Tugas Makalah Spi

  • Uploaded by: Lailatul Fitri Mubarokah
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Makalah Spi as PDF for free.

More details

  • Words: 3,782
  • Pages: 16
AGEN-AGEN WANITA UNTUK PERUBAHAN SOSIAL DI TENGAH MASYARAKAT MUSLIM A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat menemukan hal-hal baru yang dapat dikembangkan dan diperoleh untuk menghadapi tantangan yang ada sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan dapat mengarahkan pada upaya pembentukan manusia yang berbudaya. Dengan makin berkualitasnya hidup manusia, manusia dapat mengaktualisasikan dirinya secara terus menerus dalam meningkatkan kualitasnya sebagai seorang manusia yang sesungguhnya ke arah yang lebih baik dalam berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan. Sejak awal, islam tidak melarang perempuan untuk berilmu dan berpendidikan tinggi, asalkan ia tidak melupakan fitrahnya sebagai perempuan. Hal ini dibuktikan dengan hadist nabi: “Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim dan muslimah”. Menuntut ilmu tidak hanya diwajibkan bagi kaum laki-laki akan tetapi juga berlaku bagi kaum perempuan yang ditunjukkan pada kata “muslimah” pada hadits tersebut. Sebelum dikenal adanya emansipasi wanita, perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat yang melarang perempuan bersekolah meraih pendidikan tinggi. Perempuan diposisikan sebagai kelas dua dan ada stereotip bahwa kelak perempuan hanya beraktivitas dalam ranah domestik. Masyarakat Jawa membangun stereotip bahwa ruang lingkup perempuan ada di 3 R (kasur, dapur, dan sumur). Begitulah kondisi gender di era pra emansipasi. Perempuan tidak diperbolehkan sekolah dan memperoleh pendidikan. Pada masa itu, perempuan harus tunduk dalam sebuah budaya yang sangat patriarki.

1

Pada era globalisasi seperti saat ini istilah emansipasi sudah tidak asing lagi. Peran seorang wanita sangat banyak. Pendidikan yang dahulu lebih identik ditempuh oleh pria menjadi tidak asing lagi sekarang ketika ditemukan banyak wanita yang memiliki gelar membanggakan karena tingginya tingkat pendidikan yang telah dicapai. Perubahan sosial yang deras ini terjadi pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20. Seiring dengan bergulirnya roda sejarah, status sosial kaum perempuan perlahan-lahan berubah. Perubahan terjadi antara lain karena adanya tokoh-tokoh penggerak emansipasi yang membuka jalan bagi pendidikan kaum wanita. Tokoh-tokoh penggerak emansipasi ini antara lain Raden Dewi Sartika (dari Bandung), R.A. Kartini (dari Jepara), Rohana Kudus (dari Kotogadang), serta Rahmah El-Yunusiyah (dari Padang Panjang). Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, keadaan berubah secara drastis. Kebebasan terbuka lebar bagi bangsa Indonesia untuk berkiprah di segala bidang. Jelas pula perubahan yang terjadi. Sekarang, wanita sudah setara dengan pria untuk mendapatkan hak atas pendidikan. Melalui makalah ini, penulis akan membahas tokoh-tokoh wanita yang berpengaruh dalam emansipasi wanita pada pendidikan di tengah masyarakat muslim Indonesia. Penulis akan mencoba menjabarkan lebih jauh apa makna emansipasi itu sendiri dan siapa saja tokoh-tokoh emansipasi wanita dalam pendidikan di Indonesia yang mayoritas beragama muslim serta menjabarkan pemikiran-pemikiran yang dicetuskan oleh para tokoh-tokoh wanita tersebut.

