Mega Mendung (standing applause to Nadia Arfan 17205025) Oleh : Roni Basa
Sadang Serang-Bandung, 9 Rajab 1430 H
Kisah ini, ditulis olehnya pada lembaran-lembaran daun lontar, kelak peradaban Kasultanan Kasepuhan Cirebon akan memiliki dokumen sejarah agung; Aksara Lintang. Selang waktu puluhan tahun setelah Syekh Magelung mengakui kekalahannya atas keluhungan Syekh Syarif Hidayatullah (khalayak mengenalnya dengan nama sunan Gunung Djati). Di suatu tempat, tidak terlalu jauh dari dermaga pelabuhan Cirebon, berdekatan dengan padukuhan yang kelak bernama Kanoman, Syekh Magelung menguburkan potongan rambutnya. Geraian rambut panjangnya tidak pernah dan mustahil terpotong oleh apapun dan siapapun. Kesombongan atas itu semua yang menjadikan ia mewakili dirinya sebagai tuhan. Sampai dengan dua jari menyilang sang sunan memotongnya seperti mata pisau menyibak kain sutra. Terpotong sudah ke-tuhan-annya. Getas dalam bahasa Cirebon berarti benda-benda yang telah terpotong, pecah, kalah atau belah, Karanggetas akhirnya menjadi nama lokasi dimana peristiwa itu terjadi sebagai penanda bahwa segala kesombongan di atas Tuhan akan sirna (getas). Oleh Kesultanan Kasepuhan wilayah Karanggetas sebelah Selatan dibatasi langsung dengan tanah perdikan, kawasan yang belum memiliki penguasa namun dibebaskan dari pajak. Disanalah penulis Aksara Lintang bermukim. *** Saka Prameswara terduduk lunglai pada bale bambu teras gubuk sederhananya, sinar matahari petang berada di bawah lututnya, malam kian dekat. Umurnya masih sebaya dengan Panembahan Sendang kemuning saat itu. Panembahan Sendang Kemuning adalah generasi kedua Syekh Syarif Hidayatullah, gelar panembahannya disematkan karena ia menguasai tiga perempat wilayah Barat Kasultanan, berbatasan langsung dengan kerajaan Galuh Kawedan. Nafasnya naik turun, tersengal, menanggung beban gelisah tidak terkira. Paras eloknya memucat, untung saja sinar obor lentik yang melekat didekat palang pintu menyembunyikannya. Pagi tadi kebugaran fisiknya terlihat sangat nyata, hingga ia memutuskan untuk pergi meninggalkan gubuk sederhananya untuk memenuhi undangan sang Panembahan. Sebagai penduduk biasa dari kawasan perdikan yang berbatas langsung dengan Karanggetas, Saka Prameswara memang tidak memiliki hubungan apapun dengan kewenangan dan pengelolaan Panembahan. Kehadirannya lebih dikarenakan jasanya saat mengusir satu bergada (satuan setingkat kompi) prajurit pinanding Galuh Kawedan yang memasuki wilayah Panembahan tanpa ijin. Satu bergada prajurit Galuh Kawedan dihadapinya tidak dengan jumlah kekuatan yang sama. Hanya ia dan belahan jiwanya; Nyi Mas Gandasari yang menghadapi usaha perluasan wilayah Galuh Kawedan. http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Pertemuan mereka mewakili rasa hormat guru-guru mereka kepada keadilan dan kesejahteraan yang mampu diterapkan Kasultanan untuk rakyatnya. Keduanya diutus menggantikan tugas prawira dan prajurit-prajurit Kasultanan yang sebagian besar ditugaskan untuk membantu kerajaan-kerjaan kecil menghadapi pemberontakan dan ancaman penguasaan kerajaan-kerajaan besar lainnya. Semenjak mula keduanya tidak pernah bertemu. Sungkem mereka ke Bale Paseban Kasultanan tidak pernah dalam waktu yang sama. Masing-masing hanya mengetahui bahwa pihak Kasultanan hanya mengutus dua orang untuk menghadapi ancaman perluasan wilayah Galuh Kawedan. Itu saja. Selanjutnya, waktu dan tempat pertemuan keduanya telah ditetapkan oleh Kasultanan untuk melakukan upaya-upaya mencegah dan menghadapi musuh. Saka Prameswara tidak pernah menduga sebelumnya pihak Kasultanan akan mengutus seorang perempuan bersamanya. Banyak tanya dalam benak dan fikiran Saka Prameswara kenapa dan apa kemampuan perempuan yang dikenalnya bernama Ni