Berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1948-1949) Tsabit Azinar Ahmad
Pendahuluan Satu rentang sejarah bangsa Indonesia keberadaannya sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa Indonesia pada masa berikutnya. Hal ini dikarenakan setiap tahapan sejarah memiliki peran dan arti penting tersendiri bagi masanya dan juga bagi masa yang akan datang. Tiap peristiwa sejarah memiliki unsur kontinuitas yang artinya adalah bahwa ada kesinambungan antara peristiwa dahulu dengan peristiwa yang terjadi pada masa berikutnya. Salah satu bagian dari rentangan sejarah bangsa Indonesia yang peanannya sangat sentral dalam pembentukan negara Indonesia berikutnya adalah masa revolusi. Pada masa revolusi, dinamika perkembangan Indonesia sangat terlihat. Hal ini dikarenakan pada masa revolusi perkembangan sejarah mengalami perubahan yang sangat cepat. Tercatat beberapa peristiwa penting yang menentukan jalannya Indonesia ke depan terjadi pada masa revolusi ini. Berbagai penyerangan
dan
peperangan
mempertahankan
kemerdekaan,
perjuangan
diplomasi, sampai pada permasalahan dinamika politik terjadi pada masa ini. Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa ini adalah pembentukan pemerintahan darurat republik Indonesia. Pemerintah darurat merupakan suatu upaya pengalihan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada pihak tertentu ---dalam hal ini adalah Syafrudin Prawiranegara dan kawan-kawan--- untuk menjalankan pemerintahan dikarenkan pemerintah Indonesia pada masa itu tidak dapat menjalankan fungsi pemerintahan. Hal ini dikarenakan pemerintahan yang tengah berlangsung mengalami ketidakkuasaan dalam menjalankan pemerintahan disebabkan adanya agresi Belanda yang berhasil menangkap Soekarno dan Hatta selaku pucuk pimpinan pada masa tersebut dan menguasai pusat pemerintahan. Peran
pemerintah
darurat
ini
menjadi
sentral
karena
merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia yang pada masa itu tiak dapat
1
menjalankan pemerintahan. Akan tetapi, dalam penulisan sejarah nasional, pemeirntahan darurat tidak memiliki proposisi yang ideal. Penulisan sejarah berkaitan dengan pemerintahan darurat masih sangat kurang. Bahkan dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia jilid VI edisi tahun 1984, penjelasan tentang pemerintahan darurat masih sangat kurang. Walau dalam waktu yang sangat singkat, berdirinya pemerintahan darurat memiliki makna yang penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Dalam makalah ini akan disajikan secara ringkas tetang pemerintahan darurat Republik Indonesia, tentang apa latar belakang yang menyebabkan terbentuknya pemerintahan darurat, dan bagaimana pengaruh berdirinya pemerintahan darurat terhadap eksistensi negara Indonesia?
Kondisi Politik Indonesia Menjelang Berdirinya Pemerintah Darurat Dari bulan januari 1946 sampai dengan Desember 1948, terdapat dua pemerintahan di Indonesia, yaitu pemerintah Hindia Belanda di Jakarta dan pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta (Wild dan Carey [ed.],1986:187). Dalam perkembangan
selanjutnya pemerintahan Republik
Indonesia ini
mengalami penyerangan oleh pihak Belanda yang disebut dengan agresi militer Belanda yang kedua. Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tunggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan. Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda
2
konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional" (http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II).
Gambar 1. Situasi Indonesia pada Desember 1948 http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II)
(Sumber:
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban. Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
3
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Pendirian Pemerintahan Darurat Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, Belanda berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar karena para pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan. Oleh karena keadaan tersebut, untuk tidak menelantarkan Republik Indonesia dalam keadaan tanpa pimpinan, dan untuk mencegah Belanda mendirikan pemerintahan boneka, maka sidang kabinet memutuskan untuk mengakat pimpinan pemerintah darurat. Lewat radio Presiden dan wakil presiden mengalihkan kekuasaannya dengan instruksi kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri kemakmuran yang ada di Sumatera untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kalau tidak mungkin, supaya menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang pada waktu itu berada di luar negeri untuk menggantikan
Mr
Sjafruddin
tersebut.
secara
serentak
kabinet
Hatta
mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan pemerintah darurat di Sumatera, satu untuk Mr Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, dan satu lagi untuk Mr. A.A. Maramis di New Delhi (Toer, dkk., 2003:705-706; Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984:161).
4
Gambar 2. Sjafruddin Prawiranegara selaku pemimpin PDRI (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sjafruddin_Prawiranegara) Sementara itu di Sumatera, mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh. Ketika Sukarno ditawan, dan Sjafruddin sesudahnya itu yakin bahwa mereka itu memang sudah ditawan, Sjafruddin dengan kawan-kawan yang ada di Sumatera memproklamirkan pemerintah darurat untuk melanjutkan perjuangan. Dan karena itulah akhirnya kita melanjutkan perjuangan dan walaupun SukarnoHata, dan manteri-menteri yang lain ditawan itu menjadi tahanan dari Belanda. Sejumlah tokoh pimpinan Republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. S. M. Rasyid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Sukarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut: Mr. Syafruddin
5
Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim; Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri
PPK/Menteri
Agama;
Mr.
S.
M.
Rasyid,
Menteri
Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda; Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Umum/Menteri
Kehakiman;
Kesehatan;
Ir.
Ir.
M.
Indracaya,
Sitompul, Menteri
Menteri
Pekerjaan
Perhubungan/Menteri
Kemakmuran. Pendirian Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini merupakan satu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap Belanda. PDRI secara terang-terangan menyatakan perang terhadap Belanda. Oleh kaerna itu sejak berdirinya, PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda. PDRI berpangkal di Sumatera Barat, berpindah-pindah tempat. Mula-mula PDRI di Bidar Alam, satu kampung di selatan Sumatera Barat, kemudian berangsur-angsur pindah ke utara sampai kami juga ke Kota Tinggi. Dan di sana pernah PDRI duduk, padang Jepang, dan dari sanalah kami dijemput oleh Natsir, Leimena, dan Dr halim untuk kembali ke Yogyakarta, membujuk kami supaya menyerahkan kembali mandat kepada presiden sukarno. PDRI telah berusia dari 21 Desember 1948 sampai 13 juli 1949. Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa. Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut: Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan, Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India), dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan, Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan, Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat, Kyai Haji
6
Masykur, Menteri Agama, Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan, Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum, Mr. St. Moh. Rasyid, Menteri Perburuhan dan Sosial. Pejabat di bidang militer adalah Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI, Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa, Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera, Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara, Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara. Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sebagai berikut Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan, Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat, dan R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri. Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokohtokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.
Aktivitas Pemerintahan Darurat Pada saat berdirinya PDRI melakukan beberapa kebijakan. PDRI memimpin perjuangan dan mengkoordinir perjuangan di Sumatera dan di Jawa. Di Jawa mislnya diangkat dewan komisaris pemerintah pusat. Selain itu, diadakan pula hubungan dengan luar negeri dan memberi data-data tentang keadaan perjuangan di dalam negeri supaya mereka bisa memperjuangkan nasib kita di perserikatan bangsa-bangsa, dan di luar negeri, sebab di sana Mr. Maramis menjadi menteri luar negeri pemerintahan darurat. Dan perjuangan fisik, perjuangan tentara dilakukan di bawah pimpinan panglima besar Sudirman di Jawa, dan di Sumatrea
7
di bawah pimpinan kepala teritorial Sumatera, yaitu Kolonel Hidayat (Sjafruddin dalam Wild dan Carey [ed.],1986:198-205). Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatera. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatera, yaitu (1) Aceh, (2) Tapanuli dan Sumatera Timur, (3) Riau, (4) Sumatera Barat, (5) Sumatera Selaran. Di Aceh wilayahnya meliputi Langkat dan Tanah Karo dengan gubernur militer Teuku M. Daud di Bereu’eh dan wakil gubernur Letnan Kolonel Askari. Di daerah Tapanuli dan Sumatera Timur bagian Selatan dipimpin oleh Gubernur Militer dr. Ferdinand Lumban Tobing dan wakil gubernur militer adalah Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang. Di daerah Riau, gubernur militer dipegang oleh R.M. Utoyo dan wakil gubernur Let. Kol. Hasan Basri. Di daerah Sumatera Barat, gubernur militer adalah Mr. Sutan Mohammad Rasyid dan wakil gubernur militer dipegang oleh Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Di Sumatera Selatan gubernur militernya adalah dr. Adnan Kapau Gani dan wakil gubernur militer dipegang oleh Letnan Kolonel Maludin Simbolon.
