ILMU JARHI WA’T-TA’DIL
DISUSUN OLEH: FAHRIZAL ZAMRUDA REZA RACHMADIANSYAH
(H73214018) (H73214020)
DOSEN PENGAMPU: MOH. ASH’ARI, M.HI “Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadits”
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2015 Jl. Jend. A. Yani, No. 117 Surabaya Telp. (031) 395884
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah S.W.T. yang telah mencurahkan nikmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah kami yang berjudul “Ilmu Jarhi Wa’t-Ta’dil” ini. Ucapan terima kasih juga tak lupa kami sampaikan kepada : 1.
Moh. Ash’ari, M.Hi selaku dosenpengampu.
2.
Serta tak lupa kami haturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan review ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat kami.
Makalah ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan manfaat penulisan dari Ilmu Jarhi Wa’t-Ta’dil. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu kami menerima kritik maupun saran yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas makalah ini dan sebagai batu loncatan agar penulis dapat membuat makalah yang lebih berkualitas dimasa yang akan datang. Demikian yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan menjadi sumber referensi bagi pihak yang membutuhkannya.
Surabaya, April 2015
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................ ii DAFTAR ISI....................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1 1.1 LATAR BELAKANG.................................................................. 1 1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................. 1 1.3 TUJUAN PENULISAN............................................................... 1 1.4 MANFAAT PENULISAN............................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN........................................................................ 3 2.1PENGERTIAN........................................................................... 3 2.2FAEDAH ILMU JARH WAT-TA’DIL............................................... 3 2.3MACAM-MACAM KEAIBAN RAWI.............................................. 3 2.4JALAN-JALAN UNTUK MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI DAN MASALAH-MASALAHNYA............................................. 5 BAB III PENUTUP..............................................................................11 3.1 KESIMPULAN..........................................................................11 3.2 SARAN...................................................................................11 DAFTAR PUSTAKA............................................................................12
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Dalam proses perancangan, seorang arsitek tidak terlepas dengan adanya konsep bentuk dan ruang. Konsep bentuk dan ruang ini akan menjadi dasar terciptanya sebuah bangunan. Dengan penyusunan ruang yang baik dan pemilihan bentuk yang sesuai dengan fungsi bangunan, maka akan tercipta sebuah bangunan yang estetik dan tepat dalam penggunaanya. Selain itu, dengan adanya hal tersebut, pengguna dari sebuah bangunan akan merasa nyaman dan terwadahi semua aktifitasnya dengan baik. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang arsitek profesional diharapkan dapat memahami dengan baik tentang hubungan antara bentuk dan ruang dalam proses perancangan. Untukitu, sebagai mahasiswa arsitektur perlu adanya mempelajari dan memahami hubungan antara bentuk dan ruang. Hal ini akan menjadi bekal dalam mempelajari mata kuliah berikutnya yang berhubungan dengan proses perancangan. Dalam halini, makalah yang berjudul “Hubungan Antara Bentuk dan Ruang (Bangunan Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya) akan membahas lebih dalam tentang hubungan antara bentuk dan ruang sebuah bangunan, khususnya Bangunan Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya. 1.2 RUMUSAN MASALAH Dalam penyusunan makalah ini, kami menemukan permasalahan yang termuat dalam rumusan masalah, yaitu : 1. Bagaimana hubungan antara bentuk dan ruang bangunan Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya ? 1.3 TUJUAN PENULISAN Penulisan makalah ini memiliki tujuan, yaitu : 1. Mengetahui hubungan antara bentuk dan ruang bangunan Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya.
1
1.4 MANFAAT PENULISAN Penulisan makalah ini memiliki manfaat, yaitu : 1. Memperluas pengetahuan tentang hubungan antara bentuk dan ruang bangunan Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya.
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN Lafadh “jarh”, menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang
dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifatsifat yang dapat menodai agama. Memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang rawi , hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut menta’dilkannya. Ilmu Jarh watta’dil adalah Ilmu pengetahuan yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi.
