Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Semakin
berkembangnya
sosial
masyarakat
akan
menimbulkan
permasalahan baru yang semakin kompleks. Permasalan permasalahan itu perlu adanya pengkajian guna penetapan hukum sesuai ajaran yang disyariatkan agama. Penetapan hukum itu tidaklah segampang membalik telapak tangan melainkan membutuhkan pemikiran pemikiran yang harus berdasar pada hukum yang ada dalam Al Qur’an dan Hadist. Bukan hanya tau hukum al Qur’an dan hadist saja, seorang yang akan berijtihad harus mempunyai pengetahuan yang mumpuni dalam ijtihadnya. “Ijtihad menurut istilah ulama ushul fiqih mencurahkan segala kesungguhan (tenaga dan pikiran) untuk menemukan hukum syar’i dari dalildalil yang tafshi dari kaidah-kaidah hukum syara’. Ijtihad adalah suatu jalan untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum dalil-dalil ketentuan itu dan sebagai suatu cara untuk memberikan ketentuan hokum yang timbul karena tuntutan kepentingan dalam muamalah ijtihad disini mempunyai objek dan metode – metode tertentu. Objek utama yang akan di bahas dalam ushul fiqih adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks atau sumber berbahasa, para ulama akan menyusun semacam semantic yang akan digunakan praktik penalaran fiqih, hal ini adalah metode dari Istinbath. Oleh karena itu di dalam makalah ini akan menjelaskan metode Ijtihad dan pengertiannya.
1
B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang digunakan adalah sebagai berikut; 1. Apa pengertian ijtihad? 2. Apa dasar hukum ijtihad? 3. Apa saja macam-macam ijtihad? 4. Apa saja syarat-syarat ijtihad? 5. Apa saja yang menjadi objek ijtihad? 6. Apa hukum melakukan ijtihad? 7. Apa saja tingkatan mujtahid? 8. Kapan dan mengapa terbuka dan tertutupnya pintu ijtihad terjadi?
C. Tujuan Adapun rumusan masalah yang digunakan adalah sebagai berikut; 1. Mengetahui pengertian ijtihad. 2. Mengetahui apa dasar hukum ijtihad. 3. Mengetahui apa saja macam-macam ijtihad. 4. Mengetahui apa saja syarat-syarat ijtihad. 5. Mengetahui apa saja yang menjadi objek ijtihad. 6. Mengetahui apa hukum melakukan ijtihad. 7. Mengetahui apa saja tingkatan mujtahid. 8. Mengetahui kapan dan mengapa terbuka dan tertutupnya pintu ijtihad terjadi.
2
Bab II Pembahasan A. Pengertian Ijtihad dan Perkembangannya Ijtihad berasal dari kata (ijtahada)
ااججتْدهدههددyang artinya ialah: bersungguh
sungguh, rajin, giat. Apabila kita meneliti makna kata ja-ha-da maka artinya ialah mencurahkan segala kemampuan.1 Dengan demikian secara bahasa, ijtihad ialah berusaha atau berupaya dengan bersungguh-sungguh, tentu saja perkataan ini tidak digunakan pada sesuatu yang mudah dan mengandung kebenaran. Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Nasrudin Rusli, ijtihad hanya berlaku pada upaya yang sulit dilakukan, ia mencontohkan:
َارمجتْحتحهحد فرى ححممرل حححجرر الرححا “Ia mengerahkan kemampuannya untuk mengangkat batu penggilingan” Maka tidak dikatakan ijtihad pada suatu pekerjaan yang ringan, seperti mengangkat sebutir biji sawi, tidak dapat dikatakan:
ارمجتْحتحهحد فرى ححممرل حخمرحدلحةة “Ia mengerahkan tenaga untuk mengangkat biji sawi”2
1 2
Kamus al-Munawir, hal. 234. Nasrudin Rusli, Konsep, hal. 74.
3
Menurut Abu Zahrah sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fiqih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalil-nya.” 3 Pada definisi ini kita dapat melihat penggunaan istilah ahli fiqh, maksudnya adalah pihak yang melakukan ijtihad yaitu mujtahid. Pada definisi lain yang diungkapkan alBaidhawi (w. 685 H) istilah tersebut tidak digunakanan karena sudah dianggap maklum bahwa orang yang melakukan ijtihad pastinya seorang ahli fiqh atau mujtahid. Beliau mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.” Kemudian di kalangan para ulama, ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum syari’at.4 Adapun definisi lain dari ijtihad menurut Wahbah al-Zuhaili ialah perbuatan-perbuatan istinbath hukum syari’at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at. Namun ada pula yang mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas, tetapi pendapat itu tidak disetujui oleh al-Ghazali di dalam al-Mustashfa. Menurutnya, itu adalah keliru, sebab ijtihad itu lebih umum daripada qiyas, terkadang ijtihad memandang di dalam keumuman dan lafadh-lafadh yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.5 Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli ushul fiqh maka diperoleh beberapa poin yang terkandung dalam definisi ijtihad yaitu: 1.
