Makalah Spi Abbasiyah End.docx

  • Uploaded by: Hanifah Maulida
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Spi Abbasiyah End.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,209
  • Pages: 22
MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM DAULAH BANI ABBASIYAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam Dosen Pengampu

: Dr. H. Aep Saepuloh, S.Ag., M.Si.

Disusun oleh: Destia Azellia Karunia R. (1167020017) Dikri Zulkarnaen

(1167020019)

Ghanez Asriana A.

(1167020030)

Hanifah Maulida

(1167020033)

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2019 M/1439 H

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah gigih memperjuangkan agama yang haq ini sehingga sampai pada kita semua. Alhamdulillahirrabbil’alamin, makalah yang berjudul “DAULAH BANI ABBASIYAH” dapat terselesaikan, semoga kita semua suatu saat nanti dapat berkunjung ke Baitullah aamiin. Karena Sejarah Peradaban Islam merupakan sejarah kita semua yang dapat menjadi pembelajaran dalam kehidupan ini. Penyusunan makalah ini sebagai salah satu tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, semoga makalah ini dapat membantu dalam mengenal dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi di masa lampau. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran penyusunan makalah ini. Penyusun berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi semuanya, kritik dan saran kami harapkan guna perbaikan dalam menyusun makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya karena penyusun sadar betul masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.

Sukabumi, 13 Januari 2019 Penyusun

Kelompok 3

ii | P a g e

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1 1.3. Tujuan .......................................................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2 2.1. Kemunduran Daulah Umayyah .................................................................... 2 2.2. Terbentuknya Dinasti Abbasyiah ................................................................. 3 2.3. Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara ....................................... 6 2.4. Masa Keemasan Daulah Abbasiyah ........................................................... 12 2.5. Kemunduran Daulah Abbasiyah ................................................................ 15 BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18 3.1.

Kesimpulan ............................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

iii | P a g e

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kemunduran Bani Umayyah dari kedudukan tertinggi Dinasti Islam merupakan awal naiknya Bani Abbasiyah ke kursi Kerajaan. Abul Abbas merupakan khalifah pertama dari Bani Abbasiyah sekaligus mengakhiri kekhalifahan yang sebelumnya di pimpin oleh Bani Umayyah. Dengan memanfaatkan kelemahan Bani Umayyah dan kerja sama antara kelompok SunniSyi’ah untuk merebut kursi kekuasaan, akhirnya Bani Abbasiyah berhasil menduduki pemerintahan. Dalam sejarah peradaban umat islam, Dinasti Abbasiyah merupakan Dinasti Islam yang paling berhasil dalam perkembangan islam. Pada masa ini, peradaban islam mengalami puncak kejayaannya karena itu masa ini disebut juga masa keemasan islam atau “The Golden Age”. Selama Dinasti Abbasiyah berlangsung banyak kesuksesan yang diperoleh Bani Abbasiyah baik dari bidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan. 1.2. Rumusan Masalah 

Apa penyebab kemunduran Daulah Umayyah?



Bagaimana proses terbentuknya Dinasti Abbasiyah?



Bagaimana Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara Daulah Abbasiyah?



Kapan masa keemasan Daulah Abbasiyah?



Apa penyebab kemunduran Daulah Abbasiyah?

