agustianto.niriah.com
BAB 5 HUKUM TAKLIFI 5.1 Pengertian Hukum Taklifi Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkannya.
Gambar 5.1 Skema Hukum Taklifi Gambar di atas menunjukkan bahwaberdasarkan firman Allah SWT manusia dituntut untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Tuntutan untuk melakukan disebut juga perintah yang hukumnya wajib dan sunnah, tuntutan untuk meninggalkan disebut juga larangan yang hukumnya haram dan makruh, sedangkan pilihan untuk berbuat atau meninggalkan adalah mubah hukumnya. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana firman Allah sebagai berikut: a. Firman Allah yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan: وأﻗﻴﻤﻮااﻟﺼﻼة Artinya: Dan dirikanlah shalat,(QS. An nur: 56) Kewajiban dalam ayat tersebut berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu kewajiban mendirikan shalat
1
agustianto.niriah.com
b. Firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan: ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ أﻣﻨﻮا اﺗﻘﻮاﷲ وذروا ﻣﺎ ﺑﻘﻰ ﻣﻦ اﻟﺮﺑﺎ ان آﻨﺘﻢ ﻣﺆﻣﻨﻴﻦ Pada ayat tsb ada larangan mengambil riba. Larangan ini terkait dengan perbutan mukallaf
c. Firman Allah yang bersifat memilih: ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ أﻣﻨﻮا اذا ﺗﺪاﻳﻨﺘﻢ ﺑﺪﻳﻦ اﻟﻰ أﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ ﻓﺎآﺘﺒﻮﻩ Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dalam ayat tsb ada tuntutan (anjuran) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu mencatat utang-piutang (kredit) Contoh Mubah: ﻓﺎذا ﻗﻀﻴﺖ اﻟﺼﻼة ﻓﺎﻧﺘﺸﺮوا ﻓﻲ اﻷرض Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah (Al-Jum’ah :11) Ayat ini mengandung kebolehan mencari rezeki setelah melaksanakan shalat, kebolehan mencari rezeki ini terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu ibahah.
2
agustianto.niriah.com
5.2 Pembagian Hukum Taklifi
Gambar 5.2 Pembagian HukumTaklifi
5.2.1 berikut: 1) Ijab
Pembagian hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh (mutakallimin) Pembagian hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh (mutakallimin) adalah sebagai
Yaitu tuntutan syari’ untuk melaksanakan suatu perbuatan dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai hukuman/sanksi. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut wajib, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut wujub. Misalnya, dalam surat AlBaqarah: 43, Allah swt, berfirman: Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat 2) Nadb Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah: 282, Allah SWT, berfirman: ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ أﻣﻨﻮا اذا ﺗﺪاﻳﻨﺘﻢ ﺑﺪﻳﻦ اﻟﻰ أﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ ﻓﺎآﺘﺒﻮﻩ Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
3
agustianto.niriah.com
Tabel 5.1 Hubungan Antara Pembagian Hukum Taklifi Tuntutan untuk Wajib mandub Mubah makruh dikerjakan/dipilih/ditinggalkan Akibat dari tuntutan Wujub Nadb Ibahah Karahah (dipandang dari sisi mukallaf) Dipandang dari sisi khitab ijab Nadb ibahah Karahah Allah
Haram Humah tahrim
Istilah-istilah tersbut berbeda, karena: a. Apabila khitab ayat dilihat dari sisi Allah disebut Ijab, nadb,ibahah,dst b. Apabila ayat dilihat dari sisi mukkalaf yang dituntun (akibat), disebut wujub, dst c. Sifat dari perbuatan mukallaf yang dituntut Allah disebut wajib,dll 3) Ibahah Yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Maidah 2: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu” Ayat ini juga menggunakan lafar amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Indikasi itu adalah lanjutan ayat tersebut,yaitu: ”Apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya”.(QS.2:282) Khithab seperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini, juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. 4) Karahah Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat mamaksa. Orang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu, tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadist Nabi Muhammad Saw: أﺑﻐﺾ اﻟﺤﻼل اﻟﻰ اﷲ اﻟﻄﻼق Artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” Khithab hadis ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah juga, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab itu disebut makruh
