Pemilu 2009 Paling Rusuh Bagian 29878

  • Uploaded by: totaraqa
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pemilu 2009 Paling Rusuh Bagian 29878 as PDF for free.

More details

  • Words: 18,685
  • Pages: 59
Pemilu 2009 paling rusuh bagian 29878 Gus Dur Mending kita rusuh ngapain kok repot mendingan kita…………..pasang SDSB Porkas gitu aja kok repotttttttttttt repot Emang tabloid aksi membleee gitua aja kok repott itu tabloid editor memblee bossssssssss Tabloid aksi Riwayatmu kini u peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok .... korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB, dsb. ..... Monitor program installation, registry changes and file access down to ...... Tidak menyebut langsung buah lengkeng, redaktur ahli Tabloid SENIOR ini ... Wendo dan Tujuh Samurai Oleh : Agus Sopian RESMINYA, ia bernama Sarwendo. Lantaran dianggap kurang komersial dan ... ngepop, ia mengubahnya jadi Arswendo. Di belakangnya, ia bubuhkan nama sang ayah. Jadilah ia Arswendo Atmowiloto. Untuk menyapa, Anda tak perlu bersusah-payah menyebut selengkap-lengkapnya. Cukup memanggil Wendo, pasti ia menoleh. Lebih 10 tahun silam, tabloid yang dipimpinnya, Monitor, membuat semacam angket. Ekornya, publik tak cuma kaget. Tapi juga marah. Ia dituding menghina Nabi Muhammad S.A.W. Ia dihujat melukai hati kaum Muslim, warga mayoritas di Indonesia. Kemarahan itu mereka luapkan dalam aksi-aksi unjuk rasa sepanjang akhir Oktober hingga awal November 1990. Klimaksnya, Wendo ditahan. Dari sini klimaks-klimaks lain bermunculan: organisasi wartawan tempatnya berlindung mencabut status keanggotaannya, perusahaan tempatnya bekerja mempreteli seluruh jabatannya, pengadilan tempatnya mencari selarik sinar keadilan malah menggodamnya dengan hukuman maksimal. Jangan tanya Monitor, anak rohani kreativitas Wendo. Sebelum dirinya benar-benar masuk bui, tabloid “ser dan lher” itu sudah tewas di tangan penguasa. Kekusutan nasib Wendo tak hanya sampai di sana. Keluarganya, yang semula hidup berkecukupan, tiba-tiba kelimpungan. Cecilia Tiara, si bungsu, terpaksa bersekolah sambil berjualan kue buatan ibunya. Separuh harta mereka ludes dipakai mengongkosi perkara Wendo. Perkara Monitor juga.

Wendo habis? KEAHLIANNYA melukis tato menyelematkan Wendo. Tak berani menato orang, sandal jepit jadi sasaran. Dalam sehari, Wendo bisa menggambari sandal sampai berpuluh-puluh. Sandal yang mulanya cuma berharga Rp 500, bisa ia lego dengan harga Rp 2.000 - Rp 2.500 setelah ditato. Belakangan, ia mengajarkan keahliannya pada anak-anak buahnya. “Saya punya anak buah sampai 700 orang. Saya jadi bos yang tak terlawan. Bener-bener bos dari yang bos,” kata Wendo kepada saya dengan nyengir khasnya. Seperti bos gangster dalam kisah-kisah mafioso, hari-hari Wendo berikutnya hampir tak pernah luput dari kawalan. Minimal ada dua “letnan” Wendo yang sangat setia dan berjanji mati untuknya. “Saya nggak tahu siapa mereka sebenarnya. Saya namai mereka Charlie dan Safei,” ungkap Wendo. Charlie berasal dari Manado, Safei dari Madura. Pernah suatu ketika Wendo berjalan-jalan menghirup angin. Charlie dan Safei tiba-tiba berlari menyalip. Orang di depan Wendo, mereka pukul bergantian. Wendo terpana. Dan setelah menguasai diri, Wendo menghardik mereka, “Ngapain kamu mukul-mukul orang. Kan dia nggak salah?” “Dia ngalangin jalan, Bos,” Safei menjawab. “Kamu tahu,” Wendo menyunggingkan senyum pada saya, “orang nginjek bayangan saya, bisa dipukul. Itu real.” O ya, A.M. Fatwa dan Tony Ardhie itu, yang awalnya amat ditakuti Wendo, ternyata tak membuatnya menderita. Alih-alih menyengsarakannya, mereka malah menyambut hangat sebuah jalinan persahabatan. Wendo punya kesan, Fatwa dan Ardhie bukanlah manusiamanusia pemberang. Mereka lembut hati. Tahu aturan main, penjara jadi ramah buat Wendo. Sipir-sipir jadi sahabatnya pula. Ruang komunikasi yang dulunya sempit, jadi serasa longgar. Wendo menggunakan ruang ini untuk mulai mengintensifkan aktivitas menulisnya, yang sempat tertunda untuk beberapa waktu lama karena larangan membabi-buta. Ingat inspeksi, ingat sensor. Ingat sensor, Wendo jadi ingat pengalaman yang membuatnya senyum-senyum sendiri. Sudah jadi semacam memorandum of understanding, setiap menyelesaikan tulisannya, Wendo harus menyetor kepada sipir untuk disensor. Saat sedang malas menulis, sang sipir datang lagi, “Sensor ... sensor ....” Wendo angkat tangan.

Sipir itu bilang “Mana ini lanjutannya?” Ha ... ha ... ha ... kembali Wendo tergelak, “Rupanya gara-gara nyensor jadi suka baca novel.” Selama di sel, Wendo menghasilkan artikel. Jumlahnya puluhan. Belum lagi tiga naskah skenario, tujuh novel, dan beberapa cerita bersambung. Sebagian di antaranya ia kirimkan ke redaksi suratkabar seperti Kompas, Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. Tentu saja dengan alamat gadungan dan identitas palsu. Untuk alamat, ia acap menggunakan “Jalan Bekasi Raya 45.” “Sampai tahun 1995 saya belum pake nama sendiri. Saya cuma ingin membuktikan bahwa saya profesional di bidang ini,” ungkapnya. Sekadar untuk menyebut contoh, Wendo menggunakan nama Sukmo Sasmito untuk Sudesi (Sukses dengan Satu Istri), novelnya yang dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Sedangkan untuk cerita bersambung Auk di Suara Pembaruan, Wendo memakai nama Lani Biki, kependekan dari Laki Bini Bini Laki, nama iseng ia pungut sekenanya. Masih ada nama lain yang juga dipakainya. Katakanlah Said Saat atau B.M.D. Harahap. Produktivitas tulisan Wendo yang boleh dikata luar biasa untuk ukuran narapidana, tak datang dengan sendirinya. Insipirasi dan ilhamnya menulis, antara lain datang dari pergumulannya dengan perpustakaan yang ia bangun di bloknya. “Wendo biasa kejam pada dirinya. Waktu di Monitor dulu, ia punya daftar buku yang harus dibacanya dalam sebulan,” kata Veven Sp. Wardhana, salah seorang koleganya yang sama-sama merintis Monitor. “Siapa pun boleh membaca di situ,” kata Wendo tentang perpustakaan miliknya, yang juga memuat semacam koran dinding. “Syaratnya cuma dua. Satu, kaki harus bersih. Dua, sudah mandi.” WENDO lahir di Harjopuran, Surakarta, pada 26 Nopember 1948. Ia anak ketiga dari enam bersaudara. Sarono adalah sulung mereka, yang di belakang hari mengubah namanya jadi Satmowi Atmowiloto. Di bawah Sarono berturut-turut Kamtinah, Wendo, Kamtari, Sarsidi, dan Kusukaningsih. Sarsidi, yang tak pernah melepaskan nama baptisnya, Gregorius, kelak ikut Wendo mengeloni Monitor. Ayah mereka, Djoko Kamit, kemudian mengganti namanya jadi Atmo Wiloto, meninggal pada 1960 dalam usia 68 tahun atau saat Wendo duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Sang ayah lulusan AMS (Algemene Middelbare School), setingkat sekolah menengah atas. Menjelang hayatnya berakhir, ia bekerja di balai kota Surakarta sebagai staf bagian hukum dengan golongan pegawai II-C. Sedangkan ibu mereka, Sardjiem, meninggal pada 1965. Praktis, di usia 17 tahun Wendo jadi anak yatim-piatu. Sejak ayahnya meninggal, mereka hidup dari uang pensiunan dan sewaan pendopo rumah yang disulap jadi Sekolah Dasar Negeri Harjopuran. Bagi mereka, sekolah itu jelas

mendatangkan berkah. Wendo dan saudara-saudaranya hanya perlu beberapa langkah dari tempat tidur untuk menuntut ilmu. Selepas sekolah dasar, Wendo remaja belajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri IV Banjarsari dan Sekolah Menengah Negeri II Margoyudan. Kini ia harus berjalan berkilokilometer untuk menuntaskan pendidikannya. Wendo hampir tak pernah mendapat uang saku untuk jajan. Tapi ia bukan tipe manusia melankolis dan terus-menerus meratapi nasib, yang makin hari makin terasa kalau ia dan saudara-saudaranya ternyata miskin. Majalah Tempo pada 1990 pernah secara dramatis mendeskripsikan kemiskinan mereka, yang untuk membeli beras saja terpaksa harus mencongkel beberapa lembar genting untuk dijual. Di sela-sela waktu kerjanya, Wendo meluangkan waktu membaca komik dan cerita wayang. Pengarang favoritnya R.A. Kosasih dan B. Ardi Soma. Kedua-duanya komikus asal Bandung dan sangat terkenal dalam dekade 1970-an. “Mungkin kamu benar garagara itu daya khayal saya kuat sekali,” kata Wendo pada saya, di awal November 2001. Daya khayal itu pula agaknya yang menuntun Wendo ke dunia tulis-menulis. Awalnya, saat duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas, tahun 1967, iseng-iseng Wendo membuat tulisan. Ia mengirimkannya ke Gelora Berdikari, suratkabar mingguan di kotanya. Ia kaget sendiri sebab tanpa dinyana tulisannya ternyata dimuat. Tak perlu menunggu berhari-hari, ia segera mendatangi kantor redaksi mengambil honor sekalian berkenalan. “Lupa berapa honornya, Rp 150 atau Rp 1.500. Tapi kira-kira cukup untuk makan tiga harilah,” kata Wendo. Tamat sekolah menengah atas, Wendo girang betul begitu dinyatakan mendapat beasiswa ikatan dinas dari Akademi Pos dan Telekomunikasi Bandung, pada 1968. Kegirangan yang wajar, agaknya. Tidak banyak siswa yang mendapat keberuntungan seperti itu. Dari sekian sekolah menengah atas yang bertebaran di Jawa Tengah, hanya dua orang yang beruntung. Hari-hari terakhir berangkat ke Bandung tiba. Pagi-pagi sekali Wendo keluar dari rumahnya dengan membawa tiga setel pakaian di dalam tasnya. Ia berjalan sepanjang lima kilometer dengan tujuan stasiun kereta api Solo-Balapan. Pukul 07.00 lebih Wendo sampai di sana. Di tengah arus manusia, Wendo menunggu kereta datang dengan hati gamang. Kereta api ke Bandung biasanya berangkat dari Solo-Balapan sekitar pukul 09.00 kalau tidak ada gangguan. Ini artinya, Wendo punya banyak waktu untuk mencari wajah-wajah yang mungkin dikenalnya. Sepanjang penantian Wendo berjalan hilir mudik. Sama sibuknya dengan kaki, lehernya tengok kanan tengok kiri.

Dari sebelah timur, pukul 09.00 lebih, lokomotif mengasapi langit. Mestinya Wendo senang sebab kota Bandung yang hendak ditaklukkannya tinggal hitungan jam. Tapi Wendo justru tambah gamang. Kegetiran merambati sekujur dirinya. Bahkan ketika kereta api berangkat, Wendo masih berdiri di sana. Rupanya, ia tak berhasil mencari wajah-wajah yang dikenalnya. Ia tak punya duit untuk beli karcis. Wendo putar badan. Sekali lagi ia menempuh perjalanan sepanjang lima kilometer, menyusuri rute yang dijejaknya tiga jam lalu. Kali ini ia memikul beban harapan yang baru saja hilang. URUNG kuliah di Bandung, Wendo tidak terus-menerus menyumpahi takdirnya. Ia kembali pada kegiatan yang telah dirintisnya: menumpahkan imaji-imajinya ke dalam tulisan dan mengirimkannya ke berbagai media massa. Sejumlah cerita pendek, baik dalam bahasa ibunya, bahasa Jawa, maupun bahasa Indonesia, ia kirimkan ke Gelora Berdikari di Surakarta dan majalah Mekarsari Yogyakarta. Jakarta pun ditembusnya. Majalah anak-anak Si Kuntjung sering memuat karya Wendo. Belakangan, Wendo bergabung dengan suratkabar mingguan Dharma Kanda terbitan Surakarta. Kegiatan jurnalistik mulai diotak-otik, menulis fiksi terus didalami. Mengikuti jejak kakaknya, Satmowi Atmowiloto, Wendo menginjakkan kaki di Jakarta pada 1973. Di ibukota, sastrawan Julius Sijaranamual yang sudah lama menunggunya, menyambut Wendo. Ia ditempatkan sebagai wakil pemimpin redaksi Astaga, majalah humor yang didirikan Sijaranamual. Dari Astaga yang mati muda, Wendo melangkah ke Midi, majalah remaja yang diterbitkan Kelompok Kompas Gramedia. Habis Midi, terbit Hai. Di majalah yang disebut terakhir, Wendo benar-benar mengencangkan tali sabuk dan ngebut dengan sejumlah karya-karya kreatifnya, mulai serial detektif Jawa Imung, petualangan Kiki dan Komplotannya, serta cerita silat Senopati Pamungkas. Remaja generasi 1980-an, terutama pembaca Hai, niscaya tahu buku Wendo yang sangat terkenal: Mengarang Itu Gampang. Karya-karya itu sekaligus menunjukkan kelas Wendo sebagai wartawan-cum-pengarang produktif. Dengan jumlah lebih 200 cerita pendek, puluhan novel, sejumlah cerita bersambung, beberapa naskah drama, puluhan artikel lepas, esai, dan kolom, produktivitas Wendo jelas tak terlawan oleh siapa pun pada masanya di Indonesia. Tak usah mendiskusikan hubungan produktivitas dengan kualitas. Wendo agaknya dengan mudah mematahkan teori yang tak jelas asal-usulnya itu. Simak saja daftar pemenang sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Sepanjang tahun 1970-an saja, Wendo tiga kali menyabet juara: 1972, 1974, dan 1975.

Tipikal tulisan Wendo biasanya ringan dan siap saji seperti fast food, renyah bagai rempeyek, dan berasal dari dunia remaja. Tulisan mengenai televisi, lain lagi. Wendo bisa saingan dengan seorang akademisi. Kalau perlu ia bermain-main dengan grafik, tabel, angka-angka. Sejarah pun memberinya tempat sebagai kritikus televisi terkemuka. Majalah mingguan Tempo pada 1990 menyebut Wendo sebagai pengamat televisi yang jeli. “Kritik-kritiknya terus mengalir, tanpa peduli ditanggapi atau tidak,” tulis Putut Trihusodo dari Tempo. Kritik-kritik Wendo terhadap pertelevisian Indonesia, yang pada 1980-an dihegemoni sepenuhnya oleh TVRI, tersebar di berbagai media, terutama Kompas yang jadi rumah keduanya setelah Hai. Sebagai kritikus televisi, Wendo mengatakan hampir tak pernah mematikan pesawat televisi di ruang kerjanya. Kepada awak Monitor kelak, ia sering berujar, “TV itu altarmu. Rezekimu.” Ia telah membuktikan kata-katanya, paling tidak pada 1981. Sekadar menyegarkan ingatan, terhitung sejak 1 April 1981, TVRI mengubah pola siarannya, termasuk membuang siaran niaga. Pada tanggal itu, terlontar janji bahwa TVRI hendak membenahi diri, mengurangi porsi berita-berita seremonial, meminimalisasi laporan aktivitas pejabat. Wendo sangsi. Maka, mata Wendo pun ditajam-tajamkan untuk memelototi layar kaca secara intensif. Setahun. Kesangsiannya melahirkan postulat. Demi memperkuat argumen-argumennya, Wendo mengambil video recorder. Sepanjang April 1982, puncak pengamatannya, Wendo merekam siaran berita TVRI. Hasilnya, ia presentasikan di suratkabar Kompas pada Juni, tahun yang sama. Dalam artikel yang dilengkapi tabel-tabel itu, Wendo memperlihatkan betapa masih dominannya suara pejabat. Itu pun didominasi pejabat tertentu. Tak ada bantahan, tak ada gugatan. TVRI mati angin. Bukan sekadar menonton. Referensi Wendo tentang masalah pertelevisian banyak didapatkan selagi mengikuti The International Writing Program pada 1979, di Iowa, Amerika Serikat. Program ini—didirikan Paul Engle dan Hualing Nieh Engle pada 1967 —dianggap berhasil mengentaskan ribuan penulis berbakat dari 100 negara lebih. Beberapa nama penulis dan pengarang terkenal di Indonesia seperti Taufiq Ismail, Toeti Herati Noerhadi, Nano Riantiarno, Sutardji Calzum Bahri, Ahmad Tohari, atau Putu Wijaya tercatat pernah mengikuti program tersebut. Mungkin karena kejeliannya itulah, Wendo akhirnya diserahi tanggung jawab untuk mengurus Monitor. Pada mulanya, Monitor berbentuk majalah. Diterbitkan oleh Direktorat Televisi Departemen Penerangan pada 1972, Monitor lebih berfungsi sebagai gardu jaga TVRI.