1.3. Tujuan 

Untuk mengetahui penyebab kemunduran Daulah Umayyah



Untuk mengetahui proses terbentuknya Dinasti Abbasiyah



Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara Daulah Abbasiyah



Untuk mengetahui masa keemasan Daulah Abbasiyah



Untuk mengetaui penyebab kemunduran Daulah Abbasiyah

1|Page

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kemunduran Daulah Umayyah Perpecahan antar suku, etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang menganggu stabilitas negara. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun-temurun menimbulkan gangguan yang serius di tingkat negara. Mu’awiyah mengantisipasi masalah itu dengan menunjuk putranya sebagai pengganti dirinya, tetapi prinsip kesukuan Arab klasik dalam persoalan kepemimpinan menjadi ganjalan besar yang menghalangi ambisi seorang ayah yang ingin memberi kadaulatan kepada anaknya [1]. Selain perpecahan antar suku dan konflik di antara anggota kerajaan, faktor lain yang menjadi sebab utama jatuhnya kekhalifahan Umaiyah adalah munculnya berbagai kelompok yang memberontak dan merongrong kekuasaan mereka. Kelompok Syiah yang tidak pernah menyetujui pemerintahan Dinasti Umaiyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Husain, yang semakin aktif dibanding masa-masa sebelumnya. pengabdian dan ketaatan mereka yang tulus terhadap keturunan Nabi berhasil menarik simpati publik [2]. Selain itu kekuatan yang lain adalah keluarga Abbas keturunan paman Nabi, al-Abbas ibn Abd Muthalib ibn Hasyim, mulai menegaskan tuntunan mereka untuk menduduki pemerintahan. Dengan cerdik mereka bergabung dengan para pendukung Ali dengan menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam, para keturunan Abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umaiyah. Pemerintahan Umaiyah yang Arab-sentris memunculkan kekecewaan dari beberapa kelompok masyarakat yang merasa dianak tirikan oleh penguasa. Orang Islam non Arab khususnya orang persia, memiliki alasan kuat untuk merasa kecewa. Selain karena tidak memperoleh kesetaraan ekonomi dan sosial yang sama dengan orang Islam Arab, mereka juga diposisikan sebagai kalangan Mawali

2|Page

(mantan budak), dan tidak dibebaskan membayar pajak kepala yang biasa dikenakan kepada non muslim [1]. Hal lain yang semakin menegaskan kekecewaan mereka adalah kesadaran bahwa mereka memiliki budaya yang lebih tinggi dan lebih tua, kenyataan yang bahkan diakui oleh orang Arab sendiri. Di tengah-tengah masa kekecewaan itulah kelompok Syi’ah-Abbas menemukan lahan yang subur untuk melakukan propaganda [3]. 2.2. Terbentuknya Dinasti Abbasyiah Sejak Umar bin Abd. Aziz (717-720 M / 99-101 H) khalifah ke-8 dari Daulah Umayyah naik tahta telah muncul gerakan oposisi yang hendak menumbangkan Daulah tersebut yang dipimpin oleh Ali bin Abdullah, cucu Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi dari kelompok Sunni. Kelompok Sunni ini berhasil menjalin kerja sama dengan kelompok Syi’ah, karena mereka samasama keturunan Bani Hasyim. Kedua kelompok di atas juga menjalin kerja sama dengan orang-orang Persia, karena orang-orang Persia dianaktirikan oleh Daulah Umayyah, baik secara politik, ekonomi maupun sosial. Padahal mereka sudah lebih dahulu memiliki peradaban maju. Tujuan aliansi adalah menegakkan kepemimpinan Bani Hasyim dengan merebutnya dari tangan Bani Umayyah. Untuk mencapai tujuan itu berbagai kelemahan Daulah Umayyah, mereka manfa’atkan sebaik-baiknya. Mereka melantik dan menyebar para propagandis terutama untuk daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan orang Arab. Tema propagandis ada dua. Pertama, al- Musawah (persamaan kedudukan), dan kedua, al-Ishlah (perbaikan) artinya kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Hadits [4]. Tema pertama amat menarik di kalangan muslim non-Arab. Karena mereka selama ini dianaktirikan oleh Daulah Umayyah, baik secara politik, sosial dan ekonomi. Sedangkan tema kedua menarik di kalangan banyak ulama Sunni karena mereka melihat para khalifah Daulah Umayyah telah menyimpang dari alQur’an dan Sunnah Nabi. Pada mulanya mereka melakukan gerakan rahasia. Akan tetapi ketika aliansi dipimpin oleh Ibrahim bin Muhammad, gerakan itu berubah menjadi terang-terangan. Perubahan itu terjadi setelah mereka mendapat sambutan luas, terutama di wilayah Khurasan yang mayoritas penduduknya