4
agustianto.niriah.com
5) Tahrim Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Apabila seseorang mengerjakannya dikenai hukuman. Akibat dari tuntan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat alAn’am: 151 ﻻ ﺗﻘﺘﻠﻮا اﻟﻨﻔﺲ اﻟﺘﻰ ﺣﺮم اﷲ Artinya: “...jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah....”(6:151)
ﻻ ﺗﺄآﻠﻮا اﻟﺮﺑﺎ Artinya: Jangan kamu makan (mengambil) riba (QS.3:130)
5.2.2
Hukum Taklifi Menurut Ulama Hanafiyah
Pembagian hukum taklifi menurut ulama Hanafiah adalah sebagai berikut: 1) Iftiradh yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil qath’iy. Misalnya tuntutan untuk melaksanakan shalat. Ayat tentang perintah ini bersifat qat’iy pasti. jelas, tegas, maknanya, tidak ada makna lain selain wajib, dan status redaksinya juga qat’iy) 2) Ijab, yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa untuk dilaksanakan yang didasarkan pada dalil zhanny. Seperti kewajiban membayar zakat fitrah, membaca al-fatihah dalam shalat, ibadah qurban. 3) Nadb sama maknanya dengan jumhur ulama ushul/mutakallimin 4) Ibahah, juga sama dengan jumhur mutakallimin 5) Karahah Tanzihiyah, yaitu tuntutan mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutan tidak bersifat memaksa, seperti larangan puasa sunnat pada hari jumat. Pengertian karahah tanzihiyah ini sama dengan pengertian karahah versi jumhur/mutakallimin
5
agustianto.niriah.com
6) Karahah Tahrimiyah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan secara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zanniy. Bila ia mengerjakan perbuatan yang dilarang itu, ia diberi hukuman. Pengertian ini sama dengan pengertian tahrim/haram versi Jumhur. 7) Tahrim, yaitu tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara memaksa yang didasarkan pada dalil qat’iy. Misalnya larangan riba (QS.2:275),memakan harta dengan batil (QS.4:29), curang dalam bisnis (Muthafiffin 2-4)
Gambar 5.3 Pembagian Hukum Taklifi Menurut Ulama Hanafiyah
5.2.3 Perbedaan pembagian hukum taklif antara Jumhur dan Hanafiyah Perbedaan pembagian hukum taklif antara Jumhur dan Hanafiyah adalah bertolak dari sisi kekuatan dalil, (qath’i atau zanniy). Perbedaan tersebut berakibat pada: a. Jika tuntutan fardhu atau tahrim diingkarii, menurut ulama Hanafiah hukumnya kafir, karena hukum fardhu atau haram ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy yang tidak mungkin dita’wilkan. Tetapi Jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin, tidak membedakan antara fardhu dengan wajib. Orang yang mengingkari sesuatu yang fardhu, wajib, dan haram tetap dihukumkan kafir. b. Ulama Hanafiah menyatakan bahwa jika seseorang meninggalkan pekerjaan fardhu ibadah, maka ibadahnya batal, dan ia wajib mengulanginya dari awal. Misalnya meninggalkan ruku’ (fardhu) dalam shalat, maka shalatnya batal. Tetapi jika yang ditinggalkan yang wajib misalnya al-fatihah, maka amalannya tidak batal, namun tidak
6
agustianto.niriah.com
sempurna, ia boleh mengulangi shalatnya atau melanjutkannya, tetapi ia berdosa karena meninggalkan yang wajib. Sedagkan ulama Jumhur Ushul Fiqh/mutakallimin berpendapat bahwa apabila amalan shalat yang wajib atau yang fardhu ditinggalkan maka shalatnya batal, karena mereka tidak membedakan antara fardhu dan wajib. c. Perbuatan yang masuk karahah al-tahrimiyyah. Menurut ulama Hanafiah, jika dikerjakan mendapat dosa, sekalipun pelaku tidak dihukumkan kafir. Sedangkan perbuatan yang termasuk kaharah al-tanzihiyyah, pelakunya tidak dihukum, tidak dicela, dan tidak berdosa, tetapi perbuatannya itu tidak termasuk yang dinilai utama. Namun menurut Jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin, kaharah itu hanya satu bentuk, pelakuya tidak dikenai hukuman tetapi dicela. Dan kaharah tahrimiyyah dalam istilah Hanafiah sama dengan hurmah dalam istilah jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin.