2

B. POKOK PEMBAHASAN 1. Pengertian Emansipasi Emansipasi yaitu pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.1 Emansipasi berasal dari bahasa Latin "emancipatio", artinya adalah pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dahulu, istilah ini dipakai terhadap upaya seorang anak yang belum dewasa agar lepas dari kekuasaan orang tua mereka dengan maksud untuk mengangkat derajat atau haknya.2 Istilah itu secara luas digunakan untuk menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperoleh persamaan derajat atau hak-hak politik, lazimnya digunakan bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dibahas dalam hal-hal berkaitan masalah persamaan derajat.3 Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian lebih sering dikaitkan dengan emansipasi wanita (baca persamaan hak dan kedudukan bagi wanita) dalam rangka memperoleh persamaan hak, derajat, dan kebebasan seperti halnya kaum lelaki. Sejak abad ke-14 M sudah ada gerakan untuk memperjuangkan persamaan bagi wanita yang sekarang orang lebih mengenalnya sebagai emansipasi wanita. 4 Berbicara tentang siapa sebenarnya wanita, Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah menjelaskan bahwa wanita itu manusia seperti pria, tidak ada perbedaan bila dilihat dari anggota badan, tugas, perasaan, pemikiran dan semua yang menyangkut dengan hakikat manusia. Kalaupun akan ada juga perbedaan antara keduanya, itu hanyalah sekedar pengaruh perbedaan jenis. 1 Sugihastuti. Siti Hariti Sastriyani. Glossarium Seks dan Gender. (Yogyakarta: Caravasti Books, 2009), hlm. 58. 2 Kemenag Riau, Emansipasi Wanita, http://riau1.kemenag.go.id/index.php/a=artikel&id=49, diakses pada 13 Desember 2013, Jam 06:30 3 Ibid., 4 Ibid.,

3

Menurut Qasim Amin, pendidikan bagi wanita merupakan sesuatu yang sangat penting dalam rangka memajukan suatu bangsa, baik ditinjau dari statusnya sebagai anggota masyarakat, ataupun sebagai ibu rumah tangga. Wanita, menurut Qasim Ami, tidak mungkin mengurus rumah tangga dengan baik, kecuali dengan bekal ilmu pengetahuan. Dengan bekal pengetahuan ini dia dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan perasaannya dan dapat berbuat dengan penuh keyakinan. Dengan pengetahuan tulis baca ia dapat memahami berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu bumi, sejarah bangsa-bangsa, astronomi, fisika dan lain-lain, sehingga dirinya penuh dengan pengetahuan, dengan demikian dia juga dapat pula memahami masalah aqidah dan etika agama. Intelektualnya (akalnya) akan siap menerima pendapat-pendapat yang benar dengan penuh kesadaran dan menghindarkan diri dari khufarat dan kebathilan yang mematikan akal sehat kewanitaannya. Dengan pendidikan mental maupun intelektual diharapkan pula akan dapat membentuk wanita yang berahklak baik. 2. Tokoh-tokoh Wanita yang Berpengaruh dalam Emansipasi Wanita pada Pendidikan Masyarakat Muslim Imdonesia a. R. A. Kartini Kartini adalah salah satu putri Sosroningrat, yaitu seorang Bupati Jepara. Kartini lahir di desa Mayong tanggal 28 Robiul Akhir 1808. 5 Saat itu Ayah Kartini masih menjabat sebagai wedana di desa Mayong. Kartini bukanlah anak dari seorang Raden Ayu, namun Kartini terlahir dari rahim seorang perempuan desa biasa. Karena Sosroningrat, Ayah Kartini mempunyai dua orang istri yaitu Ngasirah yang pertama kali dinikahinya saat ia masih menjadi wedana dan menjadi ibu dari Kartini dan yang kedua adalah R.A Moerjam. Ngasirah adalah anak dari Kyiai Haji Modirono seorang guru Agama terkenal dari Teluk Awur Jepara, dan Ibunya Hajah Siti Aminah 5 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Armijn Pane, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 3.

