Kpu Pemilu 2009 Rusuh Dalam Sejarah

  • Uploaded by: totaraqa
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kpu Pemilu 2009 Rusuh Dalam Sejarah as PDF for free.

More details

  • Words: 2,281
  • Pages: 13
KPU Pemilu 2009 Rusuh dalam sejarah TNI Abstain atau Lepas Tangan? Tulisan bung Sbaldi sekilas tampak menyejukkan dan damai, tapi kalau kita dalami sedikit fakta2 dan kenyataannya, justru menyesatkan dan mengaburkan keadaan. Abstainnya TNI pada saat Memo II bukan terjadi begitu saja, tapi mengalami suatu proses yang cukup lama bahkan sejak sebelum Memo I dijatuhkan dimana ketika itu TNI bersikap mendukung Memo. Dari dua kejadian Memo I dan II ini, dapat kita simpulkan bahwa TNI justru berkeinginan untuk 'come-back' ke panggung kekuasaan dengan cara2 yang tentu saja sedikit berbeda dgn cara lama, dan tentu saja sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Ada 2 faktor mendasar yang melatar belakangi sikap TNI ini, yakni (1) hubungan erat Mega dengan sejumlah Jenderal TNI, dan (2) perseteruan terselubung antara GusDur dan sejumlah Jenderal TNI. Kedua faktor dominan ini sebenarnya masih perlu ditambah dengan faktor2 lain, misalnya perseteruan GusDur dengan kubu DPR (Golkar plus Porteng minus PKB), kebijakan GusDur pasca Memo I ttg Perpu Pembuktian Terbalik dan akibatnya, serta upaya sistematis 'character assassination' terhadap NU dgn Istighosah-nya yang dikait2kan dengan keberadaan PBM. Bottom line dari segala perseteruan tadi adalah adanya upaya untuk saling melindungi diri terhadap kejahatan2 masa lalu, serta upaya masa depan agar kejahatan atau dosa2 itu tidak diungkap.

ISah Tangerang Oh Yesssssssssssssssssss

Mega dan TNI Dua faktor dominan diatas sangatlah berkaitan erat satu sama lain karena memang bersifat kausalitas. Hubungan erat Mega dengan TNI ini sepanjang yang dapat dicatat adalah dimulai ketika sekitar 40-an Jenderal TNI-AD menyurati Megawati dan meminta dukungan agar GusDur tidak mengangkat Agus Wirahadi Kusumah menjadi KSAD. Jenderal2 ini tentu belum lupa utang politik TNI-AD kepada Megawati ketika terjadi kasus 27 Juli beberapa tahun silam. Megawati - saya yakin - memanfaatkan kartu utang politik ini dengan baik. Terbukti sampai saat ini kasus tersebut tetap gelap-gulita, tanpa ada satupun pihak militer yang berhasil dimintai pertanggungjawaban. Adalah aneh, Megawati yang begitu 'kemaruk konstitusi' bersama PDIP-nya tidak ngotot dalam menyelesaikan kasus 27 Juli, yang banyak mengorbankan warga partainya yang notabene rakyat kecil. Bahkan PRD-pun belum terlihat melakukan upaya yang signifikan terhadap perkembangan kasus 27 Juli ini, padahal kita semua tahu Budiman Sudjatmiko dkk termasuk pihak yang paling berhak menagih utang politik pihak TNI ini. Ada apakah dibalik itu semua?

MArsiah Tangerang Oh Yessssssssssssss

Pertanyaan ini dapat kita jawab ketika mengamati kejadian2 di permukaan. Setelah adanya surat Jenderal kepada Megawati tadi, hubungan keduanya Megawati dan TNI - terlihat semakin mesra menandakan adanya upaya2 damai dan rekonsiliasi tertutup, antara kubu2 PDIP dan TNI. Masuknya beberapa orang Jenderal TNI di PDIP bisa jadi mempengaruhi jalannya rekonsiliasi taktis ini. Dukungan TNI melalui 'surat pengaduan 40 Jenderal' tadi dibalas oleh Megawati dengan melakukan kunjungan ke Pusat Pendidikan Infantri Kodiklat TNI-AD di Cipatat, Kab. Bandung beberapa waktu silam. Terakhir Megawati ikut menghadiri dan meresmikan pembukaan kantor pengacara Hendropriyono dkk, yang tujuannya adalah melakukan pembelaan hukum terhadap para prajurit (Jenderal?) TNI yang terlibat suatu masalah hukum. Sejak itu pula dosa TNI pada kasus 27 Juli pun seakan lenyap ditiup angin. Kartu truf ini mungkin akan dimanfaatkan dilain waktu ketika situasi memungkinkan.