Isinya, kalau tidak program acara, pastilah wejangan-wejangan petinggi TVRI, atau orang-orang Departemen Penerangan lainnya. Tak usah diratapi kalau majalah ini mati suri sejak 1973, setelah terbit 20-an nomor. Pada Agustus 1980, Monitor dibangkitkan lagi di bawah bendera Yayasan Gema Tanah Air. Berkaca pada pengalaman, redaksi Monitor versi baru tak lagi diasuh oleh para pegawai negeri di lingkungan Departemen Penerangan. Tenaga-tenaga profesional dipompakan ke situ untuk menjaga konsistensi, untuk tidak sekadar asal terbit. Salah seorang di antaranya Lazuardi Ade Sage, yang ditunjuk sebagai redaktur pelaksana. Debut manajemen baru ditandai oleh meluncurnya oplah sebanyak 25 ribu eksemplar. Tak ada catatan yang dapat menjelaskan reaksi pasar terhadap Monitor yang berharga jual Rp 500 itu. Yang hampir dapat dipastikan, sejak 1984 Monitor mulai limbung. Setahun kemudian ngos-ngosan. Ia jadi “majalah tempo.” Tempo-tempo terbit, tempo-tempo tidak. Akhirnya, lagi-lagi mati suri. Di tangan Wendo, Monitor terbit tak lagi dalam format majalah menyerupai tipografi Life; tapi tabloid dengan ketebalan 16 halaman, berukuran 285 x 410 milimeter. Harganya dibandrol Rp 300. Penerbit masih Yayasan Gema Tanah air, namun manajemen sepenuhnya dikendalikan oleh Gramedia. Monitor pada gilirannya jadi ruangan yang sempurna buat perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Suatu perselingkuhan antara orang-orang Departemen Penerangan yang acap jadi semacam thypoon bagi kehidupan pers dan orang-orang di Gramedia yang nyata-nyata telah memerankan dirinya sebagai tycoon dalam industri pers Indonesia. YAYASAN Gema Tanah Air, penerbit tabloid Monitor, sekurang-kurangnya dikuasai pejabat Departemen Penerangan: Harmoko, Subrata, dan M. Sani. Harmoko, siapa tak mengenalnya. Ia bekas wartawan yang di akhir kekuasaan rezim Orde Baru menjadi tukang stempel pemerintah dalam kapasitasnya sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Saat itu, ia menjabat Menteri Penerangan, penentu hitambirunya pers Indonesia. Subrata—yang sebelumnya memangku jabatan pemimpin umum tatkala Monitor masih berwajah majalah—adalah direktur TVRI. Di kemudian hari, Subrata diangkat jadi direktur jenderal Pembinaan Pers dan Grafika dan menjadi sangat terkenal ke seluruh dunia karena meneken surat pembunuhan terhadap mingguan Tempo, Editor, Detik pada 1994. Lalu M. Sani, yang relatif tak dikenal dalam percaturan pers, sehari-harinya memangku jabatan direktur radio Departemen Penerangan. Kedudukan mereka di yayasan itu, menempatkan mereka sebagai para penguasa saham Monitor. Bagian perorangan terbesar berada dalam genggaman Harmoko yang menguasai saham sampai 30 persen. Kelompok Kompas Gramedia santer disebut-sebut menguasai saham hingga mencapai 40 persen. Komposisi ini tak serta-merta mengamankan kedudukan Gramedia selaku pemegang saham mayoritas. Sebab sekiranya terjadi

pertarungan zero-sum games dalam rapat umum pemegang saham, Gramedia mudah ditikam oleh gabungan penguasa 60 persen. Opsi saham Wendo sebanyak lima persen, agaknya lebih dimaksudkan untuk menjaga stabilitas Gramedia. Ada perimbangan kekuatan jadinya. Perimbangan ini terelaborasikan dalam pohon organisasi manajemen puncak. Harmoko komisaris utama; Godfather Gramedia Jakob Oetama direktur utama; Wendo wakilnya. Secara kasat mata perimbangan pun dapat terlukis dalam distribusi kekuasaan di tingkat kepala dan leher kepemimpinan Monitor. M. Sani ditunjuk sebagai pemimpin umum menggantikan posisi Subrata. Di bawahnya, sebagai wakil pemimpin umum tercantum nama Suyanto, yang tak lain adik Subrata. Representasi Gramedia lebih ke tingkat operasional, dengan puncak kepemimpinan di bahu Arswendo sebagai pemimpin redaksi. Kehadiran Wendo di Monitor bukannya tanpa rintangan. Bahkan intrik-intrik di sekitar pendirian Monitor agaknya lebih tertuju pada pribadi Wendo yang dianggap terlampau cepat melesat. Sampai-sampai, di belakang hari, gaya rambut Wendo menyibak kening dan ekspresinya dalam berbicara yang penuh percaya diri, diejek sebagai epigon Jakob Oetama. “Calon putra mahkota Kompas,” ledek di satu sudut. “Karbitan,” kata sudut lain. Wendo cuek. Ia baru bangkit dari kursinya ketika modal disetor tak diterimanya secara utuh. Aturan, mestinya ia menerima Rp 400 juta sebagai investasi awal, namun yang datang hanya Rp 300 juta. “Asem,” gerutunya. Wendo kasak-kusuk cari tahu. Ia akhirnya paham juga, Rp 100 juta sengaja ditahan lantaran manajemen Gramedia tak sepenuhnya mempercayai eksistensi Wendo. Rekor kegagalan mengelola Astaga dan Midi, ditambah suara-suara sumbang saingansaingannya di tubuh Gramedia, agaknya mendeterminasi semua itu. Soal lain muncul. Wendo yang terlalu bersemangat dengan persiapan, menginjak pedal gas promosi sekencang-kencangnya. Tahu-tahu ia sudah menghabiskan uang sebesar Rp 56 juta. “Semua orang teriak-teriak. Mereka marahin saya,” tutur Wendo. Apa boleh buat, nasi sudah jadi kerak. Wendo tak punya daya untuk bereaksi. Menghibur diri, ia menerima kemarahan itu sebagai suatu ekspresi semangat kolegial yang sudah mulai mengristal. Sungguh pun demikian, ada efek berantai yang mau tak mau harus dirasakan Wendo dan anak buahnya. Mereka tak bisa membeli perabotan kantor, semisal meubelair. Untunglah, kelak ada pembaca baik hati yang mau menyumbangkan mejakursi untuk mengisi ruang tamu. “Bukan kursi yang bagus-bagus bener, tapi cukuplah untuk nyantai,” ucap Wendo.

Fasilitas yang minim ditafsirkan Wendo sebagai bekal semangat untuk memacu diri. Diberi izin menerbitkan tabloid pun sebenarnya sudah membuatnya senang. Kini ia tinggal mewujudkan mimpinya membidani lahirnya sebuah media yang tidak melulu berpihak pada topik permasalahan, tetapi juga manusia-manusia yang menukangi topik tadi. “Masyarakat Indonesia,” Wendo menuliskannya nanti dalam Telop, sebuah kolom di halaman awal Monitor, “boleh diibaratkan sebuah kampung, bukan suatu kompleks real estate, tapi juga bukan pemukiman suaka suku terasing. Di dalam sebuah kampung, kita bisa lebih jujur dan berani untuk memuji, mencaci, memberi saran.” Singkat kata, Monitor menurut Wendo tak disetel untuk menjadi, apa yang dia sebut “pers priyayi.” Pernyataan ini, buat sebagian orang, dapat ditangkap sebagai sebuah tamparan terhadap jurnalisme ala Kompas—yang selama ini dianggap melingkar-lingkar di wilayah kepriyayian itu. Bagaimana sebetulnya jurnalisme Kompas? Kalau pandangan Jakob Oetama dapat dianggap sebagai pemberi warna dominan terhadap cetak biru jurnalisme Kompas, buku lawas Perspektif Pers Indonesia barangkali dapat menjelaskannya. Di sana Jakob Oetama bertutur, bahwa kecenderungan eksekutif dan masyarakat Indonesia adalah melihat persoalan dari satu segi sehingga get things done, mencapai hasil, jadi prioritas. Kecenderungan ini mendesakkan dimensi cara, termasuk dimensi permasalahan dan dimensi etikanya. Media seperti Kompas, lanjut Jakob Oetama, mempunyai kewajiban untuk melengkapi kecenderungan tersebut dengan menyajikan visi, menampilkan berbagai dimensi, menyoroti dan menekankan dimensi yang terdesak ke belakang. Yang hendak dimaksudkan Oetama, barangkali, betapa perlunya wartawan membiasakan diri melakukan verifikasi, sehingga isi liputan dapat menjelaskan duduk perkara suatu kejadian, suatu fenomena yang berkembang. “Fakta itu harus tampil selengkap mungkin,” kata Oetama. “Jurnalisme Kompas memang baik, tapi itu bukan satu-satunya,” Wendo berkelit di depan saya. Wendo tak menafikan kalau jurnalisme induk semangnya berada dalam tataran kriteria yang serius. Namun, ia ketika itu minta waktu kepada para bosnya untuk membuktikan bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam masyarakat yang justru minta dilayani oleh jurnalisme di luar mainstream. “Kita ingin melayani ini,” tandas Wendo, yakin akan pandangannya. Berangkat dari niat semacam tadi, begitu diiyakan oleh para bosnya di lingkungan Gramedia, Wendo buru-buru menyiapkan pasukan untuk dikirim ke medan peperangan baru, sebuah zona jurnalisme yang dianggap aneh kala itu. Wendo tak memerlukan pasukan besar untuk jurnalisme yang diyakininya. Ibaratnya peleton kecil, pasukan Wendo tak sampai sepuluh orang. Mereka berasal dari Gramedia dan Monitor lama. Dari Gramedia, Wendo merangkul Veven Sp. Wardhana, Syamsudin

Noer Moenadi, dan Irene Suliana. Dari Monitor lama, ia mengambil Hans Miller Banureah. Mereka mengisi jajaran redaksi. Untuk melengkapi, Wendo menerima Mayong Suryo Laksono, yang disodorkan P. Swantoro, salah seorang redaktur Kompas. Di sektor foto, hadir dua fotografer yang kelak menyangga kekuatan grafis Monitor. Mereka Gunawan Wibisono dan Atok Sugiarto. Beberapa bulan sebelum Monitor diluncurkan perdana pada 5 Nopember 1986, Wendo dan pasukannya sudah mengambil posisi siap tempur di Jalan Lomba Layar 345, Senayan, Jakarta. Sejumlah mesin tik baru Olivetti dan Brother ditenggerkan dalam keadaan siaga 1 x 24 jam untuk melontarkan kata-kata ke hadapan publik. Tak-tik-tak-tik ... Monitor sebentar lagi menggelitik. SUATU Senin sore di awal Nopember 1986. Hari itu, orang-orang percetakan Gramedia berbaik hati mempersilakan awak Monitor ikut menyaksikan deru mesin cetak Goss Urbanite, yang mampu mencetak tabloid sebanyak 20 ribu eksemplar dalam sejam. Jabang bayi Monitor sedang dipersiapkan kelahirannya. Seumumnya menunggu kelahiran bayi, mereka menanti dengan harap-harap cemas. Mesin meleset sedikit saja dari area cetak jadi pangkal kecerewetan. Komposisi warna, kualitas cetak, mereka perhatikan dengan seksama. Mereka ingin Monitor tampil mengesankan pada pandangan pertama. Saking ingin terlihat keren, cetakan awal Monitor dilakukan berkali-kali. “Suasananya seru banget,” sambung Aris Tanjung. Sebanyak 200 ribu eksemplar akhirnya tuntas dicetak. Wajah-wajah penuh suka cita mengembang di antara bentangan tabloid yang sedang disimaknya. “Nggak nyangka kita akhirnya berhasil juga bikin tabloid,” tutur Tanjung kemudian. Ia ingat, selama berbulanbulan dirinya pontang-panting mempersiapkan dummy bersama seluruh awak Monitor. Siang, malam. “Kita mempersiapkannya sembilan bulan,” tambah Tanjung. “Cepat kok, cuma tiga bulan,” sanggah Wendo. Edisi pertama Monitor tampil dengan sampul Veronika sedang mendekap gitar. Di bawah judul “Pak Haji Sedang Diuji Tuhan,” bekas istri raja dangdut Rhoma Irama itu bertutur tentang calon suami barunya, sambil menyemburkan kekesalannya pada Rhoma Irama, yang disebut-sebut telah melukai hatinya. Hanya ada dua judul di sampul itu. Satunya lagi tulisan tentang Tatiek Maliyati, penulis serial drama Losmen TVRI, yang menuturkan resepnya jadi istri ideal. Judulnya menegangkan: “Guna-guna Tatiek.” Item lain, daftar isi yang disandingkan dengan gambar tokoh Oshin, sebuah drama asal Jepang yang konon banyak menguras air mata pemirsa televisi.

Logo Monitor didesain secara atraktif, dengan menggunakan huruf kecil dalam dominasi warna merah, kecuali huruf “t” yang dibiarkan putih—dengan bingkai hitam dan dibentuk menyerupai gagang payung. Di atas logotif, mereka mencantumkan slogannya sebagai “Mingguan Televisi, Video, Radio dan Film” dengan huruf kapital. Tak ada surat pembaca di dalamnya. “Kejujuran setidaknya kita mulai (dari) penerbitan ini dengan polos. Tanpa surat pembaca, walaupun kami bisa mengarang dan memberikan jawaban. Walaupun kami bisa minta kepada tokoh-tokoh masyarakat yang kampiun. Kami ingin memulai sebisanya, seadanya,” begitu Wendo memberi semacam sambutan edisi pertamanya, sebagaimana tertuang dalam kolom Telop di halaman kedua Monitor. Seperti juga tipikal tulisan Wendo, sajian Monitor terasa ringan dan akrab. Sederhana. Pendek-pendek. Gaya stakato bertebaran di hampir seluruh halaman, yang didesain rata kiri (align left) dan memberi kesempatan pada mata untuk menangkap ruang-ruang kosong. Dua halaman tengah dijadikan kavling acara televisi untuk sepekan yang diambil dari sembilan stasiun TVRI, termasuk stasiun pusat Jakarta. Dari keseluruhan halaman, terasa betul kalau Monitor dimaksudkan sebagai media hiburan. Tapi di mana sesungguhnya letak kepioniran Monitor seperti banyak digunjingkan orang itu? Dari segi bentuk, Monitor jelas bukan yang pertama. Tabloid Bola sudah memulainya sejak 1984, setelah sebelumnya menjadi sisipan di halaman tengah Kompas. Juga Mutiara asuhan duet Subagyo—Aristides Katoppo yang mengambil bentuk tabloid sejak awal 1980-an. Dari segi isi, Monitor pun bukan sang pemula. Jauh di masa lalu, sejumlah media hiburan, di antaranya berisi film dan musik, telah muncul meramaikan persada pers Indonesia. Dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia, wartawan Kurniawan Junaedhie mencatat, setidaknya sejak tahun 1920-an Indonesia sudah memiliki media-media semacam itu. Ia antara lain menunjuk Doenia Film dan Pertjatoeran Doenia Film. Agak sulit memang menakar kepioniran Monitor dari penglihatan parsial. Ini karena, kepeloporan Monitor justru terletak pada gabungan bentuk dan isi. Dalam frasa Wendo, “tabloid bentuknya, tabloid pula isinya.” Di luar negeri, Veven Sp. Wardhana menambahkan, tabloid identik dengan suatu semangat jurnalistik yang mengedepankan laporan-laporan penuh sensasi. Dan Monitor berlaga di wilayah itu. “Ada sensasi, tanpa berubah menjadi sensasional,” kata Wendo. “Geber sekarang, konfirmasi nomor depan. Itu semangat Monitor,” Wardhana menggenapi. Baik Wendo maupun Wardhana merasa yakin, konsep semacam ini belum pernah dilahirkan dunia pers Indonesia. Mereka percaya, apa yang mereka bikin adalah sesuatu yang genuine, datang dari kepala sendiri. Bukan jiplakan. Bukan pula hasil kerja

konsultan. Santer memang disebut-sebut Monitor menggunakan jasa konsultatif Maynard Karper, pemimpin majalah Playboy edisi Belanda. “O, nggak. Nggak. Dia datang jauh sebelum Monitor terbit. Dia memang memberikan saran pada majalah-majalah di Gramedia. Tapi Monitor dia udah nggak ikut. Saya berani mengklaim itu orisinal,” Wendo menerangkan, dengan raut mukanya serius, dengan intonasi bicara yang penuh tekanan di sana-sini. “Bahwa kita mengintip gaya Daily Mirror atau Sun, itu belakangan. Setelah kita besar.” “Kita sampai melombakan desainnya,” kata Wardhana, di tempat berbeda, “desain Aries Tanjunglah akhirnya yang dipakai.” “Dari mana Anda menjiplak?” saya menggoda Tanjung. “Otak-atik sendiri. Saya membuatnya berkali-kali. Akhirnya sampai ke desain norak itu,” jawabnya. Di seberang telepon, saya mendengar tawa kecilnya EDISI pertama Monitor sampai di tangan Jakob Oetoma. Ia hanya melihatnya sekilas. “Apa ini? Nggak ada arah,” ucapnya, sebagaimana ditirukan Wendo. Wardhana melukiskan adegannya: Oetama membanting Monitor ke meja. Pikir Wendo, situasi tersebut bukan saat yang tepat untuk adu argumentasi. Ia kembali ke markasnya, di Kompleks Senayan itu. Dan menenggelamkan diri dalam pekerjaannya sembari menunggu datangnya kabar oplah yang terjual. Kabar yang kemudian sampai sungguh menyesakkan dadanya: Monitor cuma laku sekitar lima persen. Artinya, kurang lebih 10 ribu eksemplar. Ini pun dijual di bawah bandrol: Rp 100. Segera terbayang di benak Wendo cibiran orang-orang di Gramedia, terutama yang selama diketahui memendam iri padanya. Benar saja. Ungkapan Jakob Oetama ‘apa ini’ tiba-tiba jadi semacam ayat suci buat mereka yang hendak menguliti Wendo. Wendo, yang biasanya menanggapi segala sesuatu dengan lempang, berang juga. Ia merasa diperlakukan tak adil dan dijadikan bulan-bulanan cemoohan. “Kalau kita jualan seratus, laku satu, itu nggak soal. Tapi tolong jangan dibilang laku satu padahal seratus,” pekiknya, “sekarang kalau perlu cetak lebih banyak dan tolong sampaikan ke masyarakat. Sekali lagi, sampaikan ke masyarakat. Judgement ada di masyarakat. Bukan di kita,” Wendo tidak ingat lagi kepada siapa ia melontarkan kegusarannya. “Tapi itulah yang saya katakan, dan saya ingat.” Tak ada alasan bagi Gramedia untuk mengikuti saran Wendo menaikkan tiras. Mereka mencetak seperti jumlah sebelumnya yang 200 ribu eksemplar itu. Berbeda dengan sebelumnya, edisi kedua yang dipasangi gambar sampul Euis Darliah dalam posisi ngangkang dengan rok ditiup angin, diserap pasar sampai 30 persen atau sekitar 60 ribu

eksemplar. Optimisme tiba-tiba melompat dari satu meja ke meja lainnya di ruangan redaksi. Hari-hari berikutnya tambah menyenangkan. Telepon dari pembaca terdengar lebih sering berdering menanyakan ini-itu, termasuk menanyakan bagaimana kalau satu kupon kuis difotokopi agar bisa dipakai rame-rame. Surat-surat pun berdatangan, dan awak Monitor berebutan membukanya. Ucapan selamat terus mengalir dari pelbagai pelosok. Ada juga yang mengirimkan tumpeng sekadar ungkapan tumbuhnya kecintaan pada Monitor. “Trims sekali. Bukan hanya kebetulan sedang lapar, dan ini selalu terjadi, akan tetapi sejak pindah ke Jalan Lomba Layar dan terbit, rasa-rasanya belum pernah selamatan,” balas Wendo dalam tulisannya. Reaksi pembaca agaknya bisa diterjemahkan sebagai reaksi pasar. Kenyataan memang begitu. Secara signifikan, tiras Monitor terus meningkat pada edisi-edisi berikutnya hingga pada edisi kelima oplah mencapai 200 ribu lebih. Tak berhenti sampai di sini. Pada minggu ketujuh, oplah mengalami ledakan hingga mencapai 280 ribu eksemplar. Ledakan ini agaknya dipicu edisi sebelumnya yang bersampul ‘panas.’ Pada edisi keenam, Monitor memang menurunkan laporan Veven Sp. Wardhana yang menguntit Lina Budiarti, salah seorang bintang tamu serial Losmen. Ia dikenal sebagai artis yang berani buka-bukaan. Budiarti dijadikan gambar sampul, dengan pose aduhai untuk ukuran waktu itu: rambut tergerai melewati bahu dengan kesan basah, dan dada berisi dalam balutan busana renang. Edisi tersebut sekaligus jadi tonggak awal dibakukannya tipografis Monitor. “Format Monitor baru ketahuan di nomor keenam atau ketujuh,” tandas Wardhana. Dalam format baru, sejauh saya lihat, logo digeser ke pinggir kiri sehingga tidak lagi mengambil posisi sentrum. Ruang kosong di sebelah kanan dipakai untuk iklan kuping. Masih ada perubahan-perubahan lain di bagian dalam, namun saya kira yang paling pokok adalah hal tadi. Oplah Monitor terus beringsut naik sampai edisi ke-12, dan meledak lagi di edisi ke-14 hingga hampir mencapai 500 ribu eksemplar. Ledakan ini, menurut Wendo, kemungkinan dipicu oleh edisi sebelumnya ketika Monitor menurunkan cover story artis Australia Rebecca Gilling dalam judul “Waaaauuu...!” Laporan Gilling adalah hasil perburuan Mayong Suryo Laksono dan fotografer Atok Sugiarto. Khawatir keduluan media lain—Gilling akan datang di Jakarta hari Minggu sore, menit-menit deadline buat Monitor—Laksono dan Sugiarto bertolak ke Bali, tempat Gilling akan transit. Semula Monitor hendak mencegat di Sydney, namun mereka cemas tak bisa mendapatkan tiket pesawat. Berhasil. Di berbagai kesempatan, Gilling dapat mereka “todong.” Lumrah publik begitu antusias ingin mendapat kepingan informasi mengenai Rebecca Gilling. Pemeran tokoh Stephanie Harper dalam Return to Eden—opera sabun asal Autralia, yang sukses di berbagai negara antara lain Indonesia, Turki, dan Polandia—ini mewakili karakter tokoh protagonis yang mengundang simpati. Mungkin ini karena