5.2.3
Pembagian Hukum Taklifi ditinjau dari Sisi Sifat Perbuatan
Gambar 5.4 Skema Pembagian Hukum Taklifi Dari Sisi Sifat Perbuatan (Wajib)
Gambar di atas menunjukkan pembagian hukum taklifi dilihat dari sisi sifat perbuatan yang wajib. Dimana terlihat bahwa hukum wajib itu terbagi atas 4, yaitu wajib karena waktu, wajib karena penentuan, wajib karena individu atau jama’ah, dan wajib karena ketentuan nash.
7
agustianto.niriah.com
Gambar 5.5 Skema Pembagian Hukum Taklifi Dari Sisi Sifat Perbuatan (Mandub, Haram, Makruh dan Mubah)
Gambar di atas menunjukkan pembagian hukum taklifi dilihat dari sisi sifat perbuatan yang mandub, haram, makruh dan mubah. Dimana terlihat bahwa hukum mandub terbagi atas 3, yaitu muakkah, grairu muakkah, dan zaidah. Haram itu terbagi atas 2, yaitu lizatih dan lighairih. Makruh terbagi atas 2, yaitu tanzih dan tahrim. Sedangkan mubah terbagi ats 3. Penjelasan lebih lanjutnya dapat dilihat pada table dan penjelasan berikut ini:
Tabel 5.2 Pembagian Hukum Taklifi (Dari sisi Sifat Perbuatan) Wajib Mandub Haram Makruh Mubah
Bila dikerjakan dapat pahala, jika ditinggalkan dapat dosa Bila dikerjakan dapat pujian/pahala, bila ditinggalkan tidak dapat celaan Bila dikerjakan dapat dosa/sanksi, tuntutan meninggalkannya bersifat memaksa Bila ditinggalkan dapat pujian, bila dikerjakan tak dapat celaan Diberikan kepada mukallaf untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan
8
agustianto.niriah.com
A. Wajib a. Wajib dari Segi Waktu Dilihat dari segi waktu, wajib terbagi atas: a) Wajib Muthlak Wajib Mutlak, sesuatu yang dituntut syari’ mengerjakannya tanpa ditentukan waktunya, seperti kewajiban membayar kifarat bagi yang melanggar sumpah b) Wajib Muaqqat Wajib Muaqqat,sesuatu yang dituntut syari’ mengerjakannya (Ditentukan waktu-waktunya), seperti shalat, puasa.
pada waktu tertentu
Pembagian Wajib Muaqqat 1) Mudhayyaq (Sempit waktunya) Contoh puasa ramadhan.Harus dilaksanakan dibuan ramadha sebulan penuh, tidak bisa diselingi puasa sunnah 2) Muwassa’ (Lapang waktunya) Seperti shalat zhuhur,bisa diselingi shalat sunnat. Bahkan meskipun sudah masuk waktu, jam 12.00 misalnya, tetapi shalat tetap shah dilaksanakan pada jam 14.30 WIB.
b. Wajib Dari Segi Ukuran Yang di Wajibkan Dilihat dari ukuran yang diwajibkan, apakah ditentukan nash terbadi atas: a) Wajib Muhaddad Muhaddad yaitu suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara’. Misal, jumlah rakaat shalat, porsi harta yang dizakati. b) Wajib Gairi Muhaddad Ghairu Muhaddad yaitu suatu kewajiban yang tidak ditentukan ukurannya, misalnya, penentuan jarimah ta’zir dalam pidana Islam.
c. Wajib Dari segi Yang Dikenai Kewajiban Dilihat dari segi orang yang dikenai kewajiban baik individu atau kolektif terdiri dari: a) Wajib ‘aini Wajib ‘aini adalah kewajiban yang dikenakan pada setiap pribadi b) Wajib Kifa’i Wajib kifa’i adalah kewajiban yang dibebankan kepada jamaah, misal, mendalami ilmu ekonomi Islam, menguasai sains-teknologi.
