Pendidikan Melek Media [compatibility Mode]

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendidikan Melek Media [compatibility Mode] as PDF for free.

More details

  • Words: 3,615
  • Pages: 65
Pendidikan Melek Media (Media Literacy Education) O L E H : E VAR I S T U S AN G W A R M A S E

1. Tujuan pendidikan media Tujuan yang hendak dicapai dengan pendidikan media adalah: • Membagikan pengetahuan akan jenis-jenis media • Membagikan pemahaman akan kekuatan, peran dan fungsi media dalam hidup sehari-hari • Menunjukkan efek dari media • Membangun sikap cerdas dan proaktif dalam mengkonsumsi media • Menjelaskan posisi Gereja dalam menyikapi kehadiran media

2. Tentang Media Massa 1. Pengertian Secara etimologis, frase “media massa” berasal dari penggabungan dua suku kata “media” (yang artinya alat atau sarana) dan “massa” (artinya orang banyak). Maka secara sederhana, media massa berarti alat atau sarana untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada banyak orang. 2. Jenis-jenis media massa Ada 4 jenis media massa, yakni: televisi, radio, film dan media cetak

3. Mengapa Gereja terlibat? Dalam Inter Mirifica disebutkan bahwa Gereja tertarik untuk terlibat dalam pendidikan media karena Gereja menyadari daya jangkau dan potensi pengaruh yang terkandung dalam media.  Daya jangkau: media bisa menjangkau sebanyak mungkin orang bahkan semua orang. Dengan begitu Gereja dapat memanfaatkan media sebagai sarana pewartaan Kabar Baik yang efektif yang menjangkau semua orang di manapun mereka berada.  Potensi pengaruh: media menyimpan potensi konstruktif dan destruktif bagi umat manusia. Dalam pandangan Gereja, jika dipergunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tata etika dan moral, media bisa menghasilkan pengaruh yang konstruktif bagi manusia terutama untuk pengembangan kemanusiaan dan kebaikan bersama (bonum communae) masyarakat secara umum dan Gereja pada khususnya. Itulah sebabnya Gereja tidak tinggal diam, sebaliknya secara proaktif terlibat dalam pendidikan media untuk memastikan bahwa media mendatangkan pengaruh konstruktif bagi manusia dan masyarakat.

Singkatnya… Gereja ingin agar media berjalan sesuai rambu yang benar, yakni menjadi sarana yang membantu manusia mencapai kepenuhannya sebagai pribadi dan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat.

Beberapa contoh produk media dan hasil penelitian lapangan pada slide berikut memperlihatkan potensi destruktif media bagi pola pikir masyarakat.

Contoh lagu pop CEMBURU By DEWA *Ingin kubunuh pacarmu Saat dia cium bibir merahmu Di depan kedua mataku Hatiku terbakar jadinya, cantik Aku cemburu

Ingin kubunuh pacarmu Saat dia peluk tubuh indahmu Di depan teman-temanku Makan hatinya jadinya, oh cantik Aku cemburu

Meski pun aku pacar rahasiamu Meskipun aku selalu yang kedua Tapi aku manusia yang mudah sakit hati

Mungkin memang nasibku yang s’lalu menunggu Untuk jadi yang pertama Mungkin kukatakan kepadanya saja Bahwa aku juga milikmu Bahwa kau juga oh oh oh Bahwa aku juga kekasih hatimu (Back to *)

Contoh 2 LELAKI CADANGAN By T2 Kutuliskan sebuah cerita cinta segitiga Di mana akulah yang jadi pemeran utama Aku tak dapat membohongi segala rasa Aku mencintai dia dan dirinya Nanti pukul satu dia menemui aku Maka jangan kamu pasang wajah yang cemburu Nanti bila dia datang menemui aku Maka cepet-cepet kamu ngumpet dulu

Reff: Dan aku sudah pernah bilang Pacarku bukan cuma kamu saja Ku mempunyai dua hati Yang t’lah siap untuk ditinggali

Kan aku sudah pernah bilang Janganlah kamu terlalu sayang Dan bila nanti kau menghilang Ku masih punya lelaki cadangan

Analisa Dalam teori kebudayaan, lagu berfungsi ganda: (1) menyuarakan/mengekspresikan situasi yang terjadi dalam masyarakat; (2) menciptakan situasi baru dari tidak ada menjadi ada. Kita bisa menganalisa dua lagu di atas dengan kaca mata ini. Baik lagu pertama maupun lagu kedua seolah-olah menyetujui bahwa ketidaksetiaan dan ketiadaan komitmen dalam sebuah relasi cinta bukanlah masalah. Tidak apa-apa kalau tidak setia dan melanggar komitmen terhadap pasangan. Pertanyaannya adalah apakah ini fenomena yang memang sedang terjadi di masyarakat bahwa selingkuh itu sah-sah saja? Ataukah lagu-lagu ini mengusung misi tertentu untuk mendobrak pandangan bahwa kesetiaan dan komitmen dalah mutlak dalam sebuah relasi cinta?

