Pendidikan Muhammadiyah.docx

  • Uploaded by: Muhammad Sholikhin
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendidikan Muhammadiyah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,225
  • Pages: 21
PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH Tugas ini dibuat untuk memenuhi syarat Mata Kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam

Nama: Ni’matul Masfufah NPM: 17.MPL011 NIRM: 017.12103018 Dosen: Prof. Dr. H.M. Jandra bin Mohd Janan, M.A

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA

0

PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH Abstrak: Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern di Indonesia yang menyatakan diri sebagai organisasi pembaharu Islam. Dalam upaya pembaharuannya itu, pendidikan menjadi concern utama dalam gerakan dakwahnya. Sehingga Muhammadiyah menjadi organisasi modern Islam di Indonesia yang memiliki lembaga pendidikan terbanyak di Indonesia. Lembaga pendidikan yang dimilikinya mencakup sejak tingkat pendidikan usia dini, hingga perguruan tinggi. Namun pendidikan di lingkup Muhammadiyah dipandang memiliki sedikit kekurangan, yakni kesan keringnya aspek keruhanian atau kurangnya aspek spiritualitas, sebagai akibat dari banyaknya orientasi prestasi yang harus dicapai. Oleh karenanya, perlu adanya pembaharuan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah dengan cara memasukkan aspek spiritual ke dalam sistem pendidikan Muhammadiyah, sebagai kesatuan yang integral dalam sistem pendidikannya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi spiritual distress, sebagaimana dialami oleh sebagian kalangan terdidik, sebagai efek dari kegagalan pendidikan yang aksentuasinya mengutamakan pendidikan berbasis materi. EDUCATION OF MUHAMMADIYAH : Muhammadiyah is a modern Islamic organization in Indonesia which states as an Islamic reform organization. In an effort to renew it, education becomes a major concern in its missionary movement. So that Muhammadiyah becomes a modern organization Islam in Indonesia which has the most educational institutions in Indonesia. The educational institutions has include from the childhood level of education to college education. Many achievement orientations must be achieved. Therefore, the need for educational reform in the Muhammadiyah environment by incorporating spiritual aspects into the Muhammadiyah education system as an integral unit in the education system. Its done to avoid the spiritual distress, as experienced by educated people, as an effect of the failure of education that prioritizes material based education.

I.

Pendahuluan Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar

dan terpenting yang ada di Indonesia, dan sangat berpengaruh dalam proses islamisasi di Jawa Tengah Selatan (Nakamura, 2017:4). Organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, atau tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta (Noer, 1988: 84). Pada masa dewasa ini, organisasi Muhammadiyah di kenal sebagi organisasi sebagai organisasi “amal usaha”, yang oleh masyarakat umum, bahkan diluar anggota Muhammadiyah,

1

lebih dikenal melalui amal usaha bidang kesehatan dan pendidikan. Pada awalnya, Muhammadiyah didirikan dengan sebagai organisasi dakwah amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan sunah (Armando, (et.al), 2008: 5/76). Lembaga pendidikan di Muhammadiyah akhirnya menjadi salah satu strategi efektif untuk mewujudkan cita-cita Muhammadiyah tersebut. Dunia pendidikan umat Islam di Indonesia sudah ada sejak jauh sebelum Muhammadiyah berdiri. KH. Ahmad Dahlan sendiri, sebelum mendirikan Muhammadiyah pada 1912 telah merintis pendidikan modern yang memadukan antara pendidikan Barat yang hanya mengajarkan “ ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu-ilmu agama”. Sebelumnya, di Indonesia sudah banyak berdiri lembaga pendidikan, utamanya pondok pesantren. Sebagai

bentuki

usaha

menanggulangi

kelemahan-kelemahan

pesantren,

Muhammadiyah mengadopsi kandungan sistem pendidikan Eropa untuk menghasilkan apa yang disebut KH. Ahmad Dahlan sebagai “intelektual-kiai” atau “kiai-intelektual” (Rais, 1999: 162-163). Salah satu hal yang mana Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi pembaharu Islam di Indonesia adalah terobosannya dalam upaya menghilangkan dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama tersebut. Hal tersebut sekarang dikenal sebagai model pendidikan yang holistik dan berbasis karakter (Nata, 2016: 178). Walau upaya tersebut sudah dilakukan sekian lama, namun tentu saja masih banyak hal yang harus terus dilakukan, dibenahi dan diinovasi, agar selalu sesuai dengan tuntutan zaman, kebutuhan masyarakat, dan mampu menjawab aneka persoalan yang membelit masyarakat. Dengan

demikian,

nyatalah

bahwa

pembaharuan

pendidikan

Muhammadiyah pada hakekatnya merupakan terobosan besar dan sangat fundamental, karena dengan itu Muhammadiyah ingin menyajikan pendidikan yang utuh, pendidikan yang seimbang diantara sisi lahir dan batin manusia, dan tidak ada keterbelahan dalam konteks dan aplikasi ilmu umum dan ilmu agama.

2

Untuk itu terdapat masalah krusial yang harus dijawab, mengapa pendidikan Muhammadiyah terkesan kering dari nuansa ruhani atau spiritual?

II.

Permasalahan Berdasarkan

penelitian ini

latar belakang di atas maka yang jadi masalah dalam

adalah “pendidikan Muhammadiyah kering nuansa ruhaniyah”

Maka pertanyaannya adalah : 1.

Apa yang dimaksud sebagai pendidikan Muhammadiyah?

2.

Bagaimana karakter pendidikan Muhammadiyah itu? Dan Untuk apa Muhammadiyah concern dalam pendidikan tersebut?

3.

Apa dan bagaimana konsep nuansa ruhani dan spiritual dalam Islam itu?

