Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah (2) Oleh : Agustianto, MA Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Ekonomi Pascasarjana UI dan IEF Trisakti Fenomena yang terjadi saat ini di dalam praktek pengawasan syari’ah di bank-bank syari’ah di Indonesia adalah peran vital DPS belum berjalan secara optimal, bahkan sangat jauh dari peran yang semestinya mereka jalankan. Fenomena ini tidak saja di lembaga BPR Syari’ah tetapi juga di bank umum syari’ah. Kita sangat sedih melihat para ulama dan ustaz yang secara tertulis dicantumkan sebagai Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) di Bank Syari’ah, tetapi fungsinya jauh dari optimal. Banyak di antara mereka yang tidak berperan sama sekali mengawasi operasional perbankan syari’ah. Bahkan terkadang, meja saja tidak diberikan kepada Dewan Pengawas Syari’ah tersebut. Tidak sedikit pula Dewan Pengawas Syari’ah yang amat jarang datang ke bank syari’ah. Kalaupun mereka datang, asal datang saja, mereka tidak memeriksa format dan redaksi akad, bagaimana bank syari’ah menjalankan restruksirisasi, reschedule, cara penetapan margin, dsb. Kadang-kadang DPS datang sekali sebulan atau sekali seminggu bahkan ada yang berbulan-bulan tidak datang ke bank syari’ah yang seharusnya diawasinya. Karena itu, tak mengherankan jika masih banyak praktek perbankan syari’ah yang menyimpang dari ketentuan syari’ah Islam. Inilah realitas yang terjadi di lembaga perbankan syariah di Indonesia saat ini. Kritik ini memang terasa pahit, tapi inilah fakta yang terjadi. Fakta lainnya adalah, seringkali mereka kurang mengerti tentang sistem dan mekanisme operasional bank syari’ah. Pokoknya mereka diletakkan saja di posisi tersebut dalam kapasitasnya sebagai ulama yang memiliki kharismatik dan ahli ilmu fikih. Padahal untuk menjadi Dewan Pengawas Syariah tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan fikih mumalah saja secara normatif, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dalam bidang keuangan dan sistem perbankan, terutama mekanisme operasinal bank syari’ah. Para ulama yang ditempatkan sebagai pengawas syari’ah di bank syari’ah, bukan disebabkan kapasitas pengetahuannnya tentang operasional perbankan, tetapi lebih disebabkan karena pengaruh dan kharismanya. Maka tak heran, jika masih banyak bank syari’ah yang menyimpang dari prinsip syari’ah. Fenomena lain yang terjadi saat ini, adalah dominannya para ulama tua (senior) yang kurang memainkan perannya sebagai Dewan Pengawas Syari’ah, sedangkan ulamaulama muda yang kuat dan berkapasitas di bidang perbankan syari’ah jarang dilibatkan sebagai Dewan Pengawas Syari’ah. Penyimpangan dari syari’ah Oleh karena lemahnya peran Dewan pengawas Syari’ah, maka sering kali terjadi penyimpangan syari’ah dilakukan manajemen bank syari’ah. Bank syari’ah masih banyak melakukan praktek riba yang diharamkan. Padahal idealnya bank syariah-lah yang menjadi lokomotif lembaga keuangan anti riba, tapi justru di bank syari’ah itu pula terdapat praktek riba. Seperti yang dilansir oleh berbagai media massa, beberapa bank atau unit syariah seperti Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Divisi Usaha Syariah
bahkan ikut dalam kredit sindikasi proyek Indosat Multimedia Mobil (IM3) dan akan memperoleh bunga atas pembiyaan tersebut 19% per tahun (RepublikaOnline, 8/8/2002). Padahal, transaksi yang terkait dengan bunga adalah suatu transaksi yang tidak dapat dilakukan oleh sebuah bank syariah. Fakta tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa PT BSM dan PT BNI DivisiUsaha Syariah telah melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Walaupun, katanya, transaksi tersebut terpaksa dilakukan (dharuri? ), pendapatan bunga yang diperoleh tidak dapat dianggap sebagai pendapatan bank dan harus didistribusikan untuk keperluan sosial. Bahkan, manajemen bank syariah harus mengungkapkan dalam laporan keuangannya alasan dilakukannya transaksi tersebut (AAOIFI Standard, 1998). Fenomena penyimpangan dari prinsip syari’ah ini memang banyak terjadi. Penulis sendiri meneliti dan menyaksikan secara langsung fakta penyimpangan tersebut setelah melihat kontrak-kontrak (akad-akad) nya. Penyimpangan ini dilakukan oleh bank syari’ah yang telah konversi total dari bank konvensional, kepada syari’ah. Mereka yang berasal dari bank konvensional Penyimpangan ini langsung penulis sampaikan/ajukan ke Dewan Syari’ah Syari’ah Nasional di Jakarta, Dewan Pengawas Syari’ah Bank bersangkutan, juga menyampaikannya ke Direktur Bank Indonesia di Jakarta, agar hal ini tidak terulang kembali di masa depan. Yang cukup mengejutkan, ternyata menurut laporan oknum di Bank Indonesia, kasus penyimpangan bank syari’ah tersebut telah sering terjadi yang dilakukan oleh bank syari’ah yang berasal dari bank konvensional. Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek operasionalnya, sebagaimana yang bberapa kali diinagtkan oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim. Menghadapi fenomana tidak syari’ahnya bank syari’ah, maka Bank Indonesia dan para ulama ekonomi syari’ah harus melakukan purifikasi (pemurnian) prinsip syariah di dalam praktek perbankan syariah. Kemurnian prinsip syariah harus ditingkatkan agar bank syariah dapat beroperasi sesuai prinsip itu serta sekaligus dapat memaksimalkan risiko yang terkait dengan citranya sebagai lembaga beratribut syari’ah Dalam pengamatan dan penelitian saya, Bank Muamalat adalah bank syari’ah yang betul-betul murni syari’ah. Indikasinya antara lain ketika penulis membandingkan dua kasus pembiayaan yang sama, yang satu terjadi di Bank Muamalat dan satu kasus lagi di bank syari’ah yang konversi ke syari’ah. Kasusnya ; si nasabah mengajukan revisi angsuran kepada kedua bank syari’ah tersebut. Kedua bank tersebut menyetujui revisi angsuran yang diajukan nasabah. Bank Muamalat tidak melakukan perubahan harga (margin) sama sekali, sedangkan Bank syari’ah lainnya melakukan perubahan harga (margin) secara sepihak, sehingga sangat memberatkan si nasabah. Dalam syari’ah Islam, harga jual beli murabah tidak boleh diubah dan tak akan berubah. Kalau pun ada denda, dananya digunakan untuk kepentingan sosial. Itupu nilainya tidak menzalimi si nasabah yang tidak mampu. Model Pengawasan Perbankan Syari’ah
Menurut Prof. Rifaat Karim (Sekarang Sekretaris Jendral IFSB) sebagai mana dikutip Rizal Yahya, ada tiga alternatif model pengorganisasian DPS yaitu : Model pertama, adalah model penasehat yaitu menjadikan pakar-pakar syariah sebagai penesehat semata dan kedudukannya dalam organisasi adalah sebagai tenaga part time yang datang ke kantor jika diperlukan. Pada model ini, DPS cendrung bersifat pasif. Model kedua adalah model pengawasan yaitu adanya pengawasan syari’ah yang dilakukan oleh beberapa pakar syari’ah terhadap bank syariah yang secara rutin mendisdkusikan masalah-masalah syari’ah dengan para pengambil keputusan operasional maupun finansial organisasi. Model organisasi DPS yang kedua ini memiliki kewenangan aktif untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga tempat ia bertugas. Model ketiga, yaitu model departemen syariah, yaitu model pengawasan syariah yang dilakukan oleh sebuah departemen syari’ah. Dengan model ini ahli syariah bertugas full time, didukung oleh staf teknis yang membentu tugas-tugas pengawasan syariah yang telah digariskan oleh ahi syariah departemen tersebut. Melihat praktek pengorganisasian DPS di Indonesia, dapat disimpulkan, bahwa model pertama dan kedualah yang paling banyak digunakan selama ini. Fungsi DPS yang ada di Indonesia sebagaimana terdapat dalam buku Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek tulisan M.Syafi’I Antonio adalah sebagai berikut : 1. Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan Unit Usaha Syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah. 2. Sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. 3. Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun. (M. Syafi’i Antonio, 2000) Model kedua memiliki kewenangan yang lebih besar daripada model pertama yang hanya sebatas penesehat. Pengawasan model pertama jelas tidak signifikan dalam pengawasan perbankan syari’ah, karena peran DPS ditempatkan hanya sebagai penasehat, mediator dan wakil DSN yang cenderung bersifat pasif. Model kedua juga, masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang mendasar adalah tidak berfungsinya pengawasan syariah itu sendiri. Peran DPS bukan sekedar penasehat, mediator atau perwakilan DSN, tetapi lebih luas dari itu, sesuai dengan rumuan Briston dan El Shaker (1986), sebagaimana dikutip Rizal Yahya (Republika, 10/5/04) yang menyatakan bahwa fungsi pengawasan oleh DPS pada dasarnya meliputi tiga aspek, 1. Ex ante auditing, 2. Ex post auditing dan 3. Perhitungan dan pembayaran zakat. Ex ante auditing, merupakan pemeriksaaan yang dilakukan terhadap berbagai kebijakan yang diambil. Dalam ini DPS melakukan pengawasan dalam bentuk melakukan riview terhadap keputusan-keputusan yang diambil para manajemen taermasuk review terhadap semua jenis kontrak yang dibuat oleh bank syariah dengan berbagai pihak. Sekiranya terdapat keputusan atau kontrak yang bertentangan dengan syariah, DPS dapat segera mengkomunikasikan hal itu dengan manajamen untuk sedini mungkin berusaha mencegah bank syariah melakukannya.
Ex post Auditing merupakan pemeriksaaan yang dilakukan setelah kegiatan operasional maupun finansial dilaksanakan. Dalam hal ini DPS melakukan pemeriksaan terhadap laporan kegiatan maupun keuangan bank syariah. Pemeriksaan ditujukan pada penelusuran kegiatan maupun sumber-sumber keuangan yang tidak sesuai dengan syariah. Hal itu perlu dilakukan agar pendapatan atau kegiatan bank tidak tercampur dengan yang pendapatan haram (riba) atau syubhat, dan juga untuk mengetahui sebab dan alasan terjadinya transkasi non syariah tersebut agar persoalan yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari. DIPOSTING OLEH Agustianto | April 25, 2008