Analisa Jika lagu-lagu ini menyuarakan nilai yang tengah dihidupi dalam masyarakat (bahwa selingkuh itu sah-sah saja), maka di sinilah persis alasan keterlibatan Gereja: media seharusnya tidak menyiram bensin pada api yang sementara bernyala; media seharusnya menghadirkan nilai-nilai moral yang benar bahwa selingkuh itu salah; media seharusnya menjadi counter culture. Jika lagu-lagu ini hendak memperkenalkan nilai baru dalam masyarakat (bahwa selingkuh itu sah-sah saja), maka di sinilah pula persis alasan keterlibatan Gereja: media seharusnya mempromosikan ajaran moral kristiani yang benar yakni kesetiaan dan komitmen adalah harus hukumnya dalam sebuah relasi.

Hasil penelitian lapangan 1 Dalam wawancara dengan 8 orang dewasa, saya menemukan bahwa terutama ibu-ibu (5 orang) sangat meminati program infotainment/acara gosip selebriti. Sisanya (3 orang bapak) lebih memilih program berita tetapi sifatnya sangat temporal (faktor pemilu). Selain infotainment, sinetron (Cinta Fitri, Melati untuk Marvel, Tarzan Cilik) menduduki urutan kedua program yang diminati.

Analisa Dalam beberapa kesempatan, saya menyaksikan program infotainment yang diminati tersebut (program Insert di TransTV setiap hari pukul 12.10 WITA, misalnya). Saya menemukan bahwa perselingkuhan dan perceraian selebriti adalah tema paling dominan dalam program-program itu. Para peneliti budaya populer menyebutkan bahwa tutur kata, pola pikir dan gerak-gerik public figur semacam selebriti sering diserap dan diikuti mentah-mentah oleh para pemujanya. Pertanyaan kritis yang membutuhkan penelitian lebih mendalam dan komprehensif adalah sejauh mana berita-berita (perselingkuhan dan perceraian selebriti) ini memberi efek pada pola pikir ibu-ibu yang menontonnya.

Analisa Masih tentang program-program gosip selebriti ini, yang patut digugat adalah media, dalam hal ini televisi, bisa jadi turut memicu dan menyuburkan praktek perselingkuhan dan perceraian di tengah masyarakat. Dunia rekaan sinetron yang tidak masuk akal: semua yang berperan di sana cantik dan ganteng, pamer kekayaan yang menyolok mata, jalan cerita yang tidak masuk akal, banyak adegan kekerasan, aktor-aktris muda yang memainkan peran sebagai pasangan suami istri. Efeknya pada pola pikir ibu-ibu bisa diteliti secara mendalam tetapi dapat dipastikan bahwa unsur edukasi dan penanaman nilai kristiani nyaris hilang.

Mari bersikap kritis terhadap media

Hasil penelitian lapangan 2  Saya mewawancarai 10 orang anak. Film-film favorit mereka

adalah: Tom & Jerry, Crayon Sinchan, Popeye, Detektif Conan, Dragon Ball, Naruto. Dalam percakapan dengan mereka, saya menemukan betapa mereka sungguh-sungguh terhibur dengan tayangan-tayangan itu.  Masalahnya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah merilis (setelah sebelumnya mengirim teguran kepada pihak pengelola TV) daftar tayangan-tidak-layak-konsumsi oleh anakanak karena sarat kekerasan, mistis dan seks. Dan semua tayangan yang di atas yang, menurut anak-anak sangat menghibur, ternyata masuk kategori yang disebutkan KPI ini.  Bahwa sampai kini film-film kartun ini masih tetap ditayangkan mencerminkan sikap pengelola media yang hanya mencari untung dan abai terhadap pembentukan kepribadian anak.  KPI boleh saja mengeluarkan daftar tersebut, tapi orang tua tidak pernah mengetahuinya.

Hasil penelitian lapangan 2 Mengapa orang tua mengizinkan/membiarkan anaknya menonton film-film kartun itu? Berikut hasil temuan di lapangan dari responden yang sama: 1. Orang tua ingin anaknya tidak berkeliaran di luar rumah: prinsipnya yang penting dia betah di dalam rumah, tayangan kartun apapun bukan masalah. 2. Orang tua menyukai begitu saja apa yang disukai anaknya 3. Orang tua tidak pernah menemaninya menonton sehingga tidak tahu kalau film-film kartun itu bermasalah. 4. Kalaupun menonton bersama-sama, orang tua tidak cukup kritis terhadap isi tayangan entahkah baik untuk perkembangan kepribadian anaknya atau tidak.

Hasil penelitian lapangan 2 Temuan lain:  orang tua mengizinkan/membiarkan anak-anak menyaksikan (banyak kali secara bersama-sama dengan orang tuanya) tayangan-tayangan sinetron, reality show dan infotainment tanpa ada bimbingan dari orang tua. Faktanya, anak-anak lebih ingat kapan jam tayangannya dan menghafal di luar kepala dialog-dialog dalam tayangan-tayangan itu, termasuk dialog-dialog kasar dan mengarah pada seks.  Dialog-dialog yang dihafal (tidak sedikit yang vulgar) ini tak jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari.

Kekuatan media  Media

bisa mengubah pola pikir kita. Media bisa menghibur dan membentuk kita. Media dibentuk dan diciptakan oleh kita tetapi pada gilirannya kita akan dibentuk oleh media.  Atas cara apa media membentuk kita? Tiap media memproses informasi, artinya tiap media menciptakan dan membentuk ulang informasi sesuai dengan kekuatan dan kelemahan media itu sendiri. Misalnya, di tangan harian nasional KOMPAS sebuah kasus pemerkosaan akan diberitakan dengan menekankan unsur kriminalitasnya. Tetapi di tangan harian lokal POSKO atau METRO yang ditonjolkan adalah unsur seksualitasnya.

 Maka ketika kita mengkonsumsi media, yang kita konsumsi

sesungguhnya adalah sebuah seni membangun realita untuk kepentingan menghibur kita. Dengan kata lain, berita pemerkosaan yang kita baca bukan lagi fakta yang benar-benar terjadi sebagaimana adanya di lapangan. Fakta itu sudah direka-ulang dan disajikan bukan semata-mata supaya kita mengetahui apa yang terjadi tetapi juga untuk menghibur kita.  Media mendiktekan kepada kita apa yang harus kita pikirkan dan kita butuhkan sekarang dan di kemudian hari nanti. Media menjadi penentu pola pikir kita. Bahkan media bisa memaksa kita memikirkan ulang dan mengganti pandangan kita tentang keluarga, agama dan budaya. Dengan maraknya pemberitaan tentang perceraian dan perselingkuhan selebriti, bukan tidak mungkin mengakibatkan kesakralan nilai keluarga menjadi luntur.

Kita vs Media …

Tujuan pendidikan media Adalah untuk mengamati, menginterpretasi, menganalisa dan mengevaluasi pesan-pesan yang disampaikan media termasuk kualitas-kualitas etis dan estetisnya. Dengan demikian yang diharapkan nantinya: 1. Kita bisa ikut berpartisipasi mengubah atau mengembangkan isi atau pesan dari media 2. Kita sendiri bisa mengontrol media. Kita bisa menghentikan program-program tertentu yang tidak mendatangkan kebaikan bagi dan dalam masyarakat. 3. Kita bisa meyakinkan pengelola media untuk mengubah media mereka menjadi sumber pengetahuan, nilai dan hiburan yang lebih baik.

Tujuan pendidikan media 4. Media bisa mempengaruhi anak-anak terutama kemampuan sosialisasi, kemampuan belajar, imaginasi dan pertumbuhan fisik. Kita tahu anak-anak dewasa ini menghabiskan 4-5 jam di depan televisi atau mendengarkan radio. 5. Media adalah sumber informasi dan pengetahuan tentang hampir apa saja. Tetapi informasi dan pengetahuan, kadang-kadang, selektif, bias dan mengandung stereotip. 6. Media berperan penting untuk iklim ekonomi.

jika Anda tidak kritis pada media, media akan membentuk Anda

Pandangan Gereja tentang media komunikasi Gereja menaruh perhatian terhadap media komunikasi secara khusus dalam Ensiklik Inter Mirifica yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI.

