Menyikapi Kasus Hiv Pada Bayi Di Banten

  • Uploaded by: Syaiful W. HARAHAP
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Menyikapi Kasus Hiv Pada Bayi Di Banten as PDF for free.

More details

  • Words: 963
  • Pages: 4
Banten

Menyikapi Kasus HIV pada Bayi di Banten Oleh Syaiful W. Harahap*

Pertumbuhan industri di Prov. Banten yang sangat pesat menjadi salah satu daerah tujuan pekerja dari berbagai pelosok di Tanah Air. Selain sebagai daerah industri dengan tenaga kerja pendatang kawasan ini pun menjadi tempat persinggahan (transit) angkutan darat, terutama truk, lintas P. Jawa ke P. Sumatera dan sebaliknya. Awak-awak angkutan darat ini bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV dari daerah pada jalur angkutan darat ke Banten dan sebaliknya. Hari ini diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia secara internasional mengajak kita merenungkan perilaku agar menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV.

Kasus HIV yang terdeteksi pada bayi menunjukkan perilaku orang tuanya (ayah) berisiko karena bayi tertular HIV dari ibunya, sedangkan si ibu tertular HIV dari suaminya. Jika seorang bayi terdeteksi HIV-positif maka sudah ada tiga yang HIV-positif. Maka, kalau di Banten terdeteksi 10 bayi yang HIV-positif maka sudah ada 30 penduduk Banten yang HIV-positif. Angka ini tidak menggambarkan angka yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil sedangkan yang di bawah permukaan jauh lebih besar (banyak). Sampai Agustus 2009 di Prov. Banten sudah terdeteksi 1.450 kasus HIV/AIDS, 52 meninggal. Infeksi Baru Pekerja pendatang di Banten banyak yang hidup melajang baik yang masih perjaka atau yang meninggalkan istri di kampung. Kondisi ini bisa menjadi faktor

1

pendorong bagi pekerja pendatang untuk mencari penyaluran hasrat seksualnya. Salah satu sasaran mereka adalah PSK. Di Indonesia diperkirakan ada 3,3 juta laki-laki ‘hidung belang’ yang menjadi pelanggan PSK. Celakanya, hanya 1,3 persen dari ‘hidung belang’ itu yang memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan PSK. Kondisi itu mendorong penyebaran HIV. Laki-laki yang mengidap HIV akan menularkan HIV kepada PSK. Kemudian, PSK yang tertular HIV dari laki-laki akan menularkan HIV pula kepada laki-laki lain yang mengencaninya tanpa kondom. Laki-laki yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa mereka sadari karena tidak ada ciri-ciri khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, selingkuhannya atau PSK (horizontal). Data April 2009 menunjukkan di Banten sudah terdeteksi 10 ibu rumah tangga (istri) HIV-positif. Mereka tertular dari suami-suami mereka. Istri yang tertular akan menurlarkan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Februari 2009 seorang bayi berumur 1 tahun 9 bulan meninggal di RSUD Cilegon karena penyakit terkait AIDS. Yang tidak beristri bisa menularkan HIV kepada pacarnya atau PSK. Epidemi HIV kian ’liar’ karena tempat operasi PSK tidak bisa dipantai secara langsung. Ini terjadi karena lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup. Seperti di Kota Tangerang, misalnya, ada Perda anti pelacuran. Ada anggapan kalau lokasi atau lokalisasi pelacuran di satu daerah tidak ada maka daerah itu bebas dari pelacuran. Ini ngawur karena praktek pelacuran bisa terjadi di mana sana dan kapan saja. Karena hubungan seks yang berisiko terus terjadi, seperti praktek-praktek pelacuran, maka penyebaran HIV pun terus pula terjadi. Ini mendorong kasus infeksi baru di kalangan dewasa. Keberhasilan Thailand dalam menekan kasus infeksi baru HIV di kalangan dewasa adalah dengan mewajibkan semua laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan PSK yang dikenal sebagia ’program wajib kondom 100 persen’. Program ini diadopsi oleh 32 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota melalui peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Tentu saja program ini

2

tidak berhasil seperti di Thailand karena penerapannya tidak bisa dilakukan secara efektif. Soalnya, di Indonesia tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ’resmi’. Rekomendasi Tes HIV Pemantauan program itu tidak bisa dilakukan kepada orang per orang tapi dilakukan terhadap PSK yang terdaftar di lokalisasi atau rumah bordir. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) maka itu menandakan ada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom. Pengelola lokalisasi atau rumah bordir akan diberi peringatan sampai pada penutupan usaha. Karena penyebaran HIV sudah terjadi di masyarakat luas, maka perlu ditingkatkan upaya untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan. Upaya dilakukan melalui penyuluhan yang gencar dan berkesinambungan dengan materi HIV/AIDS yang akurat. Selama ini penyuluhan tidak efektif karena materinya dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga menghilangkan fakta dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah). Keberhasilan

Thailand

menanggulangai

epidemi

HIV

adalah

dengan

meningkatkan meningkatkan peran media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS

di sekolah,

pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks. Celakanya, di Indonesia program penanggulangan dijalankan secara parsial dan sporadis. Bahkan, program penanggulangan mengekor ke ekor program Thailand yaitu ‘program kondom 100 persen di lingkungan industri seks’. Akibatnya, muncul protes dan penolakan yang kuat terhadap kondom. Ini terjadi karena masyarakat belum memahami cara-cara pencegahan yang akurat sebagai akibat dari pemberian materi KIE yang moralistik. 3

Selama ini kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi melalui survailans tes terhadap kalangan tertentu, seperti pekerja seks komersial (PSK), waria dan karyawan tempat hiburan. Ada pula yang terdeteksi di rumah sakit ketika mereka berobat karena penyakitpenyakit yang terkait dengan gejala AIDS, seperti sariawan, diare, TB, pneumonia, dll. Penyakit-penyakit ini tidak masalah pada orang yang tidak mengidap HIV, tapi sangat sulit disembuhkan pada orang-orang yang sudah mengidap HIV. Kemudian dikembangkan pula tes HIV sukarela dengan konseling gratis yang dikenal sebagai ‘klinik VCT’. Ini pun tetap saja pasif karena menunggu orang yang perilakunya berisiko untuk mau menjalani tes HIV. Akibatnya, banyak kasus HIV yang tidak terdeteksi. Belakangan dikembangkan cara baru yaitu atas rekomendasi atau inisiatif petugas kesehatan yang dikenal sebagai Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Dokter yang melihat gejala AIDS pada pasien dengan riwayat perilaku yang berisiko dianjurkan tes HIV. Ini langkah baru mendeteksi kasus HIV di masyarakat. *** * Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.

4

Related Documents


More Documents from ""