah yaitu aqiidah Islamiyyah. Syakhsiyyah Islamiyyah seseorang berbeda dalam kekuatannya, seorang muslim yang menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai asas di dalam pemikiran dan kecenderungannya, maka dialah yang bisa dikatakan mempunyai syakhsiyyah Islamiyyah, selain itu pemilik syaksiyyah ini sangat suka mengerjakan yang sunat disamping yang fardhu dan menjauhi dari yang makruh dan juga yang haram, mengerjakan yang mubah yang dekat dengan sunat dan fardhu dan menahan dari mengerjakan yang mubah yang dekat dengan haram-dan makruh. Jika bisa mengerjakan seperti itu maka itulah syaksiyyah islamiyyah saamiyyah (tinggi), pelakunya mampu mengkaitkan dan menguatkan fikroh dan muyulnya, oleh sebab itu aktifitasnya dilakukan dengan mafahim Islamiyyah. Seorang Muslim yang merasa cukup dengan mengerjakan yang fardhu dan mubah dan sebagian yang mandhub, serta menahan dari pekerjaan haram dan sebagian yang makruh, maka dia mempunyai syaksiyyah Islamiyyah adl‟af dari syakhsiyyah Islamiyyah saamiyyah, yakni secara hierarki berada di bawah syakhsiyyah islamiyyah saamiyyah yang disebutkan di atas. Dan jika seorang, muslim merasa cukup dengan mengerjakan yang fardhu dan mubah saja, serta menahan dari mengerjakan yang haram, dan tidak merasa bahaya dan khawatir untuk mengerjakan yang makruh dan meninggalkan yang mandhub maka dia mempunyai syaksiyyah dlo‟iifah / lemah, secara hierarki berada di bawah syakhsiyyah Islamiyyah adl‟af. Dari tiga contoh di atas terdapat derajat perbedaan yang kuat dan lemahnya syaksiyyah islamiyyah seorang muslim. Kadang-kadang seorang muslim menempuh yang haram atau meninggalkan yang fardhu, dan syaksiyyah islamiyyahnya hanya masih sebagai asas untuk pemikiran dan muyulnya saja, atau masih sebagai aqliyyah dan nafsiyyahnya saja karena adanya lubang kekosongan di dalam suluknya yang sebetulnya seorang muslim tidak akan lepas dari suluk tersebut sebagai komponen lengkap syaksiyyah Islamiyyah maka kadangkadang seorang muslim lupa atau salah di dalam mengkaitkan suatu pemahaman dari mafahim dengan aqidah islamiyyah dan kadang-kadang tidak tahu adanya kontradiksi antara muyulnya dengn aqidah, maka jadinya dia menghukumi waqi‟ / realitas dengan hukum yang tidak islami sehingga kecenderungan melaksanakan aktifitas yang tidak diakui syara‟. Rasul berkata kepad mereka:” Wahai Hatib apa yang membawamu atas perkara ini”? Hatib menjawab:” Wahai Rasulullah demi Allah saya masih seorang mu‟min yang percaya kepada Allah dan Nabi-Nya, dan saya tidak akan merubah dan mengganti keimanan saya, akan tetapi saya sebagai Qurasy asli dan juga keluargaku, maka jagalah keluarga saya dan jangan perangi kaum Qurasy.”. Maka Umar bin al-Khaththab berkata: “ Wahai Rasulullah biarkan saya mematahkan batang lehernya, karena orang ini telah munafiq”, Bersabda Rasul:” Apa yang engkau ketahui wahai Umar sungguh Allah telah mengetahui sahabat Badr pada peperangan Badr, selanjutnya sabda Rasul:”Lakukanlah apa yang kamu semua kehendaki sungguh saya memohon

ampun dan memaafkan kalian, maka Allah menurunkan ayat kepada Hatib bin Abi Balta‟ah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita muhammad), karena rasa kasih sayang.” (QS. Al Mumtahanah 1 ). Haatib bin Abi Balta‟ah masih sebagai seorang muslim, syakhsiyyahnya Islamiyyah, dia tunduk untuk melakukan aktifitas yang haram, yaitu memata-matai kaum muslimin dan dia berhak mendapat hukuman, terkecuali dia tidak mengingkari aqidah Islamiyyah, dan tidak pisah darinya qaaidah asasiyyah di dalam tafkir dan muyulnya, hal ini ditunjukukkan dengan jawaban yang diberikan kepada Rasulullah,”Sungguh saya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan saya tidak akan mengganti atau merubah iman saya”‟ akan tetapi dia membenarkan tindakannya yang bertentangan dengan hukum syara‟ karena dia ingin menjaga keluarganya yang ada di Makkah, dan dalam tindakan ini dia tidak mengkaitkan muyulnya dengan mafahim Islamiyyahnya, dan dia menjalankan gharizah nau‟nya untuk menjaga anaknya dan keluarganya sehingga di dalam perilakuknya ada lubang kekosongan pada suluknya, sebagai hasil dari kecenderungannya yang terlepas dari sasaran / majal aqidah Islamiyyah, dan itulah yang menarik dia untuk mengutamakan gharizah al nau‟nya. Demikian juga para shahabat bertindak di dalam perang uhud dan perang bani mustholaq mereka tidak keluar dari syakhsiyyah Islamiyyah. Sungguh hal ini telah disifati oleh dalil syar‟iyyah dari Al-qur‟an dan Al-Hadits akan syakhsiyyah Islamiyyah ini kepada Shahabat dan orang mu‟min, Firman Allah: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang kafir, tapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku‟ dan sujud mencari karunia Allah dan Keridloan-Nya.”(QS. Al Fath 29). Dan firman Allah tentang Jihad mereka: Dan mereka menolong Allah dan Rasulnya,” (QS.Hasyr 8). “Mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka.” (QS. An Anfaal 72). Dan Allah mensifati mereka di dalam „ibadahnya, firman-Nya: “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al Furqaan 64). Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan Harap, dan mereka menafkahkan sebagaian rizqi yang Kami berikan kepada mereka” (QS. As Sajdah 16). “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al Ma’aarij 244-25) “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang melawat (mencari ilmu atau berjihad), yang ruku‟ yang sujud, yang menyuruh berbuat ma‟ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakannlah orang-orang mu‟min itu.” (QS. At Taubah 112). Dan Allah mensifati akhlaqnya dengan firmanNya: “Dan Hamba-hamba Tuhan yang maha Penyayang itu (ialah) orang orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan 63). “Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujuraat 15 ). “Mereka tidak meminta kepada orang-orang secara mendesak.” (QS.Al Baqarah 273). “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.” (QS.Ali ‘Imran 134).

Sabda Nabi SAW: “Sahabat-sahabatku seperti bintang jika kamu mengikutinya, tentu akan mendapat petunjuk.”(Al Hadits). Bagi mereka tampak sekali syakhsiyyah islamiyyahnya yang tinggi, mereka mengumpulkan antara ibadah dan siayah, antara kepemimpinan dan pemeliharaan rakyat, antara kasih sayang dan „adil antara bangun malam dan berjihad, kesemua itu mereka mencari apa yang diberikan Allah berupa rumah akhirat dan tidak melupakan nasib mereka di dunia, mereka menahan diri mereka dari menahan diri dari meminta walaupun mereka miskin dan mengkoreksi pemimpin yang dholim. Dalam berjuang dijalan-Nya tidak takut celaan orang suka mencela, akal dan kecenderungan mereka mengikuti apa yang datang dari Allah dan rasul-Nya, karena mereka berfikir dan memahami sabda Nabi: “Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga (Nabi) dijadikan akalnya untuk berfikir.” (Al-Hadits) “Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu hingga nafsu mengikuti apa yang datang dari saya (Nabi).” (Al Hadits) E. Asy-Syakhsiyyah Ghoiru Mutamayyizah “Dan jika dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al Baqarah 11). Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah mempunyai indikasi aqliyyah pemiliknya bukanlah nafsiyyahnya, jadi bukan satu sumber yang saling mendukung, tidak ada sinkronisasi. Syakhsiyyah ghoiru Mutamayyizah dipakai manusia jika qaaidah yang dibangun di atas asas pemikirannya bukanlah qaaidah yang dibangun atas asas muyulnya maka dia akan menghukumi al-asyya dan al-af‟aal dengan parameter qaaidah yang digunakan berfikir tentang realitas (yaitu aqliyyahnya), ketika cenderung memuaskan gharizah dan haajaah „udwiyyahnya berdasarkan mafahim yang diambil dari qaaidah lain yang digunakan dalam pengkaitan antara mafahim dngan dorongan-dorongannya (yaitu nafsiyyahnya). Orang yang mempunyai syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah nampak padanya kekacauan, kegoyahan di dalam suluknya, karena tafkirnya bukanlah muyulnya, maka mereka memberikan hukum-hukum terhadap realitas berbeda dengan muyulnya dan tindakannya yang ditunjukan pada realitas ini. Dan sungguh nampak syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah ini dalam masyarakat Madinah Munawwarah pada zaman rasulullah SAW, ketika menampakkan keislamannya sekaligus menyamarkan kekufurannya, dan jadilah mereka menghukumi atas al-asyya dan al-af‟aal dari visi Islam, akan tetapi muyulnya masih tunduk pada mafahim jahilliyyah yang disandarkan pada kekufurannya. Dan Allah telah mensifati mereka secara detail di dalam Al-Qur‟an yang menerangkan kontradiksi aqliyyah dan cara menghukuminya beserta muyul dan aktifitasnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 8 -14: “Diantara manusia ada yang mengatakan : Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka : “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab:

