Manajemen Super Refractiry Status Epileptikus Print.docx

  • Uploaded by: Lowelly napitupulu
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Manajemen Super Refractiry Status Epileptikus Print.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,318
  • Pages: 9
Refarat Divisi PICU

Kepada yth:

Manajemen kejang Super-Refractory status epileptikus Penyaji

: Abdullah Shiddiq Adam

Pembimbing : Prof dr. Chairul Yoel , SpA(K) Prof. dr. Munar Lubis, Sp.A(K) dr. Rina Amalia C. Saragih,M.Ked (Ped),SpA dr. Gema Nazri Yanni, M.Ked (ped),SpA dr. Yunnie Trisnawati, M.Ked (ped),SpA(K) dr. Aridamuriany Lubis, M.Ked (ped),SpA dr. Putri Amelia, M.Ked (ped),SpA dr. Badai Buana Nasution, M.Ked (ped),SpA

1. Pendahuluan Status epileptikus ( SE) merupakan keadaan kegawat darurat medis yang mengancam jiwa yang memerlukan pengenalan dan pengobatan yang tepat. SE didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung terus menerus atau berulang tanpa pulihnya kesadaran selama 30 menit atau lebih1 , sedangkan kejang yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan lini pertama dan lini kedua pada status epileptikus sekitar 9-40%. Keadaan ini disebut refractory status epileptikus ( RSE). Pada RSE dijumpai seringnya kejadian kejang yang berulang dan pengobatan dengan obat-obatan anastesi seperti midazolam atau propofol. Pada beberapa pasien dengan RSE sekitar 10-15 % gagal terhadap pengobatan lini ketiga. Keadaan ini disebut super refractory status epileptikus ( SRSE ).2 Istilah Super refractory status epileptikus diperkenalkan pada tahun 2011 saat The London-Innsbruck Colloquium on status epilepticus untuk menunjukkan status epileptikus yang berlangsung atau berulang selama 24 jam atau lebih setelah pengobatan dengan obat-obat anastesi antiepilepsi termasuk kasus-kasus dengan kejang yang terkontrol setelah penggunaan obat anastesi dan kejang berulang bila obat anastesi dihentikan.3 SRSE tidak jarang dijumpai di ruang perawatan neurointensive care, tetapi insiden pasti tidak diketahui. Beberapa penelitian retrospektif menunjukkan 12 - 43% kasus status epileptikus berkembang menjadi Refractory dan penelitian di Belin tahun 2005 menunjukkan 7 pasien ( 20%) dari 35 mengalami kejang berulang dalam 5 hari setelah obat anastesi dihentikan dan kurang 50 % yang menggunakan obat anastesi berkembang menjadi super-refractory status epilepsi. Beberapa laporan memperkirakan 15 % dari seluruh status epilepsi di rumah sakit berkembang menjadi super-refractory status epileptikus.4

1

Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk menjelaskan secara ringkas mengenai manajemen super refractory status epileptikus

2. Definisi Super Refrakter status epileptikus adalah status epileptikus yang berlangsung atau terjadi selama 24 jam atau lebih setelah pemberian obat golongan anastesi termasuk kasus status epileptikus yang terjadi saat penurunan atau penarikan obat anastesi.2,3,4

3. Penyebab super refractory status epileptikus Penyebab-penyebab SRSE meliputi: 3 Cedera otak akut Penyakit cerebrovaskular Infeksi CNS - Meningitis bakteri - Ensefalitis viral - Toxoplasma cerebral - Tuberculosis - Neurosistiserkosis - Meningitis kriptokokus atau jamur lainnya - Abses Tumor intrakranial Trauma cedera otak Hipoksik iskemik otak Sindrom intoksikasi atau sindrom withdrawal Infeksi sistemik atau ganggguan metabolik - Sepsis - Elektrolit imbalance, glukosa imbalance, hiperammonemia Proses kronik Penyebab yang jarang - Gangguan autoimmune - Gangguan mitokondrial - Penyakit infeksi - Penyakit genetik - Obat-obatan dan keracunan Kriptogenik

