01 Isl & Tsw

  • Uploaded by: Muhammad Sholikhin
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 01 Isl & Tsw as PDF for free.

More details

  • Words: 3,375
  • Pages: 14
BAGIAN PERTAMA: TASAWUF SEBAGAI SEBUAH JALAN KESELAMATAN MANUSIA BERIMAN

1

1 ISLAM DAN POSISI TASAWUF Islam dan Tasawuf Pemahaman terhadap wacana agama tidak hanya dapat dilakukan dengan melihatnya dari satu perspektif saja. Dan hal ini terutama berlaku bagi agama yang disebut dengan “Islam”. Agama Islam ini harus dikaji, ditelaah dan dicoba untuk difahami, dan akhirnya untuk dicari kebenarannya dengan tiga perspektif; filosofis, sosio-historis dan spiritual-mistikal. Tentu saja ini sejalan dengan trilogi agama sepanjang zaman ini yang berupa wacana Iman (lingkup filosofis), Islam (lingkup sosio-historis), dan Ihsan (lingkup spiritual). Karena hanya dengan memadukan tiga sudut pandang itulah, maka akan dapat difahami tentang orisinalitas dan otentisitas Islam sebagai agama universal yang berlaku sepanjang zaman, atau dengan kata lain Islam adalah titik balik dari perennialisme agama-agama. Bahkan dalam sejarah perkembangan Islam secara menyeluruh, tasawuflah yang paling banyak merebut perhatian dan hati masyarakat, seperti dipertegas oleh Gibb, “gerakan keagamaan yang populer dalam Islam sangat berkaitan dengan para zahid dan sufi.” (H.A.R. Gibb, Mohammadanism, hlm. 87). Kata “Islam” itu sendiri diyakini tidak saja hanya sebagai bermakna keselamatan, kesejahteraan, kedamaian dan unsur sosiologis atau psikologis kemanusiaan yang lain, namun justru letak rahasia terbesar agama terakhir diberi nama “Islam”, sebab kata al-Islam secara generik memiliki makna “berpasrah diri dengan ketundukan total dan mutlak kepada Allah.” Dari makna “berpasrah diri secara total” itulah kemudian muncul perangkatperangkat untuk mengaktualisasikan dan memahami trilogi keagamaan di atas. Iman memunculkan cabang ilmu tauhid (Ilmu Kalam, Ushuluddin); Islam memunculkan Ilmu Fiqih beserta Ushulnya; dan Ihsan memunculkan Ilmu Tasawuf beserta cabang-cabangnya. Tentu saja ilmu-ilmu itu semua “hanya” merupakan metode atau media untuk berpasrah diri itu tadi, sehingga seseorang 2

berharap akan sampai kepada tujuan sejati dari hidupnya; kembali kepada Allah dengan penuh Ridla-Nya. Maka, membicarakan sufi dan tasawuf tidak boleh lain kecuali sedang membicarakan orang yang lebih mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa, lebih mengutamakan laku untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) dan agar lebih bisa untuk sampai kepada Sang Khaliq sebagai tempat kembalinya. Sehingga seluruh dimensi hidupnya dipenuhi dengan kondisi dan keadaan jiwa yang selalu berdzikir; sejak dari lisan, anggota tubuh, peredaran darah, fikiran (akal, rasio, logis), dan perasaan (hati dan keseluruhan aspek kejiwaan). Inilah yang membuat hidup seseorang selalu istiqamah, stabil yang terus meningkat. Demikian pula dalam hal perilaku hidup dan kehidupannya, memancarkan sinar (aura) dari segi kemurnian batinnya yang bersih itu. Mereka tiada pernah putus dalam pencarian dan proses pendekatan terhadap Allah itu, sebelum betulbetul nampak dan yakin bahwa dia telah dikabulkan, dan telah sampai kepada Allah. Sehingga inti dari keseluruhan wacana bertasawuf itu terletak pada satu untaian kalimat sebagai motto para sufi;