penderitaan yang datang padanya begitu bertubi-tubi: kehilangan anak, dirusak wajahnya, hingga kehilangan perusahaan miliknya. Return to Eden diproduksi sejak 1983 dalam bentuk blockbuster enam miniseri. TVRI menayangkannya setiap Rabu malam sejak 1986 atau ketika Return to Eden memasuki produksi kedua berisikan 22 episode. Monitor sendiri, sejak edisi kedua, mengangkatnya dalam satu halaman penuh, walaupun isinya lebih kepada sinopsis opera tersebut. Di edisi lainnya, sampai-sampai Monitor merasa perlu mengurai plot cerita dalam bentuk skema, sehingga pemirsa televisi dapat dengan mudah melihat hubungan antara satu karakter dengan karakter lainnya; siapa si baik, siapa si buruk. Keseriusan menggarap tema dan kepekaan menangkap isu, tak syak lagi, itulah yang melahirkan kekuatan redaksional Monitor. Semua itu tak datang dengan sendirinya. Mereka terus membangunnya dalam rapat-rapat redaksi yang biasa digelar saban Senin, yang mereka sebut “hari mati.” Sambil sekalian melakukan evaluasi terhadap penerbitan sebelumnya, pada “hari mati” itu mereka terus berdiskusi saling memancing ide. Tak ada dominasi pendapat di sini. “Suasananya enak banget,” ujar Laksono. Pria asal Surakarta yang belakangan menikah dengan artis Nurul Arifin itu melihat figur Wendo sebagai pemimpin yang tak suka memaksakan pendapatnya. “Cara melatih dan mendidik dia itu nggak didaktik, dogmatis. Dia lebih mengarahkan.” Yanto Bhokek mengiyakan. “Ia teman ngobrol yang menyenangkan. Kebiasaannya, ngajak diskusi dan diskusi. Begitu setiap hari. Ilmu kita jadi bertambah terus,” kata Yanto yang mengawali kariernya di Monitor sebagai pesuruh, laden minuman. Dari “sekolah Monitor” ini ia bisa menulis, kemudian jadi stringer sampai akhirnya dipercayai memimpin biro Surabaya. Kini, ia jadi pemimpin redaksi Bintang Indonesia, tabloid hiburan juga. Suasana lain yang terekam Yanto Bhokek adalah luasnya koridor demokrasi dalam mekanisme kerja sehari-hari. Dari Wardhana, saya tahu kalau di Monitor ada yang dinamakan satgas, kependekan satuan tugas. Seorang satgas diambil bergiliran dari lembaga dewan redaksi. “Fungsi satgas, fungsi pemred. Bisa memerintah Wendo untuk wawancara.” AWAK Monitor tak bertekuk lutut di bawah konsep nilai berita ‘name makes news.’ Secara faktual terlihat, cerita sampul yang jadi dagangan utama Monitor kebanyakan datang dari ‘artis kelas dua’ atau paling tidak mereka yang berada di balik bayang-bayang nama besar ‘artis kelas satu.’ Sejak nomor perdana, formula ini sudah terlihat ketika Monitor memilih Veronika dan bukannya Rhoma Irama. Di edisi-edisi berikutnya, Monitor lebih suka membidik Euis Darliah ketimbang Vina Panduwinata, menguber-uber Lina Budiarti ketimbang Dewi Yul, mencandai Nena Rossier ketimbang Christine Hakim. Kalaupun akhirnya pilihan terhadap artis kelas satu harus diambil, Monitor dijamin akan ‘memperkosa’ sang artis dengan jepretan-jepretan fotonya. Nungky Kusumastuti,

umpamanya. Ia difoto dengan posisi dimasukkan ke dalam kain sarung yang digantung pada palang bambu. Hanya wajah dan kaki telanjangnya saja yang kelihatan. Kesannya, bugil. Keluarga Kusumastuti dikabarkan sempat memarahinya. Memajang sampul artis kelas dua, tak hanya membutuhkan keuletan para fotografer untuk melobi dan menahan nafas dalam menyelesaikan tugasnya. Tapi otomatis juga perlu ketekunan para wartawan tulis untuk terus bereksperimen. Wendo dan Wardhana akhirnya sampai pada kiat baru untuk masanya, yakni membuat judul-judul asosiatif. Simak umpamanya: “Saya Pasrah. Terserah Buka Mana ...” Lina Budiarti menerangkan kebiasannya berbuka-bukaan di depan kamera; “Saya Masih Doyan Laki-laki ...” Joice Erna membantah isu sebagai wanita biseks; “Cuma Sekali ...” Nia Zulkarnaen menjelaskan adegan cium dengan Amy Search, penyanyi asal Malaysia, dalam syuting film Isabella. Tidak semua pembacanya senang dengan foto-foto seronok dan judul-judul macam itu. Kritikan, protes, makian bahkan datang sejak pekan-pekan pertama Monitor dilarikan ke hadapan publik. “Sebagai media umum, Monitor sebaiknya selektif pada gambarnya. Mungkin gambar Euis Darliah yang ‘ngangkang’ pada M.02 agak kurang sopan untuk ukuran Timur. Juga adegan RtE (Sarah dan Tom), saya pikir cuma pantas untuk terbitanterbitan komersial murahan,” tulis Nana Sastrawaty, seorang pembaca dari Makassar. RtE yang dimaksud adalah Return to Eden. Pembaca lain, Sunarto S. Gondoutomo dari Jakarta, merasa kesal dengan ulah Monitor yang bukannya mengurangi porsi ‘berita dan foto panas’ justru malah menaikkan suhu dengan sajian-sajian berikutnya. Taruhlah seperti gambar Titi Qadarsih yang memang tidak ‘ngangkang’ tapi ‘ngongkong.’ Efeknya sama saja, yang menurut si empunya surat, “memancing selera rendah.” Terhadap suara-suara pembaca demikian, Monitor acap langsung memberi komentar pada akhir surat pembaca. Kalau perlu, Wendo menggunakan Telop Monitor untuk menjelaskan sikap tabloidnya. Menulislah Wendo suatu ketika, “Apa sebenarnya yang ingin sampaikan? Wajah yang mendayu, potret yang merangsang, gosip yang hangat? Jawabnya iya. Namun harus buru-buru diingat, bahwa semuanya kita sajikan secara pas. Euis adalah bintang segala ratu panggung, dan hanya Euis Darliah yang mampu bergaya seperti itu. Vero sedang memeluk gitar, Renny Jayusman dengan bayi lelakinya, Lenny dengan pakaian senam, adalah pas. Dan wajar. Impresi seperti itu yang ingin kita tonjolkan. Bukan sekadar mau mengobral gambar dan tulisan tentang ‘ngangkang.’ Betapa tidak menariknya kalau Chintami memakai pakaian penerjun.” Bagaimana menghadapi kritik dari para dosen komunikasi, wartawan lain, atau pihakpihak lain yang dianggap punya bobot intelektual berlebih? Apakah cukup dengan mengomentari surat pembaca sedang mereka tidak membuat surat pembaca? Apakah cukup mengurai penjelasan dalam Telop sedang mereka tidak membaca Monitor secara intens?

Monitor panjang akal. Taruhlah ketika menghadapi Astrid S. Susanto, pengecam pertama Monitor. Tak menunggu ledakan kemarahan berikutnya, dosen komunikasi dari Universitas Indonesia itu langsung diwawancarai awak Monitor. Metode simpel ini jitu hasilnya. Astrid S. Susanto tak terdengar menyerang Monitor lagi. Kritik, protes, kecaman pelan-pelan mereda. Monitor terus melanjutkan perjalanannya mencari ceruk-ceruk pasar yang masih bisa dimasuki. Setahun kemudian, tiras Monitor sudah menotok angka 600 ribu eksemplar. Tiga mesin dikerahkan untuk mencetaknya. Apa komentar Jakob Oetama kini? “Jurnalisme raw itulah yang mungkin kita perlukan sekarang,” Wendo mengutip bosnya ketika memberikan prasaran di depan insan-insan Serikat Penerbit Suratkabar pada 1987. Raw? Ini bahasa Inggris untuk “mentah,” kan? HANYA dalam setahun Monitor dikabarkan mencapai break event point. Kalkulasinya sederhana: titik impas bisa dicapai sekiranya Monitor dapat bertahan dengan oplah ratarata 115 eksemplar setiap terbit dalam setahun. Nyatanya, oplah Monitor melambung jauh di atas target. Bahkan setelah harganya dinaikkan jadi Rp 500 pada 1989, oplah Monitor masih saja seperti gelombang air laut yang terkena angin barat. Pasang naik terus. Gambaran menggilanya penjualan tiras Monitor barangkali bisa dijejak ke aktivitas setiap Selasa siang, hari ketika Monitor selesai dicetak seluruhnya. “Puluhan mobil dan motor,” begitu Wendo mengungkapkan, “siap menunggu palang pintu dibuka, dan dalam detik yang bersamaan, meluncurlah iringan bagai konvoi yang tak kalah dengan mereka yang berada di arena balap mobil. Pawai? Kampanye? Bukan. Ini kejadian rutin.” Pemandangan yang ditangkap Wendo selanjutnya, para agen pulang dengan barang bawaan yang memenuhi kendaraan setelah berjuang rebutan jatah. “Satu sepeda motor, dengan berboncengan, bisa mengangkut 1.200 eksemplar,” ungkap Wendo lagi. Artinya, kalau disusun satu pak, jumlah sebesar itu bisa lebih tinggi dari pengendara motor sendiri. Bisa saja Wendo cuma berbangga hati, dan ingin membuat semuanya jadi terkesan fantastis. Tapi, tunggu dulu. Simak Media Scene Indonesia edisi 1989/1990 yang dikeluarkan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia—yang bersandar pada data Survey Research Indonesia sepanjang 1985-1989. Dari data yang ada, terlihat dengan jelas, bahwa dalam kurun waktu 1987 - 1989, Monitor terus memimpin oplah dalam kategori majalah mingguan, melampaui Bola, Tempo, Bobo, Femina, Nova, Hai, Tribun Olahraga, dan Jakarta-Jakarta. Angka kontribusinya terhadap oplah nasional dalam kategori tersebut adalah 46,9 persen (1987), 51,9 persen (1988), dan 55,4 persen (1989).

Tak ada penjelasan angka persisnya. Kalau pun ada, saya mungkin harus meragukannya. Sudah menjadi semacam rahasia umum, penerbit kadang-kadang nakal juga dalam mengumumkan oplahnya. Angka tiras dikatrol sejadi-jadinya demi gengsi, kalau bukan untuk lebih memancing masuk kalangan advertensi. Beda lagi dengan laporan ke Departemen Penerangan, hampir bisa dipastikan mereka akan berusaha memberi kesan miskin se-miskin-miskinnya biar “setoran” bisa diatur nafasnya. Kembali ke oplah Monitor, berapa sebenarnya angka persis tiras Monitor, katakanlah tiras tertingginya? Wardhana bilang, oplah tertinggi Monitor mencapai sekitar 814 ribu eksemplar. Saat tiras sedang pasang naik, mereka pernah suatu ketika bergurau, jika kelak mencapai satu juta eksemplar, mereka akan menggunduli rambut. Tiras sebesar ini tak pernah kesampaian dalam hitungan real. Dan penyebabnya? Sejak 26 Nopember 1989, Monitor dipecah jadi dua: Monitor (reguler) dan Monitor Minggu. Dan pada 26 September 1990, Wendo memecahnya kembali. Lahir kemudian jabang bayi baru. Monitor Anak itu. Kebijakan unbundling ini pada gilirannya memacu semacam kanibalisasi bagi bisnis Monitor reguler. Toh kalau Monitor-Monitor itu disatukan oplahnya dalam satu paket hitungan, bisa jadi jumlahnya sudah mencapai sejuta eksemplar. Tapi ini bukan alasan bagus buat mereka untuk menggunduli rambut, agaknya. Sejuta atau tidak, oplah Monitor tetap paling top. Ini memudahkan bagian iklan untuk terus bergerilya mengambil ceceran dari belanja iklan nasional. Trend belanja iklan, seperti ditunjukkan Media Scene Indonesia pada edisi yang sama, memperlihatkan kecenderungan yang terus meninggi dari waktu ke waktu. Bila pada 1986 belanja iklan hanya Rp 47 miliar, pada 1987 jumlahnya sudah mencapai Rp 55 miliar. Berikutnya, Rp 60 miliar pada 1988 dan Rp 72 miliar pada 1989. Dari jumlah sebesar itu, Monitor mendapatkan kue iklan sebesar Rp 1,08 miliar pada 1987. Setahun kemudian jumlahnya sudah hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3,17 miliar dan pada 1989 melipat lagi jadi Rp 6,32 miliar. Ini menempatkan Monitor sebagai salah satu ‘big five’ dalam perolehan iklan setelah Tempo, Kartini, Femina. Bagian iklan dan redaksi sering bertengkar gara-gara saling serobot kavling? “Biasalah. Anda tahu sendiri, kalau iklan bertambah, space iklan pasti kan bertambah juga. Caranya ya dibuat aturan main. Jadwal iklan harus sudah booking jauh-jauh hari. Biasanya kita begitu,” tutur Laksono, yang halamannya konon sering dijarah oleh iklan display besarbesar, bahkan sehalaman penuh. “Kita bisa ngerti kok,” kata pengasuh halaman sampul akhir itu. Oplah yang terus menggila, iklan yang merajalela, membawa konsekuensi melegakkan dalam distribusi kesejahteraan awak Monitor. Dalam setahun, mereka bisa mendapat gaji 18 kali. Di luar gaji reguler yang 12 kali itu, mereka memang mendapatkan pemasukkan lain semisal bonus, grativikasi bagian keuntungan, selain gaji tambahan ketika datang hari raya Idul Fitri dan Natal. “Seorang reporter lepas bisa satu juta sebulan, kalau saya

tak salah,” kata Wardhana. Untuk tahun 1990, pendapatan reporter sebesar itu, jelas lebih jreng ketimbang wartawan pemula di Kompas atau Tempo sekalipun. “Saya pernah dapat seratus, lalu dua ratus,” sambung Wendo mengacu pada angka pembagian keuntungan saham yang mulanya hanya Rp 100 juta pada tahun pertama, dan meningkat jadi Rp 200 juta pada tahun-tahun berikutnya. “Itu cuma dari saham lima persen. Bayangkan berapa yang Harmoko dapet, dari saham 30 persen itu,” ungkap Wendo. Karena ledakan bisnisnya, Wendo sempat mengangankan Monitor dapat memiliki gedung sendiri, tidak lagi menempati bangunan milik Gramedia, yang disebutnya ‘bedeng’. Soal ini sering ditiup-tiupkan ke anak buahnya di Monitor, bahkan sekali waktu dihembuskan ke hadapan publik dalam guyonan khas Monitor di Telop 26 September 1990: “Insya Allah kami akan pindah ke ... bedeng lagi. Sebelum akhirnya punya gedung sendiri, lewat mimpi kali.” “Artinya angan-angan?” tanya saya pada Wendo. “Yang lain mungkin. Tapi saya akhirnya punya tekad ke situ,” jawab Wendo, “sombong sekali orang Kompas itu. Orang kita yang datang ke sana ditanyai macam-macam. Kayak nggak boleh nginjek saja. Kita-kita ini dendam sebenarnya. Dendam untuk motivasi.” Berbekal dendam, Wendo punya niat untuk membangun gedung berlantai 11. Jika niat ini terwujud, alhasil akan lebih tinggi dari Kompas yang berlantai tujuh. Lokasi pembangunan, menurut Wardhana, direncanakan di Jalan Palmerah Barat, di samping kantornya. Tak kesampaian. Areal itu kini telah disulap jadi tempat kursus Lembaga Pendidikan Keterampilan Komputer. Sekiranya tidak dibredel apa mampu Wendo membalas dendam, mewujudkan mimpi punya gedung sendiri itu? Mungkin ada baiknya Anda melihat figur bisnis Monitor. Jika Anda memberi saya kewenangan untuk mengkalkulasi bisnis Monitor, yang meliputi penjualan oplah dan kolom iklam, inilah kalkulasi saya secara kasar. Saya mulai dengan oplah. Dalam setahun, pada periode 1989 - 1990, akan didapatkan jumlah oplah trio Monitor sebesar 1.000.000 x 4 x 12 yakni 48 juta eksemplar. Dikalikan harga per eksemplar Rp 500 maka akan didapat omzet sekitar Rp 24 miliar. Sedangkan total perolehan iklan, bercermin pada Media Scene Indonesia tadi—ini didasarkan pada data Surindo Utama pada 1989—adalah Rp 6,3 miliar. Untuk lebih gampangnya katakanlah jumlahnya Rp 6 miliar pada periode yang sama—walaupun sebenarnya Media Scene Indonesia membuat proyeksi yang lebih gile lagi untuk 1990 yakni Rp 10,503 miliar, atau makan kue iklan 13 persen lebih dari total belanja iklan nasional untuk majalah. Berbekal angka moderat itu maka perputaran omzet bisnis Monitor pada periode 1989/1990 adalah sekitar Rp 30 milyar per tahun, pada periode 1989 – 1990 itu. Ini angka ngawur? Mari kita lihat kalkulasi lain.

Dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia, Kurniawan Junaedhie menuliskan angka pemasukan Rp 24,5 miliar. Angka ini bersandar pada analisis majalah Prospek terbitan awal Nopember 1990. Jika “pemasukan” diterjemahkan sebagai omzet, angka yang saya dapatkan itu lumayan ngaco. Namun, bila “pemasukan” tersebut dianggap tafsir gain, mohon maaf, justru Junaedhie yang luar biasa ngawur. Paling tidak, angka “gain” ini agak susah untuk mengkonfirmasi perolehan pembagian keuntungan saham lima persen Wendo yang Rp 200 juta itu pada, kira-kira, periode yang sama. Junaedhie mungkin ngawur. Saya barangkali ngaco. Lupakan dulu angka memusingkan itu agar kita dapat bersama-sama masuk ke sebuah pertanyaan yang acap dilontarkan orang, yakni bagaimana sebenarnya bisnis Monitor yang nyaris di luar akal sehat itu bisa dijelaskan? Saya bisa saja langsung mengecap Monitor sedang berkawan dengan keberuntungan. Jawaban versi asal nguap ini bisa benar bisa tidak. Dibilang tidak, karena ada realitas lain yang menunjukkan jalan masuk ke arah kemungkinan yang lebih rasional. Sejarah memperlihatkan, tabloid Monitor hidup tanpa saingan di masa jayanya. Apa yang digarapnya, jelas merupakan segmen baru yang sama sekali belum dirambah media lain. Orang membutuhkan informasi acara televisi, siapa pengisi acara tersebut, bagaimana acara dibuat. Lebih jauhnya, bagaimana kehidupan para pengisi acara, artis, dan macammacam lagi termasuk gosip yang bersliweran di antara mereka. Masalah-masalah televisi tadi kemudian diramu dengan paha dan dada. Wendo menamainya jurnalisme “ser dan lher.” Bumbunya, kuis berhadiah dan ramalan judi. Dalam penanganan kuis, Monitor bahkan harus menunjuk Globe Promotion Service sebagai kontraktor, sekadar untuk mengirimkan hadiah. Akan halnya ramalan, ini cerita lain. Awalnya, Monitor mengetengahkan ramalan “Porkas Cuaca,” yang diidentikkan dengan kode pemecah Porkas, program judi nasional yang dirancang Soedomo, menteri koordinator politik dan keamanan saat itu. Judi Porkas dimaksudkan sebagai upaya untuk menimbun dana buat perkembangan olahraga. Nyatanya, olahraga tak pernah mengalami perkembangan signifikan, sementara jutaan rakyat Indonesia ternggelam dalam mimpi-mimpi kosong. Ketika Porkas yang menggunakan kode huruf diprotes dan bubar, Monitor menghidangkan “Mbah Bejo.” Sama saja, orang menggunakannya untuk menebak judi Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah yang lazim disingkat SDSB, yang juga dicanangkan Soedomo. Bila Porkas menggunakan huruf, SDSB memakai angka. “Itu diset Bujang,” kata Veven Sp.Wardhana mengomentari perancang “Mbah Bejo” yang terkenal kejituannya buat mereka yang bisa menafsir. Bujang Praktiko disebut-sebut Wardhana juga sebagai penghubung Monitor dengan “orang pintar,” si pemberi kode pemecah judi. Segala keunikkan yang didesain Monitor, selain mendongkrak pasar eceran, juga melahirkan pembaca-pembaca fanatis yang selalu merasa rindu akan kehadiran terbitan

Monitor terbaru. Saking fanatisnya, beberapa di antara mereka mengganti nama dirinya dengan “Monitor.” Ini antara lain dilakukan Syahrir, siswa Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri I Medan. “Saya sih setuju saja ganti nama saya menjadi Monitor,” tulisnya. Tak cuma sekadar ganti nama, pembaca lain bernama Agus Mulyono dari Tegal (dengan alamat lengkap), menamai anaknya Adi Darmawan Monitor. “Biar cepat gede, kita kirimkan payung, kaos, dan sekadar buat beli bubur,” balas pengasuh surat pembaca. Keluarga Agus Mulyono pun ketiban rezeki Rp 50 ribu. EKONOMI Indonesia memperlihatkan wajah cerah sejak awal 1990-an. Picu agaknya berasal dari beleid pencabutan sejumlah retriksi investasi secara gradual, yang antara lain memungkinkan digantinya Daftar Negatif Investasi (DNI) oleh Daftar Skala Prioritas (DSP). Praktis, sektor-sektor usaha yang bisa ditanami modal jadi lebih banyak. Investor asing tergoda. Cerita susulannya Anda tahu sendiri, mereka berbondong-bondong merelokasikan industrinya —frasa lain untuk memindahkan mesin-mesin usang sambil menadah hujan keuntungan dari upah buruh murah. Fenomenal dampaknya. Investasi dengan fasilitas PMA (Penanaman Modal Asing) pada 1990 mencapai kenaikan fantastis hingga mampu menembus angka 8,7 miliar dolar AS dari angka tahun sebelumnya yang 4,7 miliar dolar AS. Serbuan ini melahirkan efek domino. Investor-investor lokal yang hendak menggunakan fasilitas PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) ikut-ikutan berlaga di sekeliling putaran rolet ekonomi yang kian cepat. Sebagian melayani investor asing sebagai partner, sebagian menjadi subkontraktor. Lainnya, terjun ke sektor-sektor bisnis yang masuk hitungan DSP. Indonesia beringsut dari ekonomi agraris ke ekonomi uang. Dunia pers yang selama ini tenang-tenang saja, tiba-tiba bergemuruh. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, sebuah organisasi kemasyarakatan keagamaan bentukan Orde Baru, membuat Republika, sebuah koran harian. Pengusaha-pengusaha nonmedia seperti Fadel Muhammad merogoh koceknya memodali majalah mingguan Warta Ekonomi dan majalah otomotif Mobil Motor. Lalu Peter Gontha di Indonesian Observer, Probosutedjo (Berita Buana), Abdul Latief (Harian Ekonomi Neraca), Bambang Yoga Sugama (Berita Yudha), dan Sudwikatmono yang menafasi Sinar. Di belakang hari, stasiun televisi swasta pun disentuh mereka. Gontha mendirikan RCTI, Siti Hardijanti Rukmana bikin TPI. Buat Kelompok Kompas Gramedia, situasi itu, selain sebuah peluang, juga mungkin dianggap ancaman bagi stabilitas dirinya. Segera saja Gramedia menyusun siasat untuk mengamankan situasi. Tapi, bagaimana mereka bisa mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) padahal pemerintah sudah menyetop perizinan baru untuk suratkabar dan majalah umum? Gramedia mulai menjalankan siasatnya. Ke daerah, mereka sibuk beraliansi dengan sejumlah media-media lokal. Dengan Serambi Indonesia di Aceh, Mandala di Bandung, Bernas di Yogyakarya, Pos Maluku di Ambon, Pos Kupang di Kupang, Suara Timor

Timur di Dili, dan banyak lagi. Di pusat, mereka memborong SIUPP dan membikin tabloid banyak-banyak, selain majalah-majalah bersegmen khusus. Separuh besar jatuh ke pangkuan Wendo. Pria yang tak pernah necis dalam berpakaian itu tiba-tiba saja dikenal sebagai juragan penguasa 22 SIUPP. Orang pun akhirnya tak cuma mengenal Wendo sebagai pemimpin redaksi Monitor, tapi juga wakil direktur Gramedia Majalah, sebuah direktorat yang diberi hak mensupervisi seluruh penerbitan majalah dan tabloid di kerajaan Palmerah. Bisa dibayangkan berapa besar kekuatan yang dimiliki Wendo saat itu. Ada peribahasa lama, makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa. Ini pula yang dialaminya setelah Wendo berada di puncak. Tapi ia bukan manusia tempe. Ia menghadapi tiupan angin di sekitarnya dengan sikapnya yang serba mengentengkan masalah. Di balik kesan kendo ini, diam-diam ia membuat kelompok yang dikenal sebagai “Seven Samurai.” Tak penting benar siapa anggotanya. Ini cuma kelompok akalakalan yang dibikinnya untuk menggertak para bos di Gramedia yang gatal tangan untuk turut campur urusan orang. “Saya lawan mereka,” ujar Wendo. Urusan yang begitu bejibun—termasuk mengangkat pamor majalah berita bergambar Jakarta-Jakarta yang redup gara-gara konflik internal, diikuti mundurnya pemimpin redaksi Noorca M. Massardi —karuan saja membuat Wendo harus pontang-panting. Jadwal serba tak teratur. Wendo akhirnya menyerahkan urusan perut redaksi Monitor kepada Tavip Riyanto sebagai wakil pemimpin redaksi-cum-penanggung jawab seharihari Monitor. Siapa dia? Riyanto berkarier di Monitor sejak minggu-minggu pertama terbit. Ia suka menulis masalah-masalah radio, termasuk memonitor perkembangan drama radio dengan segala pernak-pernik di belakangnya, mulai pengarang cerita sampai pengisi suara. Namanya mulai tercantum pada edisi kedelapan terbitan 24 – 30 Desember 1986 sebagai pembantu tetap. Ada dua pembantu tetap sebenarnya. Satunya lagi, Djoko Supriyadi yang kelak jadi kepala produksi dan punya kaitan langsung dengan kasus angket Monitor yang terkenal itu. Markas Monitor kontan gonjang-ganjing. Suasana yang semula serba adem berubah gerah. Sejumlah redaktur bangkit dari tempat duduknya mengajak Wendo bicara. Mereka mempertanyakan kriteria penempatan Tavip Riyanto di pos barunya. Celakanya Wendo, Riyanto keponakannya. Ini jadi titik lemahnya. Wendo terjepit. Ia mulai kehilangan rasa humornya, “Kalau nggak sejalan ya sudah. Kamu keluar atau saya keluar.” Begitu Aries Tanjung melukiskan reaksi Wendo. Dihadapkan dengan tantangan itu, para redaktur Monitor memilih jalan untuk melawan. “Seven Samurai” mereka adaptasi. Terbentuklah “Tujuh Samurai” yang beranggotakan

Veven Sp. Wardhana, Aries Tanjung, Mayong Suryo Laksono, Hans Miller Banureah, Gunawan Wibisono, Bujang Praktiko, ditambah fotografer Sondjaya Arifin. Para ‘pemberontak’ itu lantas membuat petisi lisan tidak percaya pada kepemimpinan Wendo, utamanya pada keputusannya mengangkat Riyanto sebagai bos baru mereka. Lobi-lobi dilakukan. Rapat-rapat tak resmi digelar. Tak hanya di kantor, mereka membawa masalah ini keluar. Puncaknya, mereka menggelar rapat di sebuah restoran di kawasan Tomang. “O ya, saya yang membawa mereka,” kata Aries Tanjung menerangkan, “saya ngajak teman-teman ke rumah Mas Wendo untuk nanya baik-baik.” Apa yang terjadi? Tanjung bilang, Wendo tidak segarang ketika di kantor. Petisi mereka mendapat perhatian serius. “Sudah nanti dilihat lagi,” kata Wendo, sebagaimana diucapkan Tanjung. Walau tak memperoleh jawaban optimal

[INDONESIA-L] MH - Masukan untuk Gu From: [email protected] Date: Fri Oct 22 1999 - 15:23:00 EDT ----- Forwarded message from [email protected] ----From [email protected] Fri Oct 22 18:10:20 1999 Return-Path: Received: from mail1.radix.net (mail1.radix.net [207.192.128.31]) by saltmine.radix.net (8.8.7/8.8.7) with ESMTP id SAA09279 for ; Fri, 22 Oct 1999 18:10:19 -0400 (EDT) Received: from indopubs.com (indopubs.com [192.41.9.64]) by mail1.radix.net (8.9.3/8.9.3) with ESMTP id SAA02645 for ; Fri, 22 Oct 1999 18:10:17 -0400 (EDT) Received: from localhost (indopubs@localhost) by indopubs.com (8.8.5) id QAA04347; Fri, 22 Oct 1999 16:06:51 -0600 (MDT) Received: by indopubs.com (bulk_mailer v1.9); Fri, 22 Oct 1999 16:06:14 -0600 Received: (indopubs@localhost) by indopubs.com (8.8.5) id QAA21972; Fri, 22 Oct 1999 16:02:36 -0600 (MDT) Date: Fri, 22 Oct 1999 16:02:36 -0600 (MDT) Message-Id: <[email protected]> To: [email protected] From: [email protected]

Subject: [INDONESIA-L] MH - Masukan untuk Gus Dur dan Mbak Mega Sender: [email protected] Date: Fri, 22 Oct 1999 12:21:49 -0700 (PDT) From: muhammad hatta <[email protected]> Subject: POSITIF DAN NEGATIF NYA PEMERINTAHAN PAK HARTO DAN PAK HABIBIE MASUKAN UNTUK GUS DUR DAN MBAK MEGA To: [email protected] dll POSITIF DAN NEGATIF NYA PEMERINTAHAN PAK HARTO DAN PAK HABIBIE MASUKAN UNTUK GUS DUR DAN MBAK MEGA A. Era pak Harto 1966 s/d 21 Mei 1998 Pak Harto adalah seorang militer, adalah sangat manusiawi dan wajar saja dengan alat UUD 45 beliau menjadi sangat berkuasa, akan tetapi beliau tetap berupaya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Semasa beliau berkuasa bidang yang dikonsentrasikan adalah ekonomi sehingga pada saat beliau berkuasa pertumbuhan ekonomi bangsa kita mencapai rata-rata 6 % per tahun , akan tetapi beliau melupakan keadilan dan demokratisasi , sehingga terjadilah kesenjangan budaya , kesenjangan pola pikir, kesenjangan ekonomi y ang sangat tajam antara pusat dan daerah, akibat dari ini semua moral bangsa menjadi rusak. Semua yang beliau bangun dapat tumbuh akan tetapi semu, kesemuan tadi telah mengakibatkan konflik horisontal dirasakan tajam akan tetapi tidak terlihat secara jel as. Sesungguhnya para mahasiswa pernah memperingatkan hal ini pada beliau sekitar tahun 1977, akan tetapi peringatan para mahasiswa tadi tidak di indahkan oleh beliau , bahkan pada tahun 1979 beliau menerapkan NKK/BKK yang me! matikan de mokratisasi kehidupan B. Era pak Habibie 21 Mei 1998 s/d 21 Oktober 1999. Karena lama belajar di Jerman , pak Habibie adalah seorang demokrat tulen. Akan tetapi pak Habibie sadar atau tidak sadar telah pula dibentuk oleh pak Harto . Kita tentu masih ingat gurubesarnya pak Habibie dibidang politik adalah Pak Harto. Akibatnya per tama ketika pak Habibie memimpin arah perjuangan Reformasi telah menjadi deformasi , hal ini dapat terjadi karena masih banyaknya elit politik, para birokrat yang menjadi Reformis dadakan padahal mereka ini belum lama duduk sebagai elit politik,birokrat, pengusaha di era Orde Baru . Kedua karena pak Habibie adalah pewaris pak Harto, maka pada saat pak Habibie memerintah kebekuan , konflik horisontal yang selama ini berhasil ditutupi oleh pak Harto menjadi meledak dimana-mana setelah pak Harto Lengser con tohnya timbul kasus Aceh, Sambas, Ambon . Ketiga karena desakan masyarakat yang sedang kehilangan jati dirinya sebagai bangsa, akibat krisis multidimensi dan ditambah bakat

pak Habibie yang demokrat maka wibawa dan pengayoman ! pemerinta h pada masyarakatnya m D. Saran untuk Gus Dur dan mbak Mega. Dari pengalaman diatas maka disarankan agar Gus Dur dan Mbak Mega tidak usah terlalu mendengar saran : .1. Para Elit Politik, birokrat sipil yang dekat dengan pak Harto dan pak Habibie antara tahun 1992 s/d 1999 , walaupun orang tersebut sekarang menjadi sangat Reformis dan telah memiliki sekaligus pemimpin partai dalam pemilu99 yang saat ini wakil-waki lnya ada di MPR. .2. Para Elit Politik yang partainya penerus Orde Baru contohnya Golkar. .3. Pilih sebanyak mungkin orang-orang jujur, non partisan, taat beribadah, dekat dengan mahasiswa dan perjuangan Reformasi nya, serta ahli dibidangnya sebagai menterinya Gus Dur dan Mbak Mega, namun dengan syarat orang tersebut bukan orang yang dekat de ngan pak Harto dan pak Habibie antara tahun 1992 s/d 1999 dan bukan dari Partai Golkar. Gus Dur dan Mbak Mega tentunya mengerti , bahwa pak Akbar cs, mas Amien cs, pak Edi Drajat cs, bung Yusril cs, pak Dimyati cs, pak Matori cs, pak Hamzah Has cs saat ini akan sangat berfungsi menjadi mitra pemerintah sebagai legislatif, biarkan mereka belajar mempersiapkan UUD yang baik, belajar menerima sekaligus menjadi penyalur aspirasi Rakyat . Masih banyak teman _teman Gus Dur dan Mbak Mega misal dari alumni HMI ,GMNI,PMKRI,PMII yang bukan orang partai politik untuk duduk di kabinet, Akan berbahaya terlalu banyak orang partai duduk di kabinet sebab nanti yang difikirkan kepentingan partainya saja bukan kepentingan Rakyat . Rekonsi! liasi nasi onal bukan berarti rek (berakhir disini - John) Militer Indonesia Tahun 50an

From: [email protected] Date: Thu Apr 02 1998 - 11:35:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message: From [email protected] Thu Apr 2 15:34:17 1998 Date: Thu, 2 Apr 1998 13:32:21 -0700 (MST) Message-Id: <[email protected]> To: [email protected] From: [email protected] Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer di 50an (1/6) Sender: [email protected]

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (1/6) Dan Lev menulis disertasinya tentang politik Indonesia tahun 1957-59 di Universitas Cornell. Wawancara ini kami adakan pada bulan Agustus 1995 untuk mengenal studi yang penting itu. Sekarang ini, bulan April 1998, kami merasa perlu memuat di Apakabar karena dari studi Dan Lev tentang tahun 50-an itu kami bisa memahami latar belakang peranan militer dalam politik Indonesia.

PERISTIWA 17 OKTOBER T: Studi Pak Dan, "The transition to Guided Democracy: Indonesian politics, 19571959," selanjutnya kami sebut "Transition," membahas detail sekali dua tahun yang sangat menentukan itu. Tapi banyak peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya yang juga Pak Dan pelajari karena sangat mempengaruhi apa yang kemudian terjadi pada tahun 1957-59. Kami ingin melihat selintas rangkaian peristiwa itu, sejak tahun 1952. Kami mulai dengan lembaga militer. Apa arti Peristiwa 17 Oktober 1952 dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia? Apakah itu bisa dianggap peristiwa sepele, Nasution muda ingin gagah-gagahan? Atau punya arti dan dampak yang dalam bagi perjalanan sejarah Indonesia selanjutnya?

J: Sesudah tahun 50, memang tentara cukup sibuk karena terjadi macam-macam pemberontakan yang sangat berpengaruh pada pikiran politik dan ideologi pimpinan tentara. Sejak tahun 50 juga mulai ada usaha pimpinan tentara untuk mempengaruhi beberapa surat kabar, sudah ada semacam intelijen untuk itu. Pada bulan Oktober 1952 itu, untuk pertama kalinya tentara secara blak-blakan kasih tahu ke pemerintah bahwa mereka tidak senang. Tidak senang dengan campur tangan pemerintah, tidak senang dengan kekacauan yang terjadi, dengan korupsi, dll. Pada waktu itu Pak Nas memberi tahu pemerintah bahwa dia bukan hanya tidak senang tetapi juga bisa bertindak.

Yang penting bukan hanya tindakan itu, dan bukan hanya perpecahan yang ada dalam tentara karena banyak juga yang tidak setuju dengan Nasution. Yang penting adalah bahwa ada perwira yang sudah menganggap tentara pada waktu itu sebagai organisasi yang bukan hanya berfungsi militer tetapi juga punya kepentingan politik, punya perasaan politik dan pikiran politik.

Waktu Pak Nas ingin memaksa Bung Karno untuk kembali memimpin negara, banyak orang mengira dia seolah-olah mau kembali ke tahun 1945, ke persatuan bangsa, dsb. Menurut saya tidak. Menurut saya waktu itu Pak Nas sudah punya pikiran bahwa kalau perlu tentara mesti bertindak untuk memimpin negara. Bisa memaksa pimpinan sipil seperti Bung Karno sendiri untuk melakukan hal-hal yang menurut tentara, atau paling sedikit menurut Pak Nas dkk, harus dilakukan untuk memperkuat Indonesia. Nah, hal itu tentu dilandasi pikiran politik dan kepentingan politik. Banyak pimpinan tentara pada waktu itu yang merasa bukan hanya mereka lebih mampu dari pada orang sipil, tetapi juga merasa disingkirkan oleh suatu elite lama. Ini pernah juga terjadi dalam negara manapun saja, ya.