3|Page

muslim non-Arab, dan setelah masuknya seorang Jenderal cekatan ke dalam gerakan ini, yaitu Abu Muslim al-Khurasany. Dia adalah seorang budak yang dibeli oleh Muhammad, ayah Ibrahim. Dia adalah kader yang dididik oleh Muhammad dan tinggal bersama anaknya Ibrahim. Dia dikirim Ibrahim sebagai propagandis ke tanah kelahirannya dan mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Dia membentuk pasukan militer yang terdiri dari 2.200 orang infantri dan 57 pasukan berkuda. Pemimpin Daulah Umayyah berhasil menangkap Ibrahim dan mereka membunuhnya. Pimpinan aliansi dilanjutkan oleh saudaranya Abdul Abbas yang kelak menjadi khalifah pertama Daulah Abbasiyah. Abul Abbas memindahkan markasnya ke Kufah dan bersembunyi di situ. Dalam pada itu Abu Muslim memerintahkan panglimanya, Quthaibah bin Syahib untuk merebut Kufah. Dalam gerakannya menuju Kufah, dia dihadang oleh pasukan Daulah Umayyah di Karbela. Pertempuran sengit pun terjadi. Dia memenangkan peperangan itu. Akan tetapi dia tewas. Anaknya Hasan memegang kendali selanjutnya dan bergerak menuju Kufah, dan melalui pertempuran yang tidak begitu berarti kota Kufah itu dapat ditaklukkan [4]. Abul Abbas keluar dari persembunyiannya dan memperoklamirkan dirinya sebagai khalifah pertama, yang diberi nama dengan Daulah Abbasiyah dan dibai’at oleh penduduk Kufah di mesjid Kufah. Mendengar hal itu, khalifah Marwan menggerakkan pasukan berkekuatan 120.000 orang tentara menuju Kufah. Untuk itu, Abul Abbas memerintahkan pamannya Abdullah bin Ali menyongsong musuh tersebut. Kedua pasukan itu bertemu di pinggir sungai Zab, anak sungai Tigris. Pasukan Umayyah berperang tanpa semangat dan menderita kekalahan. Abdullah bin Ali melanjutkan serangan ke Syiria. Kota demi kota berjatuhan. Terakhir Damaskus, ibu kota Daulah Umayyah menyerah pada tanggal 26 April 750 M. namun khalifah Marwan melarikan diri ke Mesir, dan dikejar oleh pasukan Abdullah. Akhirnya dia tertangkap dan dibunuh pada tanggal 5 Agustus 750 M. Dengan demikian, setelah Marwan bin Muhammad terbunuh sebagai khalifah terakhir Daulah Umiayah, maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah. Sementara orang-orang Syi’ah tidak memperoleh keuntungan politik dari kerjasama ini, dan mereka terpaksa memainkan peranan lagi sebagai kelompok oposisi pada pemerintahan Daulah Abbasiyah [4].