‫الَلمهمم إل الليِهَ انت منق ل‬ ‫ك‬ ‫ك او امنلعرِْفافتا ا‬ ‫ضاَاك انمطْلهنولب أانعلطْلن امابمتا ا‬ ‫صنوديِ او لر ا‬ ‫ا ا ه‬ ‫ه‬ Allahumma Ilahiy, anta maqshudiy, wa-ridlaa-Ka mathlubiy, a’tiniy mahabbata-Ka wa ma’rifat-Ka. Ya Allah ya Tuhanku, hanya Engkaulah yang menjadi tujuan hidupku, dan hanya Ridha-Mulah yang aku cari. Oleh karena itu, karuniakanlah kepadaku kecintaan-Mu dan Ma’rifat-Mu. Dengan tasawuf itulah rasa kasih dan sayang akan selalu bersemai. Sebab tasawuf merupakan elemen yang tidak meng”anak-tiri”kan sukma. Padahal sukma, di mana ruh murni bersemayam mengendalikan tubuh, adalah motor bagi jiwa dan raga seseorang. Jika sukma telah dibutakan oleh keduniaan, dan telah tunduk ke dalam hawa nafsu, maka gelaplah keseluruhan hidup dan kehidupan seseorang. Jadilah ia orang yang dzalim, tidak bisa lagi cahaya hatinya melihat kebenaran cahaya akhirat dengan Nur Allah.

3

Sayangnya, kita memang sering dengan mudah terjerembab dibalik kemegahan materi. KH. Musthafa Bisri membawakan syair cukup bagus tentang ini; “Ya Rasulullah..., Paduka pasti terluka memandang kelakuan kami, Paduka pasti berduka. Oh Rasulullah, oh kekasih ampun bukan kami hendak mempermalukan Paduka, tapi kami tak sekuat Paduka, dunia telah menguasai diri kami, padahal Paduka sudah berulang kali mengingatkan. Kami terlalu memanjakan daging-daging dan mengabaikan sukma-sukma kami. Kami terlalu sibuk membela kepentingan sendiri berebut materi sambil meneriakkan namaNya dan nama Paduka, maka kamipun tak bisa mendengar suara Paduka yang merdu menghimbau penuh kasih sayang mengajak saling menyayang.” (Rekaman pita cassette “Sujud” Gus Mus, Musica Studio Jakarta, Januari 2000, side B). Dalam kitab Maulid al-Diba’iy ada kata mutiara yang sangat indah menggambarkan kenyataan bisa terpenuhinya iradah manusia ke dalam iradah Allah itu sebagai berikut;

‫ط للانللقله بلسففاَاط اكرِْالمفله و انلفواله ل‬ ‫ِ يافنفلزهل لفف هكفلل لَانيَفلافةة إلالف‬.‫ب‬ ‫لا إللَاها إللم اله اكلرِْنيي بااس ا‬ ‫ا ا اا‬ ‫ا‬ ‫ اهفل لمفنن طفافاَلَل ل‬,‫ب‬ ‫ْ اهفل لمفن همسففتافنغلفةرِْ اهفل لمفنن تافآَمَئل ة‬:‫ ويفهناففاَلدنى‬,َ‫اسافآَمَلء الَفددنفايَا‬ ‫ب احاَاجفةة‬ ‫ن ا ن‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫فاأهنلنيَفلاهه الَنماطْاَلَل ل‬ ِ.ِ.ِ. ‫ب‬ ‫ا‬ “laa ilaaha illa’lLahu karii-mun basatha li-khalqihi bisaatha karaaamihi

wal-mawaahibi. Yanzilu fii kulli lailatin ilaa samaa-id-dun-ya, wa yunaadii hal min mustaghfirin hal min taa-ib, hal min thaalibi haajatin fa uniilahulmathalib...” (Maulid al-Diba’ dalam Majmu’at Mawalid wa Adl’iyyat, 1406: 6). Terjemahan bebasnya kurang lebih; “tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah Dzat yang Maha Dermawan. Dia yang membentangkan karunia pemberian-Nya kepada makhluk-Nya. Sifat Kemaha-Dermawanan Allah itu turun di langit dunia pada setiap waktu malam sambil diserukan; ‘wahai, adakah pada malam ini orang memohonkan ampun, bertaubat dan mohon dicukupi keinginannya, pastilah Aku penuhi permohonannya...’”.