Usaha dengan sungguh-sungguh,
2.
dilakukan oleh seorang ahli fiqh,
3 4 5
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 245. Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf), hal. 116. Ibid.
4
3.
tujuan ijtihad yaitu menemukan hukum syara’ atau yang berhubungan dengan perbuatan,
4.
bersumber dari dalil-dalil yang rinci. Sehingga dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ijtihad
ialah: “Usaha yang dilakukan oleh seorang ahli fiqh dengan sungguh-sungguh untuk menggali suatu hukum syara’ atau yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang rinci.” Dan menurut saya, ijtihad lebih luas dibanding dengan qiyas karena qiyas sendiri adalah salah satu metode dalam berijtihad. Dalam sejarah perkembangan hukum islam ijtihad menjadi istilah hukum tertentu, yang berarti suatu jalan pengambilan hukum dengan Al-Qur’an, AsSunnah dan akal. Adapun adanya ijtihad secara tegas dan jelas menurut sejarah hukum islam adalah tentang Tanya jawab Nabi SAW dengan sahabat Mu’az bin Jabal R.a sewaktu ditunjuk oleh Nabi dengan gubernur atau hakim di Yaman.
B. Dasar Hukum Ijtihad Ijtihad dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Landasan dibolehkannya melakukan ijtihad dapat diketahui baik dengan isyarat ataupun dengan jelas terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, diantaranya: Dalil hukum sebagai dasae wajibnya berijtihad itu adalah firman Allah SWT : Artinya : "Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir, di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka, pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka, dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka, (hukuman)
5
dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka, dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan." – (Q.S. Al Hasyr : 2) Dalam firman Allah di atas adalah Allah telah mengharuskan bagi orangorang yang ahli memahami dan merenungkan jdalam mengambil ibarat supaya berijtihad.6 Juga Allah berfirman:
اررنَآَاحنَمتزلمحنآَارلحي ح ر ب رباَلمححقق لرتْحمحلكحم بحتميحن الرناَ ر ح م س برحمآَاححرحك الل ك المكحتْاَ ح “Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar agar engkau menetapkan di antara manusia dengan jalan yang telah ditunjukan oleh Allah kepadamu.”7 Ayat ini secara tidak langsung menunjukan ketetapan ijtihad dengan jalan qiyas, demikian Kamal Mukhtar mengutip dari Wahbah al-Zuhaili yang juga menukil pendapat dari asy-Syathiby di dalam al-Muwafaqat.8 Juga dalam firman Allah:
ر لاياَ ة َ.ت لرحقموةم يرتتْحتحفركلرموحن ارن فرى حذالر ح ك حح ح 6 7 8
Ibid. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, (Kencana: Jakarta, 2011) hlm. 241 Kamal Muchtar, Ushul, hal. 116.
6
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”9 As-Sunnah pun membolehkan melakukan ijtihad itu, di antaranya di dalam as-Sunnah yang dikutip oleh asy-Syafi’iy di dalam ar-Risalah halaman 494, meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Amr bin ‘Ash yang mendengar Rasulullah SAW. bersabda :
ر ر ر ِ حواحذا حححكحم حفاَمجتْحتحهحد ثلرم احمخطحأح فحتلحهل,ب فحتلحهل أحمجحرارن احذا حححكحم المححاَكلم حفاَمجتْحتحهحد فحأح ح صاَ ح احمجدر حوارحدد Selain itu landasan ijtihad juga terdapat dalam hadis lain, misalnya hadis yang menceritakan dialog antara Rasul dan Mu’adz ketika diutus oleh Nabi sebagai qadhi (Hakim) ke Yaman.10 : Nabi
: Dengan apa kamu memutuskan perkara?
Mu’adz
: Dengan sesuatu yang terdapat dalam Kitabullah.
Nabi
: Kalau tidak engkau dapati dalam Kitabullah?
Mu’adz
: Saya akan memutuskan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasulullah.
Nabi
: Kalau tidak engkau dapati apa yang diputuskan Rasulullah?
Mu’adz
: Saya akan berijtihad mengguanakan pikiran saya.
Nabi
: Segala Puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan dari utusan-Nya.
Hukum berijtihad Sebagaimana diketahui, setiap perbuatan mukallaf tidak terlepas dari kemungkinan diberi predikat salah satu dari hukum takhlifi yang lima yaitu; wajib, sunah, makruh, mubah atau haram. Karena kegiatan melaksanakan ijtihad juga termasuk perbuatan mukallaf, maka kegiatan ijtihad juga juga 9 10
Q.S ar-Ra’d (13): 3. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 344.
