Parade Lekuk Tubuh Perempuan Dan Konstruksi Paradigma Cultural Konsumtif11.docx

  • Uploaded by: Muhamad Haris Far Far
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Parade Lekuk Tubuh Perempuan Dan Konstruksi Paradigma Cultural Konsumtif11.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,881
  • Pages: 11
PARADE LEKUK TUBUH PEREMPUAN DAN KONSTRUKSI PARADIGMA KONSUMTIF, TELAAH KRITIS ATAS JERAT KAPITALISME Muhamad Haris Far Far Cabang Ambon Email : [email protected] No hp : 081247576522 Abstrak

: Jurnal ini membahas tentang tubuh dan budaya konsumen atas kaum perempuan. Sekarang ini tubuh menjadi tempat pertarungan bagi berbagai kepentingan. Tubuh juga sangat mempengaruhi tingkat konsumsi. Di dalam budaya konsumen perempuan seakan menjadi hal yang alami. Namun sesungguhnya hal tersebut merupakan dampak dari adanya hegomoni kekuasaan oleh idiologi kapitalisme. Kebutuhan tubuh terhadap berbagai konsumsi tersebutdi rangsang melalui berbagai kenikmatan yang di jajakan oleh media. Tujuan utama penelitian ini untuk bagaimana menununjukan bahwa perempuan telah di konstruksi oleh idiologi tersebut yang merubah watak masyarakat khususnya perempuan untuk terus mengkonsumsi. Seperti halnya iklan di media masa yang bisa merubah keinginan masyarakat.

Pendahuluan Dewasa ini perempuan menjadi diskursus yang hangat untuk di perbincangkan, kehidupan peremuan tidak bisa kita lepas pisahkan oleh urusan konsumsi. Peradaban yang semakin hari makin berkembang atau biasa di sebut dengan Revolusi 4.0 ini menandakan bahwa semakin canggih dunia ini dan segala informasi tentang apapun itu bisa kita dapatkan melalui media elektronik, media cetak seperti internet, televsi, majalah dll. Dengan adanya informasi informasi tersebut kemudian masyarakat khususnya perempuan dapat terpengaruh dan bisa jadi merubah pola pikir menjadi konsumtif. Seluruh symbol dalam tubuh merupakan sasuatu yang di sampaikan tetapi sekaligus di sembunyikan. Kerena itu pula maka di katakan bahwa tubuh manusia awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian beralih dan di bentuk menjadi tubuh social (Irwan Abdullah, 2016). Secara fisik tubuh adalah badan perseorangan yang terdiri dari sejumlah organ biologis atau dapat di sebut juga sebagai keseluruhan jasad manusia. Pada perkembangannya, tubuh fisik mangalami pertumbuhan. Pertumbuhan tersebut mengisyaratkan tubuh mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan di tentukan oleh pola konsumsi dan berbagai situai kontekstual yang mempengaruhinya. Relasi keduanya memberi andil pada tubuh sehingga mengalami berbagai perubahan makna (Budiawan, 2015). Oleh kerena itu tubuh hari ini sangat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Bukan hanya itu, tubuh juga tidak bisa di lepas pisahkan aspek social, politik, budaya dan ekonomi sehingga tubuh social dan memiliki nilai politis.

