HIV/AIDS SEDUNIA Menguji Peran Perda HIV/AIDS di Sulut Oleh Syaiful W Harahap PEMPROV Sulawesi Utara (Sulut) akhirnya menelurkan Perda No 1/2009 tentang Pencegahan dan Penang-gulangan HIV/AIDS yang disahkan tanggal 22 Juli 2009 silam. Sampai saat ini sudah 32 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang mempunyai Perda penang-gulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Apakah perda-perda itu bisa ’bekerja’ menanggulangi epidemi HIV? Hari AIDS Sedunia yang diperingati secara internasional hari ini mengajak kita merenungkan perilaku agar menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Ketika kasus HIV/AIDS di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari banyak kalangan yang justru menampik dan menyangkal ’kehadiran’ HIV/AIDS di negeri yang selalu menonjolkan diri sebagai negara yang berbudaya timur ini. Bahkan, ketika Dr Peter Piot, ketika itu Direktur Eksekutif UNAIDS (badan khusus PBB yang menangani AIDS), mengingatkan agar pemerintah Indonesia menangani kasus HIV/AIDS karena pertambahannya yang sangat cepat terutama di kalangan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik di Melbourne, Australia (2001) Indonesia tetap tidak bergeming. Anjing menggonggong kafilah berlalu. MEMANTAU KONDOM Apa yang terjadi kemudian? Saat ini pertambahan kasus HIV/AIDS di Indonesia merupakan yang tercepat ketiga di Asia setelah India dan Cina. Namun, untuk menghadapi realitas tersebut penanggulangan tetap saja mengedepankan norma, moral, dan agama. Berbagai kegiatan, seperti penyuluhan, seminar, dll. terkait HIV/AIDS tetap tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan, dalam beberapa Perda penanggulangan AIDS tetap saja moral yang diutamakan sebagai cara mencegah penularan HIV. Lihat saja Perda AIDS Riau No 4/2006 pada Pasal 5 disebutkan: Pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara: a. Meningkatkan Iman dan Taqwa; b. Tidak melakukan hubungan seksual di luar perkawinan yang sah; c. Setia pada pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas; d. Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. Point a, b, dan d jelas tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara iman dan taqwa, hubungan seks di luar nikah, serta seks bebas dengan penularan HIV. HIV sebagai virus menular melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan di luar nikah. Pada Perda AIDS Sulut di Pasal 8 ayat a disebutkan: “HIV-AIDS dapat menular kepada orang lain melalui hubungan seksual yang tak terlindungi.” Ini tidak akurat karena yang menjadi faktor pemicu penularan harus ada
yang mengidap HIV. Salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif baru ada risiko penularan. Itu pun bisa terjadi jika mereka tidak memakai kondom. Lagi pula bagaimana menakar atau mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Point a ini mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Ada kesan orang-orang yang tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa. Ini menyesatkan. Point d merupakan salah satu langkah untuk mendorong masyarakat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Seperti juga pada Pasal 13 ayat 2 (a) disebutkan: “mewajibkan setiap individu yang melakukan hubungan seksual berisiko untuk menggunakan kondom”. Persoalannya adalah bagaimana memantau perilaku orang per orang dalam melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah? Pasal ini merupakan adopsi dari ’program wajib kondom 100 persen’ di Thailand. Awal dekade 2000-an dikabarkan Thailand berhasil menurunkan infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program wajib kondom 100 persen di Thailand merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Program yang dijalankan Thailand secara simultan dan konsisten adalah: meningkatan peran media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks. Program dijalankan Thailand di lokaliasi pelacuran dan rumah bordir sehingga pemantauan ketaatan pelanggan bisa dilakukan. Pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di lokalisasi dan rumah bordir menjalani tes survailans IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatis B, dll.) secara rutin. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan bahwa ada PSK yang melakukan hubungan seks dengan pelanggan yang tidak memakai kondom. Pengelola lokalisasi dan rumah bordir yang terdeteksi ada PSK-nya yang mengidap IMS akan diberi peringatan sampai penutupan usaha. PRAKTEK PELACURAN Karena pemantauan terhadap ketaatan memakai kondom pada hubungan seks berisiko bukan terhadap orang per orang, maka pasal 13 ayat 2 (a) itu pun tidak efektif. Lagi pula terjadi penolakan besar-besaran terhadap sosialisasi kondom sebagai alat mencegah HIV melalui hubungan seks. Kalangan yang kontra menganggap kondom akan mendorong orang berzina dan melegalkan pelacuran. Ini pendapat yang keliru dan menyesatkan