Sesungguhnya kami orang-orang yang mengdakan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka : Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain yang telah beriman, mereka menjawab: Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman? Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitansyaitan mereka mengatakan: Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hannyalah berolok-olok.” (QS.Al Baqarah 4-14). Allah SWT berfirman: “Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenarannya) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras, dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS. Al Baqarah 204-205). Maka ucapan mereka menunjukan aqliyyahnya, tampak mereka sepertinya seorang muslim, maka mereka mengatakan: kami beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir dan ditambah dengan kamuflase / penyamarannya dengan bersaksi Allah tuhannya yang ada di hati, akan tetapi muyulnya senantiasa berjalan dengan mafahim kufur , karena sebenarnya kufur itulah aqidahnya dan mereka melaksanakan aktifitas pemuasan gharizah dan haajaa „udwiyyah dibangun atas mafahim kufur. Maka mereka mengadakan kerusakan di bumi memusuhi manusia dan menggunakan berbagai cara dan alasan untuk menahan peperangan, dan lebih parah lagi mengendurkan pasukan yang lain, seperti yang terjadi ketika perang Uhud dimana mereka mengundurkan diri dari pasukan kaum muslimin sebelum dimulai peperangan menghadapi kaum musyrikin. Dan juga syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah yaitu yang menggunakan qaidah-qaidah tertentu sebagai ukuran dalam tafkir dan muyulnya, yakni qaidah tertentu itu sebagai aqliyyah dan nafsiyyahnya. Akan tetapi qaidah-qaidah ini hanya memancarkan aturan-aturan yang mengatur pemuasan sebagian hubungan-hubungan manusia seperti nasrani sekarang ini yang hanya mengatur sebagian gharizah dan haajaah „udwiyyah saja, sehingga, membuat pemeluknya mengalami kekacauan dan kegoyahan. Sebab dalam mengatur sisa pemuasan gharizah dan haajaah „udwiyyah lain, berdasar qaidah-qaidah lain dan nidhom yang lain. Qaidah tersebut tidak memberikan fikroh kulliyyah (pemikiran totalitas) tentang kaun (fenomena alam), manusia dan kehidupan yang darinya terpancar nidhom syamil (lengkap) dan kamil (sempurna) yang mengatur seluruh hubungan manusia. Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah kadang-kadang anarchis, karena pemilik aqidah ini tidak mengambil qaidah yang tetap untuk aqliyyah dan nafsiyyahnya, maka pemikiran dan muyulnya ditujukan kepada al-asyya dan al-af‟aal yang keduanya berbeda, bertentangan dan dipengaruhi lingkungan yang satu beda dengan yang lain. Karena pemilik syakhsiyyah ini tidak menggunakan qaidah tertentu yang tetap, dalam menghukumi al-asyya dan al-af‟aal maka timbullah hukumhukum yang berbeda dalam satu perkara seperti mengharamkan daging untuk dirinya pada satu saat, dan dilain waktu menghalalkannya kembali. Dan juga pemilik syakhsiyyah tidak menggunakan qaidah tertentu yang tetap untuk nafsiyyahnya, maka pada waktu tertentu mereka cenderung memuaskan gharizah tadayyunnya dengan menyembah matahari, kemudian meninggalkannya dan beralih menyembah sungai. Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah kadang-kadang bersifat rutinitas / stagnasi, pemiliknya menggunakan patokan-patokan yang tetap untuk

menghukumi al-asyya dan al-af‟aal yang terindera baginya, qaidah ini tidak akan bisa meluas untuk menghukumi al-asyya dan al-af-„aal yang diperbaharui. Muyulnya dibatasi qaidah yang baku ini tanpa adanya subyek atau obyek terhadap apa yang diketahui dari realitas-realitas, maka jadilah rutinitas / terus menerus di dalam tafkir dan muyulnya, maka tinggallah tindakan-tindakannya seperti sebuah alat yang disetir manusia pada waktu bergerak di jalan tanpa bisa berinisiatif, sehingga bila diperlihatkan padanya peristiwa-peristiwa baru, maka berhentilah otaknya dan kosong, perasaannya menjadi pandir, maka tidak dia tidak bisa berfikir untuk menghukumi peristiwa tersebut, dan muyulnya tidak bisa membatasi dengan parameter yang dihadapi dari peristiwa tadi. F. Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha sucu Engkau , maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 191). Manusia mendapatkan pengetahuan-pengetahuannya dari jalan indera. Alat terpenting dari indera yang berperan di dalam mendapatkan pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan. Firman Allah: “Dan kami jadikan bagi mereka pendengaran, penglihatan dan hati.” (QS.AlAhqaaf 26). “Dialah yang menciptakan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati .” (QS. Al Mu’minuun 78). “Dan (Allah) memberi bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl 78). Pendengaran dan penglihatan adalah dua indera yang melalui keduanya manusia mendapatkan sebagian pemikiran-pemikirannya bahkan bisa dikatakan semuanya. Dalam pembentukan syakhsiyyah Islamiyyah haruslah dengan pemberian pemikiran-pemikiran Islam untuk pembentukan aqliyyahnya, dan kemudian nafsiyyahnya serta metode yang baik untuk pemberian dan pengambilan pemikiran-pemikiran, adalah dengan cara al-talqiy al-fikry, (pola pemberian ide dengan dengan pendekatan pemikiran) dengan cara ini manusia mengambil dengan pemikiran-pemikiran dari jalan mendengar atau membaca, maka dia akan mendengar atau membaca kalimat-kalimat , kemudian memaknai maknanya seperti apa yang ada pada kalimat tersebut, bukan apa yang dikehendaki oleh pembaca atau apa yang dikehendaki oleh pengulas bukunya, kemudian memahami dalil-dalil dan makna kalimat makna tersebut seperti apa yang ada pada realitas maka jadillah bacaan yang sudah masuk dalam afkarnya sebagai mafahim, bukan sekedar berupa lapadz saja, karena bacaan tersebut mempunyai dalil-dalil yang bisa diindera sehingga pembaca realitas (bacaan) tersebut bisa mengungkapkannya dengan bahasanya dan dapat mentransfer pemikiran-pemikiran ini kepada yang lain dengan jalan seperti yang ia dapatkan sebelumnya, yaitu al-talqy al-fikri. Sesungguhnya pemikiran itu fitri ada pada manusia, adapun yang menjadikan aqiidah Islamiyyah sebagai qaaidah fikriyyah asaasiyyah pada pemikirannya dalah aktifitas yang dilakukan manusia sendiri, dan aktifitas ini membentuk aqliyah Islamiyyah yang bisa menjadikan pemiliknya berfikir berdasarkan asas-asas Islam. Gharizah dan haajaah „udwiyyah fitri ada pada manusia, adapun yang menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai qaaidah fikriyyah asaasiyyah adalah juga aktifitas yang dilakukan manusia itu sendiri. Dan aktifitas ini akan membentuk nafsiyyah Islamiyyah, yang akan menjadikan pemiliknya bisa

