Penanggulangan Malaria Masa Kolonial

  • Uploaded by: tsabit azinar ahmad
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penanggulangan Malaria Masa Kolonial as PDF for free.

More details

  • Words: 2,662
  • Pages: 11
1

PENANGGULANGAN WABAH MALARIA PADA MASA KOLONIAL Tsabit Azinar Ahmad A. Pendahuluan Malaria merupakan salah satu penyakit reemerging, yakni penyakit yang menular kembali secara massal, sehingga menjadi ancaman serius bagi masyarakat yang tinggal di daerah tropis dan subtropics (Pikiran Rakyat, 9 Januari 2003). Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh satu atau lebih dari empat Plasmodia yang menginfeksi manusia : P. Falciparum, P. Vivax, P.ovale dan P.malariae. Dua spesies yang pertama ( P.falciparum, P.vivax) merupakan enyebab lebih dari 95% kasus malaria di dunia. Dua P.falciparum ditemukan terutama di daerah tropis dan resiko kematian lebih besar bagi orang yang tidak imun, karena dapat menyerang sel darah merah disemua umur dan obat biasanya resistensi (Desrinawati, 2003: 1; Cut Irsanya Nilam Sari, 2005: 4). Penularan vektor untuk parasit malaria manusia adalah nyamuk Anopheles. Ragam dari Plasmodium falciparum dari parasit ini bertanggung jawab atas 80% kasus dan 90% kematian. Penemu dari penyebab malaria adalah Charles Louis Alphonse Laveran yang meraih Penghargaan Nobel untuk Fisiologi dan Medis pada 1907 (http://id.wikipedia.org/wiki/Malaria, 3 November 2009). Dalam pidato pengukuhan Wita Pribadi berjudul “Masalah Penyakit Malaria dan Upaya Penanggulangannya Menjelang Tahun 2000” dijelaskan bahwa penyakit malaria diperkirakan berasal dari Afrika, tempat asal muasal manusia. Fosil nyamuk ditemukan di lapisan geologis yang berumur 30 juta tahun dan tidak dapat disangsikan lagi bahwa nyamuk itu menyebarkan infeksi ke daerah yang beriklim panas di seluruh dunia, lama sebelum sejarah dimulai. Malaria mengikuti migrasi manusia ke pantai Mediteranian, ke Mesopotamia, jazirah India dan Asia Tenggara (Wita Pribadi, t.th. dalam http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp? id=80881&lokasi=lokal, 2 November 2009).

2

Demam musiman dan intermiten diketahui dari buku-buku agama dan kedokteran orang Assyria, Cina dan India tetapi belum dipastikan berhubungan dengan malaria. Penyakit ini biasanya dihubungkan dengan kutukan Tuhan ataupembalasan iblis. Mitologi Cina menggambarkan tiga iblis, yang satu dengan membawa palu, yang lain membawa ember berisi air dingin dan yang ketiga dengan tungku api. Mereka melambangkan kelainan sakit kepala, menggigil dan demam. Tahun 2700 sebelum Masehi, buku kedokteran Cina, Nei Ching, menguraikan gejala seperti malaria dan hubungannya antara demam dan pembesaran limpa (Wita Pribadi, t.th. dalam http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp? id=80881&lokasi=lokal, 2 November 2009). Hippocrates yang hidup di Yunani pada abad ke 5 sebelum Masehi merupakan dokter pertama yang merinci gambaran klinis beberapa jenis penyakit malaria. Ia juga merupakan orang pertama yang tidak percaya pada tahayul itu dan mengamati hubungan antara timbulnya penyakit dengan musim atau ternpat tinggal penderita. Air rawa dan uap rawa adalah faktor penyebabnya dan mulai diperbincangkan pengaruh musim dan topografi pada penyakit malaria. Hal ini merupakan permulaan dari epidemitologi malaria. Mulai saat itu, dilakukan drainase di Yunani kuno terutama di Roma untuk rnengurangi genangan air, dan "membersihkan udara dari aliran air yang beracun". Oleh karena itu, nama penyakit malaria berasal dari kata "mal" buruk, dan "aria" udara. Sementara di Perancis dan Spanyol, malaria dikenal dengan nama “paladisme atau paludismo“, yang berarti daerah rawa atau payau karena penyakit ini banyak ditemukan di daerah pinggiran pantai. Epidemi malaria berulang kali berlanjut di Yunani, Italia, dan negara lain selama berabad-abad. Selama hampir 1.500 tahun pengetahuan tentang malaria tidak bertambah. Baru pada tahun 1880, Laveran menemukan parasit malaria di bawah mikroskop dan Ronald Ross, seorang dokter militer Ingris yang bertugas di India pada tahun 1897 berhasil membuktikan bahwa ternyata malaria tidak disebabkan oleh udara kotor tetapi akibat gigitan nyamuk anopheles (Ermi ML Ndoen, 2006).