4. Tahapan pengobatan status epileptikus Tahapan protokol berdasarkan pendekatan stadium status epileptikus ( gambar.1 ). Pada tahap 1, Awal status epileptikus diterapi dengan benzodiazepin. Bila kejang terus berlanjut walaupun telah diterapi dengan terapi tersebut maka pasien dikelompokkan pada tahap 2 ( status epileptikus ditegakkan ) dan terapi dengan obat anti epilepsi intravena seperti phenitoin, fenobarbital dan valproat. Bila kejang terus berlanjut meskipun telah diterapi selama 2 jam, pasien dikelompokkan dalam tahap 3 2

( refrakter status epileptikus ) dan dianjurkan penggunaan obat anastesi dengan dosis tertentu yang dapat menekan ledakan gelombang EEG ( kadar obat anastesi yang dapat mengendalikan aktivitas kejang ). Pada kebanyakan pasien, regimen obat anastesi dapat mengendalikan kejang, dan beberapa kasus kejang dapat berlanjut atau kambuh dan dikatakan dalam tahap 4 super rafrakter status epileptikus. Pada tahap ini, pendekatan pengobatan dan manajeman terhadap keadaan klinis yang membahayakan pada pasien. 4

Gambar 1.4 5. Tujuan pengobatan super-refractory status epileptikus Tujuan utama pengobatan pada fase awal status epileptikus adalah 1.

Mengontrol kejang dengan tujuan untuk mencegah terjadinya eksitoksik. Pada super-refractory status epileptikus, kejang yang berlangsung terus-menerus setelah 24 jam atau kejang yang berulang maka proses eksitoksik menyebabkan kerusakan otak yang sangat mungkin sudah mulai terjadi dan sampai sejauh mana pengendalian terhadap kejang untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh proses langsung eksitoksik yang tidak diketahui.

2.

Mengindentifikasi dan mengobati penyakit yang mendasari

3.

Untuk neuroproteksi, upaya melindungi jaringan syaraf terhadap penghambatan jaringan saraf yang progresif yang dipicu oleh proses sekunder pada permulaan eksitoksik.

4.

Mencegah dan manajemen komplikasi sistemik. Episode status epileptikus menjadi lebih lama yang diperlukan untuk mencegah atau mengobati komplikasi sistemik terhadap penurunan kesadaran dan penggunaan obat-obatan anastesi yang lama.3,4

3

5. Manajemen super refractory status epileptikus Semua upaya manejemen SRSE dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab dan pengobatan pada SRSE. Keberhasilan terapi akan menentukan status epileptikus. Pemeriksaan yang harus dilakukan meliput riwayat penyakit sebelumnya ( termasuk keluarga ) dan pemeriksaan seperti MRI, EEG, pemeriksaan CSF, metabolik dan skreening obat-obatan, keracunan dan skreening auto-imun.4 Bagan tata laksana Super refractory status epileptikus

Obat-obat anastesi ( termasuk ketamin), obat antiepileptik, perawatan ICU dan identifikasi penyebab

Tidak diketahui penyebab

diketahui penyebab

Terapi penyebab

Diberikan magnesium IV ( dan pada anak pyridoxine IV)

Pertimbangkan steroid, +/- IVIG, +/- plasma exchange s

Pertimbangkan pembedahan sesuai lesi SE

Pertimbangkan terapi hipotermi Pertimbangkan diet ketogenik Pertimbangkan ECT, pengaliran cairan LCS, terapi lain

Rekomendasi dan protokol pada pengobatan SRSE 1. Lini Pertama Pada pengobatan lini pertama diterapkan pada semua kasus, dengan penggabungan perawatan di ruangan insentive care dan pengobatan terhadap penyakit yang mendasari.5 a. Obat-obat anastesi Obat-obat anastesi digunakan untuk memperkuat terapi yang ada pada SRSE dan pada beberapa kasus pemberian obat-obatan anastesi efektif.4 Obatan anastesi diberikan dalam 24 jam pertama dan kemudian secara perlahan diturunkan. Bila kejang berulang dilanjutkan kembali. Pola pemberian dan penghentian obat anastesi

