Pendidikan dan Pendidikan Politik Oleh Thomas Koten Kenduri demokrasi pemilu legislatif yang diselenggarakan 9 April lalu, sesungguhnya telah memercikkan semacam pseudo-analisis perpolitikan nasional yang intens dan menarik untuk dikerling. Pengerlingan kita berkisar pada pragmatisme politik kekuasaan yang dipertontonkan oleh para petarung di jalan kekuasaan, dengan cara membodohi rakyat, yang tercermin dari aneka janji kampanye yang kerap diselipi dengan uang untuk membeli suara rakyat. Rakyat pun sebenarnya sudah tahu bahwa politik uang adalah suatu permainan politik yang tidak etis dan minus moral, dus janji-janji kampanye yang setinggi langit hanyalah pembodohan terhadap dirinya, karena secara nalar dan logika politik, segala janji surga dan jual kecap manis itu mustahil implementasinya. Rakyat pun sebenarnya sudah yakin juga bahwa nasibnya seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, yakni bahwa dirinya segera dikhianati dan ditinggalkan oleh para politisi setelah kursi kekuasaan diraih dan ambisi politiknya dipenuhi. Pertanyaan, sampai kapan kemiskinan dan hidup kaum miskin hanya dijadikan tema klasikal kampanye dan alat legitimasi politik kekuasaan? Atau, bagaimanakah agar rakyat yang sebenarnya memiliki kekuasaan tertinggi negeri ini tidak terus-menerus bisa dibodohi oleh elite, pemimpin dan parpol? Pertanyaan ini dapat dijawab hanya dengan berpijak pada apa yang dinamakan pendidikan politik untuk rakyat. Pendidikan politik Untuk menghindari diri dari berbagai upaya pembodohan terhadap rakyat yang dilakukan oleh para elit politik dan parpol, maka pendidikan politik menjadi suatu kebutuhan mutlak. Dan untuk menggapai sebuah pendidikan politik yang diinginkan, maka tingkat kecerdasan masyarakat harus ditingkatkan lewat proses-proses pendidikan yang baik. Pendidikan rakyat atau masyarakat pada umumnya harus dikembangkan secara terus-menerus di mana pendidikan itu sendiri merupakan suatu laboratorium pencerdasan manusia dus sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran reflektif masyarakat. Sulitnya masyarakat menerima pendidikan politik yang disodorkan oleh partai politik atau kaum elite politik, hanya karena tingkat kecerdasan masyarakat pada umumnya lemah atau sangat minim. Mengapa dan bagaimana hal ini dielaborasi lebih lanjut? Ingat bahwa dunia pendidikan merupakan agen sosialisasi dan pemberi pengaruh terhadap pribadi, sistem sosial dan politik, atau sekolah sebagai agen pendidikan politik bagi peserta didik. Ini bertalian dengan pendidikan politik yang kerap dipahami sebagai proses pembelajaran politik (political learning) atau sosialisasi politik (political socialization) tidak lain sebagai proses pembentukan dan pengembangan sikap dan perilaku politik. Atau, pendidikan politik merupakan revitalisasi pemahaman tentang kehidupan politik dan segala praktek kekuasaan yang dilakoni kaum elit politik. Bahkan, sebagaimana digemakan oleh para filsuf Yunani klasik, seperti Aristoteles pendidikan itu sendiri adalah politik atau politis (to govern), sebagai dua hal yang menyatu dalam kesatuan. Ini kemudian diteruskan oleh filsuf John Lock yang
