Posmodernisme dan spiritualitas By: Anonim
PENDAHULUAN Dilihat dari sejarah, asal usul istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Federico de Oniz pada tahun 1930-an untuk menyebut suatu periode pendek dalam mengindikasikan reaksi kecil terhadap modernisme dalam bidang sastra, khususnya puisi Spanyol dan Amerika Latin. Kemudian, pada tahun 1947, sejarawan Arnold Toynbee memakai kata postmodern dalam bukunya A Study of History. Bagi Toynbee, pengertian postmodern yaitu masa yang ditandai dengan perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan etos pencerahan. Hal ini lebih spesifik dipakai untuk menyebut tahap kontemporer kebudayaan Barat tahun 1975 yang ditandai dengan adanya peralihan politik dari negara nasional ke interaksi global. Selanjutnya, istilah ini pun digunakan oleh Rudolf Panwitz dalam bukunya Die Krisis de Europaischen Kultur yang isinya membahas manusia postmodern yang sehat, kuat, nasionalis dan religius yang muncul di Eropa. Setelah itu, Peter Drucker dalam bukunya The Landmarks of Tomorrow juga memperkenalkan istilah ini dalam perkembangan ekonomi. Secara kebahasaan postmodernisme berarti suatu keadaan yang sudah lewat, lepas, terpisah, dan terputus. Akan tetapi pengertian postmo tidaklah semudah itu. Postmo adalah bagian inheren atau turunan dari modernitas, sehingga ada korelasi positif
diantara keduanya. Dalam sebuah artikel mengenai postmodernisme dan kebangkitan peradaban islam yang–saya lupa penulisnya–pernah saya baca, postmo tampil dengan teriakan ‘nada protes’ di tengah kompleksitas modernitas utopis yang telah terlanjur ditelan mereka dengan mengaku ‘modern. Ada baiknya, biar kita semua tidak kebingungan maka kita bedakan dulu beberapa pengertian antara postmodernitas, postmodernisme, dan teori postmodern. Meminjam pengertian dari George Ritzer dalam bukunya The Postmodern Social Theory. Postmodernitas, kata sosiolog yang juga penulis buku Sociology; a Multiple Paradigm itu, biasanya dipakai untuk merujuk pada epos, sejarah, waktu, zaman, serta masa dari situasi sosial politik dengan pemahaman historis. Postmodernisme, merujuk pada periodik kultural (seni, film, arstitektur dan lain sebagainya.) yang terlihat berbeda dari produk kultural modern. sedangkan teori sosial postmodern biasanya digunakan dalam lingkaran akademis yang berarti teori sosial yang berbeda dari teori modern. Dalam Paradigma lainnya, ada pula yang mengartikan Postmodern ke dalam dua hal, yaitu Post berarti Anti, jadi Postmodern berarti Anti Modernisasi dengan Post berarti After (setelah/Pasca), jadi Postmodern berarti Pasca Modernisasi bergulir. Sebenarnya, masih banyak lagi pemakaian kata postmo ini di kalangan seniman, penulis dan kritikus. Definisi postmo masih teramat kabur, setidaknya hal ini juga dikeluhkan Ernest Gellner (2002) dalam bukunya Postmodernism, Reason and Religion yang diterjemahkan Hendro Prasetyo dan Nurul Agustina menjadi Menolak Posmodernisme, Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius, Mizan 1994.
Masih mengutip dalam tulisan yang berjudul Postmodern dan Kebangkitan Peradaban Islam yang pernah saya baca, bahwa Menurut Ben Agger (2003) dalam bukunya Critical Social Theories; an Introduction, yang diterjemahkan menjadi Teori Sosial Kritis (hlm.69), karya Jean-Francois Lyotard berjudul Postmodern Condition; A Report on Knowledge (1984) merupakan satu petunjuk berguna bagi asumsi dasar teori sosial postmodern. Postmodernitas memiliki beberapa tanda. Setidaknya bisa kita lihat dari beberapa hal dibawah ini (Angger:72-75) ; •
Globalitas. Bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama lain sehingga mengaburkan perbedaan antara bangsa dan wilayah maju (dunia pertama) dengan bangsa dan wilayah terbelakang (dunia ketiga)
•
Lokalitas. Kecenderungan global berdampak langsung pada lingkungan lokal, sehingga memungkinkan kita untuk memahami dinamika lokal dengan mempelajari manifestasi lokal
•
Akhir dari “akhir sejarah”. Modernitas, sebagaimana yang diteorikan oleh pendukung Pencerahan, bukanlah tahap akhir sejarah yang muncul di masa postindustrial dimana kebutuhan dasar material semua orang dipenuhi sehingga konflik kelompok dan persaingan ideologi menghilang. Namun postmodernitas adalah satu tahap sejarah yang terputus dengan garis halus perkembangan evolusioner kapitalis sebagaimana dirancang oleh pendukung Pencerahan dan pendiri teori sosiologi dan borjuis
•
“Kematian” Individu. Konsep borjuis tentang subjektivitas tunggal dan tetap yang secara jelas dibedakan dari dunia luar tidak lagi masuk akal dalam kacamata postmodernitas. Kini, diri atau subjek telah menjadi lahan pertarungan tanpa batas antara dirinya dan dunia luar.