4

berlangsung selama 24-48 jam pertama sampai 5-7 hari. Peran anestesi sebagian besar untuk mencegah komplikasi dan mempertahankan keadaan klinis yang stabil.6 Tidak ada rekomendasi dalam pemilihan obat anastesi tetapi obat anastesi yang sering digunakan adalah thiopental ( atau pentobarbital), propofol dan midazolam. Rekomendasi obat anastesi pada Refractory dan Super refractory status epileptikus sebagai berikut.5 Obat anastesi

Dosis

Rekomendasi

Thiopental/ Pentobarbital

Thiopental : Loading dose: 2-3 mg/kg Maintenance dose : 3-5 mg/kg/jam Pentobarbital : Loading dose: 5-15 mg/kg Maintenance dose : 0,5-3 mg/kg/jam

Midazolam

Loading dose: 0,1-0,2 mg/kg Maintenance dose: 0,1-0,4 mg/kg/jam

Propofol

Loading dose: 3-5 mg/kg Maintenance dose :

Terapi lini pertama pada kasus berat Hindari interaksi farmakokinetik yang merugikan. Hindari penyakit hati, miastenia gravis, porfiria, perdarahan yang berat, penyakit kardiovaskular, insufisiensi adrenokortikal. Terapi lini pertama pada kasus berat Hindari penyakit hati dan ginjal, miastenia gravis, porfiria. Terapi lini pertama untuk kasus yang komplek dan mudah dalam penggunaan Penggunaan dengan obat lain dapat menyebabkan hipotensi Hindari penggunaan yang lama (> 48 jam ) khususnya dosis tinggi apda anak Hati-hati penggunaan dengan steroid dan katekolamin Terapi lini kedua Menyebabkan hipotensi, depresi jantung-paru

5-10 mg/kg/jam

Ketamin

Loading dose: 1-3 mg/kg Maintenance dose : sampai 5 mg/kg/jam

b. Obat antiepilepsi Pemberian anti epileptik bersamaan dengan obat anastesi, walaupun pengaruh dan efek anti epilepsinya masih belum jelas dibandingkan dengan efek dari obat anastesi. Pemberian obat anti epileptik penting untuk memperkuat efek obat anastesi. Beberapa obat antiepileptik yang sering digunakan adalah karbamazepin, lakosamid, levetirasetam, Phenobarbital, phenitoin, topiramat dan asam valproat tetapi belum ada bukti bahwa salah satu obat antiepileptik tersebut lebih efektif dari yang lainnya.4

2. Lini Kedua Terapi lini kedua dapat diterapkan pada kasus yang mana pengobatan lini pertama tidak dapat mengendalikan status epileptikus dan sebaiknya dipertimbangakan setelah

5

pemberian obat anastesi dan antieplepsi. Berapa lama pengobatan sangat tergantung keadaan pasien, tetapi lama kejang menetap akan memperburuk hasil luaran fungsional. beberapa pilihan terapai lini kedua sebagai berikut : 1. Hipotermia Hipotermi terapi secara rutin telah dilaksanakan pada pasien super refractory status epileptikus. Rekomendasi terapi hipotermi karena hipotermi dapat menurunkan metabolism di otak, penggunaan oksigen, komsumsi ATP, transport glutamine, disfungsi mitokondria, overload kalsium, produksi radikal bebas dan reaksi inflamasi, sress oksidatif. Temperature suhu pusat tubuh biasanya diturunkan sampai 32-35 ⁰ C, berlangsung dalam 24-48 jam pertama.4,5 2. Magnesium infus Magnesium sulfat infus adalah terapi yang telah digunakan secara luas pada pengobatan SRSE walaupun bukti terhadap hasil luaran masih rendah. Penggunaan magnesium infus bervariasi antara 2-6 gram per jam dengan target serum 3.5 mEq/L. pada beberapa kasus, target serum magnesium naik mencapai 14.2 mEq/L untuk kejang yang tidak terkontrol.4,5,6 3. Piridoxine infus Pyridoxin intravena ( hidroklorida) adalah pengobatan yang efektif pada pasien dengan kelainan metabolisme bawaan terhadap pyridoxin. Terapi intavena pyridoxine efektif pada kasus SRSE dengan status defisiensi piridoksin yang tidak jelas dan saat ini, piridoksin rutin diberikan pada anak dengan