Inter Mirifica 1. 2.

3. 4.

5.

Eliminasi buta huruf – menyediakan pendidikan dasar dan pendidikan lanjut, memperkaya pikiran orang Sarana-sarana yang ampuh bagi perkembangan dan komunitas; pertumbuhan dalam kebebasan untuk negaranegara berkembang. Menetapkan aturan-aturan yang berlaku universal agar orang bisa menikmati keindahan budaya dan waktu luang. Membantu orang tetap bersentuhan dengan realitas yang sebenarnya dengan memberikan pandangan-pandangan dan suara-suara Mendekatkan tempat yang jauh; cepat bersentuhan dengan perkembangan terbaru

Kultur media Pesan yang kita terima dari media komunikasi menyebar dan hidup di tengah masyarakat dalam bentuk pola pikir, pola rasa dan perilaku. Itulah budaya yang diciptakan oleh media sehingga muncul istilah “budaya media” artinya budaya yang diciptakan oleh media. Pertanyaan yang penting adalah budaya apa yang diciptakan oleh media?

Kultur media Budaya media adalah: 1. Ciptaan manusia yang bisa menghancurkan kita atau menjadi rahmat dan menumbuhkan kita. 2. Kombinasi dari nilai-nilai yang dibentuk kembali dari institusi kita, menopang kebijaksanaan yang sudah diterima umum dan menyepakati gagasan-gagasan tentang apa yang sesungguhnya penting. 3. Realitas objektif pada dirinya sendiri di mana kita bisa menilai diri sendiri, mengevaluasi kelayakan kita, mencari kepenuhan dan menemukan arti dan tujuan hidup tiap orang. 4. Melingkupi semua ekspresi-ekspresi di mana kita berada di dalamnya: seni, teknologi, pendidikan, sistem politik, institusi agama dan simbol-simbol.

Memahami kebudayaan Setelah mengetahui dan memahami apa itu budaya media, kita mundur sejenak untuk memahami kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan dengan akar kata budaya berasal dari bahasa Latin “colo” yang artinya menumbuhkan atau mengerjakan. Dalam pertanian dan ilmu psikologi sosial, budaya berarti menumbuhkan seseorang menjadi manusia seutuhnya. Kebudayaan menyediakan nilai-nilai tentang pemahaman diri, pemenuhan diri, tujuan hidup dan makna dari hidup ini.

Bahaya dari budaya  Bahaya

dari budaya adalah budaya dapat membentuk kita sesuai dengan gambar dan citra yang dikehendaki oleh budaya itu sendiri dan bukannya berdasarkan eksistensinya sebagai manusia.  Sebagai sistem pemenuhan bagi diri kita, budaya bisa menjadi sistem pembinaan dan pendidikan sepenuhnya. Apa yang terjadi jika budaya dikorupsi oleh oknum-oknum politik, ekonomi sosial dan media? Mereka bisa menumbuhkan seseorang bukan sebagai pribadi tetapi sebagai alat atau budak dari budaya itu sendiri.

jika Anda tidak kritis pada budaya, budaya akan membentuk Anda

Contoh terbaik dari budaya yang dibicarakan sebelumnya adalah membandingkan sekolah dan media yang dikonsumsi. Lazim terjadi bahwa waktu yang dihabiskan seorang anak di sekolah berkisar 8 jam sehari dalam 6 hari. Selebihnya anak-anak tinggal di rumah dan 5 jam di antara bersentuhan dengan media. Sekalipun demikian banyak waktu dihabiskan di sekolah ketimbang mengkonsumsi media, media berpengaruh besar terhadap perkembangan mereka. Inilah alasan-alasannya:

Lingkungan sekolah VS lingkungan media 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Kurikulum sudah ditetapkan vs penuh dengan pilihan Silabus sudah ditetapkan vs berkembang terus Guru-guru sudah ditentukkan vs banyak guru Hanya mengandalkan otak dan suara vs mengandalkan perasaan Formal vs informal Berorientasi pada ujian-ujian vs berorientasi pada kesenangan Penghargaan pada akhir tahun vs penghargaan langsung

Media dan kaum muda Dengan perbedaan budaya yang sedemikian tajam, patut ditanyakan bagaimana kaum muda dan anakanak memandang diri mereka sendiri. Ada indikasi bahwa diri sendiri dan kebahagiaan dalam hidup didefinisikan melalui kepemilikan barang-barang seperti yang diiklankan atau dicitrakan oleh media. Misalnya, harapan ada pada sebatang rokok, kepercayaan pada sebuah kondom, kebahagiaan dan cinta ada pada parfum dan kosmetik, kebebasan baru ada pada serbet bersih.