Kini tubuh telah bergeser menjadi arena pagelaran berbagai tanda dan makna. Bahkan, tubuh dapat menjadi arena ‘peperangan idiologis’ berbagai kepentingan. Hal tersebut dapat terjadi karena tubuh adalah pusat gairah, selera dan gaya bagi setiap orang, terutama kaum muda dan perempuan. Model rambut, alis, bulu mata, hidung, otot hingga kuku merupakan pusar gairah selera gaya yang kemudian di konsumsikan. Demikian juga dengan segala bentuk barang yang digunakan tubuh seperti aksesoris dan pakaian, merupakan tontonan bahkan pusat tiruan. Semuanya hanya sekedar pertunjukan identitas semata dan bahkan sebagai pertunjukan sebuah idiologi (Iswandi Syahputra 2016). Hubungan perempuan dangan konstruksi dan budaya konsumen adalah persoalan sentral dalam teori budaya feminis. Perempuan begitu sering di indentifikasikan dengan konsumsi, secara khusus dengan konsumsi massa, oleh karena itu perempuan sering sekali di posisikan sebagai yang bertentangan dengan istilah istilah bernilai positif “ Produksi, Auntensitas, Individualisme, Rasionalitas” sehingga pemahaman atas hubungan ini, dan cara hal itu didefenisikan oleh teoritisi laki laki, menjadi penting dalam memahami hungungan perempuan dangan budaya (Kapitalis Barat) secara keseluruhan (Soe Thorham, 2000). Dimana budaya konsumen merupakan budaya dimana sebuah komoditas dibuat sedemikian rupa sehingga memunculkan impian impian yang sengaja di konstruksi secara social, utamanya oleh system kapitalis. Misalnya, iklan dalam media mampu menyulap komuditas tertentu dan memberi konsep tubuh yang ideal versi kapitalis (Ida Rosida, 2018). Salah satu penyebab berkembangnya budaya konesumen adalah terjadinya manipulasi ruang dan waktu melalui media periklanan. Media ini kemudian mengarahkan masyarakat untuk meraih kebutuhan dan eksistensi diri (Noerhadi, 2014). Oleh karena itu tidak di sadari bahwa iklan, Convergirl, bintang film dan lain sebagainnya perempuan dituntut untuk tampil semaksimal mungkin sesuai konstruksi kapitalis. Tubuh seorang perempuan memiliki makna penting dalam sandaran budaya konsumen, tubuh tidak hanya di lihat berdasarkan wujud fisiknya saja melainkan di lihat dari apa yang melekat pada tubuh tersebut ( Amelia Masniari,2008). Hal ini menyebabkan muncul sebuah fenomena budaya, karena tindakan mengkonsumsi bagi perempuan itu sudah merupakan hal tidak terpisahkan dalam keseharian mereka. Akhirnya kemudian perempuan seakan sudah di konstruk sebagaimana rupa sehingga mengkonsumsi itu adalah cara terbaik untuk mengkonstruksi tubunya sesuai dengan yang diinginkanya. Kemudian bisa di katakan bahwa permasalahan tentang budaya konsumen yang di alami perempuan ini sebenarnya berakibat dari adanya idiologi yang muncul dan menghegemoni budaya. Mengkonsumsi seolah menjadi hal yang alami, namun sesungguhnya hal tersebut yang melekat dalam praktek budaya. Bagitupun idiologi kapitalisme yang pada akhirnya turut menentutkan masyarakat gaya hidup sebagai perempuan yang konsumtif. Dari pandangan di atas bahwa ada pertanyaan yang muncul : Bagaimana tubuh perempuan yang di konstruk oleh kapitalisme?

Pembahasan A. Tubuh, perempuan dan kapitalisme Pada lingkup sosial dan budaya tertentu, bertubuh gemuk dinilai secara positif sebagai tanda kemakmuran. Pandangan ini terutama muncul pada negara yang penduduknya mengalami kesulitan gizi seperti Nigeria. Namun pada lingkup sosial dan budaya lainnya, bertubuh gemuk atau kelebihan berat badan berdasarkan standar BMI (Body Mass Index) mengalami kerugian sosial seperti stigmatisasi, marginalisasi bahkan dikriminasi. Selanjutnya menurut Turner, dalam konteks demikian tubuh menjadi terkait dengan reproduksi,resolusi, representasi dan restraint. Pada reproduksi,tubuh bukanlah benda fisik berupa organ biologis. Tubuh adalah pasar berjalan, tempat berbagai benda dijajakan melalui suatu sistem pemaknaan budaya. Pada resolusi, tubuh adalah arena kepatuhan sosial. Pada konteks ini tubuh adalah prilaku sosial yang mencerminkan nilai sosial tertentu. Pada representasi, tubuh adalah cermin palsu suatu kehidupan yang hiperrealitas. Berbagai kebutuhan tubuh diciptakan oleh sejumlah kekuatan kapitalisme global. Tubuh diseragamkan melalui selera dan gaya yang sama. Tubuh kehilangan kontrol atas dirinya karena secara halus telah dikendalikan oleh suatu kekuatan yang tidak terlihat (invisible hand). Tubuh seakan memiliki eksistensi, padahal tanpa substansi. Pada restraint, tubuh adalah disiplin penuh pengekangan yang ketat untuk meraih beragam tujuan, seperti kekuasaan, kepuasan dan kenikmatan. Pandangan lainnya tentang tubuh dalam perspektif sosial diberikan Kate Creagan. Creagan membagi tubuh ke dalam tiga fokus utama. Pertama, tubuh objektif, yaitu tubuh yang pasif. Tubuh pasif dapat dibentuk dari budaya adi luhung seperti pada sejumlah tradisi yang membungkukkan tubuh saat bertemu orang yang dihormati. Kepatuhan tubuh pada lingkup tradisi tersebut merupakan ukuran bagi tergelarnya etika yang bersifat normatif. Artinya, pada norma sosial tertentu, seseorang yang tidak membungkuk saaat bertemu orang yang dihormati dapat disebut sebagai melanggar etika tubuh. Kedua, tubuh abjektif, tubuh yang berkuasa pusat hasrat sehingga menjadi lokus pertarungan simbol, pesan dan wacana. Pada kategori ini tubuh adalah kekuasaan atas dirinya. Tubuh berkuasa penuh untuk dilayani, dipuaskan dan digembirakan dalam berbagai praktik konsumsi. Hasrat besar tubuh untuk dipuaskan tersebut dapat memicu konsumsi sebagai praktik ideologis. Tubuh menjadi pusat peperangan berbagai makna dan simbol, lokasi pertempuran berbagai kode dan pesan. Ketiga, tubuh subjektif, tubuh yang mandiri, otonom kreatif dan aktif. Tubuh yang menyatu dengan