4

Tasawuf sebagai Aplikasi Iman, Islam, dan Ihsan Islam memiliki makna dasar penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. Kata “Islam” ini pula yang dijadikan sebagai nama resmi agama yang telah sempurna penurunannya untuk manusia pada masa Nabi Muhammad SAW. Sebagai simbol formal penyerahan diri itu, kaum muslim diwajibkan melaksanakan ibadah “sholat” dengan makna dasar sebagai do’a atau permohonan kebahagiaan kehidupan dunia maupun akhirat, kebahagiaan masa sekarang dan masa depan. Penyerahan diri ini berasal dari ghirah batin yang suci-bersih (shufi), sehingga mendatangkan nilai spiritualitas yang sangat tinggi. Dalam ibadah sholat itulah kita jumpai tiga perbendaharaan agama sempurna. Niat sholat yang menyertakan kata “li-Llahi ta’ala” atau diawali dengan basmalah mengacu pada suatu sikap keyakinan yang kokoh pada yang dituju, yakni Allah Tuhan semesta alam. Inilah Iman itu. Disusul dengan berbagai bacaan dan gerakan yang berisi simpul-simpul do’a yang menyangkut berbagai kebutuhan hidup manusia baik dunia maupun akhirat, dengan puncaknya pada gerakan sujud disertai ungkapan memaha-sucikan Tuhan. Ini adalah aspek al-islam, bentuk kepasrahan total itu, yang muncul karena keyakinan bahwa segala kepastian hidup mahluk, hanya terletak pada Tuhan, baik pengetahuan tentang itu, maupun keterjadiannya. Pada akhir sholat, dilakukan ucapan salam yang mengacu pada prilaku sosial yang membawa kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan bersama. Ini adalah simpul ihsan. Iman, Islam dan Ihsan telah diakui sebagai perbendaharaan kunci dalam pola keberagamaan Islam. Semula, konsep tersebut didasarkan pada sebuah hadits terkenal yang disebut sebagai “hadits Jibril”. Hadits itu memberikan ide kepada kaum muslim Sunni tentang adanya enam rukun Iman (dalam al-Qur’an Qs. 2;177 rukun Iman hanya lima macam yang harus diikuti oleh sikap Ihsan), lima rukun Islam dan satu ajaran tentang penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup. Namun bukan berarti bahwa diantara ketiganya ada kompartementalisasi, dimana antara yang satu dengan yang lain saling atau bisa berdiri sendiri. Namun ketiganya terjalin secara komprehensif, dimana nilai-nilai perwujudannya saling 5

berkelindan yang terakumulasi dalam konsep dasar ‘amal shalih dan segi kemashlahatan. Setiap pemeluk Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam (al-islam) tidak absah tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan iman juga tidak mungkin tanpa adanya inisial islam. Disamping saling terkait, antara ketiganya juga terjalin secara tumpang tindih, sehingga setiap satu dari ketiganya mengandung makna dua istilah yang lainnya. Dalam uman tedapat islam dan ihsan, dalam Islam terdapat iman dan ihsan, dan dalam ihsan terdapat iman dan islam. Maka kita bisa melihat bahwa iman, islam dan ihsan merupakan trilogi ajaran ilahi. Trilogi ini bahkan telah mendapatkan ekspresinya dalam banyak segi kebudayaan islam. Arsitektur masjid Indonesia yang banyak diilhami serta meminjam gaya arsitektur kuil Hindu mengenal adanya seni arsitektur atap bertingkat tiga. Seni arsitektur ini sering ditafsirkan kembali sebagai lambang tiga jenjang perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau permulaan (purwa), tingkat menengah (madya) dan tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana). Dan ini dianggap sejajar dengan jenjang vertikal Islam, Iman dan Ihsan, disamping juga ada penafsiran kesejajarannya dengan syari’at, thariqat dan ma’rifat. Yang jelas berbagai ragam interpretasi tersebut memiliki makna penguatan terhadap apa yang sudah ada secara laten dalam masyarakat muslim. Memaknai Islam dalam Tasawuf Islam merupakan inisial bagi seseorang yang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi. Ini dilukiskan dalam Qs. Al-Hujurat/49;14 tentang pengakuan seorang Yahudi yang menyatakan telah beriman, namun Nabi diperintah Allah agar menegurnya sebagai orang yang belum beriman, tapi baru ber-Islam, sebab Iman belum masuk kedalam hatinya.