Pimpinan sipil sendiri pada waktu itu memang satu kelompok yang agak luar biasa. Mereka berpendidikan tinggi, sikapnya sangat terbuka, punya ide-ide. Kebanyakan dari mereka itu intelektual yang sudah biasa omong satu sama lain, dan mereka berkemanusiaan. Selama lebih dari 20 tahun mereka satu sama lain sudah biasa bertarung dengan ide. Mereka bisa tidak setuju satu sama lain, tetapi tidak mau saling membunuh. Mereka sudah biasa dengan permainan politik yang terbuka. Mereka juga sangat realistis.

Sedangkan pimpinan tentara waktu itu merupakan kelompok yang jauh lebih muda. Dibandingkan pimpinan sipil seperti Bung Karno, Bung Hatta, pimpinan PNI, Masyumi, Kristen, Katolik, NU, dll, mereka kurang berpendidikan. Atau pendidikan mereka sangat sempit. Tapi pimpinan tentara ini merasa yang berpendidikan tinggi itu tidak bisa apaapa. Atau paling sedikit tidak bisa memimpin dengan disiplin dan tegas. Lantas ada semacam kompetisi antara kedua elite itu, antara dua generasi yang berlainan sekali.

KESEPAKATAN JOGJA T: Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, ada beberapa peristiwa penting di kalangan militer. Pertama, Kesepakatan Jogya (17 Februari 55), untuk mendamaikan dua kelompok yang pro dan yang kontra Peristiwa 17 Oktober. Apa inti kesepakatan Jogya yang dirumuskan oleh 250 perwira Angkatan Darat ini? Ketidakpuasan militer ini ternyata tidak selesai dengan membuat ikrar di Jogya, di depan makam Jendral Sudirman. Setelah kesepakatan Jogya terjadi Peristiwa Juni-55. Pimpinan Angkatan Darat tidak menerima pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KASAD baru. Disambung dengan percobaan kudeta oleh Zulkifli Lubis dan perwira-perwira Jawa Barat pada bulan November-56. Apa artinya rangkaian peristiwa ini?

J: Memang kesepakatan di bulan Februari 1955 itu sangat penting. Mereka mau coba menghilangkan perpecahan yang ada dalam tubuh tentara, yang memang sangat berbahaya. Tapi menurut saya yang lebih penting dari peristiwa itu adalah bahwa ketika mereka ke Jogya, ke makam Pak Dirman, para perwira itu seolah-olah bicara atas nama tentara sebagai suatu organisasi yang berdiri sendiri. Mereka tidak mengijinkan campur tangan dari luar. Mereka punya ide sendiri. Kalau ada kesulitan intern, mereka sendiri yang akan mengatasi.

Akibatnya terlihat pada bulan Juni 1955. Waktu Bambang Utoyo mau diangkat oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo, pimpinan tentara menolak. Ini suatu petunjuk yang luar biasa pentingnya. Tentara bisa bertindak sebagai organisasi politik. Tentunya pada waktu itu Pak Ali sangat terkejut. Saya kira dia mengerti betul bahwa ini berarti pemerintah tidak bisa mengontrol tentara, tidak bisa menyuruh tentara begitu saja. Tentara tidak akan tunduk pada pemerintah sipil. Menurut saya itu adalah permulaan dari krisis yang akan menuju ke Demokrasi Terpimpin. Apalagi setelah Pak Nas diangkat lagi sebagai KASAD. Terbukti, dua tahun kemudian sistim parlementer sudah bubar.

HUBUNGAN SIPIL-MILITER

T: Ada beberapa alasan mengapa militer tidak puas selama dekade 50-an. Beberapa diantaranya: (1) Tentara menolak campur tangan sipil dalam soal militer. (2) Tentara merasa lebih berjasa dari pada sipil, karena sipil sudah menyerah dalam Agresi-2, sedangkan tentara terus melawan. (3) Para pemimpin sipil tidak becus, kabinet jatuhbangun terus. (4) Sipil korup. Itu a.l terlihat dalam tuduhan Alex Kawilarang terhadap Menlu Roeslan Abdulgani. Bisakah Pak Dan mendiskusikan satu demi satu alasan itu.

J: Kalau dipikirkan dari satu sudut saja, ya semua tuduhan itu memang betul. Keadaan yang sulit sekali memang tidak bisa diatasi oleh sipil saja. Lantas memang bisa dibilang tidak becus. Pada waktu revolusi memang ada perbedaan antara pimpinan sipil dan pimpinan tentara. Keduanya punya keahlian sendiri, punya fungsi sendiri. Dengan sendirinya pimpinan sipil akan menekankan diplomasi karena memang itu keahliannya. Tentara dengan sendirinya juga akan menekankan perjuangan bersenjata karena itu keahliannya. Kalau pimpinan tentara bilang sipil korup, ya memang betul. Apakah tuduhan Alex Kawilarang pada Roeslan itu betul? Memang belum jelas. Tapi tuduhan itu menunjukkan perasaan para perwira terhadap orang sipil.

Sejak revolusi banyak perwira yang menganggap rendah orang sipil. Mereka menganggap dirinya jauh lebih mampu. Memang sering orang militer, dimanapun saja ya, menekankan keahlian mereka yang bisa mengatasi kesulitan militer, lalu merasa diri lebih mampu dari orang sipil. Sedangkan dalam suatu sistim parlementer, dengan sendirinya politik akan didasarkan atas debat, kompromi, debat lagi. Tapi dari pandangan militer itu dianggap agak sloppy, tidak becus, dsb. Bukan karena militer tidak senang dengan sipil, walaupun itu juga biasa dimanapun juga. Yang penting adalah karena mereka menganggap diri berhak berbuat sesuatu karena itu.

Para perwira mengatakan mereka bertindak untuk menyelamatkan negara, dsb. Tapi kalau melihat bukti-bukti yang ada, saya tidak melihat kebenaran disitu. Biasanya kalau suatu kelompok pimpinan bertindak, itu bukan hanya untuk tujuan yang luhur, yang sangat bagus. Tetapi menurut pandangan dan kepentingan sendiri. Dan menurut saya sesudah itu memang terlihat banyak perwira yang menunjukkan bahwa mereka memang punya pandangan dan kepentingan sendiri. Mereka bukan hanya mau memainkan peranan sebagai militer tetapi juga sebagai pemimpin dalam pemerintahan.

Perasaan dan kemauan itu sangat menonjol pada tahun 1955, 56, 57. Dan itu kelihatan bukan hanya di pusat, dengan orang seperti Pak Nas, Gatot Subroto, dll. Di daerah lebih kelihatan lagi. Perwira-perwira daerah menganggap diri sangat kompeten, dan mereka punya macam-macam alat. Lalu mereka makin sering diminta bantuan oleh orang-orang

sipil. Itu terjadi di Sumatra, di Sulawesi, bahkan juga di Jawa Timur. Perwira-perwira daerah merasa diri sangat penting karena mereka bisa menolong daerahnya.

Mereka juga ikut marah ke pusat karena tidak banyak uang yang mengalir dari Jakarta ke daerah. Semua itu mendorong semacam aktifitas politik para perwira daerah. Pak Nas kuatir, takut sekali dengan keadaan itu. Karena itu berarti para perwira daerah makin lama makin tidak mau menerima perintah dari pusat. Lantas Pak Nas mau mempersatukan tentara. Bukan hanya karena persatuan tentara itu perlu, tetapi karena persatuan itu dibutuhkan untuk tujuan politik tentara. Tahun 56 perkembangannya jelas menuju ke arah itu.

T: Ketika Nasution diangkat kembali menjadi KASAD (November 55) dia bekerjasama dengan Kabinet Ali-2 untuk memperkokoh posisi pimpinan tentara di pusat. Beberapa panglima daerah dia geser. Keputusan ini menimbulkan ketidakpuasan para panglima daerah (Sumatra dan Sulawesi), yang kemudian mencari dukungan di luar tentara. Mereka didukung oleh Masyumi dan PSI (Crouch, h 32-33). Seberapa jauh keputusan Nasution ini mempengaruhi timbulnya krisis Pusat-Daerah?

J: Ini masalahnya sangat kompleks. Tidak bisa dikatakan Pak Nas sendiri yang menyebabkan krisis itu. Ada beberapa kejadian yang saling berhubungan. Di daerah memang ada dorongan dari orang-orang sipil yang memikirkan nasib daerahnya sendiri. Mereka menganggap tentara setempat itu bagian dari institusi lokal, bukan hanya institusi nasional. Pak Nas mau mencegah itu dengan memindahkan beberapa perwira dan dengan memperkuat organisasi tentara. Kabinet Ali mau menolong karena melihat ada bahaya Indonesia bisa pecah. Dan kita harus ingat tahun 56 itu hanya 6 tahun setelah pengakuan kedaulatan. Pimpinan nasional waktu itu, termasuk BK, tidak merasa begitu pasti bahwa mereka betul-betul bisa mempersatukan Indonesia. Ada ketakutan yang luar biasa. Sebagian karena campur tangan dari luar akibat Perang Dingin. Sesudah revolusi ada usaha untuk mempersatukan, dan ada harapan untuk cepat-cepat ada perbaikan. Tapi kemudian orang-orang merasa kurang puas, kurang senang, kurang sabar karena harus menunggu pembangunan, dsb. Menurut saya harapan itu memang tidak realitis. Tapi saya bisa mengerti kalau pimpinan waktu itu takut sekali kalau Sumatra akan keluar, Sulawesi akan berdiri sendiri. Itu sebabnya Pak Ali menyokong usaha Pak Nas untuk mempersatukan tentara.

Tapi ada satu akibat sampingan dari itu. Karena kemudian Pak Nas dan para perwiranya mulai menganggap tentara sebagai lembaga yang sangat kunci. Mereka merasa yang paling menentukan, merasa paling penting. Nah kalau perasaan itu dicampur dengan

perasaan kesal pada orang sipil, dengan kepentingan tentara sebagai kelompok politik, dengan perasaan kurang dihormati, tidak diberi anggaran belanja yang cukup, dst, dengan sendirinya bisa dimengerti mengapa mereka kemudian mendorong keras untuk memainkan peranan yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya (bersambung 2/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r) From: [email protected] Date: Thu Apr 02 1998 - 11:39:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message: From [email protected] Thu Apr 2 15:36:03 1998 Date: Thu, 2 Apr 1998 13:35:33 -0700 (MST) Message-Id: <[email protected]> To: [email protected] From: [email protected] Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer di 50an (2/6) Sender: [email protected]

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (2/6)

PRRI/PERMESTA T: Ketidakpuasan panglima-panglima daerah (Sumatra dan Sulawesi) berkembang ketika pemerintah (Kabinet Ali-2) mengecam penyelundupan dan barter yang dilakukan oleh para panglima itu. Apakah ada usaha untuk memeriksa sejauh mana kecaman atau tuduhan pemerintah itu bisa dibuktikan? Ketidakpuasan ini berakibat jauh. Kemudian para panglima Sumatra dan Sulawesi mengumumkan 'keadaan perang,' dan pemerintahan sipil berada dibawah komando militer. Mengapa?

J: Memang benar penyelundupan itu ada. Seperti dengan Hong Kong, Singapura, dll. Karena daerah merasa kekurangan anggaran belanja dari pusat, dan juga karena ada ketegangan akibat pertentangan Jawa dan Luar Jawa. Tetapi bukan hanya karena alasanalasan itu. Dan harus diingat bukan hanya tentara yang memainkan peranan disitu tetapi juga orang sipil setempat, di Sumatra dan Sulawesi. Jadi ada banyak kepentingan disitu. Ada kepentingan ekonomi, ada semacam patriotisme daerah, dll. Faktor lain yang sangat penting ialah campur tangan Amerika. Dan ini sering dilupakan. Baru kira-kira dua tahun yang lalu, dalam buku 'Democracy in Indonesia,' permainan Amerika waktu itu dijelaskan dalam hasil studinya Pak Kahin. Dan juga dalam bukunya yang baru, 'Subversion as foreign policy' (New York, The New Press, 1995).

Dilihat dari pusat, memang pusat merasa tidak bisa lagi mengontrol daerah. Bukan hanya karena ada tentara yang membandel, walaupun itu faktor terpenting, tetapi karena kepentingan daerah memang berbeda dengan kepentingan pusat. Kedua, pusat takut pengaruh Amerika disitu akan sangat memperlemah Indonesia. Tentunya keadaan yang sangat kompleks itu menimbulkan kekacauan. Lalu muncul perasaan kehilangan harapan dalam diri orang-orang di pusat. Lalu siapa yang bisa bertindak? Ada orang-orang sipil yang menganggap, ya hanya tentara yang bisa menyelesaikan semua ini. Di daerah, baik yang sipil maupun yang tentara sama-sama ada main, tetapi yang punya senjata itu cuma tentara.

UNDANG-UNDANG DARURAT T: Bagaimana situasi tahun 56-57 itu? Yang membuat pemerintahan Ali-2 akhirnya menandatangani Undang-undang Darurat Perang, 14 Maret 1957. Dan apa akibat Undang-undang ini dalam politik selanjutnya.

J: Pada akhir tahun 56 ada krisis yang luar biasa. Macam-macam hal terjadi. Bukan hanya karena daerah mulai main sendiri, tetapi juga karena ada pertentangan antara Bung Karno

dan Bung Hatta. Lalu bulan Desember Bung Hatta meletakkan jabatan wapres, dan seolah-olah itu membenarkan luar Jawa. Selain itu, sesudah Nasution diangkat lagi menjadi KASAD, peranan tentara semakin naik. Pimpinan tentara menganggap orang sipil yang membuat keadaan kacau kemudian tidak bisa menyelesaikan kekacauan itu.

Selain itu, ada satu kejadian lagi yang sangat penting dan sering dilupakan orang. Tahun 56 dan 57 ada perdebatan dalam parlemen tentang desentralisasi. Dari debat itu kemudian lahir Undang-undang nomor 1 tahun 1957. Undang-undang itu memperlemah kedudukan pamong praja dan memberi kekuatan yang nyata pada DPR Daerah. Ini membawa perubahan yang sangat mendalam dan sangat penting.

Latar belakangnya begini. Pada waktu itu diakui bahwa pamong praja itu sebenarnya merupakan lembaga kolonial yang dibuat untuk mengumpulkan kekayaan alam Indonesia dan untuk mengontrol rakyat Indonesia. Partai-partai tidak akan bisa kuat, terutama di desa-desa, kalau kekuasaan pamong praja tidak diperlemah. UU 1/57 itu merupakan semacam desentralisasi yang memperkuat posisi DPR Daerah. Kedudukan pamong praja dirubah, hanya menjadi semacam alat bagi DPRD. Nah, Pak Nas dan umumnya pimpinan tentara menganggap keputusan itu akan memperlemah pemerintah pusat, dan akan memperlemah negara pada umumnya. Lalu Pak Nas mulai mendorong agak keras supaya partai-partai itu jangan membuat lemah negara.

Pada tahun 57 atau 58 Pak Nas memberi pidato, saya kira di Sumatra Selatan, tentang soal ini. Disitu dia memuji-muji pamong praja dan menjelekan UU-1/57 itu. Malahan dia mengatakan bahwa pamong praja itu harus dipertahankan. Ini berarti dalam pikiran Pak Nas, dan mungkin para perwira lain juga, pemerintahan kolonial itu lebih efisien, lebih baik. Dan ini ada bahayanya sendiri. Mungkin pikiran ini juga yang memberi ilham dalam politik Orde Baru nantinya.

Ketika tahun 57 itu dinyatakan Keadaan Perang, berarti tentara diberi tempat yang istimewa. Dengan pernyataan itu tentara dimasukkan dalam pemerintahan lokal dimanamana dan juga dalam pemerintahan nasional. Tentara diberi hak istimewa untuk mebredel koran, hak untuk campur tangan dalam politik lokal. Mulai tahun 50, di beberapa daerah memang sudah dinyatakan Keadaan Perang lokal. Jadi tentara sudah punya pengalaman. Tetapi pada tahun 57 itu diberi legitimasi secara nasional. Dan sesudah itu, dimanapun juga tentara memainkan peranan yang penting sekali. Lantas itu jadi semacam konstitusi, semacam Undang-undang Dasar untuk peranan politik tentara.

KORUPSI T: Setelah kampanye Sita Modal Asing, mulainya bulan Desember 1957, pimpinan tentara mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang disita. Sebagian menyalurkan uangnya ke pasukannya, bukan ke pemerintah (Crouch, h 38, 39, 40). Korupsi, penyelundupan, dan juga percukongan mulai berkembang. Tahun 1958, Nasution menggeser beberapa perwira, seperti Kol. Ibnu Sutowo dan Kol. Suharto, waktu itu panglima Jateng. Apakah kampanye anti korupsi ini berhasil?

J: Tentu tidak. Sesudah perusahaan-perusahaan Belanda diambil alih tahun 57, pada tahun 58 dinasionalisasi. Ada tujuh perusahaan Belanda yang besar lalu dibagi-bagikan, dan kebanyakan jatuh dibawah kontrol tentara. Kalau Undang- undang Keadaan Perang tahun 57 menjadi semacam konstitusi politik buat tentara, maka nasionalisasi perusahaan belanda pada tahun 58 itu memberi landasan ekonomi bagi tentara. Sepertinya tentara jadi punya anggaran belanja sendiri, punya sumber uangnya sendiri.

Dalam membersihkan tentara Nasution sama sekali tidak berhasil. Beberapa orang memang disingkirkan. Tapi orang-orang itu digeser karena alasan-alasan lain.Antara lain karena mereka kadang-kadang menentang Pak Nas. Orang lain seperti Sukendro yang terlibat dalam penyelundupan yang waktu itu dikenal dengan nama 'Barter Tanjung Priok,' tidak digeser begitu saja. Pak Nas sangat mengerti politik. Dia paham betul bahwa kalau diberi kesempatan, maka para perwira itu akan memakai kesempatan itu untuk curi uang juga.

Soal korupsi dikalangan tentara, saya kira Pak Nas sendiri tahu betul bahwa itu tidak mungkin bisa dia bersihkan. Malahan para perwira itu sudah menunggu agak lama untuk dapat kesempatan. Waktu kesempatannya terbuka, banyak yang masuk dengan senang hati dan banyak cari untung untuk dirinya sendiri. Kampanye anti korupsi di kalangan tentara pada waktu itu sama sekali tidak berhasil. Ini bukan mau mengatakan bahwa semua perwira itu korup. Bukan itu. Waktu itu memang dikalangan perwira ada isu baru. Perwira yang biasa di medan perang kurang senang dengan perwira yang main politik dan makin kaya.

JALAN TENGAH

T: Setelah berhasil menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, pimpinan pusat militer menjadi utuh. Tanggal 12 Nopember 1958, Nasution berpidato di Magelang tentang Konsep Jalan Tengah. Isinya, a.l, "Tentara adalah kekuatan hankam sekaligus kekuatan sospol." Untuk menjalankan "Doktrin Perang Wilayah," tentara perlu "Kekuasaan Teritorial" (Salim Said, "Genesis of Power", h 135-137). Delapan bulan kemudian Sukarno mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD-45. Apakah ada kaitan antara Jalan Tengah dan Dekrit 5 Juli?

J: Ini agak kompleks tapi sangat penting. Selama tahun 58, Pak Nas meminta nasehat beberapa orang di dalam maupun di luar tentara untuk merumuskan landasan politik tentara. Antara lain dia bicara dengan Pak Djokosutono yang waktu itu dekan Fakultas Hukum UI. Pak Djokosutono yang menciptakan ide Jalan Tengah itu. Dalam Bahasa Belanda itu dia sebut 'De Legers Midel Weg.'