‘keakuan’ atau tubuh yang didaku sebagai ‘aku’. Tubuh adalah aku, aku adalah subjek dan pelaku sosial kebudayaan yang otonom dan penuh kendali atas tubuhku. Tidak ada yang dapat mempermainkan tubuhku karean tubuh dan aku adalah satu. Dan aku berkuasa penuh terhadap tubuhku. Sampai di sini masalah yang kemudian muncul menjadi berlapis. Pertama, sebagai sebuah konsep body image dipengaruhi oleh banyak dimensi sepertiyang sebelumnya dijelaskan. Kedua, konsep tubuh ideal juga dipengaruhi oleh banyak dimensi seperti ekologi dan budaya. Sehingga perbedaan konsep tubuh ideal tidak hanya terjadi karena faktor perbedaan invidu, sosial, budaya tapi juga berubah dan berbeda pada setiap waktunya. Bahkan konsep body image dan tubuh ideal juga berbeda pengaruhnya berdasarkan jenis kelamin dan usia. Body image umumnya lebih berhubungan denganperempuan daripada lelaki. Menurut Mappiare hal tersebut karena perempuan cenderung lebih perhatian pada penampilannya dibanding lelaki. Tidak hanya itu, sebab secara biologis tubuh perempuan berbeda dengan tubuh lelaki. Membicarakan dasar teori ekonomi kapitalisme, sosok Adam Smith dengan buku termasyhurnya, The Wealth of Nations, dapat disebut sebagai bapak kapitalisme. Dalam membahas teori dasar kapitalisme adalah dengan mengetahui ciri dasar system tersebut, yaitu pemaksimalan kentungan individu melalui kegiatan kegiatan ekonomi yang di maksudkan membantu kepentingan public. System perekonomian kapitalisme muncul dan semakin dominan sejak peralihan zaman feodal ke zaman modern. Kapitalisme seperti temuan karl marx menjadi system yang praktikan di dunia bermula di penhunjung abad XIV dan awal abad XV. Kapitalime sebagai system perekonomian dunia terkait erat dengan koloni alisme. Pada zaman kolonialisme ini akumulasi modal yang terkonsentrasi di eropa (Inggris) di distribusikan di penjuru dunia, yang menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya Kelahiran kapitalisme ini di bidani oleh 3 tokoh besar, yaitu Martin Luther yang member dasar dasar teosofik, menjamin Franklin yang memberi dasar dasar Filosofik dan Adam smith yang memberikan dasar dasar ekonominya. Produk lain yang di tunjukan oleh kapitalisme lanjut adalah sedemikian menjamurnya korporasi korporasi modern. Korporsi sudah tidak lagi bergerak di bidang industry manufaktur, melainkan jasa dan informasi ia berusaha mendominasi dunia kecanggihan teknologi serta orientasi menghadapi orientasi ekonomi global. Iya lazim berbentuk MNC/TNC (multinational corporation/Trans national corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa pelaku aktivitas ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi negara, melainkan para pengusaha bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa melakukan kekuatan ekonomi apa dan dimana saja. Korporasi modern dan negara menjalin hubungan yang di dasarkan pada distribusi kekuasan dan provit. Hubungan yang berkembang antara korporasi modern dan brokrasi public, seperti kapitalis yang membuat mobil dan negara yang membangun jalan raya, kapitalis yang ,membuat pesawat tempur dengan negara yang