                               6

“orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Sehingga iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks orang Badui itu, mereka baru tunduk dan menyerah kepada Nabi secara lahiriyyah. Adapun mengenai hadits Jibril, Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur; Islam, iman dan ihsan, yang dalam ketiga unsur tersebut terdapat makna kejenjangan; orang mulai dari Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Hal ini dihubungkan dengan firman Allah;

                        “Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci kepada para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari sebagian mereka ada yang masih berlaku dzalim terhadap dirinya, dari mereka ada yang mencapai tingkat pertengahan (muqtashid), dan sebagian ada yang bergegas dengan berbagi perilaku kebijakan dengan idzin Allah.” (Qs. Fathir/35;32).

Ibn Taimiyyah menjelaskan, orang yang telah menerima warisan Kitab Suci (mempercayai dan berpegang terhadap ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat dzalim adalah orang yang baru ber-Islam, menjadi seorang muslim, suatu tingkat intermidieted pelibatan dirinya ke dalam kancah kebenaran. Ia bisa berkembang menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu’min, untuk mencapai tingkat lebih tinggi, yakni tingkat pertengahan (muqtashid), jika ia telah terbebas dari perbuatan dzalim, namun perbuatan kebajikannya baru sedangsedang saja. Ia telah berusaha

mengamalkan apa yang diyakininya sebagai

kebenaran agama. Dalam tingkatan yang lebih tinggi pelibatan dirinya ke dalam kebenaran itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau dzalim dan berbuat baik, namun ia bergegas dan menjadi pelomba atau pemuka (sabiq) dalam berbagai kebaikan, itulah orang yang berihsan, mencapai tingkat seorang muhsin. Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dalam imannya dan tingkat sabiq dalam 7

ihsannya, menurut Ibn Taimiyyah, akan masuk surga tanpa terlebih dahulu merasakan adzab. Sedangkan orang yang dalam melibatkan dirinya dalam kebenaran baru mencapai tingkat ber-Islam dimana ia masih dzalim, ia akan masuk surga setelah terlebih dahulu merasakan adzab akibat dosa-dosanya itu. Jika ia tidak bertaubat, maka itu tidak akan diampuni oleh Allah (Ibn Taimiyyah, al-Iman, t.t.: 11). Dalam dataran sejarah, sekarang ini kata al-Islam telah mencapai dan menjadi nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh dan disempurnakan pada masa Nabi Muhammad, yakni agama Islam. Tetapi, secara generik, “Islam” bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah proper noun. Tentu pengertian ini membutuhkan suatu pendalaman melalui wacana-wacana Kitab Suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah serta menyerahkan diri kepada Tuhan. Sikap inilah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan;

      “Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah kepada-Nya (alIslam)” (Qs. Ali Imran/3;19). Maka disamping sebagai nama sebuah agama, Islam, al-Islam bisa berarti umum menurut makna generiknya “pasrah kepada Tuhan”, suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah pandangan dasar al-Qur’an yang menyatakan bahwa semua agama yang benar adalah agama Islam, yang mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan; misalnya dalam Qs. Al-‘Ankabut/29;46). Sama dengan al-Islam, perkataan muslimun dalam ayat yang sama juga lebih tepat diartikan sebagai “orang-orang yang pasrah kepada Tuhan”. Jadi otomatis perkataan al-muslimun dalam makna asalnya bisa juga menjadi kualifikasi para pemeluk agama lain, khususnya penganut ahl al-kitab yang ini juga diisyaratkan dalam Qs. Ali Imran/3;85.