7
memiliki kemungkinan mendapat predikat salah satu hukum tersebut yaitu sebagai berikut.11 1) Apabila seseorang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad, dan dirinya menghadapi masalah hukum yang perlu segera mendapat jawaban hukum maka ia wajib (fardu ‘ain) melakukan kegiatan ijtihad. Ia wajib mengamalkan hasil ijtihadnya, dan tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid lainnya. 2) Jika hanya ia yang memenuhi persyaratan ijtihad dan tidak ada yang lainnya, sedangkan ia ditanya orang tentang masalah hukum yang sifatnya segera, yang jika ia tidak berijtihad, akan terjadi kesalahan dalam penerapan hukum syara’ maka hukumnya adalah wajib. Namun jika masih ada orang lain yang juga memenuhi persyaratan ijtihad maka hukumnya menjadi fardu kifayah. 3) Berijtihad sunah hukumnya apabila: (1) Melakukan ijtihad yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang pernah dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian). (2) Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang. 4) Hukum berijtihad akan menjadi haram apabila: (1) Berijtihad dalam hal-hal yang memiliki nash yang tegas (qath’i) baik berupa ayat atau hadis atau hasil ijtihad menyalahi ijma’. (2) Ijtihad yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat seorang mujtahid. Ijtihad yang dilakukannya tidak akan menemukan kebenaran justru akan dapat menyesatkan.12
11 12
Ibid, hal. 353. Satria Effendi, Ushul, hal. 256.
8
5) Sedangkan ijtihad yang tidak didasarkan atas nash yang bersifat qath’i ats-tsubut/al-wurud wa ad-dalalah, maka hukumnya adalah mubah.
C. Macam-Macam Ijtihad Imam asy-Syafi’i membatasi ijtihad hanya dalam pengertian menggali hukum dari nash al-Qur’an dan as-Sunnah melalui cara qiyas saja, bukan yang lain. Ketika ada yang bertanya kepadanya, apakah yang dimaksud dengan qiyas? Apakah ia sama dengan ijtihad ataukah keduanya berbeda? Ia menjawab : “Huma isman li-ma’na wahid (keduanya adalah dua nama untuk satu pengertian).13. Dengan demikian, asy-Syafi’i menggunakan istilah ijtihad dalam pengertian sempit, hanya pada pengertian qiyas saja, dan tidak memakai metode penalaran hukum yang berdasarkan metode Istihsan atau maslahah al-mursalah. Akan tetapi, para imam madzhab lainnya memakai ijtihad dengan pengertian
yang
luas.
Mereka
menggunakan
istilah
ijtihad
untuk
menggambarkan penalaran hukum (ar-Ra’y) melalui metode qiyas dan metode istinbath hukum lainnya. Dalam hal ini, mereka memahami penalaran hukum tidak terbatas hanya pada pengertian qiyas, yaitu adanya kasus-kasus hukum yang memiliki nash yang dapat dijadikan landasan hukum terhadap kasus-kasus yang tidak ada nash-nya, dengan cara menyamakan hukum keduanya, karena adanya kesamaan ‘illah. Menurut mereka, penalaran hukum juga dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sama sekali tidak ada acuan nash-nya. Dengan demikian, menurut para imam madzhab selain asy-Syafi’i, yang disebut ijtihad menggunakan penalaran hukum ialah, melakukan penemuan hukum yang dipandang paling dapat menghasilkan kemaslahatan, dan yang paling mendekati semangat pensyariatan hukum Islam. Oleh karena
13
Abd. Rahman Dahlan, Ushul, hal. 347-349.
9
itu, ditinjau dari segi metodenya, sebagaimana yang dirumuskan adDuwailibi, ijtihad dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut. 14 1.
Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
2.
Al-ijtihad al-Qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukumhukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash alQur’an
maupun
al-Hadis,
dengan
cara
meng-qiyas-kan
atau
menganalogikannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nash-nya. 3.
Al-Ijtihad al-Istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash-nya, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-Istishlah (kemaslahatan). Adapun ditinjau dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad
(mujtahid), ijtihad dapat dibagi dua, yaitu sebagai berikut.15 1.
Ijtihad Fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang belum diketahui ketentuan hukumnya. Di masa lalu, ijtihad model ini yang paling banyak dilakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam madzhab yang empat.
2.
Ijtihad Jama’i, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, di mana ijtihad ini menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model inilah yang disebut dengan ijma’ al-ulama.
14 15
Ibid. Ibid.
10
Ijtihad berdasarkan bentuk karya ijtihadnya, menurut Abu Zahrah, seperti yang dikutip Amir Syarifuddin, terbagi dalam dua jenis.16 1.
Ijtihad Istinbathi, ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Jenis ijtihad ini disebut juga ijtihad paripurna dan secara khusus berlaku di kalangan sekelompok ulama untuk mencari hukum furu’ amaliah dari dalilnya yang terinci. Imam Mujtahid termasuk dalam kelompok ini.
2.