kasus SRSE. Infus piridoksin

tersendiri tidak memiliki resiko meskipun dibeberapa negara umumnya tersedia dalam bentuk infuse yang dicampur dengan vitamin yang beresiko rendah terhadap anafilaksis. Dosis piridoksin 180-600 mg/hari.4,5 4. Steroid dan Immuno terapi Steroid dan Immuno terapi digunakan secara luas pada pengobatan lini kedua pada pasien SRSE, tanpa riwayat epilepsi sebelumnya, tanpa diketahui penyebab kejang. Steroid dosis tinggi diberikan dan bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan, immunoglobulin intravena atau plsma exchange dapat ditambahkan. Dosis steroid dosis tinggi prednisolon 1 gram intravena selama 3 hari dilanjutkan 1 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis. Dosis immunoglobulin 0,4-0,5 gram/kg selama 5 hari.4 5. Diet ketogenik Diet ketogenik merupakan terapi non farmakologi terdiri dari diet tinggi lemak, cukup protein dan rendah karbohidrat dan digunakan pada kejang yang resisten terhadap obat anti epilepsi. Diet ketogenik mempunyai peran utama dalam merubah metabolism glukosa menjadi keton yang memiliki efek anti kejang. Diet ketogenik digunakan pada beberapa kasus berat SRSE. Pasien biasanya diberikan diet ketogenik ( 4:1 atau 3:1 rasio gram lemak terhadap paotein dan karbohidrat ) baik melalui nasogastrik tube atau percutaneus endoskopik gastrostomi.7

6

6. Pembedahan emergensi Pilihan pembedahan bila jelas ditemukan lesi radiologi dan atau bukti onsest fokal secara elektrofisiologi. Pembedahan emergensi dipilih sebagai pilihan terakhir pengobatan SRSE. Prosedur bedah yang apling sering adalah fokal reseksi pada kasus-kasus

terjadinya

malformasi

kortikal.

Pembedahan

emergensi

harus

dipertimbangkan setelah 2 minggu bila pengobatan gagal.4,5

3. Lini Ketiga Beberapa pengobatan yang perlu dipertimbangkan pada kasus SRSE yang terbukti tidak efektif pada pengobatan lini pertama dan kedua. a. Terapi elektro konvulsi ( ECT) Ada beberapa laporan tentang efektivitas dari ECT, meskipun pada yang telah dilakukan penghentian atau penurunan anestesi untuk memungkinkan diberikan ECT. ECT mungkin dapat menyebab perubahan status epileptikus. Diberikan antara 3-8 kali untuk mengendalikan kejang dan respon terapi harus diamati setiap hari. Terapi ECT telah digunakan di beberapa diberapa pusat studi diseluruh dunia dan dianggap sebagai pengobatan lini ke tiga.4,5 b. Drainase cairan cerebrospinal dan lainnya Ada satu laporan pasien yang telah dilakukan 2 episode drainase CSF. Terapi tersebut sangat efektif namun bagaimana persisnya terapi tersebut dapat mengendalikan status epileptikus masih tidak jelas, tetapi mungkin menghilangkan inflamasi atau senyawa lainnya dari CSF atau perubahan dinamika tekananan intrakranial. Terapi ini telah dilakukan secara luas sampai tahun 1940-an dan setidaknya layak dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir terapi. Berberapa terapi lainnya seperti stimulasi saraf vagal, stimulasi

deep

brain,

stimulasi

magnetic

transkranial

berulang

tidak

direkomendasikan karena belum ada bukti yang jelas keberhasilan terapi tersebut.5

Ringkasan Status epileptikus ( SE) merupakan keadaan kegawat darurat medis yang mengancam jiwa dan super refractory status epileptikus menunjukkan status epileptikus yang berlangsung atau terjadi selama 24 jam atau lebih setelah pemberian obat golongan anastesi termasuk kasus status epileptikus yang terjadi saat penurunan atau penarikan obat anastesi sehingga memerlukan pengenalan dan pengobatan yang tepat. Manajemen terapi bertujuan untuk mengontrol kejang, mengindentifikasi dan mengobati penyakit yang mendasari,

neuroproteksi, mencegah dan manajemen

komplikasi sistemik.