3

Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyakarat utama di seluruh dunia. Dalam buku The World Malaria Report 2005, Badan Kesehatan Dunia (WHO), menggambarkan walaupun berbagai upaya telah dilakukan, hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis terhadap kehilangan 12 % pendapatan nasional, negara-negara yang memiliki malaria (Desrinawati, 2003: 1). Di Indonesia sendiri, diperkirakan 50 persen penduduk Indonesia masih tinggal di daerah endemis malaria. Menurut perkiraan WHO, tidak kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan 30.000 kematian. Survai kesehatan nasional tahun 2001 mendapati angka kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang per tahun. United Nation Development Program (UNDP,2004) juga mengklaim bahwa akibat malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56,6 juta pertahun (Ermi ML Ndoen, 2006). Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah endemis dan yang non endemis malaria. Di daerah tersebut masih sering terjadi letusan wabah yang menimbulkan banyak kematian. Laporan pertama tentang adanya malaria di Indonesia oleh tentara Belanda. Dilaporkan adanya wabah di Cirebon pada tahun 1852-1854 (Desrinawati, 2003: 1). Oleh karena malaria telah ditemukan dan menjadi endemik sejak zaman kolonial, tulisan ini secara ringkas berupaya untuk memberikan deskripsi secara historis tentang upaya yang telah dilakukan dalam rangka pemberantasan malaria pada masa kolonial. B. Penanggulangan Malaria Masa Kolonial

Batas dari penyebaran malaria adalah 61o LU (Rusia) dan 32o LS (Argentina). Ketinggian yang dimungkinkan adalah 100 meter di bawah

4

permukaan laut (Laut Mati dan Kenya) dasn 2000 meter di atas permukaan laut (Bolivia). P. vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah yang beriklim dingin, sub tropik sampai ke daerah tropik (Dep Kes RI, 1990). Oleh karena itu Indonesia merupakan salah satu wilayah tempat persebaran malaria, sehingga kasus malaria telah muncul sejak dahulu. Di Indonesia Penyakit malaria tersebar diseluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda-beda dan dapat berjangkit didaerah dengan ketinggian sampai 1800 meter diatas permukaan laut (Hiswani, 2004: 6). Pada masa kolonial, laporan pertama tentang adanya malaria di Indonesia oleh tentara Belanda. Dilaporkan adanya wabah di Cirebon pada tahun 1852-1854 (Desrinawati, 2003: 1). Penanggulangan malaria pada dasarnya merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemerintah kolonial membentuk Jawatan/Dinas Kesehatan Rakyat pada tahun 1925. Selain itu ada pula upaya kuratif dengan pendirian layanan kesehatan yang mula-mula adalah melalui rumah sakit tentara. Jawatan kesehatan ini pada dasarnya merupakan lanjutan dari Jawatan Kesehatan Tentara (Militair Geneeskundige Dienst) pada tahun 1808 yang didirikan pada saat pemerintahan Gubernur Jendral H.W. Daendels. Pada waktu itu ada tiga RS Tentara yang besar, yaitu di Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya. Usaha kesehatan sipil mulai diadakan pada tahun 1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil dikeluarkan pada tahun 1820. Pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada tahun 1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut (Tim Promosi Kesehatan, 2006: 6). Penanganan malaria masih belum dilaukan dengan tepat sampai akhirnya pada tahun 1882 Laveran berhasil menemukan plasmodium malarie sebagai penyebab penyakit malaria, dengan penularan melalui nyamuk. Menyadari bahwa penyakit malaria telah menjadi ancaman kesehatan rakyat di beberapa wilayah, maka di tahun 1911, Jawatan Kesehatan Sipil didirikan sebagai bentuk upaya penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria. Dari waktu ke waktu, lingkup kerja Jawatan Kerja Sipil semakin meluas. Untuk itu, pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale Malaria Bureau) didirikan.