Yang dicari Pak Nas pada waktu itu adalah semacam program politik yang bisa memuaskan ambisi para perwira yang ada, dan sekaligus memberi hak tentara, untuk selama-lamanya turut aktif dalam masyarakat dan politik Indonesia. Sesudah itu, bahkan sebelum itu, Pak Nas dan perwira lainnya mulai mendesak supaya UUD Tahun 1950 itu dihapuskan, dan kembali ke UUD-45. Ini sekarang sering dianggap ide Bung Karno. Padahal sama sekali tidak. Sama sekali tidak betul. Dalam otobiografi Pak Hardi, tokoh PNI, beliau mengatakan bahwa itu ide PNI. Tapi saya tidak melihat ada bukti-buktinya. Yang terang waktu itu, malahan sejak 17 Oktober 1952, Pak Nas merasa bahwa UUD-45 itu yang paling pantas.

Kalau kita kembali lagi, waktu Oktober 52, Pak Nas minta apa pada Bung Karno? Supaya parlemen disingkirkan dan BK sendiri menjadi Pemimpin Besar. Itu berarti UUD-45. Menurut Hardi, tahun 57 itu BK tidak mau memainkan peranan yang terlalu penting, peranan yang bertanggung-jawab. Dia mau menjadi pencetus ide. Tapi kalau harus mempertanggung-jawabkan suatu politik ekonomi, misalnya, dia tidak mau. Pada Hardi dia mengakui terus terang bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang ekonomi. Malahan takut kalau dia akan membuat kacau. Dan memang betul itu yang kemudian terjadi. Tapi ada kemungkinan lain juga. BK mungkin agak kuatir dengan keadaan politik waktu itu. Karena pada akhirnya BK memang tidak punya partai, tidak punya organisasi sendiri. Menurut saya, dia tidak begitu senang dengan UUD-45 itu. Itu programnya tentara.

Tahun 58 itu, ada beberapa kejadian penting di luar Indonesia, yang dari sudut tentara itu sangat menguntungkan. Dimana-mana banyak tentara lain yang main kudeta. Bulan Juli

Jendral Kassim kudeta di Iraq. Bulan Oktober jendral Ayub Khan di Pakistan dan Ne Win di Birma. Ada kup baru juga di Thailand. Berita kup datang juga dari Pilipina. Lalu bulan November tentara kudeta di Sudan. Semua itu terjadi pada tahun 58. Dan waktu itu Pak Nas mulai memberi ceramah. Kira-kira dia mau bilang, "Ya, ini ada yang bikin kup di luar negeri dan bisa saja itu juga terjadi disini." Akibatnya, BK dan pimpinan politik lain yang sudah agak lemah karena sudah bukan sistim parlementer lagi, menjadi takut sekali. Kalau kita baca, koran tahun 58 sampai awal 59 itu penuh dengan berita tentang kup di luar negeri, dan ketakutan dalam negeri akan kemungkinan kup.

Pada akhirnya Pak Nas berhasil dengan desakannya supaya UUD-45 dipertimbangkan kembali. Bulan Februari isu itu dikasih pada Konstituante supaya diputuskan. Nah, disitu ada permainan yang luar biasa juga. Akhir April, BK berangkat ke luar negeri untuk perjalanan dua bulan. Yang diserahkan mengurus keadaan di dalam negeri adalah Pak Nas. Harapan Pak Nas adalah pada akhirnya Konstituante akan menyetujui UUD-45. Tetapi ternyata tidak. Masyumi berhasil memaksa NU untuk ikut menolak, setelah kekalahan dalam isu Piagam Jakarta, kekalahan dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Setelah diambil suara dalam Konstituante, tanggal 2 Juni, cuma 264 suara mendukung, 204 menolak dan 2 abstain. Padahal butuh 2/3 suara. Pak Nas tahu dia kalah. Besoknya dia mencekal semua orang. Semua aktivitas politik dilarang. Orang tidak boleh lagi ngomong di koran, tidak boleh apa-apa, menunggu sampai BK pulang. Sementara itu Pak Nas kirimkan seorang atase untuk bicara dengan BK. Saya kira dia juga kirim surat, mendesak BK supaya ada dekrit untuk kembali ke UUD-45.

Waktu BK pulang, tanggal 29 Juni, dia merasa terjepit. Di lapangan terbang Kemayoran dia membuat jumpa pers. Yang aneh, disitu dia malah memarahi Nasution. Dia mengatakan, "Saya tidak akan tunduk pada tentara." Jadi bukan UUD-45 yang dibicarakan, malahan dia bicara kekuatan tentara. Ini menunjukkan bahwa BK mengerti betul apa yang sedang terjadi. Dia sudah terdesak, terjepit, tidak bisa berbuat apa-apa. Yang akhirnya menang adalah tentara. Sesudah itu, dalam Demokrasi terpimpin, dari sudut BK yang paling sulit adalah bagaimana mengontrol tentara. Pada akhirnya, terbukti tidak bias

(bersambung-3/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r)

From: [email protected] Date: Thu Apr 02 1998 - 11:44:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message: From [email protected] Thu Apr 2 15:42:39 1998 Date: Thu, 2 Apr 1998 13:41:41 -0700 (MST) Message-Id: <[email protected]> To: [email protected] From: [email protected] Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer di 50an (3/6) Sender: [email protected]

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (3/6)

PEMILU-55 T: Apa makna paling penting dari Pemilu-55? Mengapa para peneliti Indonesia menganggap Pemilu-55 adalah pemilu yang paling bebas dan paling menunjukkan aspirasi rakyat Indonesia? (Lihat a.l makalah Feith, McVey, Anderson, Mackie, Buyung Nasution, dll, dalam "Democracy in Indonesia, 1950s and 1990s." Selanjutnya kami sebut "Democracy").

J: Pemilu-55 itu luar biasa. Itu pemilihan pertama dalam suatu negara baru. Yang kalau dihitung dari pengakuan kedaulatan, selesainya revolusi, umurnya baru 5 tahun. Yang mengherankan adalah efektifitas dari organisasi partai-partai. Yang lebih mengherankan lagi adalah begitu banyaknya orang yang turut. Lebih dari 91% untuk memilih anggota parlemen (DPR) pada bulan September, dan 89% waktu memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Itu luar biasa. Ini memang pemilu yang paling bebas.

Yang ditunjukkan dari pemilu-55 itu adalah bahwa rakyat Indonesia menerima sistim parlementer itu dengan semangat yang luar biasa. Setelah jatuhnya sistim parlementer, semua orang baik di luar negeri maupun di dalam negeri, mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia tidak bisa menyokong suatu sistim pemilihan, suatu republik atau demokrasi. Pemilu-55 membuktikan pikiran tadi itu omong kosong! Kalau kebudayaan Indonesia tidak bisa menjadi landasan untuk demokrasi, kenapa begitu banyak orang yang ikut memilih? Dan kelihatan betul mereka tahu apa yang akan dipilih. Mereka masuk partai dan mendukung partai itu. Mereka tidak lebih atau tidak kurang kalau dibandingkan rakyat di negara- negara lain.

Dikatakan banyak orang yang milih PNI karena mereka biasa ikut dengan para priyayi. Tapi mengapa ada jutaan orang yang tidak ikut priyayi itu. Mereka ikut PKI atau Masyumi atau NU atau yang lain. Persis seperti di negara manapun juga. Dan antusiasme itu kelihatan bukan hanya dalam pemilihan buat parlemen, bulan September. Tetapi juga waktu pemilu untuk anggota Konstituante, bulan Desember. Dan kelihatan lagi waktu begitu banyak orang yang turun waktu pemilihan anggota DPRD tahun 1957. Buat saya itu makna penting Pemilu-55.

KONSEPSI BUNG KARNO (21 Februari 57) T: Tanggal 21 Februari 1957 Bung Karno mulai menawarkan Konsepsinya. Dia mengusulkan: (1) Kabinet Gotong Royong yang dipimpin oleh 4-besar hasil Pemilu-55 (PNI, Masyumi, NU dan PKI), dan (2) Dibentuknya Dewan Nasional dimana duduk semua wakil-wakil golongan dalam masyarakat untuk mendampingi kabinet ("Transition," h 16 dan 17). Apa reaksi atas Konsepsi Bung Karno ini?

J: Sebenarnya ini mulai tahun 56. BK mulai memberi ceramah dan pidato yang kritis terhadap sistim kepartaian. Sudah sejak tahun 1930 Bung Karno memimpikan persatuan. Dia memang tidak senang kalau semua golongan itu terus konflik. Dia ingin mempersatukan semuanya. Tahun 57 dia kembali pada ide itu. Dia ingin supaya semua partai bisa bekerjasama. Lalu muncul ide Dewan Nasional, dsb. Tapi itu menunjukkan bahwa BK bertindak secara ad hoc. Dia tidak ada ide tentang Demokrasi Terpimpin. Dia tidak tahu lembaga apa yang akan dipakai. Dia hanya mau memaksa semua partai untuk bekerjasama. Hanya itu. Dan dia memang mau bertindak sebagai semacam pemimpin besar yang berada diatas semuanya, walaupun tidak bertanggungjawab pada semua itu.

Pada tahun 57 itu memang banyak sekali orang yang mengharap dari Bung Karno sesuatu yang lebih baik dari yang sudah ada. Memang sulit untuk menentukan siapa yang kecewa, siapa yang tidak puas waktu itu. Tapi memang banyak yang mempercayai Bung Karno, menganggap dia sebagai semacam bapak negara. Mengharapkan dari dia suatu pimpinan yang bersih dengan arah yang jelas. Termasuk kaum intelektual, dll, yang menganggap konflik partai itu sudah keterlaluan.

Tapi ada unsur lain. Tidak semua partai menerima apa yang diinginkan Bung Karno dengan Konsepsi itu. Dari sudut PNI, Masyumi, NU, bahkan dari Partai Katolik, Kristen, dll, banyak yang tidak mau bekerjasama dengan PKI. Dari sudut mereka, mereka mulai takut betul pada PKI yang makin besar dan makin kuat. Ini akan menjadi ancaman yang sangat fundamental. Dan untuk mengerti ketakutan itu harus dipahami elite Indonesia waktu itu. Yaitu elite yang ada di dalam PNI, Masyumi, PSI, NU. Ini kelompok elite yang sebagian, tidak semua tentunya, berasal dari aristokrasi dulu, kaum priyayi dulu, atau aristokrasi di luar Jawa. Mereka kuat pada waktu kolonial, dan masih kuat pada waktu revolusi dan sesudahnya. Mereka mulai melihat PKI sebagai semacam partai yang tidak bermain menurut aturan yang ada. Dari satu sudut, PKI itu terlalu serius. Pimpinan PKI waktu itu jauh lebih muda dari dari pada pimpinan PNI, Masyumi, NU, Kristen, Katolik, dll. Lebih muda, lebih cakap berorganisasi, dan sangat bersih. Mereka menekankan kepentingan buruh, tani, dll.

Lalu timbul ketakutan dari elite PNI dll itu, melihat kemungkinan PKI akan menang. Setelah Pemilu-57 mereka mendekati Bung Karno, dan mulai juga mendekati tentara. Tidak semua tentunya. Sesudah tahun 57-58, mereka melihat tentara sebagai semacam

savior, semacam benteng terhadap PKI. Atau ada yang melihat BK semacam benteng juga terhadap PKI. Lantas ada semacam kekuatan yang berkumpul disekitar BK waktu itu. Tapi itu memang tidak terlihat dari luar. Sedangkan tentara, Pak Nas dkk itu, juga tidak tahu apa yang akan dilakukan BK. Dari sudut tentara, sudah ada kemajuan besar. Mereka sudah punya Undang- undang Keadaan Perang itu. Tahun 58 mereka sudah dapat perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi, dll. Ide-ide Pak Nas sudah diterima. Para perwira sangat diperhatikan. Lantas, dari sudut mereka, Bung Karno boleh berbuat apa saja. Asal saja tujuan tentara dikabulkan.

T: Bagaimana Pak Dan menjelaskan meningkatnya kekuatan PKI dalam waktu singkat ini? Padahal pimpinan mereka jauh lebih muda dari pimpinan partai-partai lain. Bagaimana anak-anak muda ini bisa mendapat jutaan pengikut?

J: Ada dua-tiga sebab. Yang sangat ditekankan oleh grup PKI adalah bahwa cara- cara PKI dianggap sangat modern, semacam arus pada jaman itu. Selain itu PKI dianggap partai yang bersih. Waktu itu saya kenal satu orang dokter, dia orang Masyumi. Orang ini sangat jujur, sangat streng, malah agak kaku. Nah, dia mengatakan, "Satu-satunya partai yang bersih disini memang PKI." Dan banyak sekali orang yang merasa begitu. Setuju atau tidak setuju, orang menganggap PKI waktu itu sebagai partai yang bersih. Partai yang serius, yang betul-betul mau berjuang untuk sesuatu yang di luar sakunya sendiri. Sebetulnya itu tidak betul juga, ya. Orang komunis juga bisa korup kalau diberi kesempatan. Tapi mereka tidak pernah punya kesempatan itu. Tapi pandangan orang itu jadi satu keuntungan yang luar biasa buat PKI.

Selain bersihnya PKI itu, mereka memang dianggap punya ide. Ini memang penting sekali, pada akhirnya PKI memang tergantung pada suatu pendirian yang berpihak pada petani. Dan mereka rela ambil resiko. Banyak pokrol bambu dari PKI yang keluar, menolong orang di pengadilan dalam perkara tanah. Kalau soal buruh, pada akhirnya yang waktu itu betul-betul memperjuangkan kaum buruh itu siapa? Terutama ya PKI. Akibatnya banyak buruh yang masuk dalam SOBSI.

Dari sudut politik luar negeri, banyak orang waktu itu juga marah pada Amerika karena desakan Amerika yang kadang-kadang memang sangat kasar. Amerika menyokong PRRI-

Permesta, termasuk pemboman di Indonesia. Orang marah pada permainan CIA, pada kecongkakan pendirian Eisenhower dan selanjutnya, Kennedy. Politik luar negeri Bung Karno yang memakai simbol Non-Alignment, tahun 55 ada Konferensi Asia Afrika di Bandung. Lalu ada politik anti Nekolim, dsb, memang sangat meyakinkan buat banyak orang. Nah, PKI juga dapat semacam keuntungan dari keadaan itu.

PEMILU DAERAH-57 T: Bulan Juni dan Juli 1957 diadakan pemilihan umum daerah untuk memilih anggota DPRD. PKI muncul sebagai pemenang. Di P. Jawa dan Sumatra Selatan, PNI dapat 25%, Masyumi 19%, NU 25% dan PKI 31%. Angka-angka ini sudah dibulatkan dari buku "Transition," h 97. Apa dampak Pemilu-57 dalam politik selanjutnya?

J: Pemilu-57 menunjukkan pada pimpinan PNI, Masyumi, NU, dll, bahwa mungkin sebaiknya sistim parlementer dihapuskan saja. Ini suatu keputusan yang sangat kritis. Kalau sistim parlementer mau diselamatkan, sistim itu harus dapat sokongan dari partai. Tapi disitu kelihatan bahwa kepentingan dari suatu elite sosial-politik dianggap lebih penting dari pada sistim politik yang ada.

Kemudian, tahun 58, waktu perdana menteri Juanda mengusulkan supaya pemilu tahun 59 dibatalkan, dia dapat sokongan. Ini ironis sekali. Karena yang menyokong dia itu PNI, Masyumi, PSI, Katolik, Kristen. Yang menentang, menekankan perlunya pemilihan ialah PKI. Nah, ini aneh kan?

Karena terang ya bahwa PKI bukan suatu partai yang demokratis, artinya akan dengan senang hati menerima partai-partai lain. Tapi justru mereka yang membela sistim parlementer. Nah, harus ditanyakan, apa sebabnya pimpinan PNI dll itu mendukung dibatalkannya pemilu? Pimpinan PNI dll itu belum menjawab pertanyaan ini. Tapi saya tahu akhirnya jawabannya bagaimana. Mereka takut PKI. Itu berarti, tahun 58 sistim demokrasi yang ada memang dibunuh oleh partai-partai sendiri. Dengan bantuan luar biasa dari tentara dan juga Bung Karno.

SERIKAT BURUH T: Tadi Pak Dan menyinggung soal buruh. Dari wawancara dengan Pak Takashi, perlawanan terhadap kolonialisme pada tahun 20-an itu dipelopori oleh serikat serikat

buruh. Tahun 30-an dan 40-an kaum buruh sudah tidak punya kekuatan lagi. Dalam dasawarsa 50-an ini, serikat buruh tumbuh subur lagi. Tetapi hampir semua serikat buruh bergabung dengan partai politik besar pada waktu itu. Dalam wawancara sebelumnya Pak Dan mengatakan, "Ada kelemahan dalam gerakan buruh dulu. Mereka terikat kepada partai." Apakah pada waktu itu memang ada pilihan lain bagi buruh selain bergabung dengan partai?

J: Saya tidak mengatakan supaya buruh jangan menyokong partai, atau jangan masuk dalam partai. Ada dua soal. Pertama, waktu itu buruh di Indonesia, walaupun jumlahnya banyak, masih merupakan unsur yang belum begitu kuat. Belum jadi kekuatan yang besar. Yang penting cuma buruh dalam perminyakan, beberapa pabrik kecil, buruh kereta api, persatuan guru, dll. Kedua, waktu organisasi buruh itu mulai, mereka langsung saja dimasukkan kedalam PNI, PKI, Masyumi, NU, yang semua punya organisasi buruhnya sendiri. Akibatnya tujuan jangka panjang kaum buruh sering dikorbankan untuk tujuan jangka pendek partai. Dan karena buruh itu sudah terbagi-bagi dalam partai, mereka sering tidak bisa omong blak-blakan tentang tujuan dan kepentingan mereka sendiri. Sering mereka tidak diperhatikan oleh pimpinan partai.

Menurut saya memang ada pilihan lain waktu itu. Beberapa serikat buruh itu mulai bisa omong satu sama lain untuk mempersatukan gerakan buruh. Dan pada waktu itu, menurut saya persatuan itu yang akan lebih menguntungkan. Tapi itu semacam fantasi juga, ya. Pada akhirnya mereka terpengaruh oleh partai.

Kemudian memang ada konflik dengan partainya. Dalam PKI ada konflik, bukan hanya dengan SOBSI tetapi juga dengan BTI, Barisan Tani Indonesia. Makin lama makin ada ketegangan dengan pimpinan partai. Dalam partai-partai lain saya kira juga begitu. Tapi sudah terlambat

(bersambung-4/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r) From: [email protected] Date: Thu Apr 02 1998 - 11:46:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message: From [email protected] Thu Apr 2 15:45:16 1998 Date: Thu, 2 Apr 1998 13:44:36 -0700 (MST) Message-Id: <[email protected]> To: [email protected] From: [email protected] Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer 50an (4/6) Sender: [email protected]

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (4/6)

SARA T: Dalam dekade 50-an ada dua peristiwa penting yang menyangkut soal Sara.Berdirinya Baperki tahun 1954 untuk mencegah Sara, dan keluarnya PP-10 tahun 1959 yang justru menghidupkan Sara. Pertanyaan pertama, mengapa Baperki berdiri tahun 1954?

J: Mereka takut. Ini memang cerita sendiri. Baperki itu agak tragis dan banyak orang tidak paham sejarah ini. Untuk bisa paham, seperti yang lain juga termasuk tentara, orang harus mengerti sejak jaman kolonial. Orang Tionghoa itu minoritas yang dipakai sebagai perantara supaya tidak lahir suatu kelas menengah pribumi Indonesia yang tentunya lebih sulit dipegang. Dan mereka sangat terikat pada Belanda. Mereka itu berguna sekali bukan hanya sebagai perantara tetapi juga juga sebagai kambing hitam. Tahun 20-an dan 30-an orang Tionghoa sudah mulai pecah. Bukan hanya antara peranakan dan totok tetapi juga antara kiri dan kanan. Ada yang merasa dekat sekali dengan Belanda, atau paling sedikit merasa takut kalau tidak mendapat proteksi dari Belanda. Dan yang lain sudah menganggap diri sebagai orang Indonesia lalu masuk dalam gerakan nasionalis, walaupun sebagian ditolak.