mengatakan, pendidikan adalah politik, karena pendidikan merupakan hasil dari keputusan-keputusan politik. Dalam masyarakat modern, pendidikan dipahami sebagai a public or mere good yang ditetapkan berdasarkan keputusan politik. Sebuah pemahaman yang tidak berbeda jauh dari ahli pendidikan Asia, Paulo Freire (1984), yang mengatakan pendidikan merupakan proses penyadaran terhadap struktur sosial politik dan pembebasan, dus sebagai pengintegrasian antara melek huruf dengan kesadara sosial dan struktural. Itulah kemudian secara luas dan mendasar dikatakan bahwa pendidikan politik merupakan suatu upaya penumbuhkembangan rasa solidaritas-seperasaan, dengan komitmen yang tinggi terhadap kelompok masyarakat yang tidak berdaya (tertindas) dan meningkatkan kemampuan untuk melakukan aksi protes terhadap berbagai bentuk ketidakadilan yang dibangun oleh kebijakan-kebijakan politik. Artinya, pendidikan politik diarahkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap kehidupan politik dengan seluruh kebijakan dalam tata kelola negara. Dalam kaitan dengan ini, pendidikan politik, bukan hanya sebatas memberi pemahaman seputar perebutan kekuasaan di mana politik senantiasa dikaitkan dengan kekuasaan, seperti tentang sejauh mana pemilu dilaksanakan dan berapa kursi di DPR, siapa caleg dan capre/cawapres dan seterusnya, melainkan lebih pada bagaimana seharusnya politik itu sendiri dilakoni dan dikerjakan. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana kekuasaan harus diraih secara etis dan dikelola dengan rasa tanggung jawab moral yang tinggi, serta sejauh mana mengimplementasikan segala janji politik yang telah digelontorkan pada musim kampanye. Dengan demikian, rakyat pun dalam mengikuti pemilu, khususnya dalam menentukan caleg atau capres mana yang harus dipilih, bukan berdasarkan pada penilaian-penilaian subyektif hanya karena memiliki keterkaitan emosional, seperti kekerabatan dan pertemanan, tetapi benar-benar pada penilaian obyektif, yaitu karena kemampuan atau kecerdasan intelektual dan kemelekan nurani serta keagungan moralnya dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Praktek pendidikan politik Sejauh ini yang kita lihat adalah sangat minimnya pendidikan politik. Tidak adanya profesionalismenya KPU dalam menyelenggarakan pemilu hingga banyaknya warga yang tidak ikut memilih hanya karena tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), tidak lain adalah cermin dari ketiadaan pendidikan politik. Kampanye politik yang mempertontonkan aksi balas dendam juga menunjukkan suatu jenis pendidikan politik yang kurang bagus. Termasuk di dalamnya adalah politik uang yang sangat membutakan rasionalitas rakyat dalam menentukan pilihan-piluhan politiknya. Sebab, dalam memilih, diharapkan rakyat memiliki pertimbangan rasional yang berhubungan dengan hakikat pemilu dan demokrasi. Pertanyaan, siapa yang melaksanakan pendidikan politik? Pada masa otoritarian Orde Baru, pendidikan politik langsung digunakan oleh pemerintah lewat program P4. Maka, dalam era demokratis ini, tentu yang diandalkan adalah partai politik. Parpol harus merasa terpanggil untuk mengembangkan pendidikan politik di tengah mayarakat, selain melakukan perekrutan politik serta menjalankan fungsi artikulasi kepentingan dan agregasi politik.
Dan pendidikan politik oleh partai politik saat ini telah mencapai titik urgernsinya dalam proses internalisasi nilai politik yang berguna bagi pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, terutama di tengah pemahaman dan praksis politik rakyat yang sangat pragmatis. Pragmatisme politik yang begitu menyengat publik telah membuat mereka dalam menghadapi kampanye politik, bukan sebagai suatu perjuangan bersama dalam menyukseskan pemilu dan memenangkan figur demi perbaikan nasib bangsa ke depan, tetapi lebih mengharapkan imbalan-imbalan langsung seperti uang atau berbagai jenis bantuan materi lainnya. Pertanyaan akhir, bukankah pragmatisme politik seperti itu sangat mematikan kreativitas politik dan melumpuhkan kemajuan masa depan bangsa? Inilah pertanyaan reflektif yang jawabannya telah mencapai tahap urgensinya pula. Penulis, Direktur Social Development Center