8

              “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” Pengertian tersebut sejalan dengan analisis para pakar tafsir Qur’an. Ibn Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah (al-muslimun) mengatakan yang dimaksud ialah “mereka dari kalangan ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus, pada semua kitab suci yang diturunkan, mereka tidak mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima kebenaran segala sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi yang dibangkitkan Tuhan.” (Tafsir Ibn Katsir, 1404/1984: I, 380). Sedangkan al-Zamakhsari memberi makna muslimun sebagai “mereka yang bertauhid dan mengikhlaskan diri kepada-Nya,” dan mengartikan al-Islam sebagai sikap memaha-Esakan (bertauhid) dan sikap pasrah diri kepada Tuhan” (Tafsir alKashshaf, t.t.: I, 442). Dari berbagai penjelasan itu dapat ditegaskan bahwa beragama tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, betatapun seseorang mengaku sebagai “muslim” atau penganut “Islam” adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Tuhan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, harus juga dipahami tentang penegasan al-Qur’an bahwa agama seluruh Nabi dan Rasul adalah agama Islam. Yaitu, agama yang mengajarkan sikap tunduk patuh, pasrah dan berserah diri secara tulus kepada Tuhan dengan segala qudrah dan iradah-Nya. Salah satu bentuk kepasrahgan tersebut adalah dengan melaksanakan lima rukun Islam, sebagai alat ukur keislaman nominal seseorang yang disebut dalam sebuah hadisn shahih riwayat bersama antara Imam al-Bukhari dan Muslim.

‫يِ الَمزاكففاَاة‬ ‫ناللنسفالهم أانن تافنعبهفاد الَلمفها اولا تهنشفلرِْاك بلفله اشفنيَئئاَ اوتهلقيَفام الَ م‬ ‫صففلااة الَنامنكهتوبافةا اوتهفاؤلد ا‬ ‫ضاَان‬ ‫صوام ارام ا‬ ‫الَنامنفهرِْو ا‬ ‫ضةا اوتا ه‬ 9

“Islam merupakan tindakan penyembahan kepada Allah dan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, menunaikan shalat yang sudah ditetapkan, menunaikan zakat yang diwajibkan, dan mengerjakan puasa bulan Ramadhan” (al-Bayan, hadits no. 5). Dalam hadits lain, kelima rukun atau pondasi aplikatif Islam disebutkan:

‫ل‬ ‫صففلالة اولإيتاففاَلء الَمزاكففاَلة اولصفايَاَلم‬ ‫نف ناللنسفالهم اعلاففىَ اخناسفةة اعلاففىَ أانن يفهاومحفاد الَلمفهه اوإلقفافاَلم الَ م‬ ‫به ا‬ ‫ضاَان اوانلالج‬ ‫ارام ا‬ “Islam dibangun pada lima pondasi aplikatif, yakni: meng-Esakan Allah, menunaikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa bulan Ramadhan dan melaksanakan ibadah Haji.” (al-Bayan, hadits no. 10). Hanya dengan beragama dan keagamaan seperti itulah yang bakal diterima oleh Allah dan di akhirat kelak tidak termasuk orang-orang yang merugi. Inilah inti dari pesan inna al-dina ‘inda-Llahi al-Islam itu dan pesan