9
agustianto.niriah.com
d. Wajib Dari sisi kandungan perintah Dilihat dari sisi kandungan perintah apakah ditentukan atau berupa pilihan terbagi atas: a) Wajib Mu’ayyan Wajib Mu’ayyan adalah kewajiban yang ditentukan syari’ bentuknya, seperti shalat, puasa, harga barang yang ditentukan wajib dibayar dalam jual beli salam danbsegala jual beli b) Wajib ghairu mu’ayyan Wajib ghairu mu’ayyan suatu kewajiban yang bisa dipilih mukallaf. Misalnya kaffarah bersetubuh di siang ramadhan, boleh puasa 2 bulan berturut,memerdekakan budak atau memberi makan 60 orang miskin. Adapun cara-cara mengetahui sesuatu wajib adalah: a. Melalui lapaz amar (perintah) b. Melalui lapaz perintah itu sendiri ان اﷲ ﻳﺄﻣﺮ ﺑﺎ اﻟﻌﺪل و اﻻﺣﺴﺎن Artinya: Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan (QS.19:90) c. Melalui isim fi’il (kata yang bermakna kata kerja perintah) ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻣﻦ اﻷاﻋﻤﺎ ل ﻣﺎ ﻳﻄﻴﻘﻮن Artinya: Hendaklah kamu melaksankan amal yang mampu kamu laksanakannya (H.R. Thabrani) d. Lapaz yang menggunakan kata kewajiban itu sendiri,seperti faradha ﻓﺮض رﺳﻮل اﷲ زآﺎة اﻟﻔﻄﺮ Rasul saw mewajibkan zakat fitrah e. Redaksi yang menunjukkan tuntutan mesti dilaksanakan, seperti “kataba” pada ayat puasa. f.
Fiil buhari; yang diiringi lam amar.
ﻟﻴﻨﻔﻖ ذو ﺳﻌﺔ ﻣﻦ ﺳﻌﺘﻪ Artinya; Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah sesuai dgn kemampuannya
10
agustianto.niriah.com
B. Mandub Pembagian mandub: a. Sunnat muakkad Sunnat muakkad (sangat dianjurkan), sunnat rawatib (sebelum/sesudah shalat 5 waktu), qurban,dll. b. Sunnat ghairu muakkad Sunnat ghairu muakkad (sunnah yang biasa saja) seperti shalat dhuha c. Sunnat zaidah Sunnat zaidah (tambahan), seperti cara makan, tidur dan pakaian Rasulullah SAW
C. Haram Pembagian haram: a. Haram lizatih Haram lizatih suatu keharaman langsung sejak semula ditentukan syari, misalnya keharaman riba, bangkai, dan sebagainya b. Haram lighairih Haram lighairih suatu keharaman yang tidak langsung pada perbuatannya tapi disebabkan oleh adanya perbuatan haram yang mengiringi, seperti melaksanakan shalat dengan pakaian hasil korupsi, jual beli ketika sedang azan jumat, dsb.dan sebagainya c. Haram karena perbuatan yang menyertainya Shalat dan jual beli pada zatnya tidak haram, tetapi karena ada perbuatan haram yang menyertainya, maka perbutan itu jadi haram, meskipun sah.
D. Makruh Pembagian makruh a. Makruh Tanzih Makruh tanzih yaitu tuntutan meninggalkan yang sifatnya tidak memaksa, misal makan jengkol b. Makruh Tahrim Makruh tahrim yaitu tuntutan meninggalkan berdasarkan dalil zanniy. Misalnya memakai emas bagi laki-laki.