Ijtihad Tathbiqi, ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum, melainkan untuk menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian. Masalah hukum dalam kejadian yang muncul belakangan ini ditetapkan hukumnya dengan menghubungkannya kepada hukum yang telah ditetapkan iman terdahulu. Dalam hal ini, ada pengerahan daya ijtihad meskipun tidak menghasilkan hukum yang baru (orisinal). Juga, tidak menggunakan dalil syara’ mu’tabar sebagai bahan rujukan, tetapi hanya merujuk kepada hukum-hukum yang telah ditemukan mujtahid-mujtahid terdahulu. Secara ringkas, ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi
dua: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid besar; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Sedangkan ijtihad jama’i adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW. setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’i dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama 16
dalam
satu
disiplin
ilmu,
Uyun Kamiluddin, Menyorot, hal. 44-45.
11
yaitu
ilmu
fiqh.
Dalam
perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, di samping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu. Ijtihad jama’i merupakan kegiatan ijtihad yang melibatkan berbagai disiplin ilmu di samping ilmu fiqh itu sendiri sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini mengingat, masalah-masalah yang bermunculan, ada yang berkaitan dengan ilmu selain ilmu fiqh seperti ilmu kedokteran, pertanian dan ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.17 Beberapa Metode Ijtihad18 Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Di antara metode atau cara berijtihad adalah (1) ijma’, (2) qiyas, (3) istidal, (4) almasalih al-mursalah, (5) istihsan, (6) istishab, (7) ‘urf dan (8) lain-lain. 1) Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan itu diperoleh dengan suatu cara di tempat yang sama. Namun, kini sukar dicari suatu cara dan sarana yang dapat dipergunakan untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai suatu masalah pada suatu ketika di tempat yang berbeda. Ini disebabkan karena luasnya bagian dunia yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Ijma’ yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua khulafaur rasyidin (Abu Bakar dan Umar) dan sebagian masa pemerintahan khalifah yang ketiga (Usman). Sekarang ijma’ hanya berarti persetujuan atau kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam al-Qur’an (H.M Rasjidi, 1980: 457).
17 18
Satria Effendi, Ushul, hal. 258-259. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 108-112.
12
2) Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadis dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persamaan illat (penyebab atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran, yang dipergunakan oleh akal budi untuk membanding suatu hal dengan hal lain. Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan meminum khamar (sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat dari buah-buahan) yang terdapat dalam alQur’an Surat al-Maidah (5) ayat 90. Yang menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari apa pun ia dibuat, hukumnya sama denagn khamar yaitu dilarang untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan (mibuk), apapun namanya, dilarang diminum dan diperjualbelikan untuk umum. 3) Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam (misalnya gono-gini atau harta bersama) dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak dihapuskan oleh syari’at Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya untuk dijadikan hukum Islam. 4) Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. Sebagai contoh dapat dikemukakan pembenaran pemungutan pajak penghasilan untuk kemaslahatan atau kepentingan masyarakat dalam rangka pemerataan pendapatan atau pengumpulan dana yang diperlukan untuk
13
memelihara kepentingan umum, yang sama sekali tidak disinggung di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis). 5) Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan merupakan metode yang unik dalam mempergunakan akal pikiran dengan mengesampingkan analogi yang ketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan. Di dalam praktik, seorang ahli hukum seringkali terpaksa melepaskan diri dari aturan yang mengikat karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang lebih berat dan lebih perlu diperhatikan. Istihsan adalah suatu
cara untuk mengambil
keputusan yang tepat menurut suatu keadilan. Misalnya, hukum Islam melindungi dan menjamin hak milik seseorang. Hak milik seseorang hanya dapat dicabut kalau disetujui oleh pemiliknya. Dalam keadaan tertentu, untuk kepentingan umum yang mendesak, penguasa dapat mencabut hak milik seseorang dengan paksa, dengan ganti-kerugian tertentu kecuali kalau ganti-rugi itu tidak dimungkinkan. Contohnya adalah pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan, pembuatan
irigasi
untuk
mengairi
sawah-sawah
dalam
rangka
meningkatkan kesejahteraan soaial. 6) Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan
lain
dapat
dikatakan
istishab
adalah
melangsungkan
berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Contohnya (a) A (pria) mengawini B (wanita) secara sah. A kemudian meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian. C (pria) melamar B yang menurut kenyataan tidak memiliki suami. Walaupun B menerima lamaran itu, perkawinan antara C dan B tidak dapat dilangsungkan karena status B adalah (masih) istri A. Selama tidak dapat dibuktikan bahwa B telah diceraikan oleh A selama itu pula status hukum B adalah istri A. Contoh lain, (b) A mengadakan perjanjian utang-piutang 14
dengan B. Menurut A utangnya telah dibayar kembali, tanpa menunjukkan suatu bukti atau saksi. Dalam kasus seperti ini berdasarkan istishab dapat ditetapkan bahwa A masih belum membayar utangnya dan perjanjian itu masih tetap berlaku selama belum ada bukti yang menyatakan bahwa perjanjian utang piutang tersebut telah berakhir. 7)
Adat-istiadat atau ‘urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat
dikukuhkan
tetap
terus
berlaku
bagi
masyarakat
yang
bersangkutan. Adat istiadat ini tentu saja yang berkenaan dengan soal muamalah. Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di dunia perdagangan pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya, jual-beli buah-buahan di pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya, melamar wanita dengan memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar secara tunai atau utang atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain, harta bersama suami-istri dalam masyarakat muslim Indonesia (tersebut di atas). Sepanjang adat-istiadat itu tidak bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadis, dan transaksi di bidang muamalah itu didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak serta tidak melanggar asas-asas hukum perdata Islam di bidang muamalah (kehidupan sosial), menurut kaidah hukum Islam yang menyatakan “adat dapat dikukuhkan menjadi hukum” (al-‘adatu muhakkamah(t)), hukum adat yang demikian dapat berlaku bagi umat Islam.