5

Dalam menjalankan fungsinya, Biro Malaria Pusat selalu bekerja sama dengan Bagian Penyehatan Teknik (Gezondmakingswerken). Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat mulai mendirikan cabang di Surabaya, dengan fokus pelayanan kepulauan bagian timur. Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera, pelayanan dilakukan oleh cabang Medan (Departemen Kesehatan RI, 2007: 68). Dalam upaya pemberantasan, para mantri malaria ditugaskan untuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa persediaan darah, mengadakan pembedahan lambung nyamuk, serta membuat peta wilayah. Penerapan riset sebagai upaya pemberantasan malaria juga dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pembunuhan dan pencegahan berkembangnya jentik di sarang-sarang; pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk, dan sebagainya; penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah kontak antara manusia dengan nyamuk; serta kininisasi dalam epidemi. Dengan penerapan riset yang berdasarkan penyelidikan yang tepat terhadap biologi nyamuk penyebab malaria, maka dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya (Departemen Kesehatan RI, 2007: 6-8). Pemberantasan malaria di pantai, dapat dilakukan dengan cara Speciesassaineering. Pertama, membuat tanggul sepanjang garis pantai. Tinggi tanggul dibuat melebihi tinggi air laut saat pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Cara kedua, yaitu dengan membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang air laut. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian kinine, penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk, pemberian minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan kandang kerbau di antara rumah tinggal dan sarang nyamuk, serta pemeliharaan tambak secara higienis (Departemen Kesehatan RI, 2007: 6-8). Sedangkan pemberantasan malaria di daerah pedalaman, beberapa cara yang dapat dilakukan adalah seperti berikut. (1) Menghadapi An. ludlowi tawar di kolam-kolam ikan, yaitu dengan menembus tanggul untuk mengeluarkan airnya dan merubah kolam ikan menjadi sawah; (2) Cara biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan ikan kepala timah dalam

6

kolam; (3) Memberantas An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus (biasa ditemukan di tempat yang rendah, saluran air yang kurang terpelihara, dan persawahan) dilakukan cara pemeliharaan saluran air (saluran air masuk maupun pembuangan) secara baik, sehingga tebingnya terbebas dari tumbuhtumbuhan; penanaman padi secara serentak di persawahan yang pengairannya tergantung dari satu saluran air yang sama; mengeringkan sawah yang tidak digarap dalam dua masa penanaman; (4) Khusus An. maculatus, digunakan cara

biologis

dengan

menanam

tepi

aliran/anak

sungai

dengan

tumbuhtumbuhan yang rindang. Cara ini berguna untuk menutupi air dari cahaya dan sinar matahari (cara yang lebih murah dari pada ”subsoil drainage” dan ”hillpoot drainage”) (Departemen Kesehatan RI, 2007: 68).Usaha-usaha yang dilakukan pada saat itu masih terbatas pada usaha pemberantasan Malaria dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang nyamuk, dengan membersihkan genangan air atau menyemprot air dengan minyak tanah. Seusai Perang Dunia II, ditemukan obat DDT yang dapat digunakan

sebagai

pembunuh

serangga

(insektisida

dengan

sistem

penyemprotan rumah-rumah) (Departemen Kesehatan RI, 2007: 23-24). Selain pemberantasan tersebut, pada tahun 1924 oleh pemerintah Belanda dibentuk Dinas Higiene. Walaupun tujuan awal pendiriannya tidak secara khusus menangani malaria, pada perkembangannya malaria menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan dinas higienne tersebut. Pada tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah dari Dinas Kuratif tetapi dalam pelaksanaannya bekerjasama erat. Dalam hubungan usaha higiene ini perlu disebutkan nama Dr.John Lee Hydrick dari Rocckefeller Fundation (Amerika), yang memimpin pemberantasan cacing tambang mulai tahun 1924 sampai 1939, dengan menitik beratkan pada Pendidikan

Kesehatan

kepada

masyarakat.