4

juga dari desa Teluk Awur. Ngasirah dinikahi Sosroningrat pada tahun 1872 yang berstatus menjadi garwo ampil. Dan pada tahun 1875 Sosroningrat menikahi anak dari seorang Bupati Jepara sebelumnya yaitu R.A.A Tjitrowikromo yang bernama R.A Moerjam sebagai garwa padmi, yaitu status yang lebih tinggi dan terhormat dari status Ngasirah.6 Kartini adalah seorang wanita dari kelas bangsawan Jawa. Ayahnya dikenal sebagai salah seorang bupati Jawa yang paling maju. 7 Karena faktor ini, Kartini diperbolehkan untuk bersekolah di ELS (Europese Lagere School), hingga umur 12 tahun. Di sini Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah, karena adat pada waktu itu melarang seorang wanita untuk “melihat” dunia luar kecuali ia telah memiliki suami.8 Kemampuannya berbahasa Belanda, membuat Kartini belajar secara otodidak di rumah, dan mulai menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Ia sangat tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa, yang didapatnya dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Kartini berkeinginan untuk memajukan perempuan Nusantara, yang saat itu masih berada mengalami diskriminasi.9 Kartini menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang realita sosial saat itu, khususnnya tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar suratsuratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang sedikit mengekang perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Dalam suratnya Kartini berharap agar perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan yang sama 6 Siti Soemandari Soeroto, Kartini; Sebuah Biograf, (Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm.13. 7 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta, Serambi: 2008), hlm. 340 8 R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang; Door Duisternis Tot Licht, (Yogyakarta, Narasi: 2011), hlm. 9 9 Tri Darma Yudha Pirhot, R. A. Kartini:Ketika Surat menjadi Alat Perjuangan, http://pirhotnababan.blogspot.com/2012/03/ra-kartini-ketika-surat-menjadi-alat.html, diakses pada 11 Desember 2013, Jam 14:50

5

dengan tujuan agar mereka (perempuan) menjadi seorang ibu yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan keluarga maupun masyarakat sebagai berikut: “… menjadikan mereka sebagai perempuan yang cakap dan baik, yang sadar akan panggilan budinya, sanggup menjalankan kewajibannya yang besar dalam masyarakat. Agar dalam masyarakat itu dia menjadi ibu yang baik, pendidik yang bijaksana, pengatur rumah tangga yang mampu pemegang uang dan pembantu yang baik bagi siapapun yang memerlukan bantuan”10 Menurut Kartini, seorang ibu juga bertanggung jawab terhadap pembentukan budi pekerti anak-anak mereka. Sebagiamana dalam suratnya kepada Tuan Prof. Dr. G. K. Anton dan istrinya pada tanggal 4 Oktober 1902 sebagai berikut: “Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu”.11 Selain kewajibannya sebagai seorang ibu, perempuan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha memajukan bangsa dan pendukung peradaban. Sebagaimana surat Kartini kepada nona Zeehandeler pada tanggal 9 Januari 1901 sebagai berikut: “Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang amat penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan jadi pembawa peradaban”12 Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya tersebut mendapat tanggapan dari R.M. Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini. Abendanon menerbitkan surat-surat Karini pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Gagasan dan pemikiran-pemikirannya 10 Kartini, Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terj. Sulastrin Sutrisno,

(Bandung: Djambangan, 1979), hlm. 126. 11 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Armijn Pane, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 3. 12 Ibid., hlm. 47

6

yang tertuang dalam surat-suratnya inilah yang kemudian banyak membuka mata hati dan perubahan tentang sejarah peran wanita di Indonesia. Cita-cita Kartini untuk memperjuangkan nasib wanita di Indonesia hanya bisa sebatas wacana dalam suratnya, Pada umur 25 tahun-sebuah usia yang relatif masih muda-Kartini harus menjumpai ajalnya setelah ia melahirkan anak pertama. Meskipun begitu, upayanya memperjuangkan nasib wanita di Indonesia tetap abadi hingga saat ini. Pemerintah pun telah mengabadikannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964. b. Raden Dewi Sartika Dewi Sartika merupakan keturunan menak atau priyayi. Dari garis keturunan ibunya, ia adalah cucu dari Dalem Bintang, yakni Bupati Bandung pada tahun 1846-1874. Namun ayahnya, Raden Somaganara, yang sempat menjabat menjadi Patih Bandung bersama dengan kakek Dewi Sartika, R.Demang