D. Syarat-Syarat Ijtihad Menurut al-Syaukani untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima persyaratan, yaitu (1) mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah, (2) mengetahui Ijma’,
15
(3) mengetahui Bahasa Arab, (4) mengetahui ilmu Ushul Fiqih, dan (5) mengetahui Nasikh-Mansukh. Ulama Ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahud dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam AlQur’an baik menurut bahasa maupun syariah
2.
Mengetahui dan menguasai hadits-hadits tentang hukum, baik menutur bahasa maupun syariah : akan tetapi, tidak disyaratkan untuk menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkan jika ia membutuhkannya.
3.
Mengetahui Nasikh dan Mansuh dalam Al Qur’an dan Sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namuntidak disyaratkan menghafalnya
4.
Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijm’ ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’
5.
Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6.
Mengetahui Bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya
7.
Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad
16
8.
Mengetahui maqashidu al-syari’ah (tujuan syariat) secara umum, karena bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqasyidu al-syari’ah atau rahasia diayariatkannya suatu hukum.19 Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, menurut asy-
Syathibiy, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila ia memiliki dua sifat20 : 1.
Mengerti dan faham akan tujuan-tujuan syari’at dengan sepenuhnya, sesempurnanya, secara keseluruhannya.
2.
Mampu melakukan istinbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari’at tersebut. Sedangkan menurut Masyfuk Zuhdi dan Tajuddin Syubki sebagaimana
dikutip oleh Uyun Kamiluddin, syarat berijtihad dapat dirumuskan sebagai berikut.21 Syarat-syarat umum yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah: 1.
Dewasa (harus sudah baligh) karena orang yang belum dewasa dipandang hukum kurang sempurna akalnya sehingga mengakibatkan seluruh perkataannya tidak dapat dipahami orang lain.
2.
Berakal karena orang yang tidak berakal bisa berbelit-belit (karena kebodohannya) saat memberi petunjuk atas sesuatu perkara.
3.
Sangat kuat daya tangkap dan ingatannya karena bakat, kekuatan daya tangkap, dan ingatan yang kuat akan menyampaikan mereka ke jenjang ilmu.
19 20 21
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (STAIN Press: Pekalongan, 2005) hlm.110 Kamal Muchtar, Ushul, hal. 123. Uyun Kamiluddin, Menyorot Ijtihad Persis (Bandung: Tafakur, 2006), hal. 46-48.
17
Adapun syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid adalah sebagai berikut22: 1.
Mengetahui nash al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. ia juga harus mengetahui Hadis. Al-Ghazali membatasi ayat yang harus diketahui oleh seorang mujtahid kurang lebih 500 ayat.
2.
Mengetahui masalah-masalah yang diijma’kan oleh ulama sehingga ia tidak memberi fatwa yang berlainan dengan yang telah diijma’kan.
3.
Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas dan asrarus syariah (rahasiarahasia syariat) yang telah ditetapkan. Penetapan hukum islam selalu memperhatikan salah satu dari tiga maksud syara’: (1) memelihara yang sifatnya selalu ada (dharuri) untuk tegaknya hidup manusia: jiwa, agama, akal, keturunan dan harta; (2) memelihara sesuatu yang dibutuhkan manusia (hajiat)
sehingga menimbulkan kemudahan dan sebaliknya,
menghilangkan kesulitan; (3) memelihara sesuatu yang wujudnya kebaikan. 4.
Mengetahui dengan baik Bahasa Arab dalam seginya, sehingga memungkinkan dapat mengerti dan menguasai Ushlub (kata-kata) dan rasa bahasa.
5.
Mengetahui ilmu Ushul fiqh dan qawa’idul fiqh karena dengan ilmu ini seseorang bisa mengetahui cara-cara melakukan istinbath hukum dari nash-nash al-Qur’an dan al-Hadis.