mengkaitkan dorongan-dorongan pemenuhan dengan mafahim Islamiyyah, maka muyulnya akan muyul Islamiyyah yang akan cenderung kepada yang halal dan berpaling dari yang haram. Maka tafkir dan muyul yang ada pada manusia juga sebagai fitrah, adapun dijadikannya aqidah Islamiyyah sebagai asas di dalamnya bertafkir dan muyulnya ini juga dari usaha manusia itu sendiri. Maka suatu keniscayaan bagi siapa yang ingin membentuk syakhsiyyah pada manusia haruslah dimulai dengan asas ini, yakni aqiidah Islamiyyah, dan itu dengan pengajaran aqidah, menggunakan pendekatan pendidikan secara aqliyyah bukan secara talqin (pendiktean secara lisan). Karena dengan aqliyyah ini akalnya akan bisa menetapkan dan faham bahwa Allah itu ada. Al-Qur‟an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang kemudian bisa mengimani terhadap apa yang datang dari Al-Qur‟an dan semua di atas adalah hasil dari penggunaan aqidah aqliyyah. Setelah pembentukan asas ini yaitu aqidah Islamiyyah, harus dipasok pemikirannya dengan tsaqofah Islamiyyah sebagai input yang akan memperkuat pemikirannya dari penambahan Tsaqofah Islamiyyah ini diharapkan mempunyai kapabillitas berfikir tentang al-asyya dan al-af‟aal berlandaskan asas-asas Islam. Tsaqofah ini kadang-kadang bersifat aqliyyah seperti tauhid, daan kadang bersifat syar‟iyyah seperti fiqih dan tafsir dan kadang bersifat lughowiyyah (bahasa) seperti nahwu dan balagoh, dan manusia berbeda di dalam menyerap tsaqofah ini karena perbedaan kemampuan aqliyyahnya dan kekuatan al-ribthnya (penghubungan ma‟lumat yang satu dengan ma‟lumat lainnya). Seorang muslim yang hanya mengambil aqidah Islamiyyah sebagai asas di dalam aqliyyah dan nafsiyyahnya yaitu sebagai asas di dalam tafkir dan muyulnya, sudah representatif akan adanya syakhsiyyah islamiyyah dalam dirinya, karena dengan itu dia bisa menghukumi realitas berdasarkan aqidah Islamiyyah, dan bisa menentukan posisi dirinya terhadap al-asyya dan alaf‟aal yang bisa memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyahnya berdasarkan aqidah Islamiyyah, maka dia akan cenderung kepada yang halal dan berpaling dari yang haram. Untuk pengembangan aqliyyah Islamiyyah haruslah dengan penambahanpenambahan tsaqofah islamiyyah yang akan menjadikan seorang muslim mampu mengambil hukum syara‟ dengan usahanya sendiri melalui penggunaan dalil-dalil syar‟iyyah dan juga akan menjadikan dia mampu membentuk aqliyyah Islamiyyah dengan tsaqofah ini. Sedang untuk mengembangkan nafsiyyah islamiyyah haruslah dengan cara pengkaitan dorongan-dorongan gharizah dengan mafahim sebagai hasil dari aqliyyah Islamiyyah, maka haruslah dikondisikan hidup dalam cakrawala keimanan dari dirinya sendiri, maka hal ini adalah dengan cara memperbanyak amalan-amalan mandhub seperti tadabbur terhadap ayatayat Allah berupa Al-qur‟an dan tadabbur terhadap ciptaan Allah dan muthola‟ah serta mengamalkan sirah rasul dan sahabat seperti seringnya rasul dan sahabat berdo‟a dan qiyaamul lail, firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orangorang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 190-192). Firman Allah :

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur‟an) dan dirikannlah Shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al Ankabut 45). Di dalam cakrawala keimanan seorang muslim akan merasakan ke Maha Agungan dan Maha Kuasanya Allah, dan bertambahlah idraak shillah billah, maka akan memperkuat ke dalaman nafsiyyahnya dan akan menjadikan muyul serta aktifitasnya tunduk pada perintah dan larangan Allah. Pelaksana / Pembina syakhsiyyah Islamiyyah haruslah memperhatikan dalam pembinaan asas-asas yang berdiri dan tegak-nya syakhsiyyah atas asas-asas ini (aqiidah Islamiyyah), sehingga menghasilkan al-tashdiiq al-jaazim (penerimaan kebenaran secara pasti) terhadap aqidah Islamiyyah dan hendaknya thasdiiq sesuai dengan realitas yang terindera dan hendaknya ada dalil-dalil aqliyyah atau naqliyyah yang diyakini atas wujudnya Allah, agar aqidah ini menjadi mafahim dan agar pemikiran-pemikiran yang muncul dari aqidah juga sebagai mafahim. Dalam hal di atas kita mencontoh uswah hasanah dari Rasulullah SAW, di dalam membentuk syakhsiyyah shahabat yang mengkokohkan tiang daulah Islamiyyah yang telah didirikannya dan yang membawa Islam dengan bersih dan jelas kepada manusia. Maka Rasululah SAW melakukan di dalam pembinaan syakhsiyyah yang tanggal ini terstruktur pada garis-garis sebagai berikut: Pertama, mengarahkan pandangan para sahabat kepada makhluqmakhluq yang menunjukan adanya Allah dan kuasa-Nya, firman Allah: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al ‘Alaq 1-2). “Demi fajar dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan yang ganjil. Dan malam bila berlalu . Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.”(QS. Al Fajr 1-5). “Demi langit yang mempunyai gugusan bintang.” (QS. Al Buruuj 1). Bukankah kami telah memberikan padanya dua buah mata. Lidah dan dua buah bibir.”(QS. AL Balad 8-9). Kemudian pandangan Al-Qur‟an adalah kalamullah yang menunjukan kenabian Muhammd SAW, firman Allah: Qaaf, demi al-Qur‟an yang sangat mulia. Mereka (mereka tidak menerima) bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orangorang kafir : “ Ini adalah suatu yang amat ajaib.” (QS. Qaaf 1-2). “Haa miim. Diturunkan dari Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, Untuk kaum yang mengetahui.” (QS.41:1-3). “Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur‟an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.” (QS. Az Zukhruf 3). Dan tantangan kepada mereka yang meragukan Al-Qur‟an, firman-Nya: Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya” Katakanlah “ (Kalau benar yang kamu katakan itu) maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Yunus 38). Mula pertama konsentrasi Islam di dalam pembinaan syakhsiyyah ini adalah pada aqiidah Islamiyyah yang dasar pencariannya dari akal, maka berpindahlah ayat-ayat yang mulia kepada manusia dari penginderaan yang dia ketahui dari kaun, manusia dan kehidupan, kepada penegasan wujudnya Al-Kholiq dan penegasan bahwa Al-Qur‟an adalah kalamullah dan Muhammad adalah RasulNya. Kedua, penjelasan hubungan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, penjelasan ini banyak terdapat pada surat-surat Makkiyyah, Firman Allah:

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangannya (kebaikannya) maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan timbangannya (kebaikannya). Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka hawiyah itu? (yaitu) api yang sangat panas.”(QS. AL Qaari’ah 6-11). Firman Allah : “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kelebihan dunia. Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orangorang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya . Maka surgalah tempat tinggal(nya). (Orang-orang) kafir bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit kapankah terjadinya?” (QS An Naazi’aat 37-42). “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh dengan kenikmatan Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka , benar-benar berada di dalam neraka. Mereka masuk kedalamnya pada hari pembalasan.” (QS. Al Infithaar 13 -15). “Sesungguhnya neraka jahanam itu padanya ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.” (QS. An Naba’ 21-22). “Sesungguhnya orang-orang bertaqwa mendapat kemenangan (Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur.” (QS.An Naba 32-33 ). Inilah hubungan antara dunia dan akhirat dengan hasil final pahala bagi orang yang beriman dan beramal sholeh dan hukuman karena dosa bagi yang kufur dan yang beramal jelek. Syakhsiyyah Islamiyyah dijadikan pijakan berfikir sebelum suatu aktifitas dilaksanakan yang nantinya final dari aktifitas di dunia tergambar dari ni‟mat yang langgeng sebab adzab yang pedih, akan merasakan kelejatan rahmat Allah dan surga-Nya, serta takut akan adzab Allah dari nerakanya, dan selalu meminta keridhoan Allah terhadap segala apa yang dikerjakannya dan akan menjauhi apa-apa yang bisa membuat Allah murka. Ketiga, menuntut kaum muslimin untuk memecahkan problema hidupnya dengan menggunakan asas–asas Islam, oleh sebab itu mereka harus mengetahui hukum syara‟ sebelum melaksanakan aktifitas , maka jika tidak tahu haruslah bertanya kepada yang tahu :Firman Allah : Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl 43). Sehingga para sahabat tidak akan melaksanakan suatu aktifitas sebelum bertanya kepada Rosulnya tentang hukum aktifitas itu, dan ini terjadi pada Khoulah binti Tsa‟labah, yang menyebabkan turunnya ayat kepadanya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya , dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua, Allah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat”(QS.Al Mujaadilah 1). Khoulah binti Tsa‟labah bertanya kepada Nabi SAW tentang hubungannya dengan suaminya Aus bin Shamit yang telah mendziharnya. Dan turunlah wahyu yang merupakan syakhsiyyah Islamiyah bila dilaksanakan, seperti apa yang telah ditanyakan Khoulah binti Tsa‟labah kepada Nabi tentang problematika yang dihadapinya. Contoh lain dari firman Allah SWT tentang hal-hal yang ditanyakan sahabat: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan itu kepunyaan Allah dan Rosul.” (QS. Al Anfal 1). “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan Katakanlah:”Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayatayatnya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. Al Baqarah 219).

