OPINI Tidak Ada Kaitan AIDS dengan Agama Thursday, 08.07.2008, 04:42pm (GMT+7) Oleh: Syaiful W. Harahap* Tapi, apa yang terjadi kemudian? Berita "Jihad Lawan HIV/AIDS" di Harian "Fajar Banten" (9 Juli 2008) menunjukkan sebaliknya. Agama justru dipakai untuk ‘memerangi’ AIDS dengan memakai istilah jihad dalam menanggulangi HIV/AIDS. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara agama dengan penularan HIV. Penggunaan kata jihad akan menimbulkan stigma baru terhadap HIV/AIDS karena mengesankan HIV/AIDS sebagai ‘musuh Islam’. Pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI Oktober 2001 di Australia Direktur Eksekutif UNAIDS (badan dunia di bawah PBB yang mengurus masalah HIV/AIDS), Dr. Peter Piot, sudah mengingatkan agar Indonesia memperhatikan epidemi HIV dengan serius karena pertambahan kasus infeksi HIV baru di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Lagi-lagi peringatan itu dianggap sebagai ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Peringatan Piot terutama terkait dengan kasus HIV yang banyak terdeteksi di kalangan penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik. Kalau saja pemerintah mendengarkan peringatan itu tentulah penyebaran HIV melalui penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik tidak seperti sekarang ini. Dari data yang dikeluarkan Ditejn PPM&PL, Depkes RI, menunjukkan dari 11.868 kasus AIDS yang dilaporkan sampai 31 Maret 2008 yang terdeteksi di kalangan penyalahguna narkoba suntik mencapai 5.834 atau 49,16 persen secara nasional. Angka ini hanya yang dilaporkan. Masih ada angka yang belum terdeteksi atau yang tidak dilaporkan oleh rumah sakit, dokter, atau panti rehabilitiasi narkoba yang mendeteksi kasus AIDS. Sebagai fakta medis HIV/AIDS tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral dan agama. Maka, dengan memakai kata jihad dalam menanggulangi HIV/AIDS mengesankan hanya agama Islam yang terkait dengan HIV/AIDS karena jihad merupakan terminologi yang dipakai dalam agama Islam. Epidemi HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan agama. Selain itu pemakaian kata jihad dalam penanggulangan HIV/AIDS pun akan menimbulkan stigma (cap buruk) pada diri Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Jika jihad dilakukan terhadap HIV/AIDS tentulah secara langsung terkait dengan Odha karena HIV/AIDS ada pada diri Odha. Tidak bisa memerangi HIV/AIDS terlepas dari diri orang yang mengidapnya. Selama ini ada kesan penularan HIV terjadi karena perilaku yang terkait dengan moral.
Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks, baik di dalam maupun di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Dalam kaitan ini jelas tidak ada kaitannya dengan norma, moral, dan agama karena pada banyak kasus penularan terjadi tanpa disadari karena pasangan itu tidak mengetahui dirinya sudah tertular HIV. Inilah persoalan besar dalam epidemi HIV. Pertanyaannya kemudian adalah: Mengapa banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV? Seseorang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada masa AIDS sudah mulai ada penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, jamur, TB, dll. Penyakit ini sulit disembuhkan karena daya tahan tubuh sudah rusak yang ditandai dengan kerusakan yang besar pada sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih yang menjadi benteng dalam tubuh rusak karena dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan dirinya. Penyebaran HIV kian tidak terkendali karena penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari. Ini terjadi karena biar pun tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV, tapi pada rentang waktu sebelum masa AIDS sudah bisa terjadi penularan HIV. Kondisi inilah yang tidak dipahami banyak orang karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS sering dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah tertular HIV. Ini fakta medis. Hal ini sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, moral, dan agama. Masalah besar dalam epidemi HIV adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dengan mata telanjang karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka. Dalam kaitan inilah sering terjadi penularan HIV tanpa disadari karena ada yang melakukan hubungan seks, baik di dalam maupun di luar nikah, dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya. Kegiatan ini dikenal sebagai perilaku yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV yaitu (a) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, dan (b) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pelaku kawin-cerai dan pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka HIV-positif.
Kalau jihad akan tetap dipakai dalam penanggulangan HIV maka yang diperangi dengan jihad bukan HIV sebagai virus atau Odha sebagai pengidap HIV tapi perilaku yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV. Tapi, tunggu dulu. Bagaimana caranya menerapkan jihad untuk menghentikan perilaku berisiko pada diri orang per orang? Tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Yang diperlukan bukanlah jihad tapi meningkatkan penyuluhan dengan materi informasi HIV/AIDS yang akurat agar masyarakat, terutama yang perilakunya berisiko tinggi, memahami risiko yang dihadapinya akibat perilakunya. Pada gilirannya mereka diajak untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Orang-orang yang terdeteksi HIV-positif akan diajak untuk memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Maka, semakin banyak kasus HIV yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV secara horisontal di masyarakat dapat diputus. Namun, penggunaan kata jihad akan menambah ‘keangkeran’ HIV/AIDS. Padahal , sebagai virus HIV tidak berbeda dengan virus, kuman atau bakteri lain yang dapat dicegah tanpa harus mengait-ngaitkannya dengan norma, moral, dan agama. *** * Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) "InfoKespro" Jakarta. [Sumber: http://www.gemadepok.com/index.php?mod=article&cat=Opini&article=41]