              “dan barangsiapa menganut selain al-Islam (sikap pasrah kepada Tuhan) sebagai agama maka ia tidak akan diterima, dan diakhirat ia akan termasuk mereka yang menyesal” (Qs. Ali Imran/3;85). Jelaslah bahwa Islam dalam pengertian ini mustahil tanpa iman. Dengan adanya keharusan tunduk patuh dan berserah diri secara tulus pada Tuhan, mustahil bisa terwujud tanpa adanya keyakinan yang kokoh dikedalaman hatinya, sebab al-Islam sebagai kunci dari sikap istiqamah dari keimanan tersebut. Dan tentunya bentuk pengembangan yang muncul dari pribadinya adalah amal-amal shalih yang menjadikannya sebagai seorang muhsinun. Ungkapan-ungkapan muhlishun, muhsinun, muslimun sebenarnya adalah kunci mendasar pengamalan seorang sufi. Konteks Ke-iman-an Seorang Sufi 10

Iman dalam makna generiknya adalah sikap percaya, dalam hal ini menurut aqidah kaum sunni terutama percaya pada enam rukun iman:

‫ناللاياَهن اقاَال أانن تهفنؤلمن بلاَلَلمله ومالئلاكتلله وكلاتاَبلله ولَلاقاَئلله ورسللله وتهفنؤلمن لباَنلَبفع ل‬ ِْ‫ث انللخلر‬ ‫ا ا اه ه ا ا ا ن‬ ‫اا‬ ‫ا‬ Yakni iman kepada Allah, para malaikat, kitab suci dari Allah, pertemuan dengan Allah (sebagian hadits menyebutkan qadha dan qadar Allah [penetapan, kepastian dan kejadian dari Allah]), para Utusan Allah, dan kepada kebangkitan di hari akhirat. Karena percaya pada masing-masing dari rukun tersebut memang mendasari tindakan seseorang, sehingga pengertian dasar itu menjadi kewajaran dan kebenaran bagi maisntream masyarakat. Akan tetapi, dalam dimensinya yang lain dan secara lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi ia menuntut perwujudan atau eksternalisasi dalam pola perilakunya. Maka dalam hal ini Nabi Muhammad mensabdakan bahwa iman mempunyai lebih dari tujuhpuluh tingkat sejak ucapan tahlil sampai menyingkirkan batu dari jalanan. Keterpaduan antara iman dan perbuatan baik juga dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi bahwa “orang yang berzina tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan seseorang tidak akan membuat teriakan yang menakutkan yang mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman.” Disini menjadi jelas mengapa al-Qur’an selalu menyebutkan keimanan yang diikuti oleh kalimat ‘amil al-shalihat. Ketiadaan keimanan dari orang yang melakukan kejahatan itu dikarenakan iman telah terangkat dari jiwanya dan “melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan.” Demikian keterangan Ibn Taimiyyah tentang iman yang dikaitkan dengan perbuatan baik atau budi pekerti yang luhur (Ibn Taimiyyah, al-Iman, hlm. 12-13). Berdasarkan rentetan fakta tersebut menjadi jelas bahwa makna iman dapat berarti sejajar dengan kebaikan dan perbuatan baik. Ini dikuatkan oleh riwayat

11

tentang orang yang bertanya tentang keimanan, tetapi Allah menurunkan wahyunya tentang kebajikan (al-birr) dalam Qs. Al-Baqarah/2;177. Ada beberapa unsur keimanan (dalam arti perilaku kebajikan) menurut ayat tersebut yakni; (1) aplikasi ibadah sebagai perwujudan terhadap keimanan pada Allah, hari kemudian, para malaikat, Kitab Suci dan para nabi. (2) mendermakan harta yang dicintainya sesuai dengan urutan prioritas yang ditetapkan yakni untuk kerabat dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang terlantar dalam perjalanan, dan orang yang terbelenggu dalam perbudakan. (3) menegakkan sholat. (4) menunaikan zakat. (5) menepati janji-janji yang dibuatnya. (6) tabah dalam kesusahan, penderitaan dan masa-masa sulit. Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan perkataan kebajikan (albirr), taqwa, dan kepatuhan (al-din) pada Tuhan (Ibn Taimiyyah, al-Iman, hlm. 152-153). Inilah sendi ketaatan operasional keseharian seorang muslim, yang ingin memasuki gerbang kesufian. Makna Ihsan Sebagai Fondasi Sufi Dalam hadits Jibril dikemukakan bahwa Ihsan adalah