7

DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunatmadja Irawan. Status epileptikus konvulsivus pada anak. Dalam : Pardede SO, M.Djer Mulyadi, Soesanti F, Gita Ambarsati C, Soebadi A, Penyunting. Tatalaksana berbagai keadaan gawat darurat pada anak. Jakarta : FKUI; 2013.h.21-31 2. Pugin D,Foreman B, De Marchis GM, Fernandez A, Schmidt JM. Czeisler BM et al. Is pentobarbital safe and efficacious in the treatment of super-refractory status epilepticus: a cohort study. Critical Care. 2014;18: 1-7. 3. Hocker S, Tatum WO, Roche SL. Refractory and super refractory status epilepticus an update. Curr Neurol Neurosci Rep. 2014;14:1-9. 4. Shorvon S, Ferlisi M. The treatment of super-refractory status epilepticus: a critical review of available therapies and a clinical treatment protocol. London : Brain a journal of neurology. 2011;134: 2802-18. 5. Shorvon S, Ferlisi M. The outcome of therapies in refractory and super refractory convulsive status epilepticus and recommendations for therapy. Brain a journal of neurology. 2012;135: 2314-28. 6. Shorvon Simon. Super-refractory status epilepticus: An approach to therapy in this difficult clinical situation. Epilepsia. 2011; 52: 53–56. 7. Strzelczyk A, Reif PS, Bauer S, Belke M, Oertel WH,Knake S. et al. Intravenous initiation and maintenance of ketogenic diet: Proof of concept in super-refractory status epilepticus. J.Seizure. 2013;22:581–83.

8

Bibliography 1. I, Mangunatmadja. status epileptikus konvulsivus pada anak. [book auth.] M. Djer M,Soesanti F, Ambarsari CG, Soebadi A Pardede SO. tatalaksana berbagai keadaan gawat darurat pada anak. Jakarta : FKUI, 2013. 2. Is pentobarbital safe and efficacious in the treatment of super-refractory status epilepticus: a cohort study. Deborah Pugin, Brandon Foreman, Gian Marco De Marchis, Andres Fernandez, J Michael Schmidt. R:103, s.l. : Critical Care, 2014, Vol. 18. 1-7. 3. Refractory and super refractory status epilepticus an update. Hocker S, Tatum WO, Roche SL. 452, s.l. : Curr Neurol Neurosci Rep, 2014, Vol. 14. 1-9. 4. The treatment of super-refractory status epilepticus: a critical review of available therapies and a clinical treatment protocol. shorvon S, Ferlisi M. 134, London : Brain a journal of neurology, 2011. 2802-2818. 5. the outcome of therapies in refractory and super refractory convulsive status epilepticus and recommendations for therapy. Shorvon S, Ferlisi. 135, s.l. : brain a journal of neurology, 2012. 2314-2328. 6. Super-refractory status epilepticus: An approach to therapy in this difficult clinical situation. Shorvon, Simon. 8, s.l. : Epilepsia, 2011, Vol. 52. 53–56. 7. Intravenous initiation and maintenance of ketogenic diet: Proof of concept in superrefractory status epilepticus. al, Adam Strzelczyket. 22, s.l. : j.seizure, 2013. 581–583. 8. kawasaki disease : an up date on diagnosis and treatment . kuo, ho chang. s.l. : pogy ediatrics and neonato, 2012. 9. kawasaki disease : a clinicans update. jamienson, nathan. 2013. 10. Evidens-base management of kawasaki disease in emergency. seton, kara k. 11. an updateon kawasaki disease II:. yin, deane. 12. recent advances in the treatment of kawasaki. wweng, ken pen. s.l. : journal of chines mdical asociattion, 2011. 13. diagnosi incomplete kawaski disasea. yu, joeng jin.

9

Related Documents


More Documents from ""