Waktu revolusi, sama. Ada yang berpihak pada Belanda. Yang lain, seperti di Jogya, ikut berjuang dalam revolusi. Lainnya tidak berbuat apa-apa kecuali takut sekali pada siapapun saja. Memang pada waktu revolusi, bulan Juni 46, ada kejadian yang sangat kejam di Tangerang. Banyak orang Tionghoa dibunuh begitu saja. Karena takut sekali, ada dua hal yang terjadi. Satu, didirikannya suatu organisasi, Sin Ming Hui. Yaitu organisasi untuk menolong orang, bukan hanya orang Tionghoa, tetapi siapapun saja. Terutama orang Tionghoa yang sama sekali tidak punya perlindungan lain. Kedua, setelah peristiwa Tangerang itu, didirikan suatu organisasi keamanan, Pao An Tui, untuk perlindungan secara fisik kalau perlu.

Pada akhir revolusi didirikan suatu organisasi politik namanya Partai Demokrat Tionghoa Indonesia. Pimpinan orang Tionghoa waktu itu sadar betul bahwa untuk bisa berbuat sesuatu mereka harus punya organisasi. Tapi mereka terbentur, karena kebanyakan orang Tionghoa sama sekali menjauhkan diri dari politik, takut sekali pada politik. Sesudah tahun 50, wah, keadaan jadi sulit lagi buat orang Tionghoa. Karena kewarganegaraannya ditolak, atau tidak menentu, dan ada banyak insiden. Lalu ada yang mulai masuk macammacam partai. Ada yang mendekat pada PNI karena memang sudah ada hubungan lama sejak abad-19 antara priyayi Jawa dengan Orang Tionghoa. Banyak kawin campur, dsb. Yang intelektual masuk PSI. Banyak yang masuk Kristen, Katolik, bahkan ada yang masuk Masyumi, NU, dll.

Orang-orang Tionghoa yang ada di parlemen tidak selalu bisa memperhatikan persoalan Tionghoa. Padahal waktu itu keadaan mereka dipersulit. Dan banyak orang Tionghoa mulai kuatir betul dengan nasib mereka. Antara lain karena ketidakpastian tentang

kewarganegaraan. Mereka diperas, kadang-kadang diancam, dihantam, dll. Tahun 54 mulai agak gawat. Karena itu semua pimpinan Tionghoa dari macam-macam organisasi berkumpul di Jakarta untuk mendirikan suatu organisasi baru yang bisa mempersatukan. Lahir Baperki. Terutama untuk menangani soal kewarganegaraan yang hangat sekali waktu itu. Tetapi juga untuk mencari semacam jalan keluar bagi minoritas ini. Banyak orang dari berbagai kalangan masuk ke Baperki.

Yang dipilih menjadi pimpinan itu Siauw Giok Tjhan. Ini menarik. Karena kalau kita ingat lagi sejak jaman kolonial, masyarakat Tionghoa seperti minoritas dimanapun juga di dunia, selalu mencari pimpinan yang bisa cocok dengan kekuasaan yang ada. Pada jaman kolonial, pimpinan Tionghoa yang kuat adalah yang dekat dengan Belanda. Pada tahun 50-an, mengapa Pak Siauw yang dipilih? Karena dia kenal baik dengan Bung Karno. Dia juga teman karibya Pak Sartono, tokoh PNI yang memimpin parlemen waktu itu. Lantas yang konservatif tidak lagi jadi pemimpin.

T: Para pendiri Baperki sangat beragam latar belakangnya dan juga pendangan politiknya. Misalnya Yap Thiam Hien intelektual Kristen, Oey Tjoe Tat intelektual nasionalis, Siauw Giok Tjhan adalah aktivis kemerdekaan yang ideologinya condong ke PKI, Auwyong Peng Koen (P.K. Oyong) adalah tokoh pers yang dekat dengan kelompok Katolik. Sedangkan Inyo Beng Goat dan Tan Po Gwan adalah intelektual yang dekat dengan PSI ("Memoar Oei Tjoe Tat," h 73-85). Pertanyaan kedua, pemikiran apa yang bisa menyatukan mereka?

J: Baperki itu memang campur aduk. Ada macam-macam aliran politik, aliran sosial, aliran agama. Tapi semua pimpinan itu orang yang bertanggungjawab, mau menolong minoritas ini. Siauw itu dituduh orang komunis. Memang betul dia komunis. Dan bukan hanya dia, ada beberapa orang lagi. Tapi sebetulnya Siauw itu bukan orang PKI. Malah dia agak marah pada PKI. Kenapa? Karena waktu kelompok Aidit memimpin PKI, mereka juga pikir soal Tionghoa ini. PKI tidak rasialis, pada umumnya, tapi mereka kuatir kalau ada pemimpinnya yang Tionghoa maka itu tidak akan disenangi masyarakat. Lantas seorang pimpinan PKI lama, Tan Ling Dji, itu dikeluarkan dari pimpinan. Saya pikir Siauw marah. Walaupun Siauw dituduh PKI, dan memang dia kadang-kadang setuju dengan PKI karena politik PKI yang tidak rasialis, tapi buat Siauw yang penting bukan komunismenya. Tapi kesetiaan pada Bung Karno. Dia melihat Bung Karno sebagai harapan untuk minoritas.

Selama Demokrasi Terpimpin, dalam Baperki ada macam-macam konflik. Auwyong Peng Koen keluar.Dia marah karena tidak diberi kedudukan pimpinan yang baik. Dia

memang Katolik yang tidak percaya pada Siauw. Tapi Katolik-katolik yang lain terus. Pak Yap terus juga. Walaupun dia seorang Protestan yang tidak pernah setuju dengan Siauw, tetapi dia sangat menghormati Siauw. Pak Yap dan Pak Siauw itu, memang berlainan pandangan politiknya tapi banyak kesamaan dalam sikap hidupnya. Mereka sama-sama sangat sederhana, bukan orang yang punya ego besar. Dua-duanya betul-betul orang yang bertanggungjawab, dan sangat teguh dengan pendiriannya, karena itu mereka sering bertengkar. Pak Yap tidak setuju dengan komunis, bahkan sangat anti komunis. Dia kritis sekali pada Siauw karena program yang dianggap terlalu kiri pada tahun 60 itu. Tapi sebetulnya, yang Pak Yap sangat kuatirkan dari Pak Siauw itu bukan komunismenya. Tetapi kesetiannya pada Bung Karno.

Tahun 59, di Konstituante, Siauw Giok Tjhan dan semua orang Baperki mendukung ide untuk kembali ke UUD-45, karena itu akan memperkuat Bung Karno. Walaupun dalam UUD-45 itu ada satu dua ayat yang sebetulnya rasialis juga. Seorang Tionghoa tidak bisa jadi presiden, umpamanya. Yang menyerang UUD-45 adalah Pak Yap. Dia menyerang atas dasar prinsip. Nah, sesudah itu, ya sulit. Baperki terus terikat pada Bung Karno dan akhirnya dihancurkan. Tentu tidak semua orang Tionghoa ikut Baperki, malahan cuma minoritas saja. Lalu makin lama Baperki makin kacau balau, seperti partai-partai lain juga. Karena pengaruhnya di daerah, di luar Jakarta, hampir tidak ada. Kecuali di Jawa Timur. Karena Siauw dari Jawa Timur dan ketua Baperki Jawa Timur adalah adiknya Siauw. Dari satu sudut, Baperki itu memang partai Jawa Timur.

Kalau tentang PP-10, itu sulit juga. Pada umumnya, orang seperti Bung Karno dan elite lama yang terdidik itu sama sekali bukan rasialis. Dan harus diingat, pada umumnya di Indonesia tidak ada rasialisme yang mendalam. Saya tidak setuju dengan pendapat Jamie Mackie, misalnya. Dia berpendapat sejak tahun 50 banyak kerusuhan dalam masyarakat yang menyebabkan serangan ke orang Tionghoa. Setiap ada kerusuhan anti Tionghoa yang serius, biasanya itu diorganisasikan dari atas. Seperti Gerakan Asaad itu umpamanya. Begitu juga dengan PP-10, atau rasialisme bulan Mei tahun 63.

PP-10 itu disokong Masyumi, dll, tapi diorganisir oleh tentara. Ada macam-macam tujuan disitu. Memang ada sebagian orang, bukan hanya di tentara, yang menganggap orang Tionghoa itu kaya, harus dibatasi, harus dikirim pulang, dsb. Bung Karno tidak menyetujui, tetapi terpaksa ikut. Pramoedya Ananta Toer menulis satu buku waktu itu, 'Hoakio di Indonesia,' tentang orang-orang Tionghoa di Indonesia. Dan karena itu dia dipenjara. Bukan atas kemauan Bung Karno, tetapi atas kemauan tentara. Selain itu ada tujuan lain. Kalau orang Tionghoa ditakut-takuti, diancam, dipukul, dengan sendirinya akan jauh lebih mudah memeras mereka. Itu taktik biasa.

T: Apa alasan utama tentara mendukung PP-10/59? Peraturan ini melarang orang-orang asing, Cina, India, Arab, dll, berdagang di daerah pedesaan. Ini jelas sangat rasialis. Mengapa di Jawa Barat dilaksanakan dengan kejam?

J: Di Jawa Barat perasaan anti Tionghoa memang ada. Waktu itu pimpinan tentara sudah merasa diri bukan hanya sebagai pemain politik, atau pimpinan politik, tetapi juga semacam pembuat politik. Mereka akan membela masyarakat, mau memperbaiki ekonomi. Di Jawa Barat mereka memutuskan untuk memperbaiki ekonomi maka orang Tionghoa harus dikeluarkan. Itu suatu kesalahan yang bukan main. Saya sendiri melihat di desa-desa waktu itu, bukan hanya di Jawa Barat tetapi juga di Jawa Timur yang keadaannya berbeda. Di Jawa Barat orang desa tidak setuju kalau Tionghoa dipindahkan. Karena itu malah merugikan buat orang desa itu. Tentara lalu ambil oper isu itu karena menganggap ini akan mendapat sokongan rakyat. Padahal tidak.

BIROKRASI T: Dalam makalah Evers di buku "Democracy," ada tabel jumlah pegawai negeri ("Democracy," h 266). Ada dua kali kenaikan jumlah pegawai negeri yang sangat menyolok. Pertama dari 82 ribu pada tahun 1940 menjadi 303 ribu pada tahun 1950. Dan kedua dari 515 ribu pada tahun 1970 menjadi 2 juta tahun 1980. Tolong Pak Dan jelaskan mengapa selama dekade 40-an jumlah pegawai negeri itu melonjak hampir 4 kali lipat? Sedangkan selama jaman Demokrasi Liberal, dekade 50-an, kenaikan jumlah pegawai negeri hanya 90 ribu orang. Apa arti data ini untuk memahami politik tahun 50-an?

J: Saya juga sudah melihat statistik itu. Tapi belum begitu terang buat saya apakah data untuk tahun 40 dan 50 itu termasuk juga tentara. Kalau tahun 80 memang sudah termasuk tentara. Sesudah tahun 50 banyak orang yang masuk pegawai negeri. Karena memang ada pekerjaan disitu dan karena pegawai negeri dianggap statusnya tinggi. Selain itu, partai-partai, seperti partai dimanapun saja, memakai tempat di birokrasi itu sebagai patronage. Anggota partai ditempatkan disitu supaya mereka senang dan dari situ juga bisa membantu partainya. Tahun 50-an, seperti di negara lain juga, di Indonesia semua partai ingin mendapat sebagian dari birokrasi. Misalnya PNI dapat penerangan, NU dan Masyumi dapat departemen agama, dst.

Kenaikan jumlah birokrasi itu menunjukkan beberapa hal yang penting. Satu, karena pemerintah memperluas fungsinya dengan sendirinya akan mengangkat lebih banyak pegawai. Tapi dari sudut politik, orang-orang yang masuk dalam birokrasi itu kemudian menganggap diri berkepentingan dengan birokrasi itu. Artinya birokrasi jadi semacam

partai politik. Dan di Indonesia ada tendensi dari pimpinan negara untuk menganggap birokrasi sebagai pendukung utamanya. Itu berarti kepentingan birokrasi harus dilayani terus. Nah ini ada pengaruh yang agak berbahaya. Karena kemudian semua pegawai negeri memandang hubungan dengan pimpinan politik atau dengan pimpinan negara sebagai hubungan yang paling utama. Akibatnya mereka tidak merasa bertanggung-jawab kepada hukum atau kepada fungsinya, tetapi kepada pemimpin.

Di Indonesia, sistim politiknya jadi didasarkan sebagian yang menentukan birokrasi. Semacam sistim politik-birokrasi, bureaucratic-polity. Dari sudut reform nanti, akan sulit sekali untuk meyakinkan para pegawai negeri bahwa mereka terikat pada undang-undang atau pada hukum dan bertanggungjawab pada masyarakat, bukan pada pimpinan politik. Besarnya birokrasi itu memang agak penting. Tapi kalau birokrasi dianggap bagian terbesar dari kelas menengah di Indonesia, dari sudut analisis pembaharuan politik ini saya tidak setuju. Menurut saya, ciri yang terpenting dari kelas menengah adalah mereka bukan bagian dari birokrasi, bukan bagian dari negara. Jumlah birokrasi di Indonesia memang terlalu banyak. Tapi saya tidak melihat hal ini terlalu luar biasa.

Yang dapat ditanyakan adalah tentang kualitas birokrasi itu. Yang menarik di Indonesia, dulu yang menjadi birokrat berasal dari kelas yang terdidik, kelas atas, aristokrasi. Sekarang mereka tidak masuk lagi dalam birokrasi. Mereka masuk ekonomi swasta. Yang sekarang jadi birokrat itu orang macam lain. Dari satu sudut ini penting juga, karena orang yang tidak berasal dari aristokrasi itu harus mencari landasan lain. Dan seringkali landasan lain itu adalah kecakapan. Sayang sekali riset yang betul-betul baik tentang birokrasi belum ada. Padahal ini sangat, sangat penting. Hans Dieter Evers dan lain lain yang mau omong tentang birokrasi di Indonesia, harus mencari data dulu. Kalau statistik dan jumlah, itu gampang saja. Tapi bagaimana keinginan orang dalam birokrasi, pandangannya terhadap kerja, keterikatan pada pemimpin, atau pada hukum, frustrasinya, dsb. Tentang itu kita tidak tahu apa-apa

(bersambung-5/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r)

From: [email protected] Date: Thu Apr 02 1998 - 11:49:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message: From [email protected] Thu Apr 2 15:46:53 1998 Date: Thu, 2 Apr 1998 13:46:21 -0700 (MST) Message-Id: <[email protected]> To: [email protected] From: [email protected] Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer 50an (5/6) Sender: [email protected]

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (5/6)

DEKRIT 5 JULI 59 T: Tgl 5 Juli 1959 Bung Karno mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD-45.Konstituante dibubarkan. Mulailah jaman Demokrasi Terpimpin. Sekarang seringkali Demokrasi Terpimpin itu dianggap ciptaan Bung Karno. Kami ingin mendengar penjelasan dari Pak Dan, mengapa Konstituante dibubarkan? Dan siapa yang paling berkepentingan, atau siapa yang paling diuntungkan, dengan pembubaran Konstituante itu?

J: Ini memang pertanyaan menarik. Sebetulnya Demokrasi Terpimpin sebagian besar diciptakan oleh tentara. Waktu itu mereka yang paling kuat, yang paling bisa mendesak. Dalam hal dekrit, menurut saya BK tidak mau, tetapi terpaksa. Lalu dia harus memperjuangkan pendiriannya sendiri. BK tahu betul bahwa dia tidak bisa seluruhnya

mengontrol tentara. Lantas dia harus cari kekuatan lain yang bisa mengimbangi tentara. Yang dapat dipakai hanya PKI. Walaupun menurut saya BK tidak terlalu senang dengan PKI. Tapi partai-partai lain agak lemah. Masyumi sudah dibubarkan pertengahan tahun 60. PSI juga, tapi PSI tidak begitu kuat. NU dan partai-partai Islam yang kecil itu sulit dipakai. Tahun 58 dia coba menghidupkan kembali partainya sendiri, yaitu Partindo. Tapi Partindo belum pernah mendapat dukungan yang luas. Maka dia terpaksa pakai PKI.

Lalu ada konflik terus menerus antara tentara dan BK. Kepentingan tentara sebagian memang sudah dilayani. Para perwira dapat tempat yang baik. Jumlah perwira di kabinet terus naik. Pada akhirnya tentara tahu bahwa mereka bisa mengontrol keadaan karena mereka yang punya senjata. Ini juga bukan sesuatu yang luar biasa. Saya kira, sudah tiba waktunya kita memikirkan kembali peranan Bung Karno. Semua yang mempelajari sejarah politik Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri, sangat terpengaruh oleh keadaan waktu itu.

Semua menganggap BK sangat besar. Betul dia punya pengaruh, itu tidak dapat disangkal. Tapi semakin lama, saya semakin berpikir bahwa BK agak menderita waktu itu. Karena pada akhirnya dia tidak bisa banyak mempengaruhi keadaan.

Pertama, karena dia tidak mempunyai organisasi yang baik, yang efektif, yang selalu bisa dikerahkan. Kedua, saya tidak yakin BK punya suatu imajinasi politik yang sangat jauh. Seperti orang lain juga, dia sangat terikat pada ide-ide yang berasal dari jaman kolonial tahun 20-30an. Idenya tidak banyak berubah. Ketiga, dia memang terlalu banyak dipengaruhi oleh para penjilat disekitarnya. Terlihat sekali dalam memoarnya Oei Tjoe Tat. Orang-orang takut untuk mengatakan terus terang kepada BK bahwa dia berbuat salah. Akhirnya BK mulai merasa diri menjadi orang yang sangat penting, sangat besar, sangat sangat. Karena setiap hari dia ketemu dengan penjilat.

Lantas bisa ditanyakan bagaimana imajinasi politiknya? Keadaan ekonomi pada Demokrasi Terpimpin jadi jelek sekali. Banyak orang sekarang yang menganggap Demokrasi Terpimpin itu periode yang baik, yang menarik. Tapi waktu itu keadaan memang kacau sekali. Banyak orang yang betul menderita. Lembaga- lembaga negara tidak diperkuat, malah dikorup. Waktu itu mulai korupsi di pengadilan, yang sekarang menjadi menonjol sekali. Sudah banyak hakim yang menyerah saja pada BK.

Memang ada satu dua yang menentang, coba otonom, tapi akhirnya lembaga pengadilan jadi rusak. Kejaksaan jadi korup sekali. Polisi juga. Dari sudut pemerintah, okelah kalau hakim-hakim, jaksa-jaksa, polisi, itu korup. Asal saja mereka setia pada negara. Dan Pak Nas sendiri waktu itu setuju. Kalau kalau pegawai negeri tidak dapat gaji cukup terpaksa mengijinkan mereka memeras. Tapi yang diperas itu siapa? Ya, rakyat biasa. Sebetulnya itulah warisan Demokrasi Terpimpin yang belum pernah dikoreksi. Karena Orde Baru ini persis sama dengan Demokrasi Terpimpin dalam bentuk politiknya. Yang jelas beruntung dalam Demokrasi Terpimpin adalah tentara. Karena tentara sendiri yang menciptakannya.

KONSTITUANTE T: Dalam studinya, Buyung Nasution berpendapat sebenarnya Konstituante nyaris berhasil. Hal paling mendasar, yaitu komitment terhadap demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan dibatasinya kekuasaan pemerintah, itu sudah disepakati. Apakah Pak Dan sepakat bahwa penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia adalah hal paling penting yang harus dicantumkan dalam UUD?