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran” oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”(QS. Al Baqarah 222) “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah:”Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur‟an”.(QS. An Nisaa’ 127). Dan Rasul SAW menampakan rasa cinta diantara para shahabat, sehingga mereka bertanya kepada nabi maka nabi menjawabnya dengan apa yang diwahyukan dari Allah untuk memberi pembekalan kepada mereka menuju ke dalaman iman yang bisa menambah perasaaan mereka dengan ketenangan karena shilahbillah. Dan Rasul menjadikan para shahabat cinta kepada Allah sehingga seakan-akan Allah hadir dan mengatur di dalam suluknya. Maka jadilah Islam di dalam diri mereka sebagai aqliyyah dan nafsiyyahnya. Salah satu contoh shahabat adalah Mas‟ud bin Umair, dengan syakhsiyyah Islamiyyah yang diajarkan oleh Rasulullah kepadanya ini, Ia mampu mempersiapkan masyarakat Madinah Munawarah sebagai masyarakat Islami pertama yang dibentuk pada awal Daulah Islamiyyah. Dan syakhsiyyah Islamiyyah saamiyah yang didatangkan oleh Rasul SAW selalu sebagai penolong di dalam menjaga daulah dalam mengemban da‟wah selama hidupnya, sampai adanya khilafah pengggati setelah wafatnya Rasul. Karena adanya kontinuitas hubungan aktifitas dalam pembentukan syakhsiyyah yang disampaikan shahabat dengan berlandaskan asas Islam, hingga berlangsung tetapnya syakhsiyyah mutamayyizah ini sepanjang situasi dan kondisi, di kota-kota dan penjuru Daulah Khilaafah. AL-MUJTAMA’ (MASYARAKAT) “Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhannu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak .”(QS. An Nisaa’ 1). “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. (QS. Al Hujuraat 13). Allah menciptakan manusia sekaligus menciptakan khaasiyah gharraiz, haajah „udwiyyah dan idraak. Salah satu dari gharizah ini adalah gharizah nau‟ contoh dari madhohirnya seperti suka lawan jenis, cinta anak, menghormati orang tua, madhohir gharizah nau‟ di atas terdapat hubungan pria dan wanita, orang tua dan anak. Sedang gharizah baqa contoh dari madhohirnya seperti cinta kaum, cinta tanah air, cinta kekuasaan, cinta penghormatan, madhohir ini terdapat hubungan antara individu-individu dalam kabilah atau keluarga atau putera negeri. Gharizah baqa mendorong manusia saling menolong dengan yang lain, karena rasa takut kehilangan keberadaannya dari bahaya, ganguan, yang secara konvensional adanya rasa takut dari bahaya binatang buas, sungai yang dalam, gangguan manusia dan lain sebagainya. Itu semua ditanggulangi dengan cara membangun rumah, dinding-dinding penghalang yang semuanya membutuhkan bantuan bantuan dari yang lain, karena manusia secara individu tidak bisa melakukan sendiri, inilah yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan yang lain karena adanya kebutuha yang mendesak di dalam hidupnya. Serta gharizah tadayyun, yakni adanya perasaan kurang, lemah dan membutuhkan yang lebih darinya, mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa menutupi kelemahan ini, maka dia membangun hubungan dengan sesama individu untuk menutupi kekurangan ini, juga ada dalam

usaha ini mereka yang mentaqdiskan manusia yang lain, seperti yang terjadi pada zaman mesir kuno yang menyembah Fir‟aun. Manusia terdorong melakukan hubungan ini karena gharizah dan haajaah „udwiyyah yang ternyata membutuhkan hubungan dengan yang lain, karena itu diciptakan hubungan yang bermacam-macam diantara manusia, hal ini agar mereka bisa mempersiapkan dirinya di dalam pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyahnya. Maka itulah manusia beradab dengan segala tabiatnya, karena gharizah dan haajaah „udwiyyahnya mendorong untuk hidup bersama dengan yang lain, dengan berusaha menyambung hubungan dengan sesamanya. Walhasil, masyarakat ini terbentuk dari individu-individu dan mempunyai hubungan-hubungan yang sifatnya tabiat / alami sebagai hasil dari dorongan-dorongan pemenuhan individu-individu. Dan jika ditinggalkan hubungan antara individu-individu dalam masyarakat, tanpa aturan yang benar maka akan membawa kepada kekacauan dan pertarungan untuk memperoleh al-asyya dan al-af‟aal yang vital bagi kehidupan manusia. Awal pertarungan darah antara dua anak adam AS terjadi pada Haabil dan Qaabiil, Firman Allah: “Ceritakannlah kepada mereka kedua putera Adam (Qaabiil dan Haabil) menurut yang sebenarnya, ketika yang keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Haabil) dan tidak diterima dari yang lain (Qaabil). Ia berkata (Qaabil): “Aku pasti membunuhmu!‟. Berkata (Haabil) :”Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orangorang yang bertaqwa.” (QS. Al Maaidah 27). Kemudian firman Allah selanjutnya: “Maka hawa nafsu (Qaabil) menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orangorang yang merugi.” (QS. Al Maaidah 30). Dan hasil dari tidak adanya peraturan, orang kaya mengharamkan / melarang hartanya dan makanannya digunakan orang miskin, firman Allah: Sekali-kali tidak (demikian) sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang bathil) dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”(QS.Al Fajr 17-20). Hasil dari anarchisme, yang kuat membunuh yang lemah, firman Allah : Sesungguhnya Fir‟aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir‟aun termasuk orang-orang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash 44). Didapatkannya hubungan antara individu-individu, karena adanya pemikiran-pemikiran tentang al-asyaa dan al-af‟aal yang vital untuk dipenuhi, maka akan menghukumi terhadap sesuatu bahwa itu baik dan sesuatu yang lain bahwa itu buruk. Begitu juga terhadap aktifitas bahwa itu penuh moral dan yang lain amoral, kesemuanya itu dilihat dari kemaslahatan al-asyya itu atau di dasarkan atas al-af‟aal pemenuhan itu, dan ini difahami setelah diinderanya al-asyya atau al-af‟aal pemenuhan itu, dan ini difahami setelah diinderanya al-asyya atau al-af‟aal tersebut. Maka mereka akan melakukan pemenuhan terhadap al-asyya dan alaf‟aal yang telah ada pada frame ma‟luumatnya. Akan tetapi jarang difahami bahwa hukum-hukum gharizah seperti di atas berbeda antara individu yang satu dan yang lainnya, juga antara kelompok yang satu dengan yang lainnya.

Pemikiran-pemikiran yang ditujukan kepada al-asyya dal al-af‟aal yang mempunyai hubungan dengan pemenuhan gharizah dan haajaah „udwiyyah dibentuk manusia berdasarkan masyaa‟irnya (perasaan dan indera), maka akan cenderung kepada apa yang bisa memuaskan dan berpaling terhadap yang tidak bisa memuaskan. Jika afkaar dan masyaair seperti ini dimiliki lebih dari satu manusia, atau kelompok manusia, mereka dapat mengatur hubungan-hubungannya yang didasarkan atas afkaar dan masyaa‟ir tadi, dari itu akan dibentuk nidhom. Kemudian jika berkumpul individu-individu pada sebuah tanah / bumi untuk hidup bersama maka gharizah baqanya akan mendorong mereka untuk memiliki tanah tersebut, untuk diolah dan ditanami yang kemudian menghasilkan apa-apa yang bisa menutupi gharizah dan haajaah „udwiyyahnya. Dan sudah dima‟lumi tabiat tanah berbeda-beda dari satu tempat dari tempat yang lain, berdasarkan subur atau tidaknya atau tempat tersebut dekat dengan air atau jauh atau berdasarkan mudah tidaknya untuk dimanfaatkan, bagaimana sumber daya alamnya dan lain sebagainya, hal seperti ini kadang-kadang mansua bisa saling membunuh , akhirnya yang kuat yang menang dana akan memimpin kepada yang lemah setelah terjadinya pembunuhan atau pengusiran. Hasil dari pergulatan seperti ini tinggallah yang kuat beserta keluarga dan kelompoknya, maka mereka akan menyombongkan, individu-individunya sampai beranak cucu, maka dia akan membentuk pergulatan yang baru agar bisa memiliki bumi, dan begitu seterusnya, aktualita dari pergulatan seperti ini tampak jelas pada zaman modern sekarang ini. Seperti gharizah nau‟ sering mendorong anak turunnya menjaga kelompoknya agar nau‟nya, maka akan berganti-ganti problema diantara mereka, lalu mereka akan mengeluarkan dengan suatu aturan hubungan mereka yang diarahkan pada bumi. Hubungan mereka sekitar bumi, dijadikan baginya sebagai pemikiranpemikiran tentang bumi yaitu pemuliaan pada bumi, dan menganggap rizqi datang dari bumi, karena begitu didapatkan pada mereka masyaa‟ir cinta kepada bumi. Selain perbedaan kuat dan lemah dan gharizah dan haajaah „udwiyyah didorong perbedaan pemikiran-pemikiran sebagian mereka, maka mereka menyerang dan melanggar bumi lainnya dan merampasnya lalu membunuhnya atau mengusirnya untuk mendapatkan bumi tersebut. Aktifitas ini adalah adanya perbedaan mafahim tentang bumi. Serta kontradiksinya pandangan mereka tentang bumi dan pandangan kemaslahatan dari mereka, maka mereka memaksa meletakan nidhom untuk menghukum kepada siapa yang menentang atau menyerang hak-hak yang lain. Kemudian sebagian dari mereka bersepakan atas suatu nidhom tertentu untuk membatasi aktifitas yang baik dan yang jelek, dan membatasi hukuman orang yang melanggar karena menolak nidhom atau menahan hak yang lain. Jadi masyarakat berdasarkan susunan secara tabiat ada seperti berikut:  Individu-individu yang hidup bersama (Al-Frood).  Pemikiran-pemikiran untuk menghukumi hubungan antara individu (AlAfkaar).  Rasa kolektif seperti kecenderungan pada al-asyya dan al-af‟aal atau menahan darinya (Masyaa‟ir).  Aturan yang ditetapkan pemikiran dan pengaturan hubungan-hubungan (Nidhom)  Dan susunan ini adalah susunan yang sifatnya tabiat sebagai hasil dari khoosiyyah yang telah diciptakan Allah kepada individu, maka Allah menjadikan mereka hidup secara berkelompok seperti suku dan bangsa, Firman Allah :