6.
Mengetahui nasikh wal mansukh, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis. Dengan begitu ia tidak akan mengeluarkan dalil-dalil yang telah dimansukh.
22
Syarifuddin, Amir. Op.Cit, hlm. 273
18
7.
Seorang mujtahid disyaratkan pula mempunyai sifat yang adil, jujur, berperangai baik dan menjauhi perbuatan maksiat. Menurut al-Ghazali, persyaratan tersebut diperlukan bagi mujtahid
mutlak, yakni mujtahid yang bermaksud melakukan ijtihad bagi semua lapangan hukum.
E. Objek Ijtihad Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum, baik sudah ada nashnya yang bersifat zanni maupun belum ada nash-nya sama sekali. Dalam pada itu ijtihad adalah dogma yang penting sekali bagi pembinaan dan perkembangan hukum islam. Terbuka bebasnya ijtihad dalam hukum islam, tidak berarti bahwa setiap orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang telah memiliki syarat-syarat tertentu pula, baik yang berhubungan dengan sikap ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan.23 Tidaklah semua hukum islam dapat dijadikan objek dalam berijtihad. Ada beberapa objek yang tidak diperbolehkan dilakukan ijtihad yakni: 1.
Hukum yang di bawa oleh Nash Qat’i.
2.
Hukum yang tidak dibawa oleh nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama. Namun sudah menjadi kesepakatan ulama24 Dikemukakan oleh Abdul Wahhab khallaf bahwa yang menjadi objek
ijtihad adalah masalah masalah yang tidak pasti (Zhanni) baik dari segi datangnya dari rosul, atau dari pengertiannya.25 Yang demikian dapat di kategorikan menjadi tiga macam: 1. 23
24 25
Hadist ahad Idrus H. Alkaf. Ijtihad Menjawab Tantangan Zaman (CV Ramadhani: Solo, 1988) hlm.19 Burhanidin.Fiqh Ibadah,Pustaka Setia,Bandung.cet.I.2001.hlm.133 Effendi, Satria.,M.Zein,M.A.Ushul Fiqh.Kencana,Jakarta.cet.3.hlm.250.251
19
2.
Lafadz atau redaksi Al qur’an dan hadits yang menunjukan pengertian secara zhanni.
3.
Masalah yang tidak ada teks ayat atau hadist dan tidak ada ijma yang menjelaskan hukumnya.26
F. Hukum melakukan Ijtihad Al Tayyib Khuderi al sayyid berpendapat bahwa hukum brerijtihad bagi seorang mujtahid dapat menjadi fardu’ain,fardu kifayah, dan busa mandub (sunat), dan bisa pula haram.27 Hukum melakukan ijtihad adalah fardu’ain dilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat menjadi mujtahid bilamana ada sesuatu yang membutuhkan jawaban darinya. Hukum yang dikeluarkan tersebut wajib diikuti dan tidak boleh bertaklid dengan mujtahid lain.28 Menurut para ulama29, bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad yaitu: 1. Fardu 'ain untuk berijtihad apabila permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya yang tidak boleh taqlid kepada orang lain. 2. Fardu 'ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut. 26
27 28
29
Ibid. hlm. 251 Satria Effendi,M.Zein, Op.Cit. hlm.255 Ibid Syafi’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS. (Pustaka Setia: Bandung, 2010) hlm. 107
20
3. Fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid. 4. Sunnah, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak. 5. Haram, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi'. Sehigga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara'.
G. Tingkatan Mujtahid Membahas peringkat mujtahid berkaitan erat dengan pemenuhan syarat yang dilakukan mujtahid diatas. Dibawah ini akan disebutkan peringkat mujtahid menurut Abu Zahrah dalam kitab Tarikh:30 6.
Mujtahid dalam hukum syara’ Mujtahid ini menggali, menemukan dan mengeluarkan hukumlangsung dari sumbernya. Ia menelaah hukum dari alquran dan meng istinbathkan hukum dari hadist nabi.
7.
Mujtahid mujtahid Mujtahid ini dalam berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta merode yang telah ditetapkan oleh mujtahid sebelumnya.
8.
Mujtahid mazhab Mujtahid ini mengikuti imam mazhabnya bernaung. Biasanya mujtahid pada tingkatan ini mempunyai ilmu yang luas tentang mazhabnya.
9.
Mujtahid murajjih
30
Syarifuddin, Amir. Op.Cit, hlm. 293
21
Mujtahid tingkatan ini berusaha menggali dan mengenal hukum furu, namun ia tidak sampai menetapkan sendiri hukumnya. 10. Mujtahid muwazzin Oleh Abu Zahrah disebut juga mustadillin yaitu ulama yang tidak mempunyai kemampuan untuk mentarjih. 11. Golongan huffaz Mujtahid golongan ini mempunyai kemampuan untuk menghafal mengingat hukum yang telah ditemukan imam mujtahid sebelumnya. 12. Golongan muqallid Golongan ini adalah gologan umat yang tidak memiliki kemampuan dalam melakukan ijtihad dan tidak punya kemampuan untuk mentahrij.
H. Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad31 Pada abad 4 Hijriah, Daulah Islamiah terbagi bagi menjadi beberapa Negara. Hal itu menyebabkan lemahnya kekuatan umat islam, karena hubungan diantara Negara-negara tersebut menjadi terputus. Selain itu, perkembangan keilmuan dan kebebasan berfikirpun menjadi lemah. Hal itu menyababkan timbulnya sikap loyal (ta'asub) dan fanatic yang sangat berlebihan para ulama pada saat itu terhadap madzhab mereka dan menjadikan mereka kurang percaya diri terhadap kemampuan mereka sendiri. Selain itu, diantara merekapun sering terjadi perdebatan dan perpecahan sehingga menyebabkan tidak tuntasnya berbagai permasalahan yang dihadapkan kepada mereka, dan mereka disibukkan dengan upaya menyusun berbagai kitab madzhab, bahkan merasa cukup dengan membuat berbagai ringkasan dari kitab-kitab imam madzhab mereka. Dan yang lebih parah lagi, 31
Syafi’i, Rachmat. Op.Cit. hlm. 109
22
mereka terlalu khawatir menyalahi berbagai ketetapan yang telah ditetapkan oleh imam madzhab. Semua itu menyebabkan mereka berpendirian bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan merasa bahwa mereka bukan ahli ijtihad. (Al Khudri: 319, As Subkhi: 119).
Para ulama dari golongan syi'ah berpendapat bahwa pernyataan tentang tertutupnya pintu ijtihad dan adanya pembatasan dalam berfikir pada abad ke empat adalah kesalahan besar. Padahal tiga abad sebelumnya pintu ijtihad selalu terbuka, yang menyebabkan berkembangnya keilmuan dan semakin menyabarkan syariat. (Hasyim: 359). Dengan demikian, dikalangan syi'ah, pintu ijtihad selalu terbuka bagi mereka yang ahli.
Menurut Imam Suyuthi, sebenarnya para ulama dari setiap madzhab telah sepakat bahwa setiap ijtihad itu hukumnya wajib dan taqlid adalah perbuatan tercela. Mereka pun melarang umat islam untuk taqlid buta terhadap pendapat mereka tanpa berfikir dan menyelidiki terlebih dahulu terhadap apa-apa yang telah difatwakan.
Menurut Al Baghawi dan Asy Syahrastani, dihukumi dosa jika tidak ada seorangpun dari kaum muslimin yang mempelajari fatwa para ulama terdahulu. Hal itu dianggap meremehkan hukum syara'. Disamping semakin berkembangnya permasalahan yang tidak sama dengan waktu-waktu tertentu. Yang sudah pasti memerlukan ijtihad untuk memecahkannya.
23
Bab III Penutup A. Kesimpulan Ijtihad berasal dari kata (ijtahada) ااججتْدهدهه هددyang artinya ialah: bersungguh sungguh, rajin, giat. Apabila kita meneliti makna kata ja-ha-da maka artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Dengan demikian secara bahasa, ijtihad ialah berusaha atau berupaya dengan bersungguh-sungguh, tentu saja perkataan ini tidak digunakan pada sesuatu yang mudah dan mengandung kebenaran.