•
Mode Informasi. Cara produksi, dalam terminologi Marxis, kini tidak lagi relevan dibandingkan dengan mode informasi (bahasanya Max Poster), yaitu cara masyarakat postmodern mengorganisir dan menyebar informasi dan hiburan
•
Simulasi. Ini bahasanya Baudrillard (1983). Menurutnya, realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Namun, masyarakat katanya semakin “tersimulasi”, tertipu dalam citra dan wacana. Iklan adalah salah satu kendaraan utama simulasi ini
•
Perbedaan
dan
Penundaan
dalam
Bahasa.
Menurut
Derrida,
dalam
postmodernitas, bahasa tidak lagi berada pada hubungan representatif pasif atas “kenyataan” sehingga kata dapat secara jelas dan jernih menjabarkan realitas dunia. Dalam hal ini, pembacaan teks dengan konsep dekonstruksi adalah aktivitas kreatif untuk mendapatkan makna yang ambigu atau yang hilang dari realitas •
Polivokalitas. Segala hal dapat dikatakan secara berbeda, dalam berbagai cara yang secara inheren tidak superior ataupun inferior satu sama lain. Sehingga, sains menjadi satu dari sejumlah “narasi” yang melengkapi, menyaingi dan mengkontraskan dan tidak memiliki status epistemologis yang istimewa (misal, status superior teori pengetahuan).
•
Gerakan sosial baru. Terdapat berbagai gerakan akar rumput bagi perubahan sosial progressif, seperti gerakan anti diskriminasi warna kulit, pembela lingkungan hidup, feminisme, gay, serta lesbian. Dalam negara maju seperti Amerika, gerakan ini (gay dan lesbian) termasuk aktif di permukaan, ketimbang kita di Indonesia yang cenderung underground.
•
Kritik atas narasi besar. Lyotard berpandangan bahwa narasi besar atau cerita agung tentang sejarah dan masyarakat yang diungkapkan oleh Marxis dan ahli lain yang menterjemahkan Pencerahan harus diabaikan di dunia postmodern, majemuk dan polivokal ini. Lyotard cenderung menyukai cerita kecil tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia sendiri pada level kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal
POSTMODERN DAN WACANA SPIRITUALITAS
Salah satu fenomena yang menarik terjadi ditengah-tengah masyarakat kontemporer adalah menguatnya wacana spiritual sebagai bentuk pencerahan jiwa atas segala macam deru kehidupan manusia yang sarat dengan berbagai patologi kejiwaan. Lebih jauh lagi, muncul pula radikalisasi atau fundamentalisasi agama ditengah-tengah masyarakat yang dimotori oleh kelompok-kelompok tertentu dengan dalih bahwa hanya kembali kepada jalan tuhanlah manusia dapat selamat dari berbagai cobaan yang menimpanya. Disamping sebagai bentuk penolakan terhadap sekularisasi yang lekat digencarkan diantara seluk kehidupan manusia saat ini.