“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS. Al Hujuraat 13). Suku adalah kumpulan manusia adapun bangsa adalah kumpulan manusia yang di nasabkan pada satu orang. Masyarakat itu ada dan hidup seperti individu, akan tetapi susunannya berbeda dengan susunan individu, maka jika didapatkan susunan kumpulan di dalam kelompok seperti diatas maka disebut masyarakat dan jika tidak begitu, maka bukan masyarakat. Dan empat susunan itu adalah :  Al-Afrood  Al-Afkaar  Al-Masyaa‟ir  Al-andhimah/nidhom Maka jika tidak didapatkan satu susunan yang empat tersebut maka sisa liganya bukanlah masyarakat. A. Masyarakat Modern Perumpamaan seorang mu‟min di dalam cinta dan kasih sayangnya seperti satu tubuh, jika mengeluh salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan merasakan demam dan panas. (Al-hadits) Mujtama‟ mutamayyiz / masyarakat modern adalah bila terdapat susunan afkaar, masyaa‟ir, afrood dan nidhom dari satu jenis, dan seperti itu tidak akan bisa terealisir kecuali jika individunya berpegang kepada aqidah asassiyyah yang satu yang akan cocok untuk membangun seluruh afkar yang vital di dalam memenuhi gharizah afrood dan haajaah „udwiyyahnya, dan untuk memecahkan problematika kehidupan umat yang dihadapinya. Mujtama‟ Islami adalah bila sebagian besar individunya kaum muslimin, yang memgang aqidah Islamiyyah. Dan afkaarnya dibangun untuk menghukumi al-asyya dan al-af‟aal berasaskan aqidah ini, maka terbentuklah baginya masyaa‟ir yang satu, sebagai hasil dari pandangan yang satu tentang kehidupanmereka akan cenderung kepada yang halal dan berpaling dari yang haram, dan menerapkan nidhom Islam di dalam hubungan mereka secara totalitas, baik hubungan dengan tuhannya, dirinya dan lainya. Maka mujtama‟ Islamy sebagian besar afroodnya adalah muslim, dan afkaar serta masyaa‟ir individunya adalah Islamiyyah, dan nidhom yang diaplikasikan juga nidhom Islam. Muztama‟ Islamy itu ada hidup dalam satu jenis, Rasulullah mensifatinya dalam sabdanya: Perumpamaan seorang mu‟min di dalam cinta dan kasih sayangnya seperti satu tubuh, jika mengeluh salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan merasakan demam dan panas. (Al-hadits) Tidak akan mujtama‟ mutamayyiz kecuali jika aqidah yang dipeluk individu-individunya adalah fikrah kulliyah tentang kaun, insan dan kehidupan yang akan terpancar darinya afkar yang mengatur seluruh hubungan internal individu dan mengatur hubungan eksternal dengan masyarakat yang lain. Dan tidak akan didapatkan aqidah asasiyyah ini kecuali di dalam mabda, karena mabda adalah aqidah aqliyah yang terpancar darinya nidhom. Dan mabda-mabda yang sekarang diterapkan di dunia adalah ada tiga :  Mabda Islam  Mabda Kapitalisme / liberalisme / sekularisme  mabda komunisme / sosialisme Maka mujtama‟ mutamayiz juga tiga, yaitu:

  

mujtama‟ Islami mujtama‟ syuyu‟iyyah (komunisme) mujtama‟ ra-sumaali (kapitalisme) Mujtama‟ Islami sekarang ini belum ada, karena bangsa Islam yang ada sekarang menerapkan nidhom yang ghoiru Islam, maka ini juga bukan mujtama‟ Islam, walaupun individunya muslim yang berpegang kepada aqidah Islamiyyah, afkaar dan masyaa‟irnya juga Islami, akan tetapi nidhomnya bukan nidhom islam, baik itu nidhom hukum, nidhom ekonomi, nidhom uqubat dan muamalah. Mujtama‟ kapitalis adalah mujtama‟ mutamayyiz, karena individunya berpegang kepada Aqidah kapitalis, yaitu fashlu al din „ani al hayah (memisahkan agama dari kehidupan), dan afkaarnya terpancar dari aqidahnya itu, dan masyaa‟ir yang diarahkan ke al-asyya dan al-af‟aal adalah bersatu keluar dari afkaar ini, dan nidhom yang diterapkan dalam pemecahan problematikanya dari aqidah tadi, juga mereka bergaul dengan yang lain dari negara atau bangsa juga terilhami dari aqidahnya tersebut. Mujtama‟ mutamayyiz sebagian besar individunya percaya dan berpegang teguh kepada mabdanya, yang diterapkan kepada dirinya dan disebarkan kepada yang lainnya. B. Al Mujtama’Ghoiru Mutamayyiz Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa individu-individu mempunyai syakhsiyyah mutamayyizah dan syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah, maka begitu juga mujtama‟, ada mujtama mutamayyiz dan mujtama ghoiru mutamayyiz. Mujtama‟ mutamayyiz seperti yang telah diuraikan di atas yakni muztama yang bermabda, yang tersusun dari 4 bagian, al-afrood, al afkaar, al masyaa‟ir dan al andhimah dari satu jenis atau dari jenis mabdanya itu. Adapun mujtama‟ ghoiru mujtamayyiz adalah mujtama yang tersusun ari 4 susunan (al-afrood, al-afkaar, al masyaa‟ir dan al andhimah) bukan dari satu jenis, sehingga jika berbeda satu saja dari susunan di atas atau tiga sisanya, maka bukanlah mujtama‟ mutamayyiz, dan juga tidak bisa disandarkan pada sesuatu yang lain, seperti negaranya, kaumnya, maka dikatakan mujtama‟ Mesir atau mujtama‟ Arab, dan tidak dikatakan mujtama‟ Mesir atau Arab itu apakah termasuk mujtama‟ kapitalisme atau mujtama‟ komunisme. Hal ini berbeda degan mujtama Amerika yang bisa dikatakan mujtama‟ kapitalis, atau mujtama‟ china adalah mujtama‟ komunis. Mujtama‟ India misalnya, adalah mujtama‟ mutammayiz, mujtama‟ kapitalis atau komunis atau hindu atau budha, karena individunya tidak berpegang pada suatu aqidah yang akan terpancar darinya afkaar atau nidhom yang bisa mengatasi problematika umat manusianya, juga karena tidak diterapkan nidhom yang diterapkan merupakan tarikan hubungan kepada aqidah, afkaar dan masyaa‟ir individunya. Maka unsur-unsur yang tersusun pada mujtama‟ india (afrood, afkaar, masyaa‟ir dan nidhom) tidak dari jenis yang satu, dari mereka ada yang muslim, budha, penyembah sapi, nasrani dan lainnya, serta afkaar mereka semisal terhadap al-asyya dan al-af‟aal berbeda dibandingkan dengan afkaar mereka yang terpancar dari aqidah, seperti ketika dijajah Inggris mereka menerapkan nidhom kapitalis, jadi mujtama‟nya bukan dari satu jenis, dan tidak ada satu warna tertentu, sehingga dikatakan mujtama‟ india adalah mujtama‟ ghoiru mutamayyiz, tidak disandarkan pada satu mabda dari tiga mabda yang ada di dunia.