2.2
FAEDAH ILMU JARH WAT-TA’DIL Faedah mengetahui Ilmu Jarh wat-Ta’dil adalah untuk menetapkan
apakah periwayatan seoarang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, maka periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
2.3
MACAM-MACAM KEAIBAN RAWI
Pada umumnya, keaiban seorang rawi hanya berkisar 5 macam saja, yaitu: 1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, di luar ketentuan syari’at). Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang difasikkan. Mereka yang dianggap kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada Sayyidina ‘Ali, dan pada imamimam lain, dan mempercayai bahwa “Ali akan kembali lagi ke dunia 3
sebelum hari kiamat. Sedangkan orang-orang yang dianggap fasik, ialah golongan yang mempunyai itikad berlawanan dengan dasar syari’at. 2. Mukhalafah(lain dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah). Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi yang setia ingatannya dan jujur dalam meriwayatkan suatu hadits berlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang. Periwayatan yang demikian disebut syadz, dan kalau rawinya sangat lemah hafalannya disebut mungkar. 3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan). Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayat orang lain yang tidak disifati dengan ghalath, maka hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad)-nya. Sedangkan, apabila tidak didapati selain dengan jalan (sanad)-nya, hendaklah ditawaqufkan. 4. Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal identitasnya). Jahalatu’l-hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima haditsnya, selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah
mengenal
identitasnya
dengan
baik,
kemudian
orang
lain
mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya (menafikannya). 5. Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung). Da’wa’l-inqitha’ (pendakwaan terputus) dalam sanad, misalnya mendakwa rawi men-tad-lis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
4
2.4
JALAN-JALAN UNTUK MENGETAHUI KEADILAN DAN
KECACATAN RAWI DAN MASALAH-MASALAHNYA Penetapan keadilan seorang rawi dapat dilakukan melalui jalan: a. Kepopuleran rawi di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad, dll. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya. b. Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah yaitu ditetapkannya sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dapat ditempuh melalui jalan: a. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukup kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya. b. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebabsebabnya dia cacat. Demikan ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil. 1. Syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan dan mentajrih-kan Bagi orang yang men-ta’dil-kan dan orang yang men-jarh-kan diperlukan syaratsyarat, yakni: a. Berilmu pengetahuan. b. Takwa. c. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosadosa kecil dan makruhat-makruhat). d. Jujur. e. Menjauhi fanatik golongan. f. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.
5
2. Pen-ta’dil-an
dan
pen-tajrih-an
seseorang
tanpa
menyebutkan sebab-sebabnya Sebagaimana kita ketahui, bahwa men-ta’dil-kan atau mentajrih-kan seorang rawi itu adakalanya mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar (disebutkan sebabsebabnya). Untuk mubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat: a. Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja saja. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan oleh karena orang-orang itu berlainan dalam mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinannya, tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agarjelas apakah ia tercacat atau tidak, perlu
diterangkan
sebab-sebabnya.
Pendapat
ini
adalah
pendapat yang dianut oleh kebanyakan para muhadditsin, misalnya Bukhari-Muslim, Abu Dawud, dll. b. Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya,
tetapi
menjarahkan tidak perlu. Karena sebab-sebab men-ta’dil-kan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedang mentajrih-kan tidak. c. Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya. d. Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Karena, si jarih dan mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. 3. Jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dilkan dan men-tajrih-kan rawi-rawi Dalam masalah ini juga diperselisihkan:
6
a. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya. b. Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi. Berlainan dalam soal syahadah. c. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah. Adapun kalau keadilannya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak memerlukan oang yang men-ta’dil-kan. Seperti Malik, AsSyafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu’l-Mubarak, Syu’bah, Is-haq, dll. 4. Perlawanan antara jarh dan ta’dil Apabila terdapat ta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tajrih-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat: a. Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberikan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. b. Ta’dil harus didahulukan daripada jarh. Karena si jarih dalam meng-aibkan si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk meng-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil tidak sembarangan dalam men-ta’dil-kan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis. c. Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan ta’dil.