Soeriadiprdja

menyusun

sebuah

penentangan

terhadap

terpilihnya RA Martanegara sebagai Bupati Bandung menggantikan Raden Adipati Kusumadilaga. Kejadian ini dikenal dengan Peristiwa Dinamit Bandung. Peristiwa ini terjadi pada 17 dan 20 Juli 1893. Akhirnya karena hal ini, Somanagara diasingkan ke Ternate dan kakek Dewi Sartika diasingkan ke Pontianak.13 Saat ayahnya diasingkan, ibu Dewi Sartika turut serta ke Ternate. Dewi Sartika dan saudara-saudaranya dititipkan terpisah-pisah ke kerabat mereka. Dewi Sartika dititipkan pada pamannya, Raden Demang Suriakarta Adiningrat, kakak dari ibu Dewi Sartika. Pamannya adalah Patih Afdeling Cicalengka. Dewi Sartika tinggal disana sampai ia berusia 18 tahun. 14 Saat di Cicalengka, Dewi Sartika mendapati bahwa banyak perempuan bahkan dikalangan Menak yang tidak bisa baca tulis. Istri keempat pamannya yang bernama Nyi Raden Eni atau disapa Agan Eni 13 Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) 14 Atrika Sartika, Dewi Sartika Simbol Perjuangan Emansipasi Wanita, http://filosofilandak.blogspot.com/2013/04/dewi-sartika-simbol-perjuangan.html, diakses pada 11 Desember 2013, Jam 23:58

7

menerima gadis-gadis yang ingin mondok dan belajar etika seorang perempuan Menak Sunda. Namun ternyata mereka tetap saja tidak diajari baca tulis karena dianggap tidak perlu memiliki skill semacam itu, cukuplah mampu melayani dan mengurusi rumah dengan baik. Kondisi ini membuat Dewi Sartika mengembangkan pendidikan bagi perempuan.15 Di Bandung inilah Dewi Sartika secara serius merintis sekolah untuk perempuan. Pada tahun 1902 tersebutlah, di halaman belakang rumah ibunya, Dewi Sartika membuka sebuah sekolah untuk perempuan. Dewi Sartika membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin belajar dibawah pengajaran beliau tanpa peduli status sosial mereka. Dewi Sartika mengajar secara sukarela tanpa meminta upah. Sebagai gantinya banyak muridmuridnya yang datang dengan membawa makanan atau membawa keperluan dapur. (Bisa jadi ini pun menjadi sumber penghidupan Dewi Sartika sebab saat ayahnya diasingkan ke Ternate seluruh harta mereka pun disita oleh pemerintah).16 Tekad Dewi Sartika untuk menyediakan pendidikan bagi perempuan bisa jadi semakin bulat sebab melihat kondisi ibunya yang tidak bisa berusaha sendiri untuk menghidupi diri dan keluarganya. Sebab meskipun ibunya berasal dari golongan Menak namun beliau hanya mendapat pendidikan tata krama dan hal-hal terkait tentang pembawaan seorang Menak di lingkungan sosial, namun tidak diajari keterampilan yang memadai untuk bisa berusaha sendiri. Baca-tulispun tidak termasuk dalam pendidikan kaum Menak untuk perempuan. Bisa jadi hal ini yang membuat Dewi Sartika segera merealisasikan rencananya membuat sekolah tersebut meskipun dengan sarana yang seadanya.17 Akhirnya pada 16 Januari 1904 secara resmi didirikanlah Sakola Istri yang tempat belajarnya dipindahkan dari rumah Dewi Sartika ke halaman 15 Ibid., 16 Ibid., 17 Ibid.,