C. HUBUNGAN UNSUR-UNSUR PEMBENTUK MUJTAMA’ Sesungguhnya afkaar mujtama‟ jika menjadi mafahim, akan melahirkan bagi pemiliknya masyaa'‟ir dari jenis pemikiran yang sama, maka mujtama‟ yang Islami misalnya yang anggota individunya memahami bahwa hukum sholat adalah fardhu, akan berpengaruh padanya masya‟ir marah yang ditujuakn kepada orang yang mempermainkan atau menghina hukum ini dan berpengaruh baginya masya‟ir ridlo jika mendengar muadzin memanggil untuk sholat, karena afkaar mereka tentang sholat sudah menjadi mafahim dan jadilah muyulnya tampak pada mafahim ini sehingga dengan itu dituntut pula seorang hakim untuk menjatuhkan hukuman penahanan bagi orang yang meninggalkan sholat, dan dituntut pula untuk memperhatikan masjidmasjid, karena nidhom yang diterapkan ada mujtama‟ dari jenis afkaar dan mafahim yang dipegang dan didirikan oleh individunya, maka jadilah ada penjagaan terhadap pelaksanaan nidhom ini (muhaafadhotu al aqiidah), dan ada mata-mata/intel untuk menjaganya. Adapun nidhom yang diterapkan pada mujtama‟ yang bukan merupakan afkar dan mafahimnya, maka akan tampak berbeda masyaa‟irnya, sehingga mereka tidak memperhatikan penerapan nidhom ini, bahkan akan menggerutu, menyesal dan marah dan berusaha untuk merubahnya supaya sama dengan mafahimnya dan berusaha menyelaraskan dengan masyaa‟irnya. Kadang-kadang masyarakat mengajarkan afkaar yang tidak bersumber dari aqidahnya, sehingga afkar ini bagi anggota individunya jadi sebuah ma‟lumat saja. Maka mereka akan berpura-pura, ragu-ragu memalingkan, dan berusaha melepaskan diri dari sela-sela hukumnya atas al-asyya dan al-af‟aal. Afkaar tersebut tidak bisa naik sampai pada tingkat mafahim baginya, maka jadilah masyaa‟irnya tidak berdasarkan afkaar tersebut, dan sekalipun jika ada nidhom yang diterapkan kepada mereka dan disandarkan pada afkaar ini, maka nidhom itu akan menghalangi mereka untuk bertindak berdasarkan afkaarnya itu, sebab sudah berangkat dari keraguan dan pura-pura. Dan dalam kondisi seperti ini terputuslah syakhsiyyah mujtama‟, maka anggota individunya akan menyenangi berbagai perkara, dan condong pada perkara tersebut akan tetapi mereka mengerjakannya yang berbeda dengan muyulnya, itu semua karena tidak adanya ikatan pada mereka antara afkaar yang mereka terima, dan antara masyaa‟irnya yang disandarkan pada aqidah yang mereka pegang. Maka seorang muslim di dalam mujtama‟ seperti ini akan menempuh keharaman seperti riba, minum khamr dan dalam waktu bersamaan menggemborkan bahwa siapa minum khamr berarti telah menempuh haram, dan berusaha mendapatkan kebaikan dalam melaksanakan al-af‟aal ini (melarang minum khamr), dan ironisnya mereka juga senang mendengar adzan dan pembacaan Al-Qur‟an dan tersisa dalam dirinya masyaa‟ir ruhiyah, akan tetapi dia tidak sholat dan tidak membaca al-Qur‟an. Terputusnya ini di dalam syakhsiyyah mujtama adalah penyakit yang berbahaya, yang akan menghentikan penerus yang datang kemudian, di dalam membangkitkan dan meninggikan mujtama‟ akan terjadi kesulitan yang dihadapi oleh generasi yang menginginkan perubahan kepada mujtama‟ mutamayyiz. D. PERUBAHAN MUJTAMA’ “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mau merubahnya .”(QS. Ar Rad 11).

Sesungguhnya mafahim itu sebagai parameter suluk seseorang, maka jika kita menginginkan merubah suluk seseorang maka kita harus merubah mafahim kehidupannya (pandangan hidup) dan dengan ini akan menjadikan orang itu mempunyai syakhsiyyah mutamayyiz, yang disandarkan tafkir dan muyulnya pada qaadiah fikriyyah asasiyyah yang terpancar darinya suatu nidhom untuk memenuhi gharizah dan haajaah‟udwiyyah. Sedangkan pengubahan masyarakat diperlukan pengubahan unsur-unsur yang menyusun masyarakat yaitu (afrood, afkaar, masyaa‟ir dan nidhom). Adapun susunan individu dan khosiyyah fitriyyahnya, tiada seorangpun mempunyai hak untuk merubahnya atau menentukannya, akan yang dimungkinkan untuk dirubah adalah aqidah syakhsiyyah individu karena dua hal ini termasuk dalam lingkup kemampuan manusia. Begitu juga pemikiran-pemikiran masyarakat yang digunakan utnuk menghukumi al-asyya dan al-af‟aal dimungkinkan untuk dirubah dengan cara diajak berdiskusi tentang pemikirannya setelah puas dengan pembahasan aqidah yang sebagai sumber pemikirannya, maka diikuti dengan perubahan afrood, masyaa‟ir, nidhom. Dan perubahan harus menuju yang terbaik oleh sebab itu hendaklah pengemban perubahan sementara berusaha merubah mujtama‟ ghoiru mutamayyiz ghoiru nahidl (mayarakat yang tidak modern dan tidak bangkit), menuju mujtama‟ mutamayyiz nahidl (masyarakat modern dan bangkit). Kondisi sekarang tidak terdapat mujtama‟ mutamayyiz nahidl, kecuali dua mujtama‟ yakni mujtama‟ kapitalisme dan komunisme, adapun selain dari dua mujtama‟ ini adalah mujtama yang tidak bangkit dan tidak modern. Sungguh sangat sulit untuk merubah menuju masyarakat modern yang bangkit dari intern, menuju masyarakat modern yang bangkit dari jenis lain, seperti merubah masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis, atau menuju masyarakat yang tidak modern, seperti ini tidak mustahil kita merubahnya, sehingga setiap pengemban da‟wah harus memusnahkan kata tidak mungkin dalam setiap gerak langkahnya, sebab tiada sesuatupun yang mustahil bagi Allah. Ternyata terbukti efektif untuk merubah masyarakat, baik yang modern maupun yang tidak modern dari ekstern dengan kekuatan militer dan qiyaadah fikriyyah, kecuali merubah masyarakat yang tidak modern dari internnya dimungkinkan lebih mudah, hal ini karena sifat masyarakat yang tidak modern, sepert tidak adanya konsistensi dan ketentuan, disebabkan kemundurannya dan tidak adanya kemungkinan individu-individu di dalam masyarakat memenuhi gharizah dan haajaah „udwiyyahnya secara benar. E. CARA MERUBAH Sesungguhnya masyarakat yang tersusun dari 4 unsur, menyamai seperti gelas tipis yang penuh berisi zat cair, al-afraad atau individu-individu yang ada pada masyarakat sebagai gelas kacanya, sedangkan afkaar, masyaa‟ir dan nidhom sebagai zat cair. Gelas itu akan terlihat bagaimana warnanya sesuai dengan warna zat cair yang ada dalam gelas. Perubahan masyarakat tidak dimaksudkan merubah warna zat cair yang ada di dalam gelas dengan mencampurkan warna celupan tertentu ke dalam zat cair itu akan tetapi maksud perubahan adalah menumpahkan zat cair yang ada di dalam gelas seluruhnya, kemudian dituangkan zat cair baru yang dikehendaki ke dalam gelas tersebut. Begitulah perubahan masyarakat dengan perubahan totalitas sampai akar-akarnya maka berubahlah warna masyarakat, karena afkaar dan masyaa‟ir dan nidhom bagi kelompok masyarakat itu adalah yang membatasi macam dari masyarakat dan warna masyarakat.