11
agustianto.niriah.com
E. Mubah Pembagian mubah: a. Mubah yang dilakukan atau tidak, tidak mendatangkan mudharat b. Bila dilakuan tak ada mudharat, tapi asalnya haram,Seperti makan babi karena terpaksa c. Sesuatu yg pada dasarnya mudharat, haram dilakukan, tapi Allah memaafkan
12
agustianto.niriah.com
BAB 5 HUKUM WADL’I 5.1 Pengertian Hukum Wadl’i Hukum wadh’i didefinisikan sebagai firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Hukum wadh’i adalah ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ sah fasid, azimah dan rukhshah
5.2 Macam-macam Hukum Wad’i a. Sebab Menurut bahasa sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Sedangkan menurut istilah sebab adalah sutatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Menurut ulama ushul, sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia. Pengertian ini menunjukkan sebab sama dengan illat. Walaupun sebnarnya ada perbedaannya. Contohnya: أﻗﻢ اﻟﺼﻼة ﻟﺪﻟﻮك اﻟﺸﻤﺲ Artinya: Dirikanlah shalat, karena matahari tergelincir Ayat tersenut menjelaskan adanya sebab perbuatan mukallaf, dimana tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat.
b. Syarat Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada. Tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Contoh: .......اذا ﻗﻤﺘﻢ اﻟﻰ اﻟﺼﻼة ﻓﺎ ﻏﺴﻠﻮا وﺟﻮهﻜﻢ Artinya: Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu….(5:6) Wudhu yang dibicarakan ayat ini, menjadi “syarat” pelaksanaan shalat . Wudhu adalah salah
satu syarat sah sholat. Shalat tidak dapat dilakukan tanpa wudhu, tetapi jika seorang berwudhu tidak harus melaksanakan shalat.
13
agustianto.niriah.com
c. Mani’ (penghalang) Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Contoh: ﻻ ﻳﺮث اﻟﻘﺎﺗﻞ Artinya: Pembunuh Tidak Mewarisi (H.R. Bukhari dan Muslim) Ayat tersebut menjelaskan adanya “penghalang” perbuatan mukallaf. Menurut hadits ini pembunuhan menjadi “penghalang” seorang waris mendapat warisan. Jadi, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan. Jika ayah wafat maka istri dan anak mendapat bagian warisan sesuai haknya tetapi jika, istri atau anak membunuh suami atau ayah tersebut maka hak mewarisi bisa terhalang (H.R. Bukhari & Muslim)
Gambar 5.1 Keterkaitan antara “Sebab”, syarat dan mani
Suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya,terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalang, Sebaliknya hukum tidak ada bila sebab, syaratnya dan penghalang tidak ada. Misalnya shalat zuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir matahari (sebab), dan telah berwudhuk (syarat) serta tidak ada heidh (penghalang). Jika wanita sedang heidh, maka shalat tidak shah Demikian pula bila matahari belum tergelincir, atau belum berwudhuk, maka Shalatnya tidak shah Salah satu dari tiga unsur itu tidak ada, maka suatu hukum tidak sah
14
agustianto.niriah.com
d. Azimah Azimah adalah hukum yang disyaraitkan allah kepada seluruh hambanya sejak semula. Artinya belum ada hukum seblum hukum itu disyari’atkan allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Menurut Imam Baidhawi, Azimah ialah Hukum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan. Misalnya jumlah rakaat sholat dzuhur adalah 4 rakaat, hal ini ditetapkan allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dzuhur.