Tapi apakah pihak militer sebodoh itu menyerahkan dirinya dibawah ketiak Megawati semata? Ternyata tidak, justru sebaliknya militer saat ini sudah berhasil sedikit demi sedikit memegang kendali atas Megawati. Ketika kasus Sampit meledak, Megawati yang sudah diserahi kendali negara oleh GusDur yang ketika itu berada di Mesir ternyata tidak cukup berbuat banyak memerintahkan militer mencegah eskalasi pembantaian warga Madura. Bahkan perintah GusDur untuk segera mengirimkan pasukan khusus ke Sampit tidak mendapat tanggapan yang lugas dan cepat oleh pihak militer. Megawati pun seakan mendapat angin dari Susilo Bambang Yudhoyono, yang dicitrakan oleh sebuah media dot.com sebagai calon pendamping Megawati yang paling ideal selaku Wapres seandainya Megawati menjadi Presiden menggantikan GusDur. Prestasi SBY selama berada di kabinet GusDur justru menunjukkan grafik terbalik dgn apa yang dicitrakan oleh media tadi. Mahfud MD yang orang sipil, terlebih lagi jelas tidak berdaya menghadapi kemauan terselubung pihak militer ini. Bagaimana mungkin kejadian Sampit yang membantai warga Madura bisa terjadi dibawah hidung Menteri Pertahanan yang orang Madura juga? Ini fakta dan bukti bahwa militer berstandar ganda. Di satu sisi 'ngotot' melakukan upaya tindakan militer di wilayah Aceh - daerah kaya kandungan bumi, tapi lambat dalam urusan Sampit dan wilayah 'konflik tradisional' - Ambon dan Maluku.

Megawati yang sudah memegang wewenang dan kendali negara ketika ditinggal GusDur saja ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi kejadian Sampit. Hal ini disebabkan oleh 'ketidakberdayaan' Megawati mengendalikan militer. Untuk itu, duet Mega-SBY pun menjadi menarik, karena dengan militer memegang kendali Wapres, amanat TAP MPR ttg pelimpahan wewenang pun akan berada di tangan militer. Ironisnya, TAP ini ditelurkan oleh anggota MPR hasil reformasi yang diamanati untuk segera menyingkirkan militer dari panggung parlemen. Bagaimana mungkin peran fraksi TNI yang hanya 36 orang mampu memuluskan TAP ini jika sebelumnya tidak didukung oleh militer dari

Sang istri pun menggonceng pulang bawa oleh oleh segala lini, termasuk dengan cara melakukan pembusukan pemerintah dari dalam? Keinginan anggota MPR ketika menelurkan TAP tersebut memang dilandasi adanya faktor ketidakpercayaan terhadap pemerintah GusDur disamping keinginan sejumlah petinggi partai untuk memperoleh jatah di kabinet. Justru keinginan inilah yang saat ini menjadi bumerang dengan 'come-back' nya militer ke tengah panggung kekuasaan, tidak hanya di lembaga legislatif, tapi juga di eksekutif. Para anggota MPR kita ternyata memang tidak percaya diri, dan secara tidak langsung berkeinginan menyerahkan kendali negara kepada militer kembali. Dan ini sudah sejak lama dimulai ketika militer mulai mendekati Megawati, yang memegang posisi strategis sbg Wapres. GusDur vs Militer