mengendalikan departeman dan udara dan sebagainya. Selaian hal itu, apa yang di ungkap Galbraith sebagai kapitalisme lanjut adalah pemfungsian institusi negara sebagai jaminan kontrol dari doktrin mekanisme pasar. Bahkan, para kapitalis dengan sengaja berani membiayai dengan merekayasa negara. Tujuannya adalah untuk mengatsi kemungkin terjadinya disintegrasi system sosial dalam struktur masyarakat yang di akibatkan oleh kontradiksi – kontradiksi dalam tubuh kapitalisme itu sendiri. Dalam kaca mata ekonomi, subordinas kedudukan perempuan dibawah laki-laki berakar pada ketergantungan ekonomi. Charlotte Perkins Gilman, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women and Economic (1898), mengatakan bahwa apabila “seorang perempuan kehilangan aktivitas ekonomi dan mengubahnya secara keseluruhan menjadi seks, menjadi semata-mata “kantung telur”, sebuah organisme tanpa daya untuk mempertahankan diri, hanya untuk mempertahankan ras. Sesuai dengan peryantaannya ini, maka Gilman beragumentasi bahwa sesungguhnya status sekunder perempuan berdasar lebih pada masalah ekonomi daripada sosial maupun budaya. Hal ini berarti bahwa, dalam suatu masyarakat dengan budaya tertentu, apabila seorang perempuan secara ekonomi dominan terhadap laki-laki maka ia dapat memegang kedudukan yang superior terhadap laki-laki. Para kapitalis telah mengeksploitasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan dijadikan alat atas produk kapitalisme. Saat ini kapitalisme menggunakan perempuan sebagai bentuk mata uang dalam sirkulasi antar perempuan, maka sejak revolusi industry ide tentang kecantikan atau tubuh perempuan berkembang bersamaan dengan ide tentang uang, sehingga keduanya nyata menjadi pararel dalam ekonomi konsumen saat ini. Seorang perempuan tampak sebagai sesuatu yang harganya berjuta-juta dolar, ditambah lagi jika tubuh perempuan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan para kapitalis akan memberikan keuntungan yang besar. Ramalan Karl Marx tentang akan runtuhnya system kapitalisme secara otomatis seakan mustahil terjadi. Tanda-tanda keruntuhannya pun sama sekali tidak ada, faktanya system kapitalis itu semakin kesini malah semakin merajalela. Kecantikan tubuh perempuan secara mutlak diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan para kapitalis, perempuan bekerja keras bahkan dua kali lebih keras dibandingkan lakilaki. Baik itu perempuan di negara Timur maupun di negara Barat, baik para karyawan maupun ibu rumah tangga. Saat ini perempuan tidak hanya sebagai agen promosi mereka, namun perempuan juga dipandang sebagai konsumen resmi mereka yang lazim diperas dengan iming-iming tren, kecantikan, modis, dan juga fesyen tertentu. Perempuan justru dibuat tidak sadar bahwa ia telah digiring memasuki lingkaran setan kapitalis, kemudian diperas dan dikontrol berdasarkan konstruksi iklan. Para kapitalisme mulai membentuk dan mengontrol kesadaran perempuan, pemahaman tentang tubuh perempuan, kecantikan, dan penampilan bahkan kepribadian mereka seluruhnya telah dibuat. Tujuannya memang dalam rangka menciptakan “perempuan satu dimensi”. Menjadikan dan mendikte perempuan supaya memiliki pemahaman yang sama tentang definisi mereka. Difinisi tentang