Maka jikalau kita menginginkan mengubah masyarakat yang tidak modern menuju masyarakat modern dan bangkit, prinsip pertama yang harus kita mulai adalah menumpahkan zat cair yang ada di dalam gelas dan itu maksudnya adalah dengan memberi keterangan yang bisa memuaskan dan memahamkan mereka tentang kelemahan, tidak benar dan tidak ada maslahatnya afkaar, masyaa‟ir dan nidhom yang ada atau yang mereka gunakan sekarang ini. Lalu menumpahkan zat cair baru pada tempat dimana zat cair yang telah ditumpahkan tadi, maksudnya memberikan kepuasan keterangan kepada individu-individu dengan afkaar, masyaa‟ir dan nidhom yang baru yang seperti kita kehendaki untuk diterapkan pada masyarakat. Setiap mabda mempunyai thoriqah untuk mengubah masyarakat seperti kapitalis thoriqah adalah penjajahan, baik fisik, ekonomi, politik, dan lainnya. Sedangkan komunis thoriqohnya adalah menciptakan gap atau jurang kontradiksi (biasanya antara proletar dan borjuis), dan Islam thoriqahnya adalah Al-jihad yakni mengemban aqidah Islamiyyah kepada manusia dalam bentuk pengupasan dan penghancuran pembatas-pembatas maadiyyah yang membelit mereka, Sabda Nabi SAW: Saya diutus untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Lailaahaillallah Muhammadurrasulullah, maka jika mereka telah mengucapkan kalimat itu berarti mereka telah saya lindungi dan haram darah dan hartanya dengan hak.(Al Hadits). Dan Thariqoh-thariqah perubahan ini digunakan sebelum pemilik tiga mabda pada waktu adanya daulah sebagai mabda, dan ini tampak jelas ketika kemenangan Islam setelah pendirian daulah Islamiyyah di madinah, dan juga tampak ketiak perang dunia I dan perang dunia II yang dinisbatkan perang mabda kapitalis dan mabda komunis, dimana mereka mengadakan perjanjian dunia setelah peperangan dahsyat melawan daulah Utsmaniyah dan melawan Jerman serta Italia. Adapun ketika hilangnya daulah yang diemban sebagai mabda, maka disini mulai ada perbedaan thariqah untuk mendapatkan mabda lagi dalam kehidupan, dalam rangka eksistensi daulah, yakni bagaimana mewujudkan kembali mabda dalam dalam kehidupan dan menciptakan masyarakat modern yang mengemban mabda. Sesungguhnya mabda ditinjau dari aspek pembinaannya yaitu dari aqidah aqliyyah yang akan terpancar darinya nidhom dimana nidhom yang terpancar dari aqidah sebagai tumbuhnya batang dari biji. Dan mabda dari aspek pelaksanaannya haruslah adanya satu jenis fikroh dan thoriqah Fikroh mencakup aqidah dan bagian dari nidhom, yaitu mu‟aalajah (problem solving). Thariqah adalah bagian lain dari nidhom (sistem) dan mencakup cara mengemban mabda, dan cara memeliharanya serta cara pelaksanaan problem solving. Barang siapa hendak merubah suatu masyarakat menuju masyarakat modern berasaskan mabda tertentu agar bisa meletakan thoriqah pada ikatan yang tepat bilamana menghadapi kesulitan dan penipuan karena thoriqoh adalah bagian yang tidak terpisahkan dari mabda. Dan thoriqah perubahan menurut Islam adalah dengan mencontoh Rasululah SAW. Allah telah mengutus beliau mulai pertama kepada masyarakat Makkah jahiliyyah, maka Rasul melakukan thoriqoh seperti apa yang telah digariskan kepada beliau, dan thoriqah ini telah berjalan dengan tiga tahapan: Tahap Pertama: Tahap Pembentukan Syaksiyyah Dengan Durus Dan Ta’lim Setelah Rasul menerima risalah dari Allah memulai bertabligh menurut apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya ditujukan kepada orang-orang

terdekatnya, seperti Isteri Khadijah, Shahabatnya Abu Bakar dan anak pamannya yaitu Ali bin Abi Thalib serta lainnya. Dan Rasul menjadikan mereka memiliki syakhsiyyah Islamiyyah, aqidah Islamiyyah sandaran tafkir dan muyulnya, dimana awal diturunkan wahyu berisi pemikiran tentang aqidah ini, seperti iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-Nya, hari Akhir, dan pemilik aqidah ini mengingatkan kejelekan terhadap penyembahan berhala, mempercayai dukun dan tukang sihir, hal ini terlihat jelas ketika Rasul ditanya pamannya Abu Thalib suatu hari “ Apakah ini sebuah agama yang menunjukan kepada kamu sebagai suatu agama?”, Berkata Rasul: Wahai pamanku ini adalah agama Allah, Malaikat dan rasulrasul-Nya serta agama moyang kita Ibrahim As, Allah menjadikan saya sebagai utusannya kepada hamba-hamba-Nya dan engkau wahai pamanku adalah yang lebih berhak untuk mengorbankan kepada agama ini dengan memberikan nasihat kepada orang lain, menda‟wahkan agama ini kepada orang lain agar menerima petunjuk serta yang lebih berhak menerima agama ini dan menolong saya dalam menyebarkan agama ini”, Maka Abu Thalib menjawab: “Wahai Muhammad, saya tidak bisa memisahkan agama nenek moyang kita dan apa-apa yang ditinggalkannya, akan tetapi demi Allah saya tidak rela terhadap sesuatu yang itu kamu benci datang kepadamu. Maksud dari agama disini adalah aqidah saja, karena agama dalam hadits ini disandarkan kepada Malaikat, Rasul dan Ibrahim, karena jelas syari‟ yang dahulu sebelum Rasulullah saw bukanlah syari‟at Islamiyyah bila dinisbathkan kepada nidhom maka maksud dengan agama pada hadits ini adalah aqidah saja, karena aqidah yang dituntut untuk diimani pada hadits ini untuk seluruh agama-agama yang satu (maksudnya) dari Allah saja yaitu tidak terbilang yakni mengimani satu agama yang diturunkan oleh Allah Iman dengan realitas keimanan yang pasti dengan adanya dalil, maka otak tidak bisa berfikir bahwa sesuatu itu adalah sekaligus tidak ada dalam waktu bersamaan. Rasul memulai da‟wahnya dengan sembunyi-sembunyi, rasul mengajak untuk membentuk dan mengajarkan kepada orang sudah beriman seperti Abu Bakar, Jafar, dan Abi Ubaidah, Umar bin Khathtab, Bilal bin Rabah, kepada Islam agar mempunyai syakhsiyyah modern, untuk mengemban da‟wah bersama Rasulullah, dan mereka itulah yang nantinya mengemban da‟wah setelah berdirinya daulah islamiyyah. Rasulullah yang memindahkan atau mengajarkan wahyu yang diterima dari Allah, dengan metode penyampaian da‟wah menggunakan pendekatan pemikiran, yang nanti bisa memantapkan suluknya dan bisa memperkuat shilahbillah dan membuat mereka semakin mantap dengan agama yang baru. Tahap Kedua: Tahap Tafaa’ul / Interaksi Dari apa yang dijadikan thariqah Rasul dan Thariqah para shahabat yang memang lain dari kebiasaan masyarakat jahiliyah pada waktu itu kemudian dikenal oleh masyarakat Makkah dengan agama baru, maka mulailah individu-individu dari masyarakat Makkah baik laki-laki maupun peempuan masuk Islam secara berbondong-bondong, hingga tersebar di Makkah, sehingga semakin banyak orang-orang Makkah membicarakan agama ini lalu Allah menurunkan Wahyu: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperitahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al Hijr 94). Dan Allah menurunkan ayat:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orangorang yang beriman.” (QS.Asy syu’araa 214-215). Dan mulailah Rasulullah berda‟wah dengan terang-terangan serta memulai al-kifaah al-siyaasi (interaksi politik), dan menjelaskan kelemahan menyembah Tuhan-tuhan orang Quraisy dan menunjukan kebodohan pemikiran mereka, serta mengingatkan bahwa aktifitas mereka adalah jelek. Maka para pemimpin quraisy mendatangi paman Rasul SAW Abu Thalib untuk mengadu, agar kemenakannya itu menghentikan da‟wahnya, dan ketika Abu Thalib mengemukakan pendapat dari pemimpin Quraisy kepada Rasul SAW beliau menjawab:”Wahai pamanku, demi Allah jikalau mereka meletakan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku, untuk meninggalkan agama ini, saya tidak akan meninggalkannya, sampai Allah akan menunjukan kemenangan agama ini atau menghancurkannya”. Sikap yang teguh hati dan mantap ini menjadikan Abu Thalib berkata kepada Muhammad : “Pergilah dan laksanakanlah hai anak saudaraku (Muhammad) dan katakanlah apa yang kamu senangi (berda‟wahlah sekehenadakmu) maka aku akan menjagamu dari gangguan sesuatu selama aku hidup”. Orang Quraisy berusaha dengan beragam cara untuk menghentikan da‟wah dari agama baru ini, maka dia mencoba dengan metode politis, Walid bin mughiroh menyebarkan berita bahwa muhammad itu penyihir, dan yang lebih parah lagi dengan cara memisahkan anak, saudara, isteri dan karib kerabat yang masuk Islam atau memasang jerat bagi orang muslim yang masuk ke daerah Makkah ketika Musim Haji. Tetapi da‟wah Islam dengan pengemban da‟wah yang tangguh dan pantang menyerah tetap menyebar ke daerah arab, Bahkan Rasulullah walaupun dilempari dengan berbagai macam kejelekan seperti tukang sihir, orang gila pembual dan lainnya tidak pernah mundur. Pada suatu saat orang musyrikin bertanya kepada nabi: “Apakah kamu yang mengatakan ini dan itu kepada sesembahan kami dan agama kami? Rasul menjawab: “Betul saya yang mengatakan itu”. Maka dengan marah orang musyrik itu bergerak mau membunuh Nabi, dengan sigap Abu Bakar menghalanginya dan berkata: “Apakah kamu akan membunuh seseorang yang mengatakan tuhanku adalah Allah?” Cara lain juga digunakan digunakan untuk membujuk nabi, disodorkan kepada nabi kemulian , kerajaan dan harta kekayaan, tetapi Rasul tidak memberi respon kepada iming-iming mereka. Juga nabi diuji mereka dengan perintah agar Allah membuatkan sungai seperti sungai Syam dan Iraq dan menghidupkan nenek moyangnya yang telah mati , membuatkan sebuah istana agar Allah memberikan rizqi mereka harta emas dan perak yang diturunkan dari langit, mak jawab Rasul:” Aku diutus bukan untuk urusan seperti yang kamu minta , akan tetapi aku diutus untuk menyampaikan risalah ini kepada kamu sekalian, maka jika kamu menerima ini maka berarti inilah keuntunganmu di dunia dan di akhirat , akan tetapi jika kamu menolak , kita tunggu saja sampai Allah mengadili kita semua.” Kemudian mereka berusaha memalingkan manusia dari Islam dan dari Muhammad, Serta dari membaca dan mendengar AlQur‟an dengan cara menyuruh Nadhor bin Harits sebagai seorang pendongeng ulung untuk mendongengkan tentang cerita-cerita raja-raja persi, akan tetapi semua tipu daya, semua kesulitan dan semua gangguan dan teror tidak menggoyahkan hikmah Rasul SAW. Pada waktu kabilah-kabilah Makkah takut kepada Abu Yhalib bani hasyim dan bani abdi manaf, mereka tidak terlalu menyakiti Rasul, akan tetapi mereka menyakiti orang-orang muslim yang lemah dan yang ada pada