‫ك إلنن لا تافارِْاهه فالإنمهه يافارِْااك‬ ‫ك تافارِْاهه فالإنم ا‬ ‫نالَلإنحاساَهن اقاَال أانن تافنعبهاد الَلمها اكأانم ا‬ “bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (Sahih Bukhari, jl.I, hlm. 10). hadits ini menjadi pangkal doktrin sufi dalam melaksanakan amal-ibadahnya. Maka ihsan adalah ajaran tentang penghayatan yang pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup, melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadapi dan berada di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Ihsan adalah pendidikan atau latihan untuk mencapai dalam arti yang sesungguhnya. Sehingga ihsan adalah merupakan puncak tertinggi kegamaan manusia. Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa makna ihsan lebih meliputi dari iman, dan karena itu, pelakunya adalah lebih khusus daripada pelaku iman, sebagimana 12

iman lebih meliputi dibanding Islam, sehingga pelaku iman lebih khusus dibanding pelaku Islam. Sebab dalam ihsan sudah terkandung iman dan Islam, seperti dalam iman sesudah terkandung Islam (Ibn Taimiyyah, al-Iman, hlm. 11). Ihsan secara harfiah berarti “berbuat baik”. Pelakunya disebut muhsin. Oleh karenanya, sebagai jenjang penghayatan keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Nabi menyebutkan bahwa yang paling utama dari kalangan kaum beriman adalah yang paling baik akhlaknya. Ketika ihsan dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada Tuhan, Islam, orang yang ber-ihsan disebutkan dalan Kitab Suci sebagai orang yang paling baik keagamaanya (Qs. Al-Nisa/4;125). Ihsan dalam arti sebagai akhlaq mulia atau pendidikan ke arah budi pekerti yang baik sebagai puncak keagamaan dapat dipahami juga dari beberapa hadits terkenal seperti “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi” dan juga sabda Rasulullah

bahwa yang paling

memasukkan orang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi (Kitab Subul al-Salam, jl. IV, hlm. 212). Perenungan lebih jauh dari kerangka di atas menunjukkan kenyataan bahwa makna-makna konsep iman, Islam dan ihsan tersebut tidak jauh berbeda dari yang secara umum dipahami oleh kaum muslim, yakni bahwa dimensi vertikal pandangan hidup kita (iman dan taqwa, habl min al-Lah, yang dilambangkan oleh takbir pertama atau takbir al-ikram dalam sholat) selalu dan seharusnya melahirkan dimensi horizontal pandangan hidup kita yang lain, yakni amal shalih, akhlaq mulia, habl min al-nas yang dilambangkan dengan salam pada akhir shalat. Maka makna-makna tersebut sejalan dengan pengertian umum tentang keagamaan, hanya saja penjabaran lebih jauh akan selalu diperlukan untuk memperkuat dan menyangga berbagai konsepsi dasar dalam ajaran agama, termasuk dalam tasawuf, yang di dunia modern sekarang ini, dapat berfungsi sebagai psikoterapi bagi masyarakat. Keseluruhan sendi-sendi aplikatif kehidupan sufi agar dapat mencapai derajat ihsan, mempersaksikan Allah dalam keseluruhan medan kehidupan, dapat 13

dinikmati dalam sajian bagian kedua buku ini. Namun tentu saja, sebelum memasuki wacana operasional dalam bentuk sehari-hari, kita perlu mengetahui lebih jauh tentang sejarah tasawuf sejak era Nabi sampai dewasa ini, serta tujuan apa yang ingin kita capai dengan menempuh jalan sufi itu.

14

Related Documents

01 Isl & Tsw
October 2019 23
Isl-book
June 2020 2
Isl Book
June 2020 9
Isl 4.docx
October 2019 12
Lecture For Isl
October 2019 27
Jadwal Isl 2009-2010
June 2020 1

More Documents from ""

Maulid Dan Haul.docx
November 2019 14
01 Isl & Tsw
October 2019 23
Cover.docx
June 2020 4