kecantikan yang semula relative dan abstrak mulai dibuat menjadi baku, perempuan berkulit putih, tinggi, langsing, berhidung mancung seakan telah dipermanenkan oleh kapitalisme sebagai ciri perempuan ideal. Saat ini perempuan berlomba-lomba untuk tampil cantik dan tidak mau kalah dengan perempuan lain disini ada peran kapitalisme sehingga perempuan tidak bisa lepas dari kapitalisme. Dan kapitalisme telah mengubah cara pandang perempuan untuk menjadi perempuan yang ideal. Jika perempuan telah memiliki tubuh yang sesuai dengan keinginan para kapitalis maka ia beruntung, tetapi perempuan yang merasa diri tidak ideal maka mereka akan berlomba-lomba untuk mempermak diri mereka sebagus mungkin agar sesuai dengan keinginan para kapitalis. Kapitalisme yang menciptakan kebudayaan perempuan mungkin tergantung pada bagaimana mereka membuat perempuan merasa tidak nyaman dengan wajah dan tubuh mereka, sehingga mereka mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli produk-produk yang tak berharga atau mengundang rasa sakit. Perempuan memandang wajah dan tubuh mereka sekarang ini bukan karena kebudayaan secara magis memanifestasikan fantasi laki-laki, tetapi karena pengiklan menjual produknya dalam serangan imajiner yang terbuka bagi semua untuk merendahkan harga diri perempuan.Kebencian kepada diri sendiri secara dangkal meningkatkanpermintaan dan harga, keseluruhan pesan yang ditunjukan kepada perempuan dari iklan, majalah dan media. Para kapitalis bergantung pada pelaku konsumen perempuan yang bisa diarahkan hanya melalui ancaman dan tekanan. Para kapitalis menempatkan perempuan sebagai objek penindasan yang lebih kejam dari pada yang selama ini dirasakan oleh kelompok gerakan feminisme. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua iklan di media massa nyaris tidak pernah lepas dari penggunaan figur perempuan. Bukan rahasia jika sosok perempuan baik secara fisik maupun sifatnya telah menjadi asset bagi para kapitalis, kira-kira 90% periklanan menggunakan perempuan sebagai modelnya (Ibrahim (ed) dalam Aprilia 2005: 50). Sosok perempuan dengan segala daya tariknya dalam tampilan pada iklan menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Disatu sisi perempuan digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang pandai mengurus anak dan melayani suami. Disisi lain perempuan digambarkan sebagai objek tanda (sign object) atau makhluk penggoda yang memanfaatkan daya tarik seksualitasnya untuk menyenangkan dan memuaskan laki-laki. Penggunaan daya tarik fisik perempuan sebagai objek tanda dalam berbagai wujud semakin marak ditayangkan pada iklan. Perempuan hanya sebagai penarik pasar dan cara penarikanya yang paling bisa dijual adalah dengan tubuhnya. Perempuan yang cenderung menarik dari sisi fisiknya tempaknya bisa menarik perhatian khalayak,dimana hal tersebut merupakan tujuan dari para kapitalisme untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin. Ironisnya, pada hari ini sebagian besar perempun bahkan para aktivis dan gerakan perempuan belum secara luas menyadari permainan kapitalisme ini. Sebagaian besar perempuan justru terbawa dan asyik bermain dalam lingkaran setan kapitalis yang