kabilah mereka, dengan siksaan dan pukulan tidak memberi makan dan minum untuk memalingkan mereka dari agamanya, dari pedihnya siksaan ada diantara mereka yang tidak kuat sehingga berpaling, juga ada yang kuat dan teguh hingga akhirnya mati, maka melihat kondisi seperti ini Rasul berkata kepada mereka: “ Jikalau anda sekalian masuk ke bumi Habasyah, disana ada raja yang tidak mendholimi seorangpun dan itulah bumi yang baik, hingga disana Allah akan memberikan kepada anda kegembiraan dan kelonggaran”. Maka itulah hijrah pertama kaum muslimin. Akan tetapi ternyata hingga hijrahpun kaum musyrikin Makkah mendengar hal ini, karena hasad yang tidak pernah hilang untuk mematikan da‟wah Islam, mereka mengejar kaum muslimin dengan mendatangi rajanya, akan tetapi raja Najasy menolak dan menyelamatkan kaum muslimin. Melihat kondisi kaum muslimin yang aman di daerah raja Najasi, dan banyak kaum dari kabilah mereka yang masuk Islam, ditambah dengan masuk Islamnya Umar bin Khoththab dan Hamzah 2 pendekar Quraisy yang gagah berani, maka mereka bersepakat untuk melarang tiap orang dari kabilahnya menikah atau menikahkan dengan bani hasyim dan bani Abdul Muthalib juga mengadakan embargo ekonomi dengan melarang jual-beli dan aktifitas lain yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari , itu semua diarahkan agar Rasul kosong dari perlindungan maupun pengikut. Sesudah berusaha menentang sekuat tenaga seperti diatas tidak berhasil, mereka mengeluarkan ide kerjasama saling bergantian beribadah, maka turunlah ayat: “Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah . Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. AL Kaafiruun 1-6). Rasulullah beserta para shahabat tetap mengadakan interaksi siyasi untuk mengadakan perubahan tanpa henti-hentinya menghadapi penipuan dan kesulitan dan semua dianggap sebagai tantanganda‟wah yang tidak menghilangkan „azamnya untuk tetap berjuang. Tahap Ketiga: Penegakkan Daulah Dan Pemberlakuan Hukum Rasulullah SAW masih berinteraksi dengan kaum Quraisy dengan interaksi yang sifatnya politis, membuka kebatilan apa yang mereka peluk, dan keburukan aktifitasnya serta menerangka kebenaran yang diturunkan Allah berupa al-Qur‟an sebagai mu‟jizat. Kebenaran Islam ini tidak begitu saja diterima oleh mereka, karena masyarakat Makkah sudah terlalu kental dengan pemikiran kufur, juga dikarenakan keras kepalanya pemimpin-pemimpin mereka dan kesombongannya. Maka Rasul meminta pertolongan (Thalabun Nushrah) untuk melindungi da‟wah dan rencana pendirian daulah kepada kabilahkabilah lain yang ada di Makkah dan orang yang pergi ke Makkah pada musim haji, sampai Allah menyiapkan tempat da‟wah ini di Madinah Al Munawarah, yang penduduknya menerima islam dan memberikan pertolongan kepada Rasul SAW pada bai‟ah „aqobah kedua. Kemudian Rasul dan Shahabatnya hijrah ke madinah dan mendirikan Daulah Islamiyyah. Tiga tahapan ini berlaku untuk da‟wah Islamiyyah di dalam menciptakan masyarakat Islam modern, hal ini adalah thoriqah syar‟iyyah dalam memulai kehidupan yang Islami, tidak boleh ditinggalkannya. Maka seorang pengemban da‟wah yang ingin mengubah masyarakat berdasar asas Islam wajib baginya faham dengan baik.

Rasul adalah seorang individu di dalam masyarakat Makkah, oleh Allah diberikan kepadanya penghayatan totalitas terhadap Islam, dengan kata lain Islam telah menjasad dalam dirinya baik fikroh maupun thoriqahnya, maka jadilah beliau seorang yang mempunyai jenis pemikiran yang bersih dan suci dan nampaklah thoriqahnya jelas dan lurus. Sehingga seseorang yang mempunyai syakhsiyyah modern ini, tidak akan tinggal diam untuk selalu bergerak dan mempengaruhi bagian-bagian lain dari apa yang ada disekitarnya dari masyarakat, yakni pemilik syakhsiyyah modern ini bergerak untuk menciptakan masyarakat tersebut memiliki syakhsiyyah modern. Maka haruslah terbentuk di dalam kelompoknya sebuah kutlah (group) yang tersusun dari satu jaringan. Penopang kutlah tersebut adalah manusia, fikroh, thoriqoh, yang akan bergerak dalam kutlah tersebut bila ada yang sakit, dan akan segerak akan dideteksi rahasia penyakitnya, kemudian digunakan obat yang manjur yang telah diberikan Allah Tuhan Semesta Alam maka kutlah tersebut akan menyuntikannya kemudian akan terjadi reaksi intern dalam jaringan-jaringan dan sel-sel antara obat dan akar penyakit dengan terus berjalannya obat yang manjur dan kuat akan melemahkan akar penyakit. Kemudian akan lenyaplah penyakit itu hal ini ibarat tubuh dengan obat yang akan mengalir dalam darah kehidupan , begitu juga akan terjadi di dalam kutlah sebuah keselarasan antara pengemban perubahan dengan peletak nidhom mabda yang bersumber pada aqidahnya pada saat pelaksanaannya , yang akan bisa menjadikan masyarakat modern yang bangkit, dan masyarakt berikutnya akan melakukan untuk memperoleh kesamaan ide antara peletak nidhom dan masyarakatagar kekuatan masyarakat berpindah dengan bercampurnya kepada kutlah, dan dengan begitu akan meliputi kesehatan yang sebenarnya secara totalitas , sehingga tersingkaplah penyakit-penyakit yang ada dan berguguranlah akar-akar penyakitnya dalam aliran darah yang panas. Dan bagi pengemban di dalam kutlah hendaklah menentukan dan membedakan serta mendiagnosis penyakit-penyakit masyarakat pada tempat perubahan secara teliti. Hal itu dengan cara mengetahui setiap apa yang ada dalam afrodd, afkaar, masyaa‟ir dan nidhom serta apa-apa yang ada di dalam gerakangerakan intern dan pengaruh-pengaruh ekstern kemudian mengkaji mabda yang akan digunakan untuk perubahan dengan studi luas dan dalam lalu dilanjutkan dengan membangun apa yang seharusnya bagi mereka untuk perubahan seperti kutlah (kelompok) , dan hendaklah menjauhkan diri membangun sesuatu yang tidak dibutuhkan ditengah berjalannya perubahan walaupun mereka menuntut hukum yang merupakan kelaziman hidup bagi manusia. Pengemban perubahan hendaklah yakin dengan kebaikan thariqah dan fikrohnya dengan keyakinan yang tidak akan terlintas padanya keraguan dan kebimbangan dan hendaknya tidak berpengaruh dalam cita-citanya kesulitankesulitan yang dihadapinya, dan haruslah sabar disebabkan lama dan panjangnya thariqah yang harus ditempuh, sehingga seperti apa yang difirmankan Allah : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang padamu (bobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka di timpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan macam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “ bilakah datangnya pertolongan Allah?‟ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat.” (QS. Al Baqarah 214). “Diantara orang-orang mu‟min itu ada orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepda Allah; Maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya.” (QS. Al Ahzab 23)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka kholifah di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orangorang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridloi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itu orang-orang yang fasiq.” (QS. An Nuur 55). Miqdad Ash Shiddiq Al Sundii Nurizzah Umair As Sidiq Al Sundawi Diketik ulang Dzulhijjah 1420 H

Related Documents

Islami Tahwar
April 2020 14
Islami Nizam
June 2020 20
Islami Song
June 2020 20
Islami Naised
May 2020 20
Keluarga Islami
June 2020 33
Manajemen Islami
April 2020 11