7
Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka. d. Masih tetap dalam ke-ta’dilan-nya selama belum ditemukan yang me-rajihkannya Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarihnya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma’. 5. Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta’dil-kan dan mentajrih-kan rawi Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk men-ta’dil-kan rawi-rawi: a. Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’alut-tafdil
atau
ungkapan
lain
yang
mengandung
pengertian yang sejenis, misalnya: au tsaqunnaas ats batunnaasi hifdhon
= orang yang paling tsiqah = orang yang paling mantap
wa ‘adaalah
hafalan dan keadilannya = orang yang tsiqah
tsi qotun fauqo tsiqoh
melebihi
orang yang tsiqah
b. Memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik
sifatnya
yang
dibubuhkan
itu
selafadh
(dengan
mengulangnya) maupun semakna, misalnya: tsabtun tsabtun tsiqotun tsiqotun tsabtun tsiqotun
= orang yang teguh (lagi) teguh = orang yang tsiqah (lagi) tsiqah = orang yang teguh (lagi) tsiqah
8
c. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan, misalnya: tsabtu
= orang yang teguh (hati dan
n mutqi
lidahnya) = orang
n tsiqot
(ilmunya)
un hafidh un
yang
meyakinkan
= orang yang tsiqah =
orang
yang
hafidh
(kuat
hafalannya)
d. Menunjuk keadilan dan kedlabithan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya: shoduuqun ma’muun
= orang yang sangat jujur = orang yang dapat memegang amanat
laa
= orang yang tidak cacat ba’sabihi e. Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabithan, misalnya: mahalluhus shidqu jayyidul hadiits hasanul hadiits
= orang yang berstatus jujur = orang yang baik haditsnya = orang yang bagus haditsnya
f. Menunjuk arti mendekati cacat yang diikuti dengan lafadh “Insya Allah”, atau lafadh tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya: shoduuqun insyaa allah
= orang yang berstatus jujur, Insya
9
Allah fulaanun
arjuu
ba’sabihi fulaanun
bian
laa
maqbuulun
hadiitsun
= orang yang diharapkan tsiqah = orang yang diterima haditsnya
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk men-tajrih rawi-rawi: a. Menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu, misalya: audho’unn aas akdzabunn aas
= orang yang paling dusta = orang yang paling bohong
b. Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadh berbentuk shighat muballaghat, misalnya: kaddzab un waddho’ un dajjalun
= orang yang berbohong = orang yang berdusta = orang yang menipu
c. Menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong, dll, misalnya: fulaanun
muttahun
bilkadzibi aumuttahimun bilwadh’i fulaanun fiihin nadhru fulaanun saaqithun
= orang yang dituduh bohong = orang yang dituduh dusta = orang yang perlu diteliti = orang yang gugur
10
d. Menunjuk kepada berkesangatan lemahnya, misalnya: Muthrohul hadiitsi fulaanun dho’iifun fulaanun marduudul hadiitsi
= orang yang dilempar haditsnya = orang yang lemah = orang yang ditolak haditsnya
e. Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya: fulaanun
laa
yuhtajju bihi fulaanun majhuulun fulaanun waahin
= orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya = orang yang
tidak
dikenal
identitsnya = orang yang banyak menduga-duga
f. Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kepada lemahnya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya: dhu’ifaa hadiitsuhu fulaanun maqoolun fiihi fulaanun fiihi kholfun
= orang yang didla’ifkan haditsnya = orang yang diperbincangkan = orang yang disingkiri
11
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN 3.2 SARAN 1. Mahasiswa dituntut aktif dalam mencari ilmu, karena ilmu bukan hanya dicari di perkuliahan saja, namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bukan hanya lewat makalah ini kita bisa memperoleh pengetahuan tentang akustik alami, akan tetapi lewat pengalaman-salah satu guru terbaik-lah kita
bisa
ambil
pelajaran
yang
sangat
bernilai
di
kehidupan esok. 2. Mahasiswa juga dituntut untuk mempraktikkan semua pengetahuannya kepada lingkungannya sebagai wujud Tri Dharma
Perguruan
Tinggi
yang
tidak
hanya
mengedepankan aspek memperoleh pendidikan, tapi juga mempraktikkan ke kehidupan kita. 3. Makalah ini bukan hanya sebagai salah satunya sumber pembelajaran
bagi
setiap
orang,
karena
sumber
pembelajaran ada di sekitar kita, baik yang terasa langsung maupu tidak. 4. Makalah ini mungkin tidak sesempurna dari perkiraan maka
kami
berharap
mendapat
masukan
untuk
memperbaiki agar lebih baik kedepannya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT. Alma’arif
13