Sawuh Nilandari. Tugas-tugas pengintaian, pelaporan dengan sandi kepada pihak Kasultanan dan perintahperintah penyergapan yang dilakukan keduanya kepada prajurit Galuh Kawedan menjadikan keduanya semakin akrab. Pihak lain, Galuh Kawedan sangat dirugikan dengan apa yang dilakukan oleh Saka Prameswara dan Ni Sawuh Nilandari. Usaha perluasan wilayah dengan biaya tidak sedikit belum juga mampu masuk lebih dalam ke wilayah Kasultanan Cirebon. Belum lagi kehilangan prawira dan prajurit-prajurit pinandingnya. Yang paling merugikan bagi galuh Kawedan adalah turunnya semangat perang prajurit-prajuritnya yang justru masih berada di garis belakang. Kabar yang disampaikan telik sandi mereka menyebutkan bahwa pasukan garis depan seolah sedang berperang dengan makhluk halus. Tidak pernah diketahui berapa jumlahnya, dimana keberadaannya dan seperti apa strategi perangnya. Tiap kali pasukan dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil, disana sudah menunggu ratusan anak panah yang mengarah. Pernah sekali waktu pasukan besar dikumpulkan untuk melakukan penyerangan langsung ke pusat Kasultanan, namun belum jauh mereka bergerak, kabut misterius menghalangi pandangan dan segera mereka menemukan dirinya telah berhadapan dengan angin topan berjajar laksana pagar menghadang. Penyerangan tidak menghasilkan apapun. Saka Prameswara segera menyadari dirinya telah menyimpan hati kepada Ni Sawuh Nilandari. Beberapa kali perasaan dari gemuruh hatinya diungkapkan langsung kepada Ni Sawuh Nilandari, namun kali itu juga Ni Sawuh tidak menanggapinya. Sampai dengan batas rasa yang sudah tidak mungkin lagi ditahan, Saka secara diam-diam menghadap ke Paseban Kasultanan untuk memohon bantuan mewakili dirinya meminang Ni Sawuh kepada gurunya.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Tidak terduga, Kasultanan memerintahkannya untuk tidak berfikir memperisteri Ni Sawuh. Kasultanan memerintahkannya untuk segera menuntaskan tugasnya. Titah akhir dari Kasultanan pun diberikan, diwakili oleh Pangeran Raja Adipati, meskipun demikian isi perintah sama saja derajatnya dengan perintah langsung dari Raja Adipati. Kecewa, tanya dan semakin tergila-gila Saka Prameswara dengan kondisi yang terjadi. Harapannya bersanding dengan Ni Sawuh Nilandari tidak dapat terlaksana oleh alasanalasan yang tidak pernah ia ketahui sebabnya. Tekadnya membulat, perasaannya semakin mengkristal, harapannya mempersiteri Ni Sawuh semakin membumbung. Segera, setelah tugasnya selesai, saat itu juga ia akan langsung meminta Ni Sawuh untuk berkenan mendampingi hidupnya. Ia hanya perlu bersabar menunggu waktu yang tepat. Saatnya menyongsong, penantian dan kesabarannya berujung, penarikan mundur prajurit Galuh Kawedan kembali ke daerahnya merupakan waktu yang tepat untuk meminang Ni Sawuh Nilandari. Senja itu, di lereng bukit Kidang Pananjung, matahari belum lagi meredup sempurna, Saka Prameswara mengajukan lamarannya langsung kepada Ni Sawuh. Tanpa sungkan Ni Sawuh mendengarkan dan menghormati pinangan Saka. Langit merona lembayung sebelumnya, pucuk hijau dedaunan jati merayapi langit sebatas pandangan mata tadinya, berubah semerta menjadi gulungan awan pekat disertai hujan rintik beriring dengan terpaan angin. Kilatan cahaya langit membelah kepekatan awan hitam, Saka tidak beranjak dari tempatnya, memperhatikan apa yang akan disampaikan Ni Sawuh, jawaban atas pinangannya. Selanjutnya, kabut turun membumi, semakin menebal, menebal dan menebal membungkus tubuh Ni Sawuh yang sedari tadi terdiam mematung memejamkan mata ke arah bekas sinar matahari senja. Kabut terus menggulung dan menggulung tubuh Ni Sawuh, menjadikannya hilang dari pandangan mata, yang tersisa hanya kegelapan. Saat keadaan hampir kembali normal, tepat