4.

Mengapa nuansa ruhani dibutuhkan dalam pendidikan?

5.

Apa yang harus dilakukan Muhammadiyah agar nuansa ruhani terwujud dalam visi dan misi pendidikannya?

III. Obyek Pembahasan Pembahasan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui beberapa hal penting, yaitu: 1.

Apa pendidikan Muhammadiyah itu?

2.

Apa saja karakter pendidikan Muhammadiyah? Mengapa Muhammadiyah concern pada pendidikan?

3.

Bagaimana nuansa ruhani dalam pendidikan?

4.

Untuk apa nuansa spiritual itu?

5.

Bagaimana langkah mewujudkan nuansa ruhani dalam pendidikan?

IV. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut: (1) Mengeksplorasi maksud dari pendidikan Muhammadiyah berdasarkan apa yang menjadi cita-cita Muhammadiyah melalui dunia pendidikan; (2) Mengetahui karekter pendidikan Muhammadiyah,

sehingga

dapat

diperoleh

gambaran

berbagai

model

pengembangannya, berdasar tuntutan yang ada; dan sekaligus untuk mengetahui 3

alasan mendasar mengapa Muhammadiyah semakin menggalakkan dakwahnya melalui dunia pendidikan, dalam berbagai bentuk dan jenjang di setiap Cabang; (3) Mengeksplorasi dan mengetahui konsep dan aplikasi nuansa ruhani atau spiritual dalam Islam; (4) Menggali alasan-alasan dibutuhkannya nuansa spiritual dalam pendidikan Islam; dan (5) Mengeksplorasi dan memberi rumusan mendasar agar dalam Pendidikan Muhammadiyah tidak kering dari nuansa ruhaniyah.

V.

Metodologi Penulisan makalah ini adalah bersuifat qualitative research (Penelitian

berbasis kualitatif), yang berbasis pada studi kepustakaan (library research), dimana data-data yang dibutuhkan digali dari berbagai dokumen tertulis, baik dokumen organisasi, hasil penelitian, artikel, berita, internet, buku-buku dan sumber lain yang relevan. Adapun sumber data tersebut diperoleh dari perpustakaan Muhammadiyah (dalam hal ini adalah Cabang Muhammadiyah Boyolali), dan dari buku-buku dan sumber yang bisa dijangkau oleh penulis. Tidak menutup kemungkinan, dibutuhkan data tambahan yang diperoleh dengan cara mendatangi kantor Muhammadiyah, baik dengan wawancara, observasi maupun penggalian data tertulis.

VI. Hasil yang ingin didapat Melalui penulisan makalah ini, penulis berharap dapat mengetahui perkembangan dunia pendidikan Muhammadiyah di Indonesia, dan kemungkinan pengembangannya sesuai dengan tuntutan yang semakin kompleks, serta kemungkinan adopsinya oleh organisasi lain dan kelompok masyarakat lain, agar pendidikan umat Islam di Indonesia bisa cepat menuju tingkatan yang lebih baik.

VII. Isi Kajian A. Pendidikan Muhammadiyah Dalam sejarah warna-warni Islam di Indonesia, tidak bisa terlepas dari salah satu komponen organisasi yang bernama Muhammadiyah. Gerakan yang didirikan

4

Ahmad Dahlan pada tahun 1330 H bertepatan pada tahun 1912 M ini membawa dampak besar dalam perkembangan sejarah bangsa ini. Diantara pilar terpenting Muhammadiyah adalah pendidikan berbasis sekmolah (Nakamura, 2017:301). Tak ayal jika kemudian banyak pandangan bahwa jasa besar yang disumbangkan Muhammadiyah pada bangsa ini adalah berupa

“gerakan

mencerdaskan

kehidupan

bangsa”.

Dawam

Rahardjo

menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pembaharuan Islam yang bergerak dalam tiga bidang utama: sosial-pendidikan, amar ma’ruf nahi mungkar dan sosial keagamaan (Rahardjo, dkk., 1995:191-193). Pada prakteknya kemudian, ada empat bidang menonjol sebagai implementasii darroi gerakan amal usaha Muhammadiyah, yaitu bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat. Sejak awal, pendidikan Muhammadiyah bukan lagi hanya berpatokan dengan pendidikan berbasis kognitif. Pendidikan Muhammadiyah sudah sejak awal berpatokan pada sistem pendidikan moral. Moral akan menjadikan sebuah pendewasaan diri setiap siswa-siswi untuk bisa menghadapi masa depan. Justru dengan adanya sistem pendidikan moral siswa-siswi akan tertantang untuk maju menghadapi sistem pendidikan akademis dengan mudah. Namun sebagaimana lembaga pendidikan lain, dimana kurikulum nasional juga sangat mempengaruhi sekolah-sekolah Muhammadiyah. Bagaimanapun upaya untuk menjaga corak khas, dengnan segala keunikan pendidikannya, tetap saja banyak lembaga pendidikan, termasuk dibawah naungan Muhammadiyah, yang mau tidak mau menempatkan orientasi prestasi, utamanya ujian nasional sebagai hal yang pokok. Apalagi sejak awal pendiriannya, sekolah-sekolah Muhammadiyah memang dikemas sebagai sekolah modern, yang banyak berkibalat ke model pendidikan Barat, disamping model pendidikan Islam modernis. Hal inilah yang menjadi sebagian sebab dari keringnya nuansa spiritual di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah. Jika hal tersebut tidak segera disikapi secara baik, maka upaya mencapai tujuan dari pendirian organisasi Muhammadiyah tentu tidak akan segera tercapai. Tujuan Muhammadiyah tersebut adalah, “mengembalikan dasar kepercayaan 5