4|Page

Nama dinasti Abbasiyah, diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad saw. bernama Al-Abbas bin Abdul Muththalib ibn Hasyim. Secara nasab, para pencetus dinasti ini memang termasuk keturunan keluarga Nabi dari jalur Al-Abbas. Istilah Abbasiyyun belum dikenal pada masa-masa sebelum tahun 132 H, yang terkenal adalah golongan yang mengatasnamakan istilah Hasyimiyyin atau Bani Hasyim [5]. Namun pada dasarnya keduanya adalah golongan yang satu [6]. Adanya kecenderungan untuk mengangkat kelebihan kedekatan nasab ini, bermula dari menonjolnya nasab kekeluargaan yang mendominasi sistem kekhalifahan dinasti Umayyah. Melihat realita tersebut, secara tidak langsung menyebabkan sebuah sistem yang tidak sepenuhnya berdasar kepada nilai keIslaman semata. Umat Islam di masa Umayyah, tidak semua menyetujui dominasi keluarga khalifah yang memonopoli tampuk kekhalifahan daulah Islamiyah. Namun, hal itu tidak serta-merta bisa diubah dengan mudah lantaran kekuasaan bani Umayyah seakan memperkuat sistem pewarisan tahta tersebut [6]. Termasuklah dari golongan yang kurang sependapat dengan sistem dinasti tersebut adalah Bani Abbas. Mereka melihat, jika bani Umayyah menonjolkan keluarga mereka sebagai penguasa. Sementara secara nasab bani Umayyah bukanlah klan yang paling mulia derajat nasabnya diantara klan-klan yang memeluk Islam. Bahkan ketika ingin menilai derajat keluarga, keluarga dari klan Al-Abbas masih lebih dekat dengan Nabi dan lebih pantas mewarisi kekhalifahan [6]. Sisi lain yang mendorong bani Abbas untuk mengambil alih tampuk kekhalifahan dari tangan bani Umayyah, adanya bani Umayyah secara paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang siffin. Sementara pengambil alihan bani Umayyah belum sepenuhnya di sepakati umat Islam. Hal itu semakin bertambah setelah melihat realita kepemimpinan dinasti bani Umayyah, beberapa khalifah yang seharusnya menjadi pengayom umat, malah terkesan hidup bermewah-mewah dan kurang menjalankan ajaran Islam secara baik dari segi Ibadah dan perilaku. Upaya bani Abbas untuk meraih tampuk kekhalifahan, memiliki proses-proses tahapan pencapaian. Bermula dari gerakan bawah tanah

5|Page

yang dilakukan, kemudian beranjak menggalang dukungan dan akhirnya berhasil menjadi dinasti kedua kekhalifahan daulah Islamiyah [6]. 2.3. Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana

diaplikasikan

oleh

Abu

Bakar

dan

Umar

pada

zaman

khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbedabeda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain: a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali . b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan. c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia d. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya f. dalam pemerintah [7]. Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah- Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah. Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama,

6|Page

tindakan keras terhadap Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi [8]. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat . Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (system pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet) [8]. Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja . Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah[9]. Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary almarkazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya [8]. Periode Pertama (750-847 M) Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada priode ini adalah sebagai berikut : a. Abul Abbas as-saffah (750-754 M) b. Abu Ja’far al mansyur (754 – 775 M) c. Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M) d. Abu Musa Al-Hadi (785—786 M) e. Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M) f. Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M) g. Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M) h. Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)

7|Page

i. Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M) j. Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861) [8] Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran) [8]. Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga

8|Page

kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah [8]. Periode kedua (847-945 M) Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun. Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokohtokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam. Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:

9|Page

a. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. b. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. c. Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad [8]. Periode ketiga (945 -1055 M) Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih. Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya [8]. Periode keempat (1055-1199 M) Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orangorang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu

10 | P a g e

pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabangcabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M. Periode kelima (1199-1258 M) Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat,

11 | P a g e

benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan [8]. 2.4. Masa Keemasan Daulah Abbasiyah Dalam perkembangannya Daulah Abbasiyah dibagi menjadi lima periode yakni, Periode Pertama (750 M - 847 M) dimana para khalifah Abbasiyah berkuasa penuh. Periode Kedua (847 M - 945 M) disebut periode pengaruh Turki. Periode Ketiga (945 M - 1055 M) pada masa ini daulah Abbasiyah dibawah kekuasaan Bani Buwaihi. Periode Keempat (1055 M - l194 M) dalam periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Saljuk atas Daulah Abbasiyah. Periode Kelima (1194 M - 1258 M) periode ini khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu, mereka merdeka berkuasa akan tetapi hannya di Bagdad dan sekitarnya. Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang [1]. Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur serta pada masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M), akan tetapi popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun al-Rashid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813833 M). Kekayaan banyak dimanfaatkan Harun al-Rashid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandianpemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi [1].