e. Rukhsah Rukhsah adalah apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dhuhur 2 rakaat seperti seorang musafir atau rukhsah disebut juga hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur. Contoh lain adalah puasa pada orang musafir, di tengah hutan tidak ditemukan makanan, selain babi, bunga bank di daerah yang belum ada bank syari’ah
Gambar 5.1 Ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ sah fasid, azimah dan rukhshah
15
agustianto.niriah.com
5.3 Perbedaan hukum Taklifi dengan Wadl’i 1. Dalam hukum taklifi ada tuntutan ntuk melaksanakan, meningggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wadl’i ada keterkaitan antara 2 persoalan sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab penghalang atau syarat. 2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk melaksanakan, meningggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Hukum wadl’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadl’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksankan hukum taklifi misalnya, zakat hukumnya wajib (Hukum Taklifi), tetapi kewajiban ini tidak bia dilaksanakan jika harta tersebut tidak mencapai ukuran 1 nishab dan belum haul. Ukuran 1 nishab merupakan penyebab (hukum wadl’i), wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum wadl’i wajib zakat). 3. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melakukan atau meninggalkannya karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf sedangkan hukum wadl’i hal seperti ini tidak dipersoalkan kerana masyaqqah dan haraj dalam hukkum wadl’i adakalanya dapat dipikul mukallaf. Seperti menghadirkan saksi sebagai syarat pernikahan dan ada kalanya diluar kmampuan mukalllaf seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat dzuhur. 4. Hukum taklifi ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan hukum wadl’i ditukukan kepada manusia mana saja. Baik telah mukallaf maupun belum.seperti anak kecil dan orang gila.
16
agustianto.niriah.com
Secara ringkas perbedaan antara hukum taklifi dan hokum wadh’I dapat dilihat pada table berikut ini: Tabel 5.1 Perbedaan Hukum Taklif dan Hukum Wadh’iy No
Hukum Taklifi
Hukum Wadh’i
1
Terkandung tuntutan untuk Tidak ada tuntutan, melainkan keterkaitan antara melaksanakan, meninggalkan dan 2 persoalan, sehingga salah satunya bisa jadi memilih berbuat atau tidak berbuat sebab, syarat atau penghalang
2
Tuntutan langsung pada mukallaf Tidak dimaksudkan untuk langsung dilakukan. untuk dilaksanakan, ditinggalkan Hukum wadh’iy dibuat Allah agar hukum taklif atau pilihan berbuat dapat dilaksanakan. Kewajiban Zakat merupakan hukum taklif. Kewajiban ini tak wajib dilaksanakan kecuali cukup nishab. Cukup nishab adalah syarat wajib zakat
3
Harus sesuai dgn kemampuan mukallaf, karena dalam hukum taklif tak boleh ada masyaqqah (kesulitan). Kalau ada masyaqqah, timbul rukhshah, akhirnya jadi hukum wadh’y
4
Ditujukan kepada mukallaf yang Ditujukan kepada siapa saja, baik telah mukallaf maupun belum (anak kecil, orang gila) baligh dan berakal
Kemampuan mukallaf tak dipersoalkan, karena masyaqqqah ada kalanya dapat dipikul mukallaf, seperti saksi dalam talak, dan adakalanya di luar kemampuan mukallaf, seperti tergelincirnya mentari bagi wajibnya shalat dzuhur
5.4 Shah atau Shihhah Sah ialah Suatu hukum yang sesuai dengan tuntan syara’, yaitu terpenuhi sebab, syarat dan tdk ada mani. Misalnya mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari (sebab), dan telah berwudhuk (syarat),dan tidak ada halangan bagi orang yang melaksanakannya berupa haid, maka shalat orang tersebut shah. Jika salah satu tidak ada, maka shalat tidak shah
5.5 Bathil Batil merupakan kebalikan dari sah Suatu hukum yang tidak ada sebab, tidak terpenuhi syarat-syarat dan adanya mani’,maka status hukumnya batil. Contoh : Seorang yang shalat zuhur sebelum tergelincir matahari, maka shalatnya tidak shah seorang yang shalat zuhur, tanpa berwudhu’, shalatnya juga tidak shah,karena tak terpenuhi syarat shah shalat, Seorang yang shalat, tetapi dalam kondisi haid, shalat juga tidak shah. Heidh adalah mani’ (penghalang) bagi shahnya shalat, memperjual belikan minuman keras, hukumnya tidak shah, karena syarat sucinya barang tak terpenuhi
17