Kalimantan Selatan
Menyibak Penyebaran HIV/AIDS di Kalsel Oleh Syaiful W. Harahap*
“HIV/AIDS di Kalsel di Bawah Formula WHO.” Itulah judul berita yang disiarkan sebuah kantor berita nasional (13/7-2009). Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat. Hari ini dunia memperingati Hari AIDS Sedunia sebagai upaya untuk mengajak masyarakat dunia bersatu menanggulangi epidemi HIV.
Laporan Ditjen PPM & PL Depkes RI menunjukkan jumlah kumulatif kasus AIDS yang sudah dilaporkan di Kalimantan Selatan (Kalsel) 27. Sedangkan laporan Dinkes Kalsel sampai Juli 2009 terdeteksi 124 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas92 HIV dan 32 AIDS. Angka ini hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Laki-laki Penular Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ’tersembunyi’ di masyarakat. Pada kasus yang sudah terdeteksi penyebaran HIV berhenti sampai pada mereka. Sedangkan penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk secara horizontal. Mereka ini bisa sebagai seorang suami, lajang atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, sopir, nelayan, petani, dll. Penyebaran HIV secara diam-diam di masyarakat bisa terjadi karena banyak orang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Penularan HIV terus terjadi tanpa bisa dideteksi karena orang yang tertular tidak merasa dirinya tertular HIV.
1
Selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS kabur, tapi mitos (anggapan yang salah) justru tumbuh subur. Akibatanya, fakta tentang cara-cara penularan dan pencegahan pun tidak dipahami masyarakat. Banyak orang yang melihat HIV sebagai ’penyakit moral’ akibat zina, pelacuran, ’seks bebas’, ’jajan’, ’seks menyimpang’, homoseksual, dll. Padahal, penularan HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan ’penyakit moral’ akibat zina, pelacuran, ’seks bebas’, ’jajan’, ’seks menyimpang’, homoseksual. Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang juga menyesatkan banyak orang sehingga melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Yaitu melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK. Tapi, karena mereka, para laki-laki ’hidung belang’ merasa tidak melakukannya dengan PSK di lokalisasi pelacuran maka mereka pun merasa aman. Ini terjadi karena mitos yang menyebutkan HIV menular karena pelacuran. Biar pun di Kalsel tidak ada lokalisasi pelacuran tidak berarti penduduknya tidak pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Penduduk Kalsel bepergian ke luar daerah atau luar negeri. Kalau ada penduduk Kalsel yang tertular HIV di luar Kalsel maka dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Kalsel. Ada pula pendatang dari luar daerah atau luar negeri. Kalau di antara pendatang itu ada yang HIVpositif kemudian melakukan perilaku berisiko di Kalsel maka ada risiko penularan tehadap penduduk Kalsel. Terkait dengan PSK ada pula fakta yang digelapkan sehingga mengaburkan realitas terkait penyebaran HIV. Ada kesan PSK sebagai biang keladi penyebaran HIV. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang HIV-positif yang bisa saja penduduk lokal atau pendatang. Kemudian ada lagi laki-laki lain, penduduk lokal atau pendatang, yang tertular HIV karena melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK yang sudah tertular HIV. Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Tes Rekomendasi
2
Fakta inilah yang sering luput dari perhatian banyak pihak. Ketika PSK menjalani survailans dan ditemukan kasus HIV/AIDS terjadi kegemparan di masyarakat yang dipicu oleh pemberitaan media massa. Padahal, ada laki-laki penduduk lokal yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK. Selanjutnya laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menularkan HIV kepada istirnya. Jika istrinya tertular maka ada pula risiko penularan secara vertikal kepada bayi yang dikandungnya. Laki-laki tadi mungkin juga mempunyai pasangan seks lain, seperti istri poligami, pacar, selingkuhan serta PSK sehingga jumlah yang tertular kian banyak. Kasus HIV/AIDS yang ditemukan pada bayi menunjukkan ayah dan ibu bayi itu HIV-positif. Anak-anak yang mengidap HIV kelak akan menjadi yatim-piatu karena orang tua mereka meninggal karena penyakit yang terkait AIDS. Anak-anak itu kelak akan menghadap masalah besar karena bisa jadi keluarganya menolak mengasuh, panti asuhan pun menolaknya. Depsos tidak wajib menanganinya karena mereka bukan penyandang masalah sosial. Begitu pula dengan Depkes juga tidak bisa menanganinya karena anak-anak itu ’sehat’. Salah satu langkah untuk memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk adalah dengan mendeteksi sebanyak mungkin penduduk yang tertular HIV. Selama ini pendeteksian bersifat pasif. Kasus-kasus banyak terdeteksi di rumah sakit pada tahap AIDS karena mereka sudah menderita infeksi-infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, pneumonia, TB, dll. Sedangkan kasus HIV-positif terdeteksi melalui survailans tes terhadap kalangan tertentu, seperti pekerja seks komersial (PSK), waria dll. Sejak ada dana dari donor mulailah dikembangkan tes HIV sukarela dengan konseling gratis yang dikenal sebagai ’klinik VCT’. Ini pun sifatnya pasif karena menunggu orang datang untuk tes. Di sini ada pemicu yaitu LSM diikutkan untuk menjangkau ke berbagai kalangan yang dinilai perilakunya bisa berisiko tertular HIV, seperti PSK, waria, dan pengguna narkoba dengan jarum suntik. Mereka ini disuluh agar menyadari risiko perilakunya dan mau ke ’klinik VCT’. Karena penemuan kasus HIV dan AIDS merupakan salah satu cara memutus mata rantai penyebaran HIV maka diperlukan upaya untuk meningkatkan jumlah penduduk yang terdeteksi HIV. Kalangan pakar kemudian menganjurkan tes HIV atas rekomendasi
3
atau inisiatif petugas kesehatan yang dikenal sebagai Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Dokter yang melihat gejala AIDS pada pasien dengan riwayat perilaku yang berisiko dianjurkan tes HIV. Ini langkah baru mendeteksi kasus HIV di masyarakat. * Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui selisik media (media watch) LSM “InfoKespro” Jakarta.
4