karena laki-laki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Lagi pula tidak ada bukti yang menunjukkan orang akan (otomatis) berzina atau melacur jika mengantongi kondom. Dalam Perda AIDS Sulut ada beberapa pasal yang menyebutkan ’tempat yang beresiko terhadap penularan HIV-AIDS’. Ini bahasa moral yang tidak menyentuh realitas. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara tempat dengan penularan HIV. Di mana saja dan kapan saja penularan HIV bisa terjadi. Dalam sidang pengesahan perda pun dikabarkan semua fraksi di DPRD Prov. Sulut: “ .... dengan tegas menolak lokalisasi.” Ini lagi-lagi ambiguitas. Di satu sisi praktek-praktek pelacuran marak di depan mata, tapi di sisi lain ada penolakan terhadap lokalisasi yang dianggap sebagai simbol pengakuan terhadap pelacuran. Kalau saja Perda AIDS Sulut ini tidak bermuatan moral tapi mengutamakan fakta medis terkait epidemi HIV tentulah tidak ada istilah ’tempat yang beresiko terhadap penularan HIV-AIDS’. Istilah ini merupakan eufemisme terhadap lokasi atau lokalisasi pelacuran dan tempat hiburan (malam). Ada kesan bahwa kalau di satu daerah tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran maka daerah itu bersih dari pelacuran. Apakah kesan itu benar? Tidak! Soalnya, praktek pelacuran bisa terjadi di mana saja. Praktek pelacuran dapat dilakukan dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung (seperti ’anak sekolah’, ’ayam kampus’, karyawati bar dan panti pijat, ’ibu rumah tangga’, dll.). Jika ditilik dari aspek kesehatan masyarakat maka praktek-praktek pelacuran yang tidak dilokalisir justru menjadi sumber penularan IMS dan HIV karena tidak ada mekanisme kontrol terhadap perilaku seks PSK dan pelanggan. Penyakit IMS pada PSK langsung dan PSK tidak langsung tidak bisa dimonitor. IMS pada PSK merupakan salah satu indikasi terhadap HIV. Andaikan laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK juga mengidap HIV maka ada kemungkinan juga terjadi penularan HIV sekaligus ketika terjadi penularan IMS. Selanjutnya, laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari berperan sebagai suami, lajang, atau duda akan berisiko pula tertular HIV jika mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung. Berikutnya, laki-laki yang tertular IMS dan HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Mata rantai penyebaran HIV pun akan terus terjadi sehingga menambah kasus infeksi baru di kalangan dewasa tanpa bisa dikontrol karena semua terjadi tanpa disadari. Untuk itulah perlu digencarkan sosialisasi HIV/AIDS dengan materi yang akurat, al.
melalui media massa agar tingkat pemahaman masyarakat luas terhadap HIV/AIDS meningkat. Dengan pemahaman yang komprehensif diharapkan orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko mau menjalani tes HIV secara sukarela. Sekarang sudah tersedia tempat tes sukarela dengan bimbingan gratis yang dikenal sebagai klinik VCT. Tapi, banyak kalangan yang menilai tes HIV yang selama ini dijalankan tidak efektif karena menunggu kesadaran orang per orang untuk memeriksakan diri. Belakangan dikembangkan cara baru yaitu atas rekomendasi atau inisiatif petugas kesehatan yang dikenal sebagai Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Dokter yang melihat gejala AIDS pada pasien dengan riwayat perilaku yang berisiko dianjurkan agar menjalani tes HIV. Ini langkah baru mendeteksi kasus HIV di masyarakat. Karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es, maka kian banyak kasus yang terdeteksi semakin banyak pula mata rantai penularan HIV yang diputus. Pada gilirannya kasus infeksi baru HIV di kalangan dewasa dapat diturunkan. Orangorang yang terdeteksi HIV pun akan segara mendapatkan perawatan dan pengobatan sehingga mereka tetap bisa hidup produktif. (penulis, koresponden khusus kesehatan SKH Swara Kita di Jakarta) [Sumber: Harian “Swara Kita”, Manado, 1 Desember 2009]