12 | P a g e

Khalifah-khalifah

Bani

Abbasiyah

secara

terbuka

mempelopori

perkembangan ilmu pengetahuan dengan mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya untuk kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di Dunai Islam. Para ulama’ muslim yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan baik agama maupun non agama juga muncul pada masa ini. Pesatnya perkembangan peradaban juga didukung oleh kemajua ekonomi imperium yang menjadi penghubung Dunia Timur dan Barat. Stabilitas politik yang relatif baik terutama pada masa Abbasiyah awal ini juga menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam [1]. Al-Ma'mun, pengganti Harun ar-Rashid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli, Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan [1]. Sebelum Harun al-Rashid memegang kekuasaan, khalifah al-Mansur merupakan khalifah yang memperhatikan ilmu agama dan dunia secara seimbang. Sangat tidak mengherankan jika al-Mansur sangat memperhatikan ilmu pengetahuan agama, karena beliau adalah seorang yang sangat paham dengan ilmu agama. Adapun perhatian besar al-Mansur terhadap ilmu duniawi terbukti pada dukungan penuh dan subsidi besar yang beliau berikan untuk menerjemahkan berbagai buku mengenai ilmu pengetahuan dan filsafat dari bahasa Yunani dan Persia kedalam bahasa Arab. Semangat dan kecintaan alMansur terhadap ilmu pengetahuan ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya yang menjadi khalifah setelah beliau, mereka sangat menghormati para penerjemah, memberikan fasilitas yang cukup untuk mereka, sehingga gerakan penerjemahan dapat berjalan dengan lancar [1]. Saat itu buku-buku filsafat Yunani tidak hanya terbatas pada teori-teori murni tentang rahasia pencipta, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur. Akan

13 | P a g e

tetapi, juga mencakup pembahasan tentang apa yang saat ini disebut sebagai science, seperti fisika, ilmu falak, kimia, biologi, kedokteran, matematika, dan ilmu lainnya [10]. Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Di masa-masa itu para Khalifah juga mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam waktu yang sangat cepat Islam mampu mencapai kebangkitan ilmu pengetahuan dalam berbagai cabangnya, baik fisika, kimia, falak, biologi, matematika, kedokteran, ilmu bedah, maupun ilmu farmasi dan sebagainya [1]. Harun al-Rashid dan putranya al-Ma’mun dapat mendirikan sebuah akademi pertama yang dilengkapi peneropong bintang, perpustakaan terbesar, dan dilengkapi pula lembaga untuk penerjemahan. Pada perkembangan selanjutnya mulai dibuka madrasah-madrasah, Nizamul Muluk merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sekarang ini dengan nama madrasah. Dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai Bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Pada masa ini Ilmu dan metode tafsir mulai berkembang terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Dalam bidang hadits mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis, sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadits Shahih, Dhaif, dan Maudhu [1].

14 | P a g e

Selain itu berkembang juga ilmu pengetahuan agama lain seperti ilmu AlQur’an, qira’at, fiqh, kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Abbasiyah ini Imam Abu Hanifah yang meninggal di Baqdad tahun 677 adalah pendiri madzab Hanafi. Imam Malik bin Anas yang banyak menulis hadits dan pendiri Maliki itu wafat di Madinah pada tahun 796. Muhammad ibn Idris Asy-Shafi’i yang meninggal di Mesir tahun 819 adalah pendiri madzab Shafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal pendiri madzab Hanbali meninggal dunia tahun 855 M [11]. Pada masa itu berkumpul para seniman di Bagdad seperti Abu Nuwas, salah seorang penyair yang terkenal, dan menghasilkan banyak karya seni sastra yang indah seperti Alf Laila wa Lailah (Seribu Satu malam) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Arabian Nigth [8]. Bani Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umaiyah. Oleh sebab itu daulah Abbasiyah mampu menoreh Dunia Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah serta dapat membangun peradaban Islam yang agung. Perkembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbas merupakan musim pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan [1]. 2.5. Kemunduran Daulah Abbasiyah Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antara nya adalah sebagai berikut: a. Faktor Internal 1. Persaingan antar Bangsa Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal Khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyyah sebenarnya sudah berakhir [8]