Sang istri pun menggonceng pulang bawa oleh oleh Pertikaian antara GusDur melawan militer dimulai ketika Wiranto dipecat dari kabinet. 'Kesalahan' GusDur adalah melakukan 'internasionalisasi' konflik ini ketika beliau berada di Eropah, dengan harapan memperoleh dukungan internasional dalam melakukan demiliterisasi negara. Sambutan dari luar negeri yang cukup hangat walaupun mulanya sempat bingung dengan jurus mabuknya, ternyata berbanding terbalik dengan sambutan di dalam negeri. Kesalahan GusDur adalah 'menelanjangi' Wiranto (dan TNI) dimuka forum internasional dengan cara memecatnya sepulangnya dari kunjungan dari manca negara. Ini sama halnya dengan menyalahkan anak sendiri di rumah tetangga, dan menghajarnya begitu sampai di rumah. Bagi Wiranto dan para loyalis-nya, hal ini sangat memalukan, dan tentu saja menimbulkan dendam. Tidak heran, TNI - terutama para Jenderal2nya - dibawah GusDur merasa gerah kepanasan, apalagi melihat kebijakan2 "tarik-pecat" yang tidak lumrah dan tidak bisa diduga ini. Langkah GusDur ini mungkin bisa dilihat sbg upaya percepatan regenerasi di tubuh TNI dengan menyingkirkan Jenderal2 atau mempensiunkan mereka secepat mungkin agar nantinya tumbuh generasi muda TNI yang relatif bebas dari kontaminasi militerisme dan mengedepankan profesionalisme.

Sayangnya, langkah GusDur ini tidak mendapat dukungan signifikan dari DPR/MPR yang mayoritas masih dikuasai oleh pejabat2 lama yang terkait dengan ORBA. Justru upaya gradual GusDur melakukan percepatan demiliterisasi di tubuh parlemen tidak didukung ketika MPR dengan TAP-nya justru masih menginginkan dipertahankannya Fraksi TNI/ABRI di MPR sampai 2009. Alasan bahwa TNI adalah kekuatan yang riil dan layak diperhitungkan dari para anggota parlemen, justru merupakan pengkhianatan dari cita-cita reformasi itu sendiri. Dan ini patut dicatat sebagai sukses besar militer. Apalagi, dalam tubuh parlemen itu sendiri masih cukup banyak bertebaran mantan Jenderal yang melakukan 'fusi' ke dalam tubuh partai2, tidak terkecuali PKB pendukung GusDur. Para pensiunan ini tentu saja secara doktrinal masih terikat dengan sumpah Sapta Marga-nya yang dimanfaatkan secara ironik selama ini.

Sang istri pun menggonceng pulang bawa oleh oleh Dosa GusDur yang lain adalah ketika mempercepat lepasnya Polri dari TNI. Peran Polri yang selama ini dipinggirkan, oleh GusDur dikedepankan dalam menangani berbagai kasus2 di tanah air, semisal Aceh, Sampit dan

Ambon/Maluku. Disamping ini akan menciptakan citra positif bagi GusDur dalam menangani masalah2 upaya separatisme melalui aksi2 polisional, bukan dengan jalan kekerasan ala militer. Upaya ini pada dasarnya adalah usaha GusDur untuk 'melindungi' intitusi TNI dari kehancuran akibat 'character assassination' yang dilakukan oleh pihak luar negeri akibat kasus2 pelanggaran2 HAM yang terjadi di mana2, terutama di Timor Leste, serta melindungi Jenderal - dan institusi TNI - dari ancaman International Tribune yang berkeinginan untuk mengadili 'penjahat perang'. Namun upaya pemisahan Polri-TNI ini, justru seakan malah 'menyingkirkan' peran TNI. Seakan TNI sudah tidak lagi bisa dipercaya dalam menanggulangi masalah2 dalam negeri. Di lapangan, meruncingnya kebijakan ini ditandai dengan aksi tembak-menembak antar anggota Polri dan TNI sendiri, yang terkadang dipicu oleh masalah rebutan 'jatah'. Bukan tidak mungkin, masalah rebutan jatah dalam jumlah yang jauh lebih besar justru terjadi di Aceh sana antara Polri dan TNI yang tentu saja melibatkan pejabat2 yang lebih tinggi levelnya. Meledaknya Exxon dan terhentinya operasi tidaklah segampang itu dilakukan oleh pihak eksekutif Exxon. Mereka tentu berhitung dng pengaruh menurunnya nilai saham di bursa New York akibat dihentikannya operasi ini. Namun dibalik itu, ada nuansa permainan tingkat tinggi yang melibatkan tidak saja pihak militer, tapi juga pihak agen2 rahasia negara lain. Kejadian ini tentu saja semakin mempercepat upaya delegitimasi pemerintah GusDur di panggung internasional. Pihak internasional tentu saja menaruh perhatian sangat besar terhadap keamanan investasinya di Indonesia - satu hal yang belum bisa dicapai oleh pemerintah GusDur sampai saat ini.