Pengembalian Mandat Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan. Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen. Perjanjian Roem Royen (juga disebut Perjanjian RoemVan Royen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Dengan difasilitasi oleh UNCI, tanggal 14 April 1949 dimulai perundingan antara Delegasi Republik Indonesia yang
8
dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem dengan Delegasi Belanda yang dipimpin oleh Dr. Jan H. van Royen. Kesepakatan yang dicapai adalah: (1) Pemerintah Indonesia akan dikembalikan ke Yogyakarta, (2) Indonesia dan Belanda akan segera mengadakan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah Perjanjian Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan. Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen. Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan araharah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat. Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949. Setelah dikembalikannya mandat, dibentuk kabinet baru dipimpin oleh Hatta sebagai Perdana Menteri, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sjafruddin Prawirnegara masing-masing sebagai waki perdana menteri I dan II.
9
Sri Sultan berkedudukan di Yogyakarta dan Sjafruddin berkedudukan di Banda Aceh (Sjafruddin dalam Wild dan Carey [ed.],1986:198-205).
Pengaruh Berdirinya Pemerintahan Darurat Berdirinya pemerintah darurat memiliki satu arti penting, yakni Indonesia masih memiliki eksistensi ketika terjadi penyerangan dan penguasaan yang dilakukan oleh Belanda. Walaupun merupakan pemerintahan hasil pelimpahan kekuasaan dan bersifat sementara, PDRI telah menjadi satu mata rantai sejarah Indonesia yang berhasil membentuk Indonesia sampai saat ini. Pada saat berdirinya PDRI yang sangat singkat dilakukan berbagai upaya perlawanan terhadap Belanda baik melalui jalur militer ataupun melalui jalur diplomasi. Melalui jalur militer ditandai dengan didirikannya beberapa pangkalan militer dan dilakukannya upaya perlawanan dan gerilya. Dalam bidang diplomasi, pada saat berdirinya PDRI berhasil dilakukan upaya perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda, yang salah satu perundingan penting tersebut adalah pembicaraan antara Roem dan Van Roeyen dan telah tercapai suatu undersanding antara keduanya itu, yakni Yogya dikembalikan kepada Republik Indonesia, dan kemudian
akan
diadakan
erundingan-perundingan
mengenai
penyerahan
kedaulatan. Setelah selesai perundingan Roem-Royen itu, maka Yogyakarta berhasil dikembalikan, serta Soekarno-Hatta dan menteri-menteri lain yang ditawan dikembalikan ke Yogyakarta (Sjafruddin dalam Wild dan Carey [ed.],1986:198-205).
Penutup Berdirinya PDRI merupakan satu mata rantai sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah dan merupakan upaya mempertahankan eksisteni Indonesia selaku negara yang berdaulat. Adanya PDRI telah mencegah Belanda melakukan tindakan yang seenaknya sendiri terhadap Indonesia. Hal ini dikarenakan PDRI senantiasa melakukan perlawanan terhadap Belanda untuk merebut kembali kedaulatan Indonesia.
Daftar Pustaka
10
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (et.al). 1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka. Toer, Pramudya Ananta dkk. Kronik Revolusi Indonesia. Jilid IV (1948). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Wikipedia Free Encyclopedy. Agresi Militer Belanda II. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II (diunduh 10 Desember 2006) -----.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Darurat_Republik_Indonesia (diunduh 10 Desember 2006)
Wild, Colin dan Peter Carey (ed.).1986. Gelora Api Revolusi; Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: BBC seksi Indonesia dan Gramedia
11