Ia

mengangkat

kegiatan

Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda) dengan mengadakan penelitian operasional tentang lingkup penderita penyakit cacing tambang di daerah Banyumas. Ia menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Kesehatan tentang Hygiene dan Sanitasi, dengan mencurahkan banyak

7

informasi tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta usaha pencegahan dan peningkatan kesehatan (cacing tambang, malaria, tbc.). Ia mengadakan pendekatan dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat (pendekatan seperti ini nanti dikenal dengan nama “pendekatan edukatif”). Yang menonjol pada waktu itu adalah penggunaan media pendidikan (booklets, poster, film dan sebagainya) dan juga kunjungan rumah yang dilakukan oleh petugas sanitasi yang terdidik (Tim Promosi Kesehatan, 2006: 7). Selain pendirian dinas tersebut, ada pula upaya kuratif yang dilakukan dengan pendirian rumah sakit. Di daerah Banyumas sebagai salah satu daerah endemis malaria, terdapat misi Zending Gereja-gereja Reformasi Rotterdam (penyebar agama Kristen). Rumah sakit pertama yang dibangun oleh misi Zending terdapat di Purbalingga yaitu di desa Trenggiling sekitar awal abad XX.

Rumah

sakit

tersebut

bernama

Rumah

Sakit

Zending

(Zendingsziekenhuis te Purbalingga) yang didirikan saat pemerintahan Raden Adipati Ario Dipakoesoema VI pada akhi abad XIX (Purnawan Basundoro, 2009). Pada tahun 1914 Vereeniging Kliniek Poerwoekerto membangun rumah sakit umum di kota Purwokerto. Rumah sakit ini melayani masyarakat luas dengan kapasitas 90 tempat tidur. Pembangunan rumah sakit ini selesai tanggal 15 Agustus 1914. Direktur rumah sakit ini adalah Dr. P.R. D’Arnaud Gerkens. Ia dibantu oleh Dokter Jawa lulusan STOVIA bernama Dr. M. Samingoen. Rumah sakit ini merupakan cikal bakal Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo. Pasien di rumah sakit ini datang dari berbagai tempat seperti dari Cilacap, Kedu-Barat, dan dari karesidenan Pekalongan. Namun akibat kesulitan pendanaan, akhirnya rumah sakit mereka diserahkan kepada misi Zending di Purbalingga. Akibat pemindahtanganan pengelolaan akhirnya nama rumah sakit diganti menjadi Zendingsziekenhuis te Poerwokerto (Rumah Sakit Zending Purwokerto). Ketika rumah sakit tersebut dikelola oleh Zending malah berkembang pesat. Kapasitas tempat tidur bertambah pesat menjadi 200 tempat tidur pada tahun 1937 dan menjadi 375 pada tahun 1941 (Purnawan Basundoro, 2009).

8

Tahun 1925 di kota Banyumas juga didirikan rumah sakit yang diberi nama Rumah Sakit Juliana. Rumah sakit tersebut diresmikan tepat bersamaan dengan ulang tahun Putri Mahkota Belanda Sri Ratu Juliana pada tanggal 30 April 1925. Rumah sakit ini dibuat dan dibiayai oleh pemerintah daerah (gewest). Tahun 1935 Zendingsziekenhuis te Poerwokerto (Rumah Sakit Zending Purwokerto) membuka cabangnya di Sidareja, Cilacap dalam bentuk klinik. Klinik ini banyak dikunjungi pasien kurang gizi karena daerah Sidareja dan sekitarnya sering dilanda kelaparan. Pasien lainnya adalah penderita malaria dan frambusia (Purnawan Basundoro, 2009). Pendirian berbagai fasilitas kesehatan modern di karesidenan Banyumas oleh pemerintah kolonial Belanda telah banyak menolong masyarakat daerah ini ketika mereka sakit. Berbagai budaya hidup sehat juga ditularkan oleh para dokter dan juru rawat kepada penduduk setempat. Pada perkembangannya, usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih ditekankan pada usaha kuratif, lambat laun berkembang pula kearah preventif. Sebagian dari usaha kuratif diserahkan pada “inisiatif partikelir” (1917 – 1937) seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan (Leger des Heils), perusahaan perkebunan. Dalam tahun 1937 sampai meletusnya Perang Dunia ke II, Pemerintah Pusat menyerahkan usaha kuratif kepada daerah otonom, namun tetap diawasi dan dikoordinir oleh Pemerintah Pusat (Tim Promosi Kesehatan, 2006: 11). Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha preventif juga berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan dikembangkan di perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang memang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan, dan dengan demikian meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya produksinya (productie capaciteit) . Penelitian dalam bidang bakteriologi dan epidemiologi menambah luas wawasan

pengetahuan

tentang

sebab

penyakit

menular

dan

cara

pencegahannya, seperti, cholera, desentri, typhus. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang penyakit rakyat, seperti TBC, frambusia, cacing tambang, dan malaria. Agar masyarakat sadar dan berpartisipasi dalam upaya