24
Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Nasrudin Rusli, ijtihad hanya berlaku pada upaya yang sulit dilakukan, ia mencontohkan:
َارمجتْحتحهحد فرى ححممرل حححجرر الرححا “Ia mengerahkan kemampuannya untuk mengangkat batu penggilingan” Maka tidak dikatakan ijtihad pada suatu pekerjaan yang ringan, seperti mengangkat sebutir biji sawi, tidak dapat dikatakan:
ارمجتْحتحهحد فرى ححممرل حخمرحدلحةة “Ia mengerahkan tenaga untuk mengangkat biji sawi” Dalam sejarah perkembangan hukum islam ijtihad menjadi istilah hukum tertentu, yang berarti suatu jalan pengambilan hukum dengan Al-Qur’an, AsSunnah dan akal. Adapun adanya ijtihad secara tegas dan jelas menurut sejarah hukum islam adalah tentang Tanya jawab Nabi SAW dengan sahabat Mu’az bin Jabal R.a sewaktu ditunjuk oleh Nabi dengan gubernur atau hakim di Yaman. Imam asy-Syafi’i membatasi ijtihad hanya dalam pengertian menggali hukum dari nash al-Qur’an dan as-Sunnah melalui cara qiyas saja, bukan yang lain. Ketika ada yang bertanya kepadanya, apakah yang dimaksud dengan qiyas? Apakah ia sama dengan ijtihad ataukah keduanya berbeda? Ia menjawab : “Huma isman li-ma’na wahid (keduanya adalah dua nama untuk satu pengertian). Dengan demikian, asy-Syafi’i menggunakan istilah ijtihad dalam pengertian sempit, hanya pada pengertian qiyas saja, dan tidak memakai metode penalaran hukum yang berdasarkan metode Istihsan atau maslahah al-mursalah. Ad-Duwailibi, ijtihad dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu Al-Ijtihad al-Bayani, Al-ijtihad al-Qiyasi, dan Al-Ijtihad al-Istishlahi. Ijtihad berdasarkan bentuk karya ijtihadnya, menurut Abu Zahrah, seperti yang dikutip Amir Syarifuddin, terbagi dalam dua jenis yatu: Ijtihad Istinbathi, dan Ijtihad Tathbiqi. Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Di antara
25
metode atau cara berijtihad adalah (1) ijma’, (2) qiyas, (3) istidal, (4) almasalih al-mursalah, (5) istihsan, (6) istishab, (7) ‘urf dan (8) lain-lain. Menurut al-Syaukani untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima persyaratan, yaitu mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengetahui Ijma’, mengetahui Bahasa Arab, mengetahui ilmu Ushul Fiqih, dan mengetahui Nasikh-Mansukh. Menurut al-Ghazali, persyaratan tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak, yakni mujtahid yang bermaksud melakukan ijtihad bagi semua lapangan hukum. Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum, baik sudah ada nashnya yang bersifat zanni maupun belum ada nash-nya sama sekali. Tidaklah semua hukum islam dapat dijadikan objek dalam berijtihad. Ada beberapa objek yang tidak diperbolehkan dilakukan ijtihad yakni: Hukum yang di bawa oleh Nash Qat’I, Hukum yang tidak dibawa oleh nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama. Namun sudah menjadi kesepakatan ulama Dikemukakan oleh Abdul Wahhab khallaf bahwa yang menjadi objek ijtihad adalah masalah masalah yang tidak pasti (Zhanni) baik dari segi datangnya dari rosul, atau dari pengertiannya. Menurut para ulama, bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad yaitu: Fardu 'ain, Fardu kifayah, Sunnah, dan Haram. Peringkat mujtahid menurut Abu Zahrah dalam kitab Tarikh: Mujtahid dalam hukum syara’, Mujtahid mujtahid, Mujtahid mazhab, Mujtahid murajjih, Mujtahid muwazzin, Golongan huffaz, dan Golongan muqallid. Para ulama dari golongan syi'ah berpendapat bahwa pernyataan tentang tertutupnya pintu ijtihad dan adanya pembatasan dalam berfikir pada abad ke empat adalah kesalahan besar. Padahal tiga abad sebelumnya pintu ijtihad selalu terbuka, yang menyebabkan berkembangnya keilmuan dan semakin menyabarkan syariat. (Hasyim: 359). Dengan demikian, dikalangan syi'ah, pintu ijtihad selalu terbuka bagi mereka yang ahli.
Menurut Al Baghawi dan Asy Syahrastani, dihukumi dosa jika tidak ada seorangpun dari kaum muslimin yang mempelajari fatwa para ulama
26
terdahulu. Hal itu dianggap meremehkan hukum syara'. Disamping semakin berkembangnya permasalahan yang tidak sama dengan waktu-waktu tertentu. Yang sudah pasti memerlukan ijtihad untuk memecahkannya.
B. Saran Jika dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan seperti penulisan huruf, ejaan, dan sebagainya, kami mengharapkan Kritik dan Saran yang bersifat Positif atau membangun. Karena pengetahuan kami sebagai penulis juga masih kurang dan juga masih dalam pembelajaran. Maka dari itu kami sangat berharap kritik dan saran dari segala pihak agar kami bisa mengetahui dimana kekurangan dari makalah ini. Terima kasih atas partisipasinya semoga makalah ini berguna untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqh.
Daftar Pustaka
27
Idrus H. Alkaf. 1988, Ijtihad Menjawab Tantangan Zaman, Solo : CV Ramadhani Syafi’i, Rachmat. 2010, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia Amir, Syarifuddin. 2008, Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana Effendi, Satria. 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Effendi, Satria.,M.Zein,M.A.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana,.cet.3 Muchtar, Kamal. Ushul Fiqh, Jilid 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf Dahlan , Abd. Rahman. 2010, Ushul Fiqh, Jakarta: AMZAH Ali, Mohammad Daud. 1998, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rohayana,Ade Dedi. 2005, Ilmu Usul Fiqih, Pekalongan: STAIN Press Kamiluddin, Uyun, 2006, Menyorot Ijtihad Persis, Bandung: Tafakur Burhanidin. 2001, .Fiqh Ibadah, Bandung :Pustaka Setia,.cet.I
28