8

depan rumah Bupati Bandung, tepatnya dalam ruangan di Paseban Barat. (Kini tempat tersebut sudah hancur dan menjadi bagian dari taman di Pendopo Alun-Alun Bandung). Saat awal berdirinya, Sakola Istri memiliki 3 orang pengajar yakni Dewi Sartika, Nyi Poerwa, & Nyi Oewit. Dengan jumlah murid pertama kali sekitar 60 orang. 18 Karena jumlah murid yang terus bertambah, tahun 1905 dipindahkanlah Sakola Istri ke jalan Ciguriang-Kebon Cau. Lahan ini dijadikan lahan sekolah baru dan dibeli sendiri oleh Dewi Sartika dengan uang tabungannya. Pada 1910 tepatnya pada 5 November 1910 pukul 19.00 didirikanlah Perkumpulan Kautamaan Istri yang dibentuk oleh Residen Priangan W.F.L Boissevain dikediamannya yang dikenal sebagai Gedung Pakuan. Pada 1911 tepat pada nama Sakola Istri diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri karena banyaknya sumbangsih yang diberikan oleh perkumpulan tersebut. Berkat dana yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Kautamaan Istri ini, dibangunlah cabang-cabang Sakola Keutamaan Istri di Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta. Pada peringatan 7 tahun pendirian sekolah ini, Dewi Sartika berpidato yang kemudian dibukukan dan diterbitkan di Bandung oleh A.C Nix & Co pada tahun 1912 dengan judul Buku Kautamaan Istri.19 Di masa hidupnya, Dewi Sartika dua kali mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda yakni pada tahun 1922 dan 1939. Pada tahun 1922 beliau dianugerahi Bintang Perak oleh pemerintah Hindia Belanda, dan tahun 1939 diberi penghargaan yang lebih tinggi lagi yakni Bintang Emas. Hal ini berarti membantah penyataan yang mengatakan bahwa Raden Dewi Sartika dilingkungan orang-orang Belanda tidak begitu dikenal. Fakta ini juga terbantahkan dengan data bahwa perhatian publik atas keberadaan Sekola Kautamaan Istri cukup bagus karena di tahun 1913 Sakola Kautamaan Istri sempat dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Kemudian pada tahun 18 Ibid., 19 Ibid.,

9

1916 Sakola Kautamaan Istri dikunjungi oleh Nyonya Limburg van Stirum (istri dari Gubernur Jenderal yang baru).20 c. Siti Roehana Kudus Siti Roehana lahir pada 20 Desember 1884, di Kotogadang, Sumatra Barat.21 Roehana berasal dari keluarga terpandang, dari salah satu jalur matrilineal tertua di Kotogadang, yakni keturunan Datuk Dinagari dari Puak Kato. Ayah Roehana, Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, bekerja sebagai seorang hoofdjaksa (jaksa kepala), jabatan yang termasuk berkelas pada masa itu. Ayah Roehana pernah mendapat penghargaan dari Kerajaan Belanda. Darah keluarga Rasjad memang tergaris profesi jaksa. Datoek Dinagari, kakek buyut Roehana, adalah jaksa pertama di Bukitinggi sekurun 1833-1836. Paman Roehana, adik Rasjad, juga seorang jaksa, begitu pula saudara-saudara lelakinya yang lain. Roehana adalah anak pertama Rasjad dari Kiam, istri pertama Rasjad. Dari Kiam, Rasjad memperoleh enam anak. Setelah Kiam wafat, Rasjad menikah lagi hingga lima kali. Salah satu anak lelaki Rasjad adalah Soetan Sjahrir. 22 Dengan demikian, Sjahrir dan Roehana adalah saudara tiri lain ibu. Adik Rasjad, paman Roehana dan Sjahrir, adalah kakek dari Agus Salim, yang pada akhirnya nanti menjadi bapak bangsa Indonesia. Keluarga Roehana memang seolah-olah ditakdirkan sebagai agen untuk perubahan. Jika di Jawa tersebutlah nama Kartini sebagai pendekar wanita yang paling kondang, kaum perempuan di Sumatra juga punya idola yang tidak kalah harum namanya: Siti Roehana Koedoes. Dari ranah Melayu, Roehana engiringi perjuangan yang dirintis Kartini. Sejarah telah menggurat riwayat, Kartini melegenda berkat jasa baktinya memperjuangkan kaum perempuan, demikian pula Roehana. Kedua srikandi Indonesia itu menempuh jalan 20 Ibid., 21 Tamar Djaja, Roehana Koddoes, Srikandi Indonesia, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980), hlm. 26. 22 Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 4-5.