15 | P a g e

2. Kemerosotan Ekonomi Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan [8]. 3. Konflik Keagamaan Konflik yang melatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan Zindik atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam [8]. 4. Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan Kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, yang kemudian ditiru oleh para haratawan dan anak-anak pejabat sehingga menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin [8]. 5. Ketidakmampuan para Khalifah Sama seperti Daulah

Umayyah di Syiria, banyak yangdi angkat menduduki

jabatan Khalifah dari orang yang tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik [4]. 6. Rasa Tidak Puas Rakyat Terhadap Pemerintah Hal itu juga dapat dilihat dari tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat, baik oleh orang Turki, bani Buwaihi dan Turki Saljuk. Sehingga rakyat menjadi gusar dan mereka mendirikan pemerintahan di daerah masingmasing terbebas dari pemerintahan pusat, kalaupun ada, hanya pengakuan secara politis saja [4] 7. Persaingan Sunni-Syi’ah. Dalam Daulah Abbasiyah terjadi persaingan ketat antara Sunni dengan Syi’ah, seperti yang dilakukan oleh Thugrul Bek yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dia menahan penguasa Bani Buwaihi Malik al-Rahim (1058 M) yang berpaham Syi’ah sampai dia meninggal dalam tahanan. Juga seperti pembunuhan Nizam al-Mulk yang dibunuh oleh seorang pasukan Hasan ibn Sabbah yang bertujuan menghidupkan aliran Syi’ah Fatimiyah.

16 | P a g e

b. Faktor Eksternal 1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. 2. Serangan Mongol dan Kehancuran Baghdad (1258 M) 3. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam [8].

17 | P a g e

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan Bani Abbasiyah telah muncul sejak kepemimpinan Umar bin Abd. Aziz khalifah ke-8 dari Daulah Umayyah naik tahta sebagai oposisi yang hendak menumbangkan Daulah tersebut yang dipimpin oleh Ali bin Abdullah, cucu Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi dari kelompok Sunni. Akhirnya pada saat kepemimpinan terakhir Daulah Umayyah munculah Abu Abbas sebagai khalifah pertama dari Bani Abbasiyah. Pada tanggal 5 Agustus 750 M setelah Marwan bin Muhammad terbunuh sebagai khalifah terakhir Daulah Umiayah, maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah. Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Masa keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur serta pada masa Khalifah alMahdi (775-785 M), akan tetapi popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun al-Rashid (786-809 M) dan putranya alMa’mun (813- 833 M). Kemunduran Daulah Abbasiyah disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal daiantaranya adalah persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan dll. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah perang salib dan serangan Mongol.

18 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA [1]

K. Umam, “Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Daulah Abbasiyah (Khalifah Harun Ar-Rashid Dan Al-Ma Mun Tahun 786-833 M),” pp. 1–86, 2012.

[2]

P. K. Hitti, History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.

[3]

P. K. Hitti, History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.

[4]

S. Nasution, SEJARAH PERADABAN ISLAM, Third. Riau: Yayasan pustaka Riau, 2013.

[5]

A. Syalabīy, Mawsū’at al-Tārīkh al-Islāmīy wa al-Hadhārat al-Islāmiyyah, Jilid III, VI. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1978.

[6]

Edianto, “Bani Abbasiyah,” J. Al hikmah, vol. XIX, no. 2, pp. 38–59, 2017.

[7]

Hasjm, Sejarah kebudayaan Islam. jakarta: Bulan Bintang, 1993.

[8]

M. Al-Fikri, “ISLAM MASA DAULAT BANI ABBASIYAH,” 2019. [Online]. Available: http://mukhofasalfikri.com/buku-elektronik-historical/. [Accessed: 03-Mar-2019].

[9]

I. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: terj, Gufron Mashadi, Rajawali Pers. Jakarta: Rajawali Press, 1999.

[10] Y. Al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. [11] A. Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab.

19 | P a g e

Related Documents

Tugas Makalah Spi
October 2019 35
Spi
June 2020 37
Spi
May 2020 36
Spi
August 2019 48

More Documents from ""