Bekasi, Jawa Barat
Menyikapi Kasus AIDS di Kota Bekasi Oleh Syaiful W. Harahap*
Dari 1.148 HIV/AIDS yang terdeteksi di Kota Bekasi ternyata kasus AIDS lebih banyak daripada kasus HIV-positif. Apakah Perda Kota Bekasi No 3/2009 tanggal 10/6-2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Bekasi bisa menanggulangi epidemi HIV di Kota Bekasi? Hari ini kita memperingati Hari AIDS Sedunia yang dirayakan secara internasional. Marilah kita mengkaji perilaku kita sebagai bagian dari upaya memutus mata rantai penyebaran HIV.
Laporan Dinkes Kota Bekasi sampai November 2009 dari 1.148 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Bekasi ada 582 kasus AIDS dan 566 kasus HIV-positif. Ini menunjukkan penduduk yang terdeteksi sudah mencapai masa AIDS. Perjalanan dari terinfeksi HIV sampai masa AIDS memerlukan waktu antara 5 – 15 tahun. Berarti 465 penduduk yang terdeteksi HIV pada masa AIDS itu tanpa disadari mereka sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pasangan seks lain atau pekerja seks komersial (PSK). Kalau istri tertular maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal). Ini terbukti karena di Kota Bekasi sudah terdeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan balita. Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pacarnya atau PSK. Perilaku Berisiko Angka-angka yang terdeteksi itu pun tidak menggambarkan jumlah penduduk yang tertular HIV di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagai kecil dari kasus yang ril. Kasuskasus yang tidak terdeteksi itulah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran HIV
1
secara diam-diam. Ini terjadi karena orang-orang yang sudah tertular HIV banyak yang tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Dalam kaitan inilah diperlukan kerja keras untuk mendorong penduduk yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalani tes HIV secara sukarela. Di Bekasi sudah ada beberapa tempat tes HIV yang gratis yang dikenal sebagai ”Klinik VCT”. Orang-orang yang dianjurkan menjalani tes HIV adalah: (a) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK; dan (b) laki-laki atau perempuan yang pernah memakai jarum suntik secara bergiliran dengan bergantian, terutama di kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Karena kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba ada kesan bahwa kasus terkonsentrasi di kalangan ini. Memang, angka menunjukkan dari 465 kasus AIDS ada 360 yang terdeteksi di kalangan pengguna narkoba (77,42 persen). Tapi, tunggu dulu. Kasus HIV dan AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba karena pengguna narkoba wajib tes HIV jika hendak masuk ke pusat rehabilitasi. Sebaliknya, kasus HIV dan AIDS di kalangan remaja dan dewasa yang tertular melalui hubungan seks tidak banyak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang bisa ’memaksa’ penduduk yang perilakunya berisiko tinggi untuk menjalani tes HIV. Kasuskasus HIV dan AIDS di kalangan remaja dan dewasa yang tertular melalui hubungan seks kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. Penemuan kasus AIDS di Kota Bekasi menunjukkan kesadaran banyak orang terhadap perilaku berisiko sangat rendah. Ini terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV dan AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, materi KIE selalu mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, ’seks bebas’, ’seks menyimpang’ dan homoseksual. Padahal, sama sekali tidak ada kaitan langsung antara zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, ’seks bebas’, ’seks menyimpang’ dan homoseksual dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap
2
kali sanggama. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV hanya terdapat dalam cairan darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Maka, penularan HIV (bisa) terjadi kalau darah, air mani, cairan vagina, atau ASI yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh. Ini bisa terjadi di dalam atau di luar nikah. Lokalisasi Pelacuran Ketika Thailand dikabarkan bisa menurunkan kasus penularan HIV pada laki-laki dewasa melalui program wajib kondom 100 persen maka beberapa daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia pun mengadopsi program ini dalam Perda. Sudah 32 daerah yang menelurkan Perda AIDS termasuk Kota Bekasi. Apakah perda-perda itu bisa meredam epidemi HIV? Tentu saja tidak karena program yang ditiru itu merupakan ekor dari serangkaian program yang dijalankan pemerintah Thailand secara konsisten. Dimulai dengan penyuluhan yang terus-menerus melalui media massa, pendidikan sebaya, dst. sampai pada program kondom 100 persen. Semua program dijalankan bersamaan. Sedangkan di Indonesia program pencegahan dan penanggulangan dijalankan secara parsial dan sporadis. Akibatnya, masyarakat tidak memahami HIV/AIDS secara akurat. Dalam Perda AIDS Kota Bekasi tentang pencegahan dan penanggulanan di pasal 6 ayat d disebutkan “mengembangkan pelaksanaan program penggunaan pengaman dalam melakukan hubungan seksual berisiko ....” Ini mengacu ke program Thailand. Tapi, ini ngawur karena program itu dijalankan Thailand di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga ada mekanisme untuk mengontrol penggunaan kondom. Caranya dengan melakukan tes silifis dan GO terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap sifilis atau GO maka itu menunjukkan ada PSK yang meladeni laki-laki yang tidak memakai kondom. Pengelola lokalisasi dan rumah bordir diberi sanksi sampai penutupan usaha. Di Indonesia program ini tidak bisa jalan karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang ’resmi’. Di pasal 14 ayat 1 disebutkan: ”Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan keimanan, ketakwaan dan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS.” Ini mendorong stigmatitasi
3
(pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup sehat dengan penularan HIV karena HIV juga bisa menular melalui transfusi darah, jarum suntik, cangkok organ tubuh dan alat-alat kesehatan. Bagaimana caranya dan siapa yang bisa mengukur tingkat keimanan, ketakwaan dan ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV? Lagilagi ini merendahkan martabat Odha karena ada kesan mereka terular HIV karena tidak beriman dan bertakwa serta tidak mempunyai ketahanan keluarga. Sudah saatnya digalakkan penyuluhan yang terus-menerus dengan materi KIE tentang HIV/AIDS yang akurat masyarakat memahami HIV/AIDS dengan benar. Pengetahuan yang benar tentang HIV dan AIDS merupakan salah satu langkah untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Makin banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. *** * Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.
4