menindas. Ada dua misi kapitalisme untuk menindas perempuan. Pertama, perempuan dekonstruksi dan dikontrol untuk menjadi pekerja yang menjual produkproduk kapitalisme. Dengan bentuk fisik dan bentuk tubuhnya, perempuan dimanfaatkan untuk menarik konsumen terutama lawan jenisnya. Mereka dituntut untuk berpenampilan menarik sebagai agen promosi yang siap memperdagangkan produk kapitalis supaya laku di pasaran. Kedua, perempuan dibuat menjadi konsumen yang selalu butuh produk kapitalis, hal ini terjadi karena perempuan telah dibuat semakin butuh terhadap produk kapitalis yang menjanjikan kepada konsumennya menjadi perempuan ideal dan memesona tubuhnya. Dan tuntutan kerja yang selalu mengharuskan perempuan selalu tampil menarik dihadapan publik. B. Citra tubuh dan kecantikan ideal pengaruh kapitalisme Citra tubuh dan kecantikan ideal merupakan hal yang diidamkan banyak perempuan. Tidak sedikit dari mereka yang berusaha sekeras mungkin untuk menam pilkan tubuh ideal yang sesuai dengan kriteria-kriteria cantik seperti putih, tinggi, langsing dan seterusnya, yang pada akhirnya berpengaruh pada perilaku konsumsi mereka. Hal tersebut didukung pula oleh industri kecantikan yang terus-menerus memproduksi dan menawarkan produk-produk kecantikan yang dianggap bisa mewujudkan tubuh ideal tersebut. Kapitalisme telah menjelma menjadi sosok malaikat penolong manusia, membuat manusia tidak sadar lalu memakannya. Hal ini sekarang dialami oleh perempuan, kapitalisme menjadikan perempuan sebagai objek baru yang bisa dimanfaatkan. Perempuan dijadikan sebagai lumbung komersial, target baru produk kapitalisme yang sangat menjanjikan. Kontradiksi pengakuan antar bangsa tersebut, dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk menjual produk pemutih kepada bangsa Asia dan produk pencoklat kulit kepada bangsa Barat yang mengaggumi kecantikan eksotis bangsa asia. Jadi bangsa Asia ingin kulit putih seperti bangsa Barat, sedangkan bangsa Barat ingin kulit coklat yang dimiliki bangsa Asia. Berbicara mengenai eksotisme kecantikan banga Asia, berarti berbicara tentang tren kecantikan saat ini. Kecenderungan iklan produk kecantikan (di Indonesia khususnya), berdasarkan pengamatan peneliti, menampilkan kecantikan dalam wujud model perempuan yang tinggi, kulit putih, berambut hitam lurus, dan berwajah indo. Namun, kecantikan menurut ideal Barat dimata orang Asia tersebut akhir-akhir ini juga disentuhkan dangan kecantikan alamiah. Para kapitalis yang membuat standar tubuh perempuan ideal mmbuktikan bagaimana laki-laki (lebih banyak dibagian produksi iklan) menciptakan perempuan untuk sesuai dengan fantasi mereka tentang perempuan “perempuan sexy atau cantik”. Model-model perempuan adalah objek yang dikreasi untuk mencapai fantasi tersebut, sedangkan laki-laki adalah penciptanya. Tidak hanya iklan stereotip yang dirugikan. Perkembangan teknologi informasi media massa, baik cetak maupun elektronik, ternyata tak selalu berdampak positif. Selalu saja ada ruang dimana pihak tertentu tersudut dan dirugikan meskipun secara halus dan nyaris tak terasa. Hal ini terjadi