J: Kalau dikatakan yang paling penting, saya ndak tahu ya. Tapi menurut saya memang penting kalau di dalam suatu konstitusi ada hak-hak asasi manusia. Bukan karena itu akan menjamin hak-hak asasi, tetapi paling sedikit secara simbolis itu akan memberikan semacam pegangan yang bisa dipakai orang untuk membela diri. Kalau dalam konstitusi dicantumkan hak-hak asasi atau civil rights, itu berarti orang paling sedikit bisa mengejar hak-haknya, bisa membela diri.

Ide Marsilam Simanjuntak tentang UUD-45 dan pengaruh Supomo itu juga penting. Konstitusi itu, dimanapun saja, pengaruhnya sangat terbatas. Selalu bisa disingkirkan oleh kepentingan politik, bisa dibohongi, dst. Tapi toch disitu ada nilai-nilai yang seharusnya bisa jadi pegangan orang. Tahun 45, profesor Supomo itu memang tidak menginginkan hak-hak asasi manusia. Disitu dia mengatakan blak-blakan bahwa hak asasi manusia itu hak individu yang bisa dipakai untuk melawan pemerintah. Ya, dengan sendirinya. Karena pemerintah, dimanapun saja, itu bahaya yang paling besar untuk orang. Supomo tidak menginginkan itu karena dia menganggap bahwa pemerintah akan dipimpin oleh orang-orang yang baik. Yaitu kalangannya dia sendiri. Sulitnya, dalam setiap pemerintahan para pemimpin menganggap dirinya baik. Tapi pemerintah, dimanapun saja, bisa sangat merugikan orang. Dengan senjata dia bisa membunuh orang, bisa apa saja. Dalam konstitusi, sebagai ideal, kalau ada hak asasi manusia seperti yang ada di dalam UUD tahun 50, itu akan memberi sedikit harapan.

Tentang analisa Buyung, saya setuju. Paling tidak studinya Buyung itu meyakinkan buat saya. Konstituante memang setuju tentang hak asasi manusia. Mereka juga sudah setuju tentang banyak hal lain lagi. Tapi karena pertentangan politik, yang memang biasa diantara partai-partai dimanapun juga, maka proses itu lama. Kita tidak tahu apakah kalau diberikan banyak waktu mereka akan bisa mengadakan kompromi atau tidak. Tapi yang jelas mereka tidak diberi waktu lagi.

POLITIK LUAR NEGERI T: Sejak awal tahun 50-an Perang Dingin sudah mulai. Apa dampak utama Perang Dingin dalam politik Indonesia?

J: Wah, ini betul mengacaukan! Pada tahun 50-51 dubes Amerika sudah mendesak Indonesia untuk ikut dalam suatu persetujuan yang akan mengikat Indonesia pada Amerika. Akibatnya Kabinet Sukiman jatuh. Tapi pemerintah AS mendesak terus. Terutama setelah pemilihan Eisenhower tahun 52. Walaupun ahli-ahli di pemerintahan Amerika tidak tahu banyak tentang Indonesia, Perang Dingin itu sudah menggambarkan dunia dibagi dua. Sebelah sana ada komunisme, Uni Soviet. Sebelah sini ada free world. Siapa saja yang tidak masuk yang satu dengan sendirinya masuk yang lain. Banyak pemimpin Indonesia yang setuju dengan Amerika, ada juga yang setuju dengan Rusia. Dan itu mempengaruhi kedua great powers ini untuk mempermainkan sebagian politik luar negeri maupun dalam negeri Indonesia. Ada semacam korupsi internasional. Baik Moscow maupun Washington mencurahkan banyak sekali uang, kasih apa saja yang diminta, terutama senjata. Pengaruh luar ini harus selalu dipikirkan, bukan hanya pada tahun 50-an tetapi juga sesudahnya.

POLITIK MASYUMI DAN NU TAHUN 50-AN T: Ini pertanyaan susulan Pak Dan, yang belum ada dalam daftar pertanyaan yang kami kirim. Tentang politik dua partai Islam yang kuat setelah Pemilu-55, Masyumi dan NU. Mengapa mereka berbeda pendapat dalam soal DI-TII dan dalam krisis Pusat-Daerah pada tahun 57-58? Sedangkan dalam Konstituante mereka bisa bersatu. Apakah ini

menunjukkan bahwa dalam politik praktis, walaupun memakai simbol agama, kepentingan praktis juga yang akhirnya menentukan? Selama dekade 50-an posisi Masyumi dan NU dalam parlemen maupun dalam pemerintahan sangat kuat. Apakah ada agenda besar yang disusun bersama oleh Masyumi dan NU?

J: NU dan Masyumi itu berlainan. Sebagian karena NU, seperti juga PNI dan PKI, adalah partai yang terpusat di Jawa. Dari satu sudut, Masyumi dulu adalah partai nasional yang 50% pemilihnya dari Jawa dan 50% lagi dari luar Jawa. Ini mengikuti penyebaran penduduk Indonesia. Orang-orang yang menyokong ide-ide Masyumi berasal dari daerah pantai, dari kalangan pedagang, orang-orang Muhamadiyah yang terdidik dan agak agresif. Sedangkan NU itu kekuatannya di Jawa Timur dan di dalam birokrasi agama. Dan sebetulnya NU merupakan suatu partai yang agak defensif, yang dimaksudkan untuk membela agama dari campur tangan luar. Nah pengaruh pemilih di Jawa dan luar Jawa ini sangat penting. Itu terjadi dimanapun saja.

Kalau di Konstituante ini agak lain. Walaupun NU dan Masyumi akhirnya setuju menolak UUD-45, tapi pada mulanya tidak begitu keadaannya. Mulanya pimpinan NU sudah mau menyokong UUD-45 karena desakan keras dari tentara dan Bung Karno. Dan tahun 59 itu mereka diancam. Beberapa pimpinan NU diberitahu kalau mereka tidak meyokong UUD-45, maka mereka akan dituntut ke pengadilan karena ada sedikit korupsi. Lantas mereka setuju. Tapi kemudian orang-orang Masyumi mendekati anggota-anggota NU dan meyakinkan mereka bahwa ini perjuangan agama. Lalu ada semacam pemberontakan di dalam NU, dan pimpinan NU terpaksa ikut anggotanya.

NU ini partai yang menarik. Ini partai yang berdasarkan pandangan dan kepentingan yang jelas. Sebetulnya NU tidak terlalu banyak menghiraukan negara yang harus berdasarkan Islam, walaupun itu dijadikan sebagai simbolnya. Mereka defensif. Pokoknya mereka ingin bisa survive dalam pemerintah untuk membela kepentingan mereka itu. Masyumi juga menarik tapi dari sudut lain. Sebetulnya dalam Masyumi, dari dulu tidak pernah ada perdebatan tentang apa arti Islam dalam negara. Banyak pemimpin Masyumi, seperti Pak Roem dan Burhanudin Harahap, yang menganggap Masyumi itu agak seperti Partai Kristen Demokrat di Eropa. Yang tidak memaksakan agama, tetapi mau memperjuangkan semacam ide ketika Islam. Ini memang persoalan yang sangat sulit, ruwet sekali, ya. Jadi tidak pernah dibicarakan di dalam partai, apalagi di luar partai. Mereka takut kalau dibicarakan terus terang akan terlihat perbedaan di dalam Islam. Lalu mereka mengelak terus. Akibatnya ide itu jadi agak kabur.

Dalam ceramah saya di Yayasan Sudjatmoko bulan Maret lalu saya bilang, buat suatu republik atau demokrasi yang sehat, agama itu sangat diperlukan. Karena pada akhirnya dalam agama ada semacam standard etika. Dan mau tidak mau pimpinan agama terpaksa memikirkan hal itu. Memang harus dipikirkan kembali, bagaimana bentuk pengaruhnya

(bersambung-6/6).

[INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg mili (r)

From: [email protected] Date: Thu Apr 02 1998 - 11:51:00 EST

--------------------------------------------------------------------------------

Forwarded message: From [email protected] Thu Apr 2 15:49:01 1998 Date: Thu, 2 Apr 1998 13:48:20 -0700 (MST) Message-Id: <[email protected]> To: [email protected] From: [email protected] Subject: [INDONESIA-L] IND: Dan Lev ttg militer 50an (6-abis) Sender: [email protected]

DAN LEV TENTANG MILITER TAHUN 50-AN (6-habis)

INTERPRETASI TENTANG TAHUN 50-AN

T: Ini kami mengutip data dari makalah Anthony Reid dalam buku "Democracy." Dalam tahun 1945-49 ada 4 perdana menteri, kabinet ganti setiap 10 bulan. Dari tahun 1950 sampai 1957, ada 6 perdana menteri, kabinet ganti setiap 12 bulan ("Democracy," h 314). Data itu, menurut Reid, menunjukkan "How effective, indeed virtually indispensable, multiple parties, electoral processes and representative assemblies can be in moderating and channeling dangerous primordial conflicts and bringing them into a national forum where they can be debated." Dan menurut Reid, "Democratic pluralism proved the only practical means for government to govern." Tetapi menurut versi sejarah Indonesia sekarang, tahun 50-an itu dianggap masa anarki. Bagaimana Pak Dan memahami dua interpretasi yang sangat berbeda ini?

J: Saya tidak setuju dengan kedua-duanya. Setiap pemerintah, dimana saja, bisa memakai kekerasan. Dari sudut kekuatan pemerintah, bisa dikatakan pemerintahan Pak Harto itu sangat efektif. Kalau mau pakai senjata, pakai kekerasan supaya orang takut, itu metoda pemerintahan yang sangat efektif. Yang harus dipikirkan bagaimana dari sudut orang kebanyakan dalam masyarakat, sistim mana yang lebih memuaskan kepentingan yang ada, perasaan yang ada, tujuan yang ada.

Saya mengerti perasaan Anthony Reid, malah dari satu sudut saya setuju. Tapi dia agak terlalu jauh. Menurut saya, yang sudah dibuktikan oleh sistim parlementer Indonesia adalah bahwa orang memang bisa saja setuju dengan sistim itu. Dan waktu itu sistim parlementer bisa jalan dengan baik. Dapat dibandingkan, umpamanya dengan Perancis, Italia, atau negara-negara lain. Yang mau saya tekankan, seperti sudah saya bilang tadi, ini suatu sistim yang bisa jalan dengan baik hanya 5 tahun setelah revolusi, sesudah ada 10 tahun kekacauan. Terbukti ada partisipasi yang luas. Orang-orang bisa memperjuangkan ide-ide mereka. Dan yang penting sekali, dari tahun 50 sampai 58, tidak banyak orang yang mati. Orang bisa main politik tanpa saling memukul, tanpa membunuh orang lain. Sesudah tahun 59, dengan Demokrasi Terpimpin, keadaan makin kacau. Timbul semacam street violence. Saya masih ingat waktu tahun 64, di Jawa dan Bali orang mulai lempar granat segala macam. Lantas mulai bunuh-membunuh. Sesudah Orde Baru, kita semua tahu, ratusan ribu orang yang mati, banyak yang masuk penjara, dst.

Dari sudut efektifitas, tergantung dari perspektif mana. Kalau dilihat dari atas, Orde Baru ini sangat efisien, sangat efektif. Kalau dilihat dari bawah, ya agak kurang memuaskan. Kelihatan di Indonesia banyak yang kurang senang. Pada waktu Demokrasi Parlementer, memang banyak orang yang ngomel terus, ya. Tapi mereka juga ikut partisipasi, bisa bertukar pikiran. Itu lain. Apakah waktu itu ada anarki? Menurut orang-orang yang senang dengan efisiensi, dengan aturan, dsb, ya mungkin kelihatan chaotic. Padahal tidak. Yang chaos itu adalah Demokrasi Terpimpin. Karena disitu semua orang terpaksa cari nafkahnya sendiri. Ini tidak untuk mengatakan bahwa sistim parlementer itu sempurna. Karena memang tidak ada kesempurnaan dalam sistim politik apapun juga, dimanapun juga. Tapi paling sedikit di Indonesia itu bisa jalan dengan baik. Kalau sering ganti pemerintah, ya itu kan soal biasa dalam sistim parlementer. Seperti juga di Perancis, misalnya.

Harus diakui, dari segi politik-sosial-kebudayaan, Indonesia itu merupakan salah satu negara dan masyarakat yang paling kompleks di seluruh dunia. Kalau /disitu ada banyak partai, memang dapat dimengerti. Kalau diijinkan, dengan sendirinya di Indonesia akan ada banyak partai. Menurut saya, itu malah sehat. Di Amerika ini banyak orang, termasuk saya sendiri, yang sangat menginginkan ada satu dua partai lagi. Karena dua partai yang sudah ada tidak cukup. Menurut saya, tiga partai yang sekarang ada di Indonesia itu juga tidak cukup.

KESIMPULAN T: Kalau ingin disimpulkan, apa pelajaran yang dapat ditarik dari perjuangan untuk membangun republik dalam dasawarsa 50-an? Dimana macetnya usaha membangun Republik Indonesia yang masih muda itu? Dan bagaimana kesimpulan Pak Dan itu bisa menjelaskan peristiwa-peristiwa besar yang kemudian terjadi di tahun 60-an. Seperti pembunuhan pada tahun 65-66, jatuhnya Bung Karno, munculnya Orde Baru, DwiFungsi ABRI, banjirnya modal luar negeri, dsb.

J: Ini pertanyaan yang agak luar biasa dan sulit menjawabnya. Ada dua hal dari tahun 50an. Satu, bahwa sistim parlementer itu bisa berhasil dengan baik kalau tidak dihalangi. Rakyat Indonesia cukup senang dengan sistim parlementer. Mereka bisa membiasakan diri dengan partai-partai dan cukup bertanggungjawab. Kedua, saya kira yang penting dalam politik, dalam masyarakat dimanapun saja, itu bukan kebudayaan. Pertanyaan yang paling penting tentang runtuhnya sistim parlementer bukanlah, "Apakah ada landasan budaya yang cukup untuk demokrasi?" Itu jelas ada. Yang harus ditanyakan adalah "Siapa yang menyebabkan sistim parlementer itu gagal?" Pertanyaan itu akan memaksa kita untuk memikirkan sebab-sebab keruntuhan sistim parlementer itu. Dan menurut saya, faktor yang terbesar itu tentara. Yang punya kepentingan politik, ekonomi dan lain lain juga.

Yang terjadi tahun 65 itu memang suatu malapetaka. Bukan hanya untuk ukuran Indonesia. Kalau dilihat dalam abad ke-20 ini, yang begitu penuh dengan tragedi, maka tragedi-65 di Indonesia itu harus dianggap cukup besar.

Pertama, harus ditanyakan "Kenapa itu bisa terjadi?" Menurut saya, itu terjadi karena sistim politik Indonesia waktu Demokrasi Terpimpin itu kekurangan kontrol. Tidak bisa mencukupi keperluan di Indonesia. Antara lain keperluan supaya orang tidak bisa dibunuh begitu saja.

Kedua, pengalaman ini menunjukkan bahwa kalau tentara, dimanapun saja, memainkan peranan dalam politik, dengan sendirinya tentara itu akan memakai keahliannya. Keahlian tentara adalah membunuh orang. Keahlian pimpinan politik sipil ialah membuat kompromi.

Ketiga, menurut saya pengalaman ini menunjukkan masyarakat memerlukan lembagalembaga yang dapat melayani kepentingan masyarakat. Termasuk melayani kepentingan keamanan mereka.

Lembaga-lembaga yang bisa disesuaikan, dan kalau perlu dapat dirobah, walaupun sulit. Supaya mereka tidak bisa diperlakukan secara sewenang-wenang. Supaya mereka bisa merasa cukup bebas. Lembaga-lembaga itu harus bisa mengontrol pimpinan, dari manapun saja, supaya mereka tidak main gila. Ini argumen konservatif, bukan radikal. Argumen ini didasarkan atas keiinginan manusia biasa untuk bisa berdamai, bisa cari makan, tidak ketakutan. Untuk itu butuh lembaga-lembaga yang safe betul.

Menurut saya, lembaga-lembaga seperti itu bisa dijalankan oleh pimpinan sipil yang dipilih oleh rakyat, bertanggungjawab pada rakyat. Kalau pimpinan tentara, ya agak sulit. Karena mereka tidak tergantung pada siapapun saja, kecuali dirinya sendiri dan senjata. Dan ini bukan untuk menyalahkan ABRI, walaupun sebetulnya bisa disalahkan. Karena tentara, dimanapun saja, kalau sudah ada dalam kedudukan kekuasaan, mereka akan merasa terdorong untuk memakai keahliannya. Dimana saja tentara masuk, kalau ada kesulitan apa saja, mereka akan cepat angkat senjata. Seorang sipil tidak selalu akan berbuat begitu. Ini biasanya, ya. Kecuali ada tentara dibelakangnya. Menurut saya, republik yang baik itu sangat tergantung pada adanya tentara yang betul-betul bisa dikontrol. Kalau tentara tidak diperlukan untuk perang dengan luar negeri, ya tidak perlu ada tentara yang besar. Tidak perlu ada anggaran pertahanan yang besar. Ini berlaku bukan hanya untuk Indonesia. Tetapi juga untuk Amerika dan negara manapun saja. Yang lebih penting dari pada tentara adalah rakyat.

Masih ada pelajaran yang lain. Dalam setiap masyarakat kita harus selalu memikirkan, apa tujuan negara itu? Siapa yang bakal mendapat untung dari negara itu? Untuk apa masyarakat berkumpul membuat negara itu? Sekarang di Indonesia memang ada jaman pembangunan, ada banyak uang. Ada elite yang makin kaya. Memang harus diakui pada umumnya sekarang rakyat makan lebih banyak dari pada waktu Demokrasi Terpimpin. Tapi kelihatan ada semacam kekosongan diantara orang banyak di Indonesia.

Kekosongan tujuan, kekosongan etika, timbulnya pesimisme, sinisme yang luar biasa. Harus dipikirkan, apa sebabnya?

Saya pikir jawabannya agak jelas. Karena dalam sistim politik Indonesia sekarang, lembaga-lembaga yang ada hanya milik pemerintah saja. Lembaga-lembaga di Indonesia sekarang tidak lagi dapat dipegang atau dikendalikan oleh rakyat Indonesia.

Dan saya tidak setuju dengan orang yang mengatakan, ya itu budaya Indonesia. Itu omong kosong

[Habis, Wawancara tgl 22 Agustus 1995].

PUSTAKA UTAMA (1) Daniel Lev, 1966, "The Transition to Guided Democracy, Indonesian Politics, 19571959," Cornell Modern Indonesia Project, Monograph Series.

(2) David Bourchier dan John Legge (editor), 1994, "Democracy in Indonesia, 1950s and 1990s," Monash Papers on Southeast Asia No. 31.

(3) M.C. Ricklefs, 1991, "Sejarah Modern Indonesia," Gajah Mada University Press, bab VI.

(4) Harold Crouch, 1978, "The Army and Politics in Indonesia," Cornell University Press.

(5) Salim Said, 1987, "Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-1949," Pustaka Sinar Harapan.

Tags: ah nasution, soekarno, alex kawilarang, pki, pni, masyumi, nu, piagam jakarta, daniel lev Prev: Konspirasi : Van der Plas connection (CIA.- MI 6) Dr.Soebandrio - Sam Kamaruszaman - Aidit - Soeharto Next: Third-Generation South Moluccans in the Netherlands: The Nature of Ethnic Identity

reply share

----- End of forwarded message from muhammad hatta --------- End of forwarded message from [email protected] -----

Related Documents


More Documents from "Dodik Ariyanto"