Dr. Yasraf Amir pillian dalam jurnalnya berjudul “Fenomena sufisme ditengah masyarakat postmodern : sebuah tantangan bagi wacana spiritualitas” (disini beliau mengkaji fenomena adanya kelas-kelas sufisme dan tasawuf untuk kalangan menengah keatas dengan bayaran yang cukup tinggi demi mendapatkan pencerahan bathin bagi orang-orang yang terbentur pada realita kehidupan sosialnya ) kurang lebih menyatakan menguatnya wacana spiritualitas adalah karena disebabkan budaya posmodern sering dituduh sebagai budaya yang sarat paradoks dan kontradiksi diri (self contradiction), yang dapat menggiring pada paradoks sufisme itu sendiri. Di satu pihak, wacana sufisme dapat menjadi semacam penjaga gawang kesucian jiwa di tengah masyarakat yang disarati gejolak pelepasan hasrat tak berbatas (unlimited desire); di pihak lain, sufisme sendiri dikhawatirkan dapat terperangkap dalam mekanisme mesin-mesin hasrat masyarakat posmodern, bila rayuannya tidak dapat dibendung. Memperbincangkan sufisme dalam kancah masyarakat posmodern pada dasarnya memperbincangkan dua arah perjalanan spiritual yang bertentangan satu sama lain. Perbedaan arah spiritual tersebut, disebabkan perbedaan mendasar antara sufisme dan posmodernisme dalam melihat peranan hasrat dalam masyarakat. Hakikat sufisme adalah pengendalian hasrat.; sebaliknya hakikat posmodernisme adalah pembebasan hasrat (desiring liberation). Yang satu mengekang hasrat yang lain membebaskannya; yang satu membentengi libido, yang lainmelepaskannya;yang satu mengutamakan perenungan, yang lainmerayakan kepanikan (hysteria); yang satu menjunjung tinggi kedalaman, yang lain memuja permukaan (surface); yang satu mengutamakan kesederhanaan, yang lain memuja ekstremitas. (hyper); yang satu menjauhkan diri dari materi, yang lain memuja pemilikan materi (consumerism). Dari sini dapat kita lihat bahwa masyarakat ditengah-tengah arus
postmodern pada akhirnya kembali kepada kepercayaannya (beliefs) yang oleh Comte dahulu dikatakan sebagai tahap yang paling primitif dari perkembangan pemikiran manusia. Dalam hal ini banyak masyarakat yang kemudian berasumsi bahwa modernisasi yang terjadi saat ini tidaklah dapat sepenuhnya memberikan jawaban atas segala problematika hidup yang dihadapi manusia terlebih jika problematika yang dihadapinya itu cenderung tidak dapat dicarikan jawabanya secara ilmiah dan rasional. Maka dari itulah akhirnya banyak masyarakat yang berbondong-bondong mencari alternatif lainnya, khususnya yang berkaitan dengan ketenangan jiwanya dalam menghadapi realita kehidupan. Kebetulan, oleh sebagian lainnya peluang ini dimanfaatkan dengan membuka, seperti, kelas-kelas sufisme yang tadi diuraikan sedikit sebelumnya, majelis-majelis dzikir, dan kelompok-kelompok pengajian bahkan perguruan-perguruan olah bathin yang, entah sengaja atau tidak, dibuat sedemikian rupa dengan berbagai macam metode dan pemikiran yang beragam pula. Namun lucunya, hingga saat ini justru fenomena tersebut memunculkan apa yang dalam paradigma modernitas, disebut sebagai moneterisasi nilai-nilai, dalam hal ini nilainilai spiritualitas. Karena biasanya, untuk masuk dalam kelompok-kelompok tersebut kita dianjurkan untuk membayar program-program yang ditawarkan sebagai imbalan atas berhasilnya program atau metode yang ditawarkan. Meskipun ada juga mungkin yang memberikannya secara cuma-cuma. Disamping menguatnya wacana spiritualitas diatas, fenomena lain yang terjadi adalah munculnya radikalisasi agama sebagai wujud dari perkembangan manusia modern yang semakin sekuler. Kebebasan yang secara membabi buta di implementasikan dalam
kehidupan manusia, ternyata memiliki dampak yang terbilang negatif. Seperti kemerosotan kualitas nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat serta berbagai penyimpangan-penyimpangan di berbagai sektor pranata sosial lainnya. Terlebih proses sekularisasi, yang memisahkan agama dari kehidupan sosial, dipandang oleh sebagian dapat menciptakan manusia yang liar, beringas dan amoral. Oleh karena itu, muncullah radikalisasi agama sebagai pandangan yang menekankan pada ajaran ilahi yang terintegrasi ke dalam setiap kehidupan sosial manusia. Maksud dari radikalisasi disini adalah, diterapkannya ajaran agama kedalam realita sosial demi mencapai kehidupan yang lebih baik lagi. hanya saja penerapannya sesuai dengan versi penafsiran ajaran masing-masing. Seperti contoh, muncul gerakan Jamaah Islamiyah diindonesia yang menilai hanya dengan meng-implementasikan syariat islamlah Indonesia dapat lepas dari segala bencana yang menimpanya. Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa itu adalah wajib hukumnya untuk diterapkan. Namun disisi lain ada pula kelompok macam Jaringan Islam Liberal yang lebih plural dan multikultural dalam melihat segala relitas kehidupan. Mereka berpandangan tidak perlulah untuk diterapkan syariat secara kaffah, yang jelas bagaimana manusia dapat berkembang labih baik
dari
sebelumnya.
Disatu
sisi
juga,
ada
perbedaan
pendekatan
dalam
mengimplementasikan ajaran agama antar kelompok-kelompok tersebut. seperti misalnya, Jamaah Islamiyah cenderung menggunakan cara-cara yang keras dan kaku, seperti pengeboman yang pernah terjadi belakangan ini. Tapi kelompok seperti Hizbu Tahrir Indonesia, cenderung melakukan pendekatan dalam wacana, tukar pikiran dan propaganda pada lingkungan-lingkungan akademis dan tertentu. Lalu ada pula Front Pembela Islam, yang ditengarai bermula dari imigrasi orang-orang Hadramaut ke
Indonesia
dalam jumlah besar dan massif, terjadi terutama sejak abad 19. mereka
membentuk enklave-enklave diberbagai kota di Indonesia dan mendirikan kelompokkelompok kegiatan keagamaan lalu lebih menekankan pada memperbaiki aspek moral manusia yang semakin merosot. Kelompok ini juga dipersepsikan sebagai “salafi radikal”.Lalu ada J.I.L, yang diketuai Ulil Abshor Abdolla, yang menginterpretasikan agama secara lebih plural, tanpa menghalangi pandangan atau kebudayaan lain yang meretas masuk ketengah-tengah kehidupan masyarakat. Mungkin ada pertanyaan yang terbersit dalam hati kita : mengapa kok bisa muncul seperti kelompok-kelompok radikal macam ini ? dan setahu kita kelompok-kelompok ini, yang mengaku telah berdiri dalam kurun waktu yang relatif lama baru mengunjukkan taji nya dewasa ini saja. padahal kalau kita kembali menilik pada sejarah masuknya agama Islam ke ranah nusantara ini, yaitu melalui jalur perdagangan, asimilasi kebudayaan dan amalgamasi (Perkawinan Campuran). Yang kesemuanya dilakukan dengan lebih lunak, sukarela dan tanpa paksaan atau perampasan hak-hak masyarakat Indonesia saat itu. ditengarai bahwa, itu karena Islam yang dibawa ke Indonesia lebih banyak berasal dari India dan beberapa jazirah arab lainnya. Jadilah wajah Islam diindonesia yang tampak terbuka terhadap pemikiran dan kebudayaan-kebudayaan asing diluarnya demi perkembangan kehidupan manusia. Berbeda dengan masuknya Islam dinegara-negara afrika. Disana proses penyebarannya melalui futh atau dapat diterjemahkan dengan memerdekakan suatu negara. Dengan kata lain dengan cara angkat senjata. Maka dari itu, pada perkembangannya di negara-negara afrika seperti Somalia cenderung radikal dan agak tertutup terhadap kebudayaan asing yang ada.
Masa orde baru gerakan-gerakan radikal yang muncul secara intens belakangan ini sudah tentu ditekan sedalam-dalamnya agar tak muncul ketengah-tengah masyarakat. Karena seperti yang tertuang dalam buku berjudul “HM. Soeharto : membangun citra islam” karangan Miftah H. Yusufpati bahwa (alm) mantan presiden Soeharto memang menginginkan citra Islam Indonesia yang santun, terbuka pada kemajuan, tidak menolak sebuah perubahan namun juga tidak menerimanya begitu saja. Terakhir, postmodern yang terjadi saat ini memiliki dualitas dampak nyata. Disatu sisi mampu melahirkan kemajuan sains dan teknologi dengan segala pesonanya, namun disisi lain mesti dibayangi dengan kedangkalan hati, amoralitas, kejumudan dan kungkungan-kungkungan rasionalitas yang kompleks. Fenomena yang terjadi, seperti dalam hal spiritualisme, banyak sebagian dari manusia yang menerima postmodern sebagai pembebas mesin hasrat manusia namun banyak pula yang menolaknya dan kembali mencari keutuhan “jiwa”nya kepada sang khalik yang maha kuasa. Apalagi ditambah dengan segala macam krisis multidimensi yang terjadi ditengah-tengah kita saat ini, ketika pikiran manusia telah terbentur pada realitas yang absurd maka kembalilah mereka pada penyucian hati menjemba do’a kepada Ilahi.