karena kuasa kapitalisme global yang merdeka dalam mengontruksi wacana demi meraup keuntungan semata. Eksistensi perempuan senatiasa terancam dan acapkali ditampilkan sebagai sebuah komoditas. Kuasa wacana ini akhirnya menggiring perempuan dalam sebuah obsesi dan memaksa diri menggapai wacana dominan dengan berbagai cara meski terkadang membahayakan mereka. Obsesi kulit putih bagi kebanyakan perempuan Indonesia yang berkulit sawo matang mendorong mereka untuk memborong produk kosmetik yang ditawarkan. Padahal mereka sebenarnya menjadi korban kapitalisme media. Menurut Anan Nadhya Abrar, sangat jelas bahwa perempuan dieksploitasi untuk kepentingan komersial. Kalangan media cetak selalu membela diri, dengan menyatakan bahwa poembaca maupun pembacanya dan kalangan perempuan sendiri senang membaca berita-berita tentang kaumnya. Perempuan sebagai objek media massa merupakan kenyataan ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam masyarakat. Menurut Myra Diarsi, akar ketidakadilan gender berkaitan dengan budaya patriarki. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa laki-laki menjadi subjek dengan kekuatannya, dan perempuan sebagai objek yang lemah dan dipojokan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Dalam lingkup yang lebih luas Asmaeny menyoroti eksploitasi tubuh perempuan yang diekspos habis-habisan oleh media massa dalam beragam seni pertunjukkan seperti peragaan modernisasi model busana. Kaum perempuan merasa bangga ketika tubuhnya dipandang oleh jutaan pasang mata (laki-laki) dalam suatu pertunjukan. Anehnya, jarang sekali mereka menyadari hal ini sebagai bagian dari eksploitasi kapitalisme yang bersandar pada kepentingan material. Sebab itulah perempuan dalam posisi demikian akan lahir sebagai sebuah narasi. Perempuan menjelma sebagai sebuah identitas yang mematikan hingga pada akhirnya ia berubah menjadi budak untuk melayani hasrat modal, hasrat system, sekaligus hasrat laki-laki yang tak pernah puas dengan biak pikiran serakahnya. Menurut perspektif feminism sosialis, kapitalisme dan patriarki merupakan ideology yang menyebabkan terjadinya penindasan terhadap wanita. Hal ini terungkap dalam dua teori perspektif ini yaitu teori system ganda dan teori system menyatu. Menurut kedua teori tersebut, kapitalisme dan patriarki merupakan dua bentuk system relasi sosial yang berbeda dan dengan kepentingan yang berbeda pula. Dua system ini secara terpisah dan bersama-sama melakukan penindasan terhadap kaum perempuan. Perbedaan kedua teori tersebut terletak pada bagaimana mereka memandang keberadaan kedua ideology tersebut. bagi teori system ganda, kapitalisme ditetapkan pada momen produksi dan patriarki ditetapkan pada momen reproduksi/seksualitas. Sedangkan teori system menyatu, menempatkan kapitalisme dalam suatu konsep tunggal yang bersama-sama melakukan opresi terhadap kaum wanita. Media menampilkan kapitalisme dan skema patriarki yang dianggap sebagai system yang paling menarik yang tersedia. Kontrol sosial secara langsung menjadi tidak perlu karena ideologi dominan telah diterjemahkan ke dalam “pengertian yang

diterima secara umum/masuk akal (common sense). Media memenuhi kebutuhankebutuhan structural dari masyarakat kapitalis, patriarki, ddan demokratis dengan mentransmisikan nilai-nilai dominan mengenai wanita yang telah didistorsinya. Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebusumsi citra). Citra membuat lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Ekspansi pasar dan media massa tidak bisa dilepaskan dari arus konsumerisme, karena media massa adalah perpanjangan tangan pasar untuk memperlaris produk industry dalam bentuk pencitraan. Sehingga melalui proses pemaknaan masyarakat terpengaruh oleh citra buatan pasar dan iklan yang meningkatkan kemauan mereka untuk berprilaku konsumtif. Disinilah dimulai peran pengaburan identitas oleh iklan sebagai media pendukung konsumerisme. Sehingga mereka yang mengidentikkan diri sebagai manusia modern, tidak lagi menjadi diri sendiri dalam realitas tapi tak lebih “manusia robot” peniru tanpa identitas asli prinsip hidup tergadai atas nama modernitas. Sesungguhnya mereka sadar akan eksploitasi tersebut, tapi menikmatinya dengan dalih gaya dan mode. Konsumerisme merupakan tujuan dari kapitalisme pasar sesungguhnya demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Tujuan mereka berhasil bila terbentuk buday masa menuju masyarakat konsumen yang tidak bisa lepas dari dunia materi. Seperti penyakit kronis, kini konsumerisme telah merambah dengan mudah kedalam tiap sendi kehidupan, yang secara bertahap membuat kaum perempuan seperti kehilangan jati diri. Menurut Steven Miles dalam Consumerism As a Way of Life menyatakan bahwa konsumerisme telah menjadi “agam” baru ditengah-tengah masyarakat pada abad ua puluh satu ini. Bagaimana tidak pemujaan terhadap materi menjadi lebih penting dan mengendalikan kehidupan manusia dalam setiap tindakan. Pada tahap ini tanpa sadar kaum perempuan telah terekploitasi dan mereka tidak sadar bahwa telah terkecoh atas konspirasi kecantikan, mode dan keindahan. Tubuh yang seharusnya jadi sarana manusiawi yang etis menjadi sarana konsumsi industry yang fethis dan hedonis yang pelu dipuja dan dikomodifikasikan yang melahirkan kebutuhan semu sehingga membuat perempuan menjadi sasaran kapitalisme pasar menuju meningkatnya budaya konsumen. Ketika kulit putih menjadi idaman wanita Indonesia yang hidup di wilayah tropis adalah kuning langsat, sehingga untuk mewujudkan keinginan mereka, maka produk pemutih yang ada di pasaran menjadi sasaran utama. Jika tidak cocok dengan satu produk lain yang lebih menjanjikan versi iklan, sehingga tidak jarang banyak diantara mereka yang mengeluarkan uang cukup banyak untuk melakukan perawatan ditambah lagi sara sakit yang mereka rasakan. Menurut Baudrillard, kita hidup dengan apa yang disebut realitas hiper (hyper reality) segala sesuatu adalah tiruan atau tiruan dari sebuah tiruan dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari pada kenyataannya dan bukan lagi mencari kebenaran tapi malah melakukan peniruan secara sadar terhadap media, yakni mengadopsi kepribadian karakter fiksi sebagai cara mengekspresikan diri.