Kita adalah… apa yang kita pakai

Kita adalah budak dari produk

5 fakta tentang media 1. Media adalah bisnis besar. Tujuan media adalah mendapatkan perhatian sebanyak mungkin orang. Karena sebanyak mungkin orang = banyak iklan yang masuk. Banyak iklan = keuntungan bagi pengelola media. Maka apapun akan dilakukan untuk menarik sebanyak mungkin orang.

2. Media hanya tertarik pada orang yang “tepat” Orang yang “tepat” itu adalah wanita dengan kisaran usia 1845. Ini pangsa pasar yang mudah menarik para pengiklan. Bisa jadi slogan pengelola media adalah “No media for old men”

3. Media tidak selalu bersentuhan dengan harapan konsumer. Seringkali apa yang diinginkan oleh pelanggan, belum tentu itulah yang ditampilkan media.

4. Media tidak menampilkan realita yang sebenarnya sebagaimana adanya

5. Media dibentuk oleh budaya sebagaimana budaya dibentuk oleh media

Mengenal Generasi E (1980-1999)

Generasi E adalah mereka yang lahir antara tahun 1980-1999. Saya termasuk dalam generasi E (lahir tahun 1982), karena itu untuk selanjutnya akan dipergunakan istilah “kami”. Dalam keseharian, kami amat terhubung dengan media komunikasi massa seperti televisi, radio dan internet.

Ciri-ciri kami adalah:

Karena selalu bersentuhan dengan teknologi yang sangat memudahkan banyak hal, kami memiliki mental instan: segala sesuatu ingin dicapai secepatnya. Yang hilang dari generasi ini adalah apresiasi terhadap proses (kerja keras, komitmen pada nilainilai dan kesetiaan). Yang menjadi prioritas adalah hasil dan kecepatan mencapainya. Moto hidup kami mirip salah satu pasangan capres-cawapres: lebih cepat (dengan hasil) lebih baik.

1. Kami multi sensorial dan generasi dengan mental instant

Kami sangat hidup dan memiliki gairah untuk menjelajah dunia, melihat kemungkinankemungkinan apa yang tersedia, tidak mau bertahan dengan status quo tapi memiliki ambivalensi sikap dalam menentukkan pilihan, misalnya mau sukses, populer dan memiliki banyak uang tapi tidak mau bekerja keras dan disiplin.

2. Kami sangat dinamis tapi ambivalen

3. Kurang lebih 90 % dari kami bersentuhan dengan TV dan radio

TV dan radio menjadi referensi untuk hampir apapun juga. Mulai dari makanan dan minuman, busana dan cara berbusana sampai hal-hal prinsipil dalam hidup seperti seks pra-nikah dan aborsi. Kami amat terpengaruh oleh idola-idola yang dihasilkan oleh media-media elektronik ini. Bisa dikatakan bahwa televisi dan radio, belakangan internet, telah menjadi Kitab Suci bagi kami.

4. Kami belajar dari orang tua tapi tidak mau mengikuti cara hidup dan nilai-nilai mereka

Apalagi kalau orang tua itu …

Kami sangat peduli pada penampilan terutama apa yang sedang tren dalam masyarakat. Untuk kami, siapa kami amat ditentukan oleh apa yang kami pakai, di mana kami menghabiskan malam minggu mereka, dll, hal-hal yang berada di luar kami. Hidup kami bisa jadi sangat artifisial.

5. Kami sangat dipengaruhi oleh gaya hidup, kepercayaan dan tingkah laku personal

Kami mudah bosan dengan sekeliling. Ini bisa dimengerti mengingat media dan isinya yang sedemikian dinamis. Tapi faktanya kami takut akan perubahan karena ketidaksiapan mental untuk menghadapinya. Tetapi itu tidak berarti kami tidak suka bermain-main dengan bahaya. Kami suka mengambil resiko, hanya saja tidak diperhitungkan dengan cermat (karena mental instan) sehingga resiko itu balik menghantam kami dengan sangat keras.