dihadapan Saka Prameswara berdiri tegak sosok yang sebelumnya tidak pernah ia kenali. Sosok tidak dikenalnya menggantikan Ni Sawuh yang hilang ditelan ketebalan kabut. Saka terkejut alang kepalang. Dihadapannya sosok seorang lelaki seumurannya menjelma. Hanya seuntai selandang pinggang milik Ni sawuh yang bisa dikenali tersemat melingkari leher lelaki dihadapannya. Sadarlah kemudian Saka bahwa selama ini tidak pernah ada Ni Sawuh bersamanya menghadapi pasukan Galuh Kawedan, yang ada hanyalah bentukan lain dari seorang lelaki yang entah darimana dan bernama siapa. Lenyap sudah impian mulianya bersanding hidup bersama sosok Ni Sawuh Nilandari. Tak terkira kehancuran seluruh hati dan jiwanya, meratapi kenangan-kenangan waktu yang dihabiskannya bersama bidadari impiannya. Setelah sekian lama ia menunggu saat yang tepat untuk meminangnya, terbayarkan dengan kenyaataan diluar terkaannya. Saka Prameswara memilih menyepikan diri setelahnya. Tidak pernah diketahui dengan jelas dimana keberadaannya. Simpang siur kabar berita tentang keberadaannya. ***
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Sampai dengan ditemukan gulungan-gulungan lontar berisikan kisah seorang Saka Prameswara. Gulungan pertama lontar menyebutkan Aksara Lintang sebagai nama kisahnya. Aksara (Cirebon: huruf, kalimat, kisah), Lintang (Cirebon:bintang), Aksara Lintang dapat diterjemahkan kisah tentang bintang. Aksara Lintang tidak pernah menyebut nama Ni Sawuh Nilandari, namun berulangkali menyebut Nyi Mas Gandasari yang merupa gambaran perjalanannya dengan Ni Sawuh. Nama Nyi Mas Gandasari sendiri dapat ditafsirkan secara harfiah, Nyi dalam khasanah sosial Jawa berarti panggilan untuk seorang perempuan muda, Mas adalah panggilan untuk lelaki muda, sedangkan Gandasari menunjuk pada percampuran antara jenis kelamin keduanya (Ganda; lebih dari satu, Sari; inti). Selain kisah yang disajikannya, Aksara Lintang memiliki ciri khas yang membedakannya dengan catatan-catatan Kasultanan lainnya. Seluruh rangkaian daun lontar Aksara Lintang dipenuhi dengan motif-motif yang digambarkan secara hati-hati agar tidak merusak permukaan daun lontar. Motif-motif yang kemungkinan besar dilukis menggunakan ujung tempurung kelapa yang sebelumnya dibakar. Tepatnya motif yang memenuhi Aksara Lintang dilukis menggunakan bara tempurung kelapa. Penjelasan tentang hal ini dikemukakan pada beberapa rangkaian lontar akhir. Termasuk didalamnya penjelasan mengenai makna motifnya. Disebutkan dalam tiga rangkaian lontar terakhir bahwa motif yang memenuhi lontar mewakili perasaan kecamuknya Saka Prameswara saat meminang Nyi Mas Gandasari yang diketahuinya sebagai seorang lelaki. Motif yang dilukiskan juga mewakili gambaran alam saat Saka Prameswara meminang Nyi Mas Gandasari. Aksara Lintang tidak pernah menyebut secara jelas apa nama motif yang ada pada rangkaian lontarnya. Tidak lama setelah Aksara Lintang ditemukan di wilayah Karanggetas sebelah Selatan yang berbatasan langsung dengan tanah perdikan tanpa penguasa, motif tersebut banyak digunakan oleh Kasultanan untuk menghormati Saka Prameswara. Entah darimana selanjutnya, motif pada Aksara Lintang dinamakan Mega Mendung (Mega; awan gemawan). Sampai dengan saat ini Mega Mendung menjadi ciri khas motif batik dan lukisan-lukisan kaca Cirebon. Sebuah makna keteguhan mempertahankan mimpi-mimpi menjulang meskipun berakhir dengan pilu, sebuah makna atas kearifan perilaku saat semua upaya yang telah dilakukan tidak sesuai dengan harapan. Olehnya, Mega Mendung tidak pernah dilukiskan mendatar, melainkan menjulang menggapai langit. Sama halnya dengan mimpi, keteguhan dan kearifan Saka Prameswara yang akan tetap menjulang tanpa akhir.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan