Menilai Kemampuan Bekerja

  • Uploaded by: Anton SRI PROBIYANTONO
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Menilai Kemampuan Bekerja as PDF for free.

More details

  • Words: 664
  • Pages: 2
MENILAI KEMAMPUAN BEKERJA

Oleh: Anton Sri Probiyantono Pada umumnya, sewaktu seseorang melamar pekerjaan, ia harus berjuang untuk menulis surat lamaran, menulis CV, memperbanyak pas foto, dan memfotokopi KTP. Jika dipandang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, ia kemudian akan dipanggil untuk wawancara disertai dengan ujian tertulis dan menguji kondisi kesehatannya. Sementara itu, seseorang yang memiliki nama terkenal (selebriti) dan kesempatan akan mendaftarkan diri berkampanye agar terpilih sebagai anggota DPR/D ataupun ke jenjang eksekutif, baik di tingkat nasional sebagai presiden, wapres, menteri, sebagai gubernur atau bupati/walikota di tingkat daerah. Orang yang menilai si pelamar tidak bisa menilai karakter atau moralnya sampai si pelamar tersebut menjadi pekerja dan memperlihatkan kinerjanya. Melalui Pemilihan Umum dan Pilkada, kita, sebagai anggota masyarakat yang memiliki hak untuk memilih, juga hanya mempunyai kesempatan untuk menilai partai atau seseorang yang menjeburkan diri ke dalam kegiatan politik sampai orang yang kita pilih tersebut bekerja dan menunjukkan kinerjanya. Karakter dan moral mereka tersembunyi di balik tingkat kecerdasan mereka berbicara tentang substansi ilmu pengetahuan, pekerjaan dan kampanye tentang diri mereka. Belum ada fit and proper test yang dipakai untuk memperlihatkan karakter dan integritas seseorang apakah sesuai dengan harapan. Di dunia pendidikan, seseorang belajar tentang ilmu pengetahuan. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin kompleks jenjang ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Ia semakin cerdas terhadap filosofi ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Proses belajar dilaluinya tidak memiliki korelasi terhadap tingkat karakter atau moralnya. Lebih jauh lagi, proses ini juga tidak terkait dengan upaya yang dilakukannya atau orangtuanya untuk membiayai kegiatan belajarnya. Di bangku belajar atau kuliah, cara berpikir seorang pelajar/mahasiswa(i) masih lugu. Belum banyak terkontaminasi oleh realitas yang penuh dengan intrik dan pikiran negatif. Jika ingin bergaul, ia tidak merasa sungkan untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya kepada orang lain. Ia tidak terhalangi oleh tembok status sosial yang dibangun masyarakat. Seolah-olah semua orang satu level saja. Saat berada di lingkungan dunia kerja, baik di lingkungan kepegawaian ataupun partai, barulah pola pikirnya mulai berubah. Ia belajar tentang perbedaan jenjang dan status sosial antara satu orang dengan orang lain, bagaimana menyenangkan atasan di tempat kerjanya dan koleganya serta untuk apa, bagaimana memanipulasi data, dan bagaimana menemukan kelemahan suatu peraturan untuk bisa dibengkokkannya tanpa diketahui oleh yang melakukan pemeriksaan demi keuntungan diri sendiri atau ramai-ramai bersama rekan-rekan kerjanya, serta bagaimana menjejakkan kaki di atas bahu rekan kerjanya agar bisa naik ke atas. Secara tidak sadar, ia belajar tentang politicking, manipulasi, korupsi dan bagaimana mengakalinya agar bisa diterima secara wajar oleh pemeriksa ataupun masyarakat. Pikirannya terkontaminasi. Kebenaran hati nuraninya mulai dibutakan. Ia membenarkan hal-hal yang dulunya dianggapnya tidak patut dikerjakan oleh seorang pegawai atau seorang wakil rakyat. Semakin tinggi tingkat pendidikannya dan semakin luas pergaulannya, semakin cerdas ia berargumentasi terhadap upayanya untuk mengelabui dan membelokkan peraturan yang ada. Semakin sukses ia mengelabui suatu kasus, semakin besar kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh rekan-rekan kerjanya untuk mengelabui kasus lain. Lingkungan kerja membentuk karakternya untuk berpikir bahwa tujuan menghalalkan segala macam cara. Kasus-kasus dugaan manipulasi, korupsi, dan suap-menyuap menjadi semakin sukar ditelusuri. Ironisnya, proses pembentukan karakter seperti ini tidak terjadi di ruang lingkup kerjanya saja, melainkan juga dipengaruhi pandangan masyarakat terhadap korupsi yang semakin tidak

1

tegas dan apatis. Walaupun sebenarnya turut dirugikan, masyarakat semakin tidak perduli dengan asal-muasal seseorang memperoleh hartanya. Penilaian masyarakat terbentur pada proses politik dan prosedur formal penuntutan. Apalagi pada beberapa kasus, koruptor malah ada yang dianggap sebagai seseorang yang patut dipuji, dianggap layak terdaftar sebagai salah seorang terkaya di dunia, dan layak dijadikan panutan sebagai model kesuksesan. Kesuksesan dinilai dari berapa jumlah materi yang diraup seseorang. Di dunia kerja, seolah-olah tidak ada yang memberinya kesempatan untuk belajar tentang upaya yang bisa dibangun dan dilakukan untuk berpikir kreatif agar upayanya mampu memberikan hasil dan dampak positif bagi proses pembangunan di negaranya. Konsep kreatif seringkali tidak mendapatkan tempat untuk diperhatikan dan diapresiasi. Untuk membebaskan negeri kita dari keterpurukan yang lebih dalam, sudah sepatutnya kita memfasilitasi setiap pikiran kreatif-positif untuk berkembang lebih lanjut. Kreatif yang berarti didorong bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Nilai-nilai yang mampu meningkatkan nilai jual bangsa di mata masyarakat global.

2

Related Documents

Menilai Kemampuan Bekerja
December 2019 28
Bekerja Demi Bekerja
November 2019 42
Kemahiran Menilai
June 2020 13
Kemampuan Awal.docx
April 2020 25
Keseronokan Bekerja
June 2020 10

More Documents from ""