10

pendidikan demi mengentaskan perempuan dari pembodohan dan penindasan. Sama yang dialami Kartini, cita-cita Roehana menemui jalan terjal karena desakan adat yang tak jarang menganggap rendah dalam memposisikan perempuan. Gugatan sentiasa merintangi misi Roehana, baik kecaman yang datang dari kalangan agamawan maupun pemuka masyarakat, terutama mereka yang berpikiran sempit dan anti kemajuan. “Tak ada pengorbanan suci yang sia-sia,” demikian Roehana meneguhkan hati.23 Upaya Roehana demi mencerdaskan bangsa telah dirintis sejak belia. Pada usia yang masih sangat muda, Roehana sudah menjadi guru dengan menyediakan rumahnya sebagai sekolah dadakan bagi anak-anak perempuan. Pelajaran yang diberikan meliputi membaca, menulis, bahasa, budi-pekerti, agama, dan keterampilan menganyam. Roehana memacu semangat murid-muridnya untuk maju dengan meyakinkan bahwa perempuan bisa juga menjadi dokter atau guru. Roehana menganjurkan, dalam upaya mencari ilmu, perempuan lebih baik merantau seperti yang lazim dilakukan kaum lelaki Minang. Bagi kaum adat, gagasan ini jelas menyimpang. Tetapi nyali Roehana tak ciut. Baginya, emansipasi harus terus diperjuangkan demi kemajuan kaum perempuan, khususnya dalam pendidikan. Pada 1911, Roehana membuka sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di kota kelahirannya, Kotogadang, Sumatra Barat. KAS berkembang pesat dan menghasilkan barang-barang kerajinan berkualitas tinggi. KAS adalah sekolah perempuan pertama di Sumatra yang digagas langsung oleh perempuan. Roehana menjadi wanita Sumatra pertama yang dengan sadar memulai usaha memajukan kaum perempuan. 23 Reni Nuryanti, Soenting Melajoe: Di sini, Nama Roehana Koedoes Terpahat, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 91.

11

Selain sebagai pendidik, Roehana juga disebut sebagai Ibu Pers Indonesia berkat perannya sebagai pelopor penerbitan koran perempuan pertama di Indonesia di mana perempuan mengambil peranan langsung dalam

teknis

penerbitannya.

Rohana

merupakan

cikal

bakal

lahirnya wartawan-wartawan profesional di Sumatra Barat. Roehana tak hanya sekadar berperan sebagai “pemanis” dalam koran-koran yang dikelolanya. Lebih dari itu, dia memainkan lakon sentral sebagai pemimpin redaksi Soenting Melajoe, koran perempuan yang terbit di Padang sejak

10

Juli

1912,

juga

koran-koran

bergenre

emanisipasi

wanita lainnya. Meskipun menjabat sebagai pemimpin redaksi, Roehana tak segan turun langsung ke bawah untuk meliput berita. Roehana juga terlibat aktif dalam perintisan perhimpunan perempuan