Sang istri pun menggonceng pulang bawa oleh oleh Kasus Buloggate/Bruneigate pada dasarnya tidak lepas dari upaya militer melalui intelijen aktifnya dalam melakukan delegitimasi pemerintahan GusDur. Sinyalemen bahwa Ginanjar Kartasasmita selaku pihak pertama yang menggelindingkan isyu ini seakan membuktikan hal ini. Dan hal itu makin terlihat dengan jelas, ketika pihak TNI memberikan upaya perlindungan hukum kepada Ginanjar dari jeratan kasus KKN-nya, yang justru dibantu oleh pengacara2 sekaliber Adnan Buyung Nasution. Apalagi ketika GusDur - pasca Memo I - akan memberlakukan Perpu Pembuktian Terbalik yang tentu saja akan mengancam keberadaan tidak saja Golkar dan para petingginya, tapi juga militer dan para jenderal dengan bisnis2 militernya yang menggurita, yang selama ini belum tersentuh sama sekali. Fakta terpentalnya AWK dari bursa calon KSAD, adalah diakibatkan oleh terjadinya manipulasi dana di Kostrad, yang saat ini mungkin sudah berada di dompet Megawati.

Sang istri pun menggonceng pulang bawa oleh oleh Terakhir, sinyalemen bahwa militer bermain bak pedang bermata dua semakin mengentalkan analisis keterlibatan militer dalam upaya delegitimasi pemerintahan GusDur. Setelah kasus Lasykar nJiat yang 'didukung' oleh pihak militer dalam upayanya melanggengkan konflik - dengan strategi 'gerak-lambat'nya - saat ini kasus PBM-pun juga bernuansa serupa. Pihak intelijen dan kontra-intelijennya masih tetap dilakukan oleh orang yang sama, ibarat tangan kanan dan tangan kiri saling bekerja sama dalam bertepuk tangan. Blow-up berita ttg PBM sangat berhasil menimbulkan efek ketakutan di masyarakat, khususnya warga Ibukota. Acara Istighosah pun menjadi 'terlihat satu paket' dengan acara PBM menjelang Sidang DPR berkaitan dengan Memo II. Pengamanan ekstra ketat yang dilakukan ketika acara Istighosah pun menyiratkan upaya character assassination yang dilakukan terhadap NU. Celakanya, pihak PBNU membiarkan PBM ini 'terkait' dengan dirinya tanpa ada upaya yang cukup berarti menghilangkan stigmatisasi NU-PBM connection. PBNU melepas 'keterkaitan' ini boleh dibilang cukup terlambat. Fraksi TNI: Abstain atau Lepas Tangan?