Perempuan hari ini telah terhegomony dan didominasi oleh struktur kapitalis. Seperti yang diungkapkan Gramsci, bahwa hegemoni tercipta ketika sebuah ideology dipaksakan sedemikian rupa tapi disetujui dan didukung oleh mayoritas secara sadar sehingga pada akhirnya kesadaran akan hilang akibat penindasan tersebut. manusia sebenarnya terdominasi, menerima dominasi itu secara sukarela. Kaum perempuan perlu merenungkan kembali mengenai masalah ini, memutus mata rantai dari jarringjaring kapitalisme dan konsumerisme yang mengeksploitasi tubuh perempuan memang bukan perkara mudah, tetapi setidaknya efek dari budaya ini bisa kita minimalisir. Ketika sebagian besar kaum perempuan telah terlena dan menikmati eksploitasi baik sebagai bintang iklan ataupun konsumen, yang mendasari gaya hidup sebagai landasan pertama dan belanja sebagai budaya utama, maka harus ada perempuan lain yang harus bangkit dan peduli. Madia harus berperspektif gender, perempuan harus bangkit untuk berjuang melalui tulisan. Ketika kapitalisme menyerang perempuan dengan bentuk eksploitasi melalui media, perempuan harus bangkit dari sangkat besi itu untuk juga melawan kapitalisme melalui media. Untuk itu perempuan juga harus di didik dari sekarang untuk melek media, baik sebagi penulis ataupun pembaca, sehingga kesadaran mereka mulai terbangun kembali melalui wacana dalam media. Penutup Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa tubuh perempuan dalam budaya konsumen sangat di pengaruhi oleh idiologi kapitalisme. Sehingga perempuan terjerat dan di hegomoni budaya konsumsi tersebut yang di pengaruhi oleh kapitalis karena tuntutan zaman. Implikasi dari penelitian ini adalah perempuan dapat menjadi lebih kritis terhadap kekuasaan yang mengungkung tubuhnya lewat praktek konsumsi. Dan mereka tak perlu mengkonstruksi tubuh mereka sesuai tuntutan kapitalis menjadi diri sendiri itu dan berpuas dengan tubuh yang dimiliki. Rujukan Abdullah, Irwan. (2006) Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat:Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Tici Press Budiawan. (2015). Media [Baru], Tubuh, dan Ruang Publik. Yogyakarta: Jalasutra, Noerhadi, Toeti Heraty. (2014). Aku Dalam Budaya; Telaah Metodologi Filsafat Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Syahputra, Iswandi. (2016). Membebaskan tubuh perempuan dari penjara media Thornham,Sue. (2010) Teori Feminis dan Cultual Stadies. Yogyakarta: Jalasutra Masniari, Amelia. (2008). Miss Jinjing Belanja Sampai Mati . Jakarta Rosida, Ida. (2018). Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Vol. 20 (1): 85-101

Kristeva, Nur Sayyid Santoso. (2015). Kapitalisme, Negara dan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nope, C.Y Marselina. (2005). Jerat Kapitalisme Atas Perempuan.Yogyakarta: Resist Book. Swastika, Alia (penterjemah). (2004). Mitos Kecantikan.Yogyakarta : Niagara. http://www.academia.edu/123410422/Makalah_Eksplotasi_Perempuan_dalam_Ekon omi_Global http://bersatoe.com/2017/03/16/Wajah_Baru_dalam_Jerit_Kapitalisme

Related Documents


More Documents from ""