6. Kami takut pada perubahan tapi suka main-main dengan bahaya

7. Perlahan-lahan kami kehilangan nilai-nilai tradisional. Baik penelitian resmi dan penelitian tidak resmi dalam forum bisikbisik, obrolan ringan dan gosip, diketahui bahwa seks bebas dan seks pra-nikah sedemikian menjamur. Ini bertentangan dengan nilai keluhuran seks dan kesucian perkawinan. Tetapi seks bebas lantas kami terima hanya karena “semua orang melakukannya”. Sesederhana itu saja.

“Semua orang melakukannya, mengapa aku tidak?”

8. SMS adalah aktivitas rutin untuk kami Kehadiran handphone membuat tatap muka tidak lagi berarti banyak. Relasi dibangun di ujung jari. SMS adalah sarana paling efektif. Dampak yang ditimbulkannya pun tidak main-main: seseorang pernah mengatakan kepada saya kepanjangan dari SMS adalah Selangkah Menuju Selingkuh. Memang SMS bisa menjadi pintu gerbang bagi banyak hal negatif, salah satunya memicu perselingkuhan.

Seperti disebutkan di atas, tatap muka untuk kami ada di ujung jari. Tidak perlu saling melihat, yang penting tetap saling terhubung. Pertanyaan kritis tentu saja adalah adakah relasi di ujung jari ini berkualitas? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tidak perlu bingung, kami ini ambivalen, ingat?

9. Kami memiliki akses internet: chatting adalah aktivitas rutin

10. Bingung mana yang baik dan buruk. Karena standar moral kami kebanyakan ada pada banyak tidaknya orang melakukannya maka kami bingung mana yang baik dan benar. Masihkah itu disebut benar jika banyak orang tidak melakukannya adalah pertanyaan kami.

“Mau ke mana?”

Bagaimana menjalankan pendidikan media? 1.

2. 3.

 

Memiliki akses: memperoleh data sebanyak mungkin mengenai produk-produk media agar bisa menghubungkannya dengan pendidikan yang ingin disampaikan. Menganalisa: melihat detil dari produk-produk media untuk menemukan pesan apa yang hendak disampaikan. Mengevaluasi: mempertimbangkan informasi yang diberikan media atas dasar pertimbangan kritis-rasional, bukan pandangan subjektif. Ada dua jenis evaluasi: Evaluasi nilai: menemukan apa yang media tawarkan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai prinsip-prinsip. Evaluasi moral: menentukkan apa pengaruh media terhadap pemirsanya berkenaan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ditawarkan media tersebut.

Bagaimana menjalankan pendidikan media? 4. Mengkomunikasikannya: mengkomunikasikan hasil dari akses, analisa dan evaluasi pada orang lain sehingga setiap orang bisa menentukkan sendiri sikapnya dalam menyikapi tayangan-tayangan media. Harapannya tentu saja setiap orang menjadi kritis dengan apa yang ditawarkan oleh media dan proaktif menyuarakannya pada pihak pengelola sehingga kebaikan bersama baik konsumen maupun pihak pengelola dapat tercapai. Tetapi terlebih-lebih agar setiap orang bisa bertumbuh dan berkembang sesuai citra dirinya.

Tentang Pornografi Menurut Kamus Webster Online, pornografi adalah (1) pelukisan atau penggambaran erotis dalam tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan gairah seksual; (2) barang-barang (buku atau foto) yang dimaksudkan untuk membangkitkan gairah seksual; (3) penggambaran atau pelukisan tingkah laku untuk membangkitkan gairah seksual.

Bahaya pornografi bagi orang dewasa 1. Pornografi bisa merusak relasi seksual suami istri 2. Pornografi bisa menyesatkan persepsi tentang seksualitas 3. Pornografi bisa mengarahkan orang pada penyimpangan seksual 4. Pornografi bisa mengakibatkan kecanduan 5. Pornografi mematikan hasrat seseorang untuk mencari pencerahan spiritual, moral dan nilai-nilai yang baik 6. Pornografi mengasingkan orang dari Tuhan dan pada akhirnya berujung pada kematian spiritual.

Setelah menyimak bahaya pornografi bagi orang dewasa, bagaimana dengan anak-anak?