Seberapa signifikan peran TNI di DPR/MPR? Sebenarnya tidak banyak lagi yang bisa diperbuat oleh fraksi ini. Namun, dgn banyaknya mantan Jenderal yang menyeberang di banyak partai, juga dengan dukungan politik taktis dari Mabes TNI, maka peran fraksi ini seakan menjadi sangat penting. Mereka seakan merepresentasikan kemauan Mabes TNI dan militer secara keseluruhan. Ditambah lagi, dukungan secara tidak langsung dari anggota DPR/MPR sipil yang selalu menggunakan fraksi ini sebagai kiblat. Tercatat, Amien Rais dan AM Fatwa adalah termasuk anggota sipil non-Golkar yang mendukung peran militer di DPR/MPR. Pernyataannya cukup banyak yang mendukung pentingnya keberadaan militer di parlemen. Ketika Memo I dijatuhkan, Amien justru menunjuk kepada bulatnya suara fraksi TNI yang mendukung memo sebagai bukti bahwa militer pun sudah tidak lagi percaya terhadap pemerintahan GusDur. Terlepas dari maksud pribadi untuk memperoleh dukungan politis, pernyataannya ini secara tidak langsung justru merupakan dukungan kpd keberadaan fraksi haram ini. Tidak dapat disangkal peran Amien Rais sbg ketua MPR juga mendorong penguatan militer di parlemen. Golkar jelas berkepentingan dengan keberadaan militer ini, sebab antar mereka masih terdapat simbiosis mutualisme, sebagaimana sudah pernah saya uraikan dalam tulisan berjudul "Reformasi Gagal atau Belum Dimulai?" (http://basisdata.esosoft.net/2001/03/01/0007.html) dan "Membubarkan Golkar: Mungkinkah?" (http://basisdata.esosoft.net/2001/02/26/0005.html). Adanya faktor2 'tambahan kekuatan' inilah yang membuat kening kita berkerut tajam, ketika menyaksikan fraksi TNI mengambil sikap mendukung jatuhnya Memo I. Ibaratnya, tangan kiri masih ikut berperan - baik aktif maupun pasif dalam mengacak-acak negara, sementara tangan kanan ikut mendukung delegitimasi pemerintah melalui fraksinya di parlemen. Begitupun yang terjadi saat Memo II dijatuhkan. Sikap abstain fraksi TNI apabila ini masih merepresentasikan pandangan pejabat militer di Mabes TNI, dapat dibaca sebagai sikap lepas tangan setelah berhasil mengacak-acak pemerintah GusDur dan menyerahkannya kepada pihak sipil - yang didalamnya masih banyak mantan jenderal yang berbaju sipil. Dukungan mutlak partai2 baik melalui Memo I dan II, tetap tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran mantan jenderal militer yang duduk di partai2. Kolaborasi mantan militer dengan politisi sipil sudah bukan hal yang baru lagi dan bukan lagi menjadi rahasia. Kedekatan hubungan tradisional antara Arifin Panigoro dengan Ginanjar, Fuad dengan Wiranto, Taufik Kiemas dengan Theo Syafei, Megawati dengan Hendropriyono, Nur Mahmudi dengan Soeripto, belum lagi para jenderal hijau dengan Poros Tengah menjadi bukti jelas bahwa militer masih menguasai parlemen.

Kesimpulan Sikap abstain yang diperagakan oleh fraksi TNI tidak lebih adalah sikap ambivalensi yang merupakan cermin dari sikap ambivalensi militer secara keseluruhan dalam mengatasi problem2 dalam negeri. Fakta bahwa peran militer masih cukup kuat dan mampu menyetir arah angin di panggung parlemen, keberhasilannya mengendalikan Megawati serta sikap 'pembangkangan terselubung'nya terhadap GusDur hanyalah salah satu bukti bahwa militer masih berkepentingan untuk mengembalikan kekuasaannya sbgmana telah pernah mereka nikmati selama 25 tahun belakangan ini bersama Soeharto. Disamping itu, upaya delegitimasi atau pembangkangan terhadap pemerintah GusDur memang dirasa perlu dilakukan oleh pihak militer apabila mereka tidak ingin dosa2nya terungkap apalagi sampai melanglang buana ke International Tribunal. Upaya internasionalisasi citra buruk pemerintah GusDur sudah sejak lama dilakukan, sehingga diharapkan kembalinya militer ke tampuk kekuasaan dapat dimaklumi oleh para pemegang saham perusahaan2 MNC yang berada di Indonesia demi terciptanya stabilitas dan keamanan investasi para kapitalis dunia di negeri kaya tapi melarat ini, melalui tangan IMF dan WeirdBank! Welcome to the real world, dreamer!!!!

Related Documents


More Documents from "adi nurcahyo"