9

pencegahan dan upaya peningkatan kualitas kesehatannya, maka sudah pada tempatnya jika informasi terkini mengenai perkembangan dalam bidang kesehatan dapat disalurkan ke masyarakat, seperti penyebab penyakit, cara penangulangannya atau cara pencegahannya. Disinilah Pendidikan Kesehatan dapat mewujudkan perannya dengan jelas. Apa yang telah dirintis oleh Hydrick tersebut kemudian ternyata dilanjutkan oleh Pemeritah (Belanda). Perhatian Pemerintah Belanda terhadap usaha preventif dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, tindakan dan peraturan (perundang-undangan). Dengan demikian upaya pencegahan semakin dipandang sebagai usaha yang penting, demikian pula upaya pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Tim Promosi Kesehatan, 2006: 11). . C. Penutup Malaria merupakan salah satu penyakit yang berkembang dengan sangat pesat dan telah banyak memakan korban. Oleh karena dampaknya yang buruk bagi masyarakat, upaya penanggulangan malaria sudah dilakukan sejak masa kolonial. Pada masa kolonial didirikan beberapa jawatan yang khusus menangani penyebaran penyakit malaria dan juga didirikan rumah sakit sebagai upaya pengobatan malaria. Pemberantasan malaria dilakukan dengan dua upaya, yaitu preventif dengan pengendalian vektor penyakit (nyamuk) dan pengobatan penderita sebagai upaya kuratif, dan sampai saat ini untuk memberantas penyakit malaria belum diketemukan vaksinnya, sehingga penyakit ini menjadi salah satu penyakit menular yang sulit diberantas.

10

Daftar Pustaka Cut Irsanya Nilam Sari. 2005. Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Penyakit Malaria dan Demam Berdarah Dengue. Dalam http://www.rudyct.com/PPC702-ipb/09145/cut_irsanya_ns.pdf. Diunduh 1 November 2009 Departemen Kesehatan RI. 1990. Epidemiologi Malaria 1. Jakarta: Depkes RI. -----. 2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI. Desrinawati. 2003. Perbandingan Hasil Pemeriksaan Metoda Immunochromatographic Test (ICT) Dengan Perwarnaan Giemsa Pada Infeksi Malaria Falciparum. Dalam http://library.usu.ac.id./download/fk/fk-desrinawati.pdf. Diunduh 2 November 2009 Ermi ML Ndoen. 2006. Malaria, Pembunuh Terbesar Sepanjang Abad. Dalam http://www.indomedia.com/poskup/2006/05/15/edisi15/opini.htm. Diunduh 2 November 2009 Hiswani. 2004. Gambaran Penyaklt dan Vektor Malaria di Indonesia. Dalam http://library.usu.ac.id./download/fkm/fkm-hisnawani11.pdf. Diunduh 2 November 2009 Pikiran Rakyat. 2003. Lingkungan Rusak, Nyamuk Gunung Tebar Malaria. 9 Januari 2003. Purnawan Basundoro. 2009. Sisi Terang Kolonialisme Hindia Belanda di Banyumas. Dalam http://basundoro.blog.unair.ac.id/2009/01/31/sisiterang-kolonialisme-belanda-di-banyumas/. Diunduh 1 November 2009. Tim Promosi Kesehatan. 2006. Sejarah Promosi Kesehatan. Banyumas: Yayasan Sanitari Banyumas Wikipedia On Line Encyclopedia. 2009. Malaria. http://id.wikipedia.org/wiki/Malaria. Diunduh 3 November 2009

Dalam

Wita Pribadi, t.th. Masalah Penyakit Malaria dan Upaya Penanggulangannya Menjelang Tahun 2000. dalam http://www.digilib.ui.ac.id /opac/themes/libri2/detail.jsp?id=80881&lokasi=lokal. Diunduh 2 November 2009.

11

PENANGGULANGAN WABAH MALARIA PADA MASA KOLONIAL Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Sejarah Indonesia Dosen Pengampu Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum.

Oleh TSABIT AZINAR AHMAD NIM S860209113

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009

Related Documents

Kolonial
May 2020 5
Malaria
June 2020 37
Malaria
November 2019 72
Malaria!!!
November 2019 58
Malaria
May 2020 40

More Documents from ""