“DILARANG KERAS”

Bahaya pornografi untuk anak-anak  Pornografi dapat membuat anak menjadi korban  

 

kekerasan seksual Pornografi dapat menyebabkan kecanduan seksual Pornografi dapat menyebabkan anak terdorong untuk melakukan tindakan seksual terhadap anak lain Pornografi mempengaruhi pertumbuhan nilai, sikap dan perilaku Pornografi mengganggu jati diri dan perkembangan anak

Karena anak paling rentan terhadap pengaruh media dan mudah dibentuk olehnya…

Karena orang tua adalah ujung tombak pendidikan media di dalam keluarga…

Saran dan usul untuk orang tua 1. Orang tua terlibat aktif: orang tua melakukan komunikasi

dengan anak sesering mungkin untuk memberikan penjelasan tentang keuntungan dan kerugian dari menonton televisi. 2. Orang tua bisa bertindak restriktif: orang tua membuat aturan sebagai pedoman menonton TV (program televisi yang boleh ditonton, jam untuk menonton anak dan lamanya anak nonton TV). Bila perlu memberikan sanksi bagi anak yang melanggar. 3. Orang tua menonton bersama anak tetapi tidak berusaha untuk memberikan komentar positif atau negatif secara sungguhsungguh dalam memahami pesan isi media televisi. 4. Orang tua bisa menghitung waktu menonton anak dan jika berlebihan harus berupaya membatasi waktu yang dihabiskan anak di depan TV.

Saran dan usul untuk orang tua 5. Mengubah program sampah ke media sehat untuk memastikan bahwa waktu layar kaca anak benar-benar berkualitas. 6. Mengubah kecanduan media menuju pengganti media (untuk menyeimbangkan peran yang dimainkan media dalam kehidupan anak). Untuk mendukung diet media, orangtua perlu konsisten dalam penerapannya di keluarga, baik dalam hal akses berapa lama saat menonton dan kapan saja waktu untuk menonton. Hendaknya televisi tidak diletakkan di kamar tidur. Televisi sebaiknya justru diletakkan di ruangan yang jarang dipakai atau di ruangan yang jauh dari tempat anggota keluarga berkumpul dan berkegiatan. 7. Orangtua perlu memilih konten mana yang boleh ditonton. Sebelum anak diijinkan untuk menonton program televisi tertentu, orangtua sudah mengetahui program tersebut cocok atau tidak untuk anak, jadi orangtua sudah pernah terlebih dulu menonton program tersebut dan melakukan evaluasi.

Saran dan usul untuk orang tua 8. Orang tua harus menjadi teladan bagi anaknya. Tidak semua acara harus ditonton hanya untuk mengisi waktu. Dan jika aturan “jam nonton” sudah dibuat dan tayangan apa saja yang boleh ditonton orang tua tidak boleh melanggarnya. Anak akan kehilangan kepercayaan dan otoritas moral yang pantas dianutnya. 9. Tidak membiarkan atau mengijinkan anak-anak berusia 0-8 tahun untuk mengkonsumsi program-program TV. Jika diizinkan, keinginannya untuk menonton semakin meningkat sehingga pada gilirannya tidak lagi dikontrol sama sekali. 10. Orang tua bersikap kritis terhadap tayangan media dan tidak banyak terpengaruh oleh media. Anak pun dilatih untuk bersikap kritis dan mempertanyakan apa yang sudah ditontonnya sehingga tidak begitu saja menjadi budak televisi.

Kesimpulan  Menjadi

jelaslah betapa mudahnya masyarakat pada umumnya dan anak-anak pada khususnya terpapar realita kekerasan, perselingkuhan, perceraian dan seks yang diciptakan dan atau ditampilkan oleh media; betapa mudahnya media mendikte masyarakat dengan tayangannya untuk mengikuti seleranya dan nilai-nilai yang diusungnya.  Karena itu, menjadi jelas pulalah betapa mendesaknya pendidikan media di tengah masyarakat, terutama dan pertama-tama, untuk orang tua; betapa mendesaknya menumbuhkan sikap kritis dalam diri tiap orang sehingga masyarakatlah yang mendikte media dan bukan sebaliknya.  Oleh karena itu baik peranan Gereja maupun peranan orang tua amat dituntut di sini untuk memberi arah dan tuntunan sehingga media menjadi sarana penyelamatan yang efektif di dunia.

jangan diam saja di tempat duduk….. lakukan sesuatu!!!

Related Documents