Islam kepada kemurnian ajaran Islam yang langsung bersumber pada Qur’an dan Sunnah, serta usaha menafsirkan Islam secara modern, menggamalkan ajaran Islam dalam perbuatan yang berguna bagi masyarakat, mengintensifkan ajaran islam serta menggiatkan usaha-usaha dakwah Islamiyah” (Sholikhin, 1995:32). Hal yang cukup menarik adalah, bahwa secara kuantitas, lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah diantara yang paling banyak dimiliki oleh oreganisasi sosial keagamaan Islam di Indonesia. Terbukti bahwa antara tahun 2000 sampai pada tahun 2010, Muhammadiyah memiliki banyak lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh Nusantara yang bertambah pesat. Sampai pada tahun 2010 Muhammadiyah memiliki jenjang Sekolah Dasar (SD) 2604, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1.722, Sekolah Menengah Atas (SMA) 965, Pondok Pesantren 67, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah 151. Pada 10 tahun kemudian, yakni pada tahun 2010, data menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki sekolah-sekolah berikut: Taman Kanak-Kanak 4.623 buah, PAUD 6.723 buah, SD / MI sebanyak 2.882 buah, Madrasah Diniyah sebanyak 347 buah, SMP / Mts sebanyak 1.765 buah, SMA / MA sebanyak 747 buah, SMK sebanyak 396 buah, Madrasah Mu’alimin / Mu’alimat sebanyak 8 buah, sekolah luar biasa 71 buah, pondok pesantren sebanyak 101 buah, Sekolah Menengah Farmasi sebanyak 3 buah, dan Perguruan Tinggi 172 buah. Tentu saja, memasuki tahun 2019 ini, jumlah tersebut sudah meningkat. (“Pendidikan Muhammadiyah, Role Model Pendidikan Nasional”, KLIKMU.CO, 7 Maret 2013;

https://klikmu.co/pendidikan-muhammadiyah-role-model-pendidikan-

nasional/;

“Data

Amal

Usaha

Muhammadiyah”,

http://m.muhammadiyah.or.id/id/content-8-det-amal-usaha.html).

Capaian

ini

jelas secara kuantitas sangat membanggakan. Melihat data di atas, hal ini bisa menjadi tantangan dan peluang. Tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Muhammadiyah dan peluang untuk basis perkaderan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah tersebut tumbuh dalam suasana dimana dampak berkembangnya dikotomi keilmuan telah melahirkan sistem Islam yang mandul dan tidak berdaya. Pendidikan Muhammadiyah selalu merespon perkembangan zaman. Kesadaran akan keringnya Islamic value dan dikotomi 6

ilmu dalam pendidikan menjadi sorotan Muhammadiyah. Banyaknya amal usaha dalam bidang pendidikan menuntut pembaharuan pendidikan Muhammadiyah yang lebih objektif, dalam arti mampu menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat. Dari konteks sejarah pendidikan, dapat diketahui, jika pada tahun 1990an madrasah mengalami modernisasi, pada kurun tersebut sekolah mengalami gejala spiritualisasi. Modernisasi bersifat top-down, sebaliknya spiritualisasi sekolah bersifat bottom-up. Spiritualisasi sekolah dipelopori Pendidikan Muhammadiyah yang menerapkan sistem pembaharuan dalam pendidikan. Konsep pendidikan Muhammadiyah yang integrative-interkonektif mengajarkan keilmuan Agama dan umum sekaligus, menjadi ciri khas pendidikan Muhammadiyah. Namun

walaupun

ciri

khas

tersebut

selalu

dikemukakan,

pada

kenyataannya, kritikan bahwa perlunya pemikiran kembali tentang metode pendidikan Muhammadiyah, dimana porsi pendidikannya tidak jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya (Sholikhin, 1995:31).

B. Karakter dan Concern Pendidikan Muhammadiyah 1.

Karakter Pendidikan Muhammadiyah Karakter pendidikan Muhammadiyah tentu tidak terlepas dari karakter

Muhammadiyah itu sendiri. Menurut salah satu Ketua PP Muhammadiyah, bahwa karakter Muhammadiyah yaitu sedikit berbicara dan banyak bekerja. Dari karakter inilah Muhammadiyah melahirkan banyak amal usaha, utamanya bidang pendidikan. “Karakter inilah yang harus banyak dipelajari dan diterapkan oleh warga

Muhammadiyah,”

kata

Yunahar

Ilyas,

Ketua

Pimpinan

Pusat

Muhammadiyah, saat menghadiri acara puncak Resepsi Milad 104 tahun Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bali di Hotel Grand Shanti Denpasar,

Rabu,

28

Desember

2015

(http://www.umm.ac.id/id/muhammadiyah/8865.html). Berdasarkan karakter tersebut, maka wajar jika kemudian Muhammadiyah menyatakan sebagai organisasi yang tidak terikat dengan aliran teologis dan mazhab fikih manapun tetapi Muhammadiyah tetap mempelajari itu semua dan 7

mengambil mana yang sesuai dengan Al- Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karenanya maka Muhammadiyah bersifat tajdid atau gerakan pembaharuan. Artinya Muhammadiyah merupakan gerakan untuk memurnikan aqidah dari syirik, khurafat dan tahayul, memurnikan ibadah dari bid’ah dan memurnikan akhlak dari nilai-nilai luar yang bertentangan dengan Al- Qur’an. Karakter dasar tersebut, akhirnya berpengaruh sangat besar pada karakter pendidikan yang dimilikinya. Dalam pandangan Muhammadiyah, pendidikan adalah satu spektrum penting yang dijadikan sebagai sarana dakwah Persyarikatan. Hal itu ditopang dengan pemahaman warga Persyarikatan yang tetap menempatkan dunia pendidikan sebagai upaya sadar untuk membangun kualitas diri manusia pada umumnya. Karakter mendasar sebagai pijakan pendidikan Muhammadiyah dirumuskan dalam konsep ISMUBA (al-Islam, ke-Muhammadiyahan dan Bahasa Arab). Butir-butir pelajaran tersebut dijadikan pengajaran wajib di semua lembaga pendidikan Muhammadiyah.karakter ersebut penting, agar generasi muda Muhammadiyah bisa mempertahankan Muhammadiyah, dimana “Muhammadiyah dituntut harus mampu memberikan kemanfaatan yang terbaik untuk seluruh lapisan masyarkat” (Kuntowijoyo, dkk., 1995:90). Ketiga pelajaran ini merupakan tulang-punggung Persyarikatan dalam rangka menyampaikan dakwah Muhammadiyah. Dari karakter dasar itu, maka ditentukan kawasan pendidikan Muhammadiyah, yang di antaranya terdiri dari keIslaman, kebangsaan, keutuhan, kebersamaan dan keunggulan merupakan kesatuan

integral

yang

dikembangkan

di

setiap

lembaga

pendidikan

Muhammadiyah. Karakter keislaman ditempatkan dalam urutan pertama, dikarenakan sejauh ini salah satu ciri pendidikan Muhammadiyah yang paling menonjol adalah bidang agama Islam. Lewat dunia pendidikan, Muhammadiyah memasukkan “misi pencerahannya” kepada masyarakat umum (mgmpismuba, “ISMUBA,

Ciri

Pendidikan

Sekolah Muhammadiyah”,

25

Juli

2009,

https://mgmpismuba.wordpress.com/2009/07/25/ismuba-ciri-pendidikan-sekolahmuhammadiyah/).

8

Jika diperhatikan secara menyeluruh, mata pelajaran Ismuba sejatinya sudah cukup luas dalam mengantarkan peserta didik agar memahami agama Islam dengan benar. Mata pelajaran Al-Islam yang terdiri dari Akidah, Akhlak, Ibadah dan Tarikh merupakan pokok-pokok ajaran Islam yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, pelajaran Ismuba sudah dirancang dengan sungguh-sungguh untuk bisa mengatasi dan atau menjawab “kehausan” peserta didik dalam segi keagamaan. Hanya saja pada prakteknya, muatan pendidikan umum, utamanya materi utama untuk ujian nasional, masih lebih dominan, dimana pengejaran prestasi kuantitas menjadi lebih diutamakan dibanding aspek spirit keagamaan.

2.

Concern Muhammadiyah terhadap Pendidikan Sebagaimana sudah diketahui, bahwa cita-cita yang digagas K.H Ahmad

Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus, yakni memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan ini sudah menjadi fenomena yang umum. Upaya dalam bentuk usaha pendidikan serta kesejahteraan dan program dakwah Muhammadiyah pada masa awal adalah untiuk melawan agama Kristen dan takhayul lokal (Ricklefs, 2005:356). Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah menjadikan pendidikan sebagai area of concern dan terlibat dalam “eksperimen pendidikan Islam modern” pada awal abad ke 20 M. Dalam konteks gerakan muslim reformis Indonesia, Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai trensetter dan dapat diibaratkan sebagai lokomotif penarik gerbong gerakan reformis di Indonesia. Muhammadiyah mendasari gerakannya kepada sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Assunnah, meskipun tidak anti madzhab. Dengan sikap ini, Muhammadiyah dikatakan sebagai gerakan Islam non Madzhab. Menurut Syafi’i 9

Ma’arif,

konsep

Islam

Muhammadiyah

seperti

inilah

yang

membuat

tanggungjawab Muhammadiyah lebih berat dibanding kelompok lain (Ma’arif, 1995:104). Dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah mengembangkan sikap tajdid dan ijtihad, serta menjauhi sikap taklid. Oleh karena itu disamping sebagai gerakan sosial keagamaan, gerakan Muhammadiyah juga dikenal sebagai gerakan tajdid. Perkataan “tajdid” pada asalnya adalah pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah dalam usaha memperbarui pemahaman kaum Muslimin terhadap agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sejati sesuai dengan jalan Al Qur’an dan Assunnah. Sejalan dengan hal tersebut dan selaras dengan Anggaran Dasar (Bab III Pasal 6) adalah “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Untuk itu, Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, institusi zakat, rumah yatim-piatu, rumah sakit dan masjid-masjid serta menerbitkan buku, majalah dan surat kabar yang pada akhirnya untuk menyebarkan Islam. Dalam konteks amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, sebenarnya sudah dimulai dirintis sebelum terbentuknya organisasi Islam ini pada 18 Desember 1912. Sebab satu tahun sebelumnya, tepatnya 1 Desember 1911, Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Kemudian pada tahun 1915 didirikan Sekolah Dasar pertama di lingkungan Keraton Yogyakarta dan pada tahun 1918 didirikan sekolah baru bernama “Al-Qismul Arqa”. Pencapaian Muhammadiyah dalam bidang pendidikan amat luar biasa, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi menjadi bukti bahwa Muhammadiyah tidak main-main dalam mencapai tujuannya. Hal ini tentu saja karena dilandasi oleh keinginan dan kesungguhan yang amat kuat. Aspek filosofis,

psikologis

dan

sosiologis

menjadi

perhatian

utama

dalam

menyelenggarakan pendidikan yang bermutu serta terjangkau oleh masyarakat luas. Karena berdiri dalam rangka memurrnikan ajaran Islam maka tak heran bila 10

aspek-aspek ini dilatar belakangi oleh ajaran Islam. Pada konteks itulah Muhammadiyah memandang bahwa pintu masuk strategis pembaharuan adalah bidang pendidikan. Oleh karenanya bidang pendidikan merupakan concern paling utama dari gerakan Muhammadiyah. Dengan demikian, visi dan misi pendidikan Muhammadiyah tentunya selalu konsisten dan berorientasi pada maksud dan tujuan pendidikan Muhammadiyah itu sendiri. Dalam konteks ini, menarik memperhatikan ungkapan umum yang mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid atau pembaruan yang ditujukan pada dua bidang, yaitu bidang ajaran dan bidang pemikiran. Pembaruan dalam bidang ajaran dititikberatkan pada purifikasi ajaran Islam dengan berpedoman kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan akal pikiran yang sehat, atau “kembali ke sumber ajaran dasar yaitu al-Qur’an dan hadits” (Cribb & Kahin, 2012: 311). Pembaruan di bidang pemikiran adalah pengembangan wawasan pemikiran (visi) dalam menatalaksanakan (impelementasi) ajaran berkaitan muamalah duniawiyah yang diizinkan syara atau moderninasi pengelolaan dunia sesuai dengan ajaran Islam, seperti pengelolaan Negara dan aspek-aspek yang berkaitan dengan kehidupan di bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Sedangkan misi utama gerakan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam pengertian menatalaksanakan ajaran Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di berbagai bidang kegiatan. Mengikuti pemikiran di atas, dapat ditegaskan bahwa visi yang diemban oleh pendidikan Muhammadiyah adalah pengembangan wawasan intelektual (berpikir) peserta didik pada setiap jenis dan jenjang pendidikan yang dikelola oleh organisasi Muhammadiyah. Sedangkan misi yang diemban pendidikan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di semua aspek kehidupan.

C. Nuansa ruhani dalam pendidikan 11

Aspek tujuan adalah sisi penting dan mendasar dalam pendidikan. Tujuan (hadaf, qashid, goal, aims) berarti maksud yang hendak dicapai lewat aktivitas. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri, yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, ilmu dan dengan pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya; karena pendidikan adalah upaya yang paling utama, dalam membentuk manusia. Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah rumusan dari berbagai harapan atau keinginan manusia. Tujuan merupakan fitrah yang telah melekat dalam diri setiap insan. Tidak ada tindakan manusia yang tidak mempunyai tujuan. Allah sebagai Zat Pencipta yang Agung, menciptakan manusia dan alam semesta, dengan tujuan penciptaannya (Qs. Al-Dzariyat/51:56). Dengan acuan ini, manusia dan makhluk ciptaan-Nya juga memiliki tujuan dalam kehidupannya, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya (Qs. Al-An’am/6:162), menjadi rahmat bagi seluruh alam ciptaan dengan penuh ketabahan dan ketundukan terhadap ajaran Tuhannya (Qs. Al-Anbiya’/21:37). Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam memiliki dua dimensi: untuk memperoleh pengetahuan intelektual (melalui aplikasi logika dan reasoning) dan mengembangkan sebagai suatu akhir, tetapi sebagai alat untuk peningkatan moral dan kesadaran rohani, mendorong ke arah keimanan dan tindakan yang benar. Alasan dari hal tersebut adalah, bahwa bertolak dari konsep manusia yang bersifat integral-holistik, maka sistem pendidikan Islam berorientasi pada persoalan duniawi dan ukhrawi sekaligus (Nata (ed.), 2003:101). Dan tentu hal tersebut meniscayakan adanya keseimbangan jasmani dan ruhani, serta materi dan spiritual. Istilah rohani di dalam konteks tradisi Islam, dapat ditemukan dalam istilah “ruhiyah” atau “ruhaniyah” dan “ma’nawiyah”; atau berbagai turunannya. Istilah pendidikan rohani di dalam penulisan berbahasa Arab umumnya digunakan istilah al-tarbiyah al-ruhiyah. Dalam Pendidikan Islam, pendidikan rohani merupakan aspek penting. Pendidikan ini memungkinkan potensi rohani untuk berkembang dan mempunyai pengalaman-pengalaman

transendental

yang

menjadikannya

terus 12

menyempurnakan diri sejalan dengan totalitas potensi yang dimiliki, dengan tetap bersandar pada kaidah-kaidahyang kuat dan dasar-dasar agama yang kokoh; yang berperan sebagai penguat dan pengokoh relasi antara seorang muslim dengan Allah SWT. Aspek ruhani adalah aspek ketiga setelah jasmani dan akal, dimana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan (Tafsir, 2016:56), dan terhadap tiga aspek inilah sasaran pendidikan diarahkan. Oleh karenanya maka pendidikan menurut Islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah dan ta’dib (Tafsir, 2016:39).

D. Kebutuhan terhadap Nuansa Ruhani dalam Pendidikan. Pendidikan merupakan proses penting yang selalu diupayakan oleh masyarakat untuk membentuk generasi yang produktif dan lebih baik dengan pembekalan ilmu dan keahlian dalam proses belajar mengajar. Dengan ilmu jugalah derajat manusia akan diangkat oleh Allah Swt., bahkan Allah Swt. menjadikan belajar sebagai perintah pertama untuk Nabi Muhammad saw. dalam firman-Nya, “Iqra” atau “bacalah” yang di dalamnya terkandung proses belajar sebagai poin utama. Kebanyakan dari kita tentu menyadari pentingnya pendidikan sebagai aset utama yang mengantarkan putra dan putri kita untuk menggapai masa depan yang lebih baik. (Desi Mandasari, “6 Aspek Penting Pendidikan dalam Islam”,

(https://abiummi.com/6-aspek-penting-pendidikan-dalam-islam/,

28

Agustus 2015). Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk pribadi atau potensi, yaitu jasmani dan rohani, secara maksimal serta meningkatkan hubungan yang harmonis antara pribadi dan Allah, sesama manusia, dan alam. Tujuan tersebut penulis rumuskan dari berbagai tujuan pendidikan dalam Islam menurut berbagai ahli (lihat Tafsir, 2016:63-64). Potensi jasmani yang terwujud dalam fisik serta rohani yang terwujud dalam pemikiran dan perasaan adalah dua potensi yang selalu berusaha untuk dikembangkan secara maksimal melalui proses belajar mengajar yang menjadi bagian utama pendidikan dalam Islam. Dengan memiliki perkembangan yang maksimal antara keduanya maka akan terbentuk pribadi dengan ilmu pengetahuan dan akhlak yang baik. 13

Terkait dengan ketunggalan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani dalam pendidikan itu, maka berikut dikemukakan beberapa aspek yang perlu ditanamkan dalam diri melalui pendidikan dalam Islam. 1.

Aspek Pendidikan Ketuhanan Aspek ketuhanan menjadi aspek pertama dan aspek dasar pendidikan dalam

Islam. Dengan mengenal Allah Swt. sebagai Tuhan dan Pencipta, pribadi manusia dapat menyadari bahwa segala yang dipelajari adalah ciptaan-Nya. Dengan bekal itu pula, dalam proses mempelajari ilmu pengetahuan dan menguak fenoma alam, bukan kesombongan yang muncul dalam diri, melainkan kesadaran akan kebesaran-Nya serta kedekatan kita dengan-Nya. 2.

Aspek Pendidikan Akhlak Akhlak termasuk dalam aspek penting pendidikan dalam Islam. Kasus

korupsi ataupun tindak kejahatan sosial yang terjadi sekarang, sahabat Abi Ummi dapat melihat bahwa akhlak sebagai pembentuk moral masyarakat menjadi pengendali diri untuk terhindar dari tindakan yang merugikan orang lain. Akhlak yang baik akan mencerminkan pribadi akan selalu melakukan segala sesuatu dengan batas-batas yang sesuai ajaran Islam dan jauh dari perbuatan yang merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang salah satunya membentuk hubungan yang harmonis antara sesama. Tanpa akhlak, ilmu pengetahuan dan potensi diri dapat digunakan untuk melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. 3.

Aspek Pendidikan Akal dan Ilmu Pengetahuan Pendidikan akal dan ilmu pengetahuan menjadi aspek yang tidak

terpisahkan dalam dunia pendidikan. Dalam proses belajar mengajar, pendidik maupun anak didik berkutat dalam diskusi untuk memahami ilmu pengetahuan. Aspek ini berhubungan dengan kesuksesan di dunia profesi. Dengan akal dan ilmu pengetahuan, potensi diri untuk berkembang dan berprestasi dalam dunia profesi tertentu dapat dicapai. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, pasti kita mengenal banyak tokoh Islam yang menjadi tonggak bidang ilmu tertentu, seperti Abu Ali al Husayn Ibn Abdallah Ibn Al Hasan Ibn Ali Ibn Sina yang mengembangkan ilmu 14

kedokteran pada zaman keemasan Islam, Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Al Sabbah Al Kindi yang dikenal sebagai ketua tim penerjemah berbagai nakah-naskah filsafat Yunani kuno pada zamannya, Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa Al Khwarizmi yang merupakan ahli matematika pada zamannya dengan penemuan alogaritma dan aljabar yang masih digunakan sampai saat ini. Selain nama-nama tersebut, masih banyak ilmuwan Islam terkemuka lain yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dunia. Oleh karena itu, kita tidak bisa meremehkan aspek ini. 4.

Aspek Pendidikan Fisik Aspek pendidikan fisik berhubungan dengan potensi jasmani. Sahabat Abi

Ummi pasti tahu bahwa potensi diri tidak hanya terdiri atas potensi rohani: akal dan perasaan, tetapi juga potensi jasmani yang menjadi penyeimbang dua potensi diri manusia. Dengan fisik yang sehat, potensi diri untuk melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lancar. Adanya mata ajar olahraga, bahkan kompetisi dalam bidang olahraga, menjadi salah satu media pemenuhan aspek ini. 5.

Aspek Pendidikan Kejiwaan Seseorang yang memiliki jiwa sehat akan memiliki semangat dan motivasi

yang kuat untuk mencapai sesuatu. Oleh karena itu, aspek pendidikan kejiwaan menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi dalam pendidikan. Terdapat katakata bijak yang sangat familiar dan menunjukkan pentingnya aspek pendidikan kejiwaan, yaitu, “Di dalam tubuh yang kuat, terdapat jiwa yang sehat.” Tidak bisa dipungkiri bahwa pikiran positif dan semangat muncul dari jiwa sehat yang dapat dipentuk dalam proses belajar mengajar. 6.

Aspek Pendidikan Keindahan Aspek keindahan tidak hanya terbatas pada sesuatu yang enak untuk dilihat,

tetapi aspek ini juga menjadi salah satu aspek dalam pendidikan. Jika kita lihat dalam Alquran yang merupakan sumber berbagai ilmu bagi umat manusia, keindahan dalam penyampaiannya dapat kita temukan dalam rima ayat-ayat dalam berbagai surat, seperti Al-Ikhlas, An-Nas, dan Al-Falaq. Keindahan dalam

15

berbahasa dan bertutur kata menjadi aspek yang selalu ditunjukkan dalam penyampaian ilmu dari zaman Nabi Muhammad saw. hingga saat ini. Dapat di lihat bahwa aspek-aspek di atas saling terkait dan mendukung. Di dalamnya mencakup pengembangan potensi diri, baik jasmani maupun rohani, yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi juga diiringi dengan pembekalan akhlak untuk membentuk pribadi dengan moral yang baik. Keenam aspek tersebut secara bersama-sama membentuk manusia sem[purna menurut Islam, yang memiliki karekter: jasmani yang sehat, akal yang cerdas dan pandai, dan ruhani yang berkualitas tinggi (Tafsir, 2016:57-62). Selain itu dapat kita perhatikan bahwa dari enam aspek tersebut, aspek keruhanian sangatlah dominan. Dengan begitu, keseimbangan antara pencapaian kesuksesan dunia dan akhirat menjadi hal utama dalam pendidikan. Dengan begitu, tujuan pendidikan dalam Islam dan hakikat diri untuk dekat dengan Allah Swt., sesama manusia, dan alam dapat tercapai. Pendidikan dalam Islam tidak bisa mengesampingkan aspek keruhanian sebagai pondasi pendidikan yang paling utama. Dengan aspek keruhanian itulah pendidikan yang ditempuh akan menghasilkan akal budi yang baik, dimana kecerdasan nalar akan diimbangi dengan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.

E. Langkah dan Strategi mewujudkan nuansa ruhani dalam pendidikan. Sebagian ulama dan intelektual membagi pendidikan dalam dua kategori, yakni pertama, tarbiyah khalqiyah, pendidikan yang diorientasikan pada pelestarian dan pengembangan pisik dan psikis manusia, yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendidikan pisik seperti olah raga dan keterampilan, sedang pendidikan psikis seperti kesenian, intelektual, emosional dan sebagainya; dan kedua, tarbiyah diniyah tahdzibiyah, pendidikan yang berorientasi pada pembinaan moral agama, sehingga dapat mengembangkan potensi ruhiyah pada diri manusia, seperti pendidikan ritual. Ketipan itu menunjukkan bahwa pendidikan Islam selain mengutamakan pengembangan aspek pisik dan psikis, juga pengembangan aspek spiritualitas. 16

Dalam pendidikan Islam terdapat keselarasan secara proporsional antara dimensidimensi pisik dan psikis, yang berorientasi pada insaniyah (antroposentris) dengan dimensi-dimensi ruhiyah, yang berorientasi pada ilahiyah (teosentris). Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana mendesain pendidikan spiritualitas dalam Islam. Dengan demikian, pendidikan berbasis spiritualitas adalah pendidikan yang upaya-upayanya dapat menghantarkan pada pengembangan spirit atau ruh manusia, untuk memenuhi hajat hidup spiritualitas/ruhaniyah, sehingga spirit/ruh yang berasal dari Allah dalam keadaan suci dapat kembali kepada-Nya dalam keadaan suci pula. Dalam pendidikan berbasis spiritual, agama menjadi pilar utama dalam pengembangan mankna, nilai, keterhubungan, transenden dan akan menjadi apa. Agama merupakan ‘hidangan’ ruhani yang dapat membimbing kehidupan manusia ke arah fitrah aslinya, yaitu suci dan rindu akan kehadirat Allah Swt. Eksistensi ruh manusia sangat tergantung pada aktualisasi keberagamaannya. Tanpa agama maka kehidupan manusia hanya ‘seonggok’ tulang, daging, kulit dan organ-organ biologis lainnya. Pendidikan keruhanian dan spiritualitas sebenarnya sudah dilakukan oleh umat Islam sejak dahulu, atau sejak masa ulama salaf al-shalih. Bahkan antara takwa dan akhlak, atau antara religiusitas dan etika selalu dikedepankan dalam konsep dan aplikasi pendidikan Islam masa klasik. Dalam konteks ini, Nurcholish Madjid mengemukakan: “Keterkaitan antara taqwa dan akhlak itu sejajar dengan keterkaitan antara iman dan amal, antara hubungan dengan Tuhan (habl min Allah) dan hubungan dengan manusia (habl min al-nas), antara takbir (dalam permulaan shalat, sebagai tanda dimulainya seorang hamba mengadakan hubungan dengan Tuhan) dan taslim (dalam akhir shalat, sebagai tanda dimulainya hubungan yang baik dengan sesama manusia, bahkan sesama makhluk), bahkan antara shalat itu sendiri (sebagai suatu bentuk hubungan dengan Allah) dengan zakat (sebagai suatu bentuk hubungan kemanusiaan)” (Madjid, 1997: 140). Tentu saja dibutuhkan cara atau strategi perwujudan aspek spiritualitas tersebut pada konteks pembelajaran di lembaga pendidikan, utamanya pada pendidikan Muhammadiyah, yang sering mendapatkan image kering spiritualitas. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid mengemukakan gagasan tentang kemungkinan 17

penjenjangan pendidikan atau pengajaran nilai-nilai keruhanian dan akhlak di madrasah-madrasah yang ada, mulai sejak pendidikan tingkat dasar hingga menengah atas. Pada jenjang ibtida’iyah disamping kenalkan berbagai pokok-pokok agama, juga dibiasakan dengan ibadah-ibadah fiqhiyyah, juga dirancang dengan penanaman sikap dan sifat keikhlasan. Juga ditanamkan betapa ibadah merupakan hal yang sangat penting bagi dirinya, selain juga dengan penghayatan dari apa yang dilakukan dan dibaca dari berbagai ritual ibadah yang dilakukan. Dibiasakan sikap penghambaan dengan perasaan tawajjuh sebagai penanaman sikap ihsan, agar tumbuh dalam jiwa anak. Ini akan menjadi bibit keikhlasan sebagai pangkal tolak akhlak yang mulia, karena akan menumbuhkan sikap hidup yang diliputi perasaan dan semangat kehadiran dan pengawasan Tuhan dalam hidupnya (Madjid, 1997: 143). Pada tingkat tsanawiyah, tentu saja aspek spiritual masih merupakan kelanjutan dari tingkat sebelumnya. Namun sudah ditambah dengan pembekalan pengenalan konsep-konsep keagamaan yang mengarah kepada pembentukan pribadi yang kukat, seperti, selain ikhlas, misalnya sabar, tawakkal, inabah, harapan, mawas diri (khauf; tidak menganggap wajar saja akan Tuhan dan kekuasaan-Nya), taubat, taqarrub, ‘azm (keteguhan hati), rahman, pengendalian marah, pemaaf, rahmah dan seterusnya. Tentu semua itu didukung dengan pengajaran kutipan ayat-ayat al-Qur’an, tentang kualitas mereka yang beriman, misalnya Qs. Al-Furqan/25:63 sampai akhir surat, dan Qs. Luqman/31:13-19. Juga berbagai hadits yang relevan, disamping kisah para sahabat dan ulama yang memiliki keteguhan iman (Madjid, 1997: 144). Pada tingkatan ‘aliyah, selain melanjutkan jenjang sebelumnya, sebagai konsekuensi kesatuan pendidikan, anak didik mulai diperkenalkan dengan pemahaman makna dan cara aplikasi dari asl-asma’ al-husna, sebagai konsekuensi agar kita menyeru dan berdoa kepada Allah melalui berbagai asma’ tersebut (Qs. Al-A’raf/7:180). Hal ini disebabkan anak usia ‘aliyah persepsinya tentang Tuhan sering kurang seimbang atau tidak utuh karena persepsi itu umumnya sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup. Maka relevan dengan itu, akhlaknya perlu 18

dihiasi dengan akhlak Ilahiyah yang tercermin dalam asma-Nya. Tentu saja sesuai dengan tingkatnya, anak didik usia ini perlu secara kognitif mulai diajarkan tentang ilmu akhlak, tasawuf, dan juga pemikiran serta sikap para tokoh besarnya (Madjid, 1997: 145). Dengan demikian maka pendidikan di lingkungan Muhammadiyah dapat mengajarkan nilai-nilai Islam sebagai dimensi kedalaman keagamaan. Karena dimensi kedalaman keagamaan ini kian hilang sebagai akibat dominasi segi lahiriyah dalam pendidikan dan beragama.

VIII. Kesimpulan Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang menitikberatkan gerakannya pada konteks tajdid atau pembaharuan, dimana ia menempatkan diri sebagai organisasi Islam modernis. Untuk mewujudkan orientasi tajdid tersebut, maka

dunia

pendidikan

pembaharuannya.

Melalui

mendapatkan lembaga

prioritas

pendidikan

pada

visi

dan

yang dimilikinya,

misi maka

Muhammadiyah melancarkan dakwah pembaharuannya. Namun, sebagaimana organisasi dan lembaga lain yang bergerak pada bidang pendidikan, seiring dengan perkembangan di segala sektor, maka dalam beberapa hal orientasi pendidikan itu terjebak pada rutinitas kurikulum, kebutuhan pemenuhan modernitas manusia, dan orientasi prestasi kuantitas, maka pendidikan yang dilaksanakannya akhirnya terasa kering dari nuansa keruhanian dan spiritualitas, hal yang paling esensial bagi kehadiran suatu agama. Oleh karenanya, dibutuhkan keberanian untuk mengeksplorasi dan merancang strategi agar pendidikan dibawah Muhammadiyah, selain tetap unggul dan prestasi dan prestise kuantitatif, ia tetap memiliki kedalaman esen si keagamaan dalam konteks keruhanian. Karena hal inilah yang akan mampu menjadikan manusia sebagai pribadi yang beriman, taqwa dan berakhlakul karimah, disamping sebagai manusia yang juga unggul dalam prestasi. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah adanya penjenjangan pendidikan atau pengajaran akhlak, atau yang umum disebut sebagai tasawuf di sekolah dan madrasah yang dimiliki oleh Miuhammadiyah. 19

DAFTAR PUSATAKA Abuddin Nata (2003), Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa. Abuddin Nata (2016), Inovasi Pendidikan Islam, Jakarta: Salemba Diniyah. Ahmad Syafii Maarif (1995), Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ahmad Tafsir (2016), Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: Rosda. Cribb, Robert & Audrey Kahin (2012), Kamus Sejarah Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu. Deliar Noer (1988), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES. Kuntowijoyo, dkk. (1995), Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru, Yogyakarta: Mizan-Kelompok Studi Lingkaran. M. Amien Rais (1999), Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan. M. Dawam Rahardjo, dkk. (1995), Embrio Muhammadiyah, Yogyakarta: Perkasa Press. M.C. Ricklefs (2005), Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi. Muhammad Sholikhin (1995), “Tantangan Muhammadiyah Menjelang Abad XXI”, Panji Masyarakat, No. 826 Tahun XXXV, 1-10 Dzulhijah 1415 H, 1-10 Mei 1995. Nakamura, Mitsuo (2017),, Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede sekitar 1910-2010, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Nina M. Armando (et.al.) (2005), Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Nurcholish Madjid (1997), Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina.

20

Related Documents

Pendidikan
May 2020 19
Pendidikan
April 2020 23
Pendidikan
June 2020 11
Pendidikan
June 2020 16
Pendidikan
May 2020 23

More Documents from "ari nabawi"

Maulid Dan Haul.docx
November 2019 14
01 Isl & Tsw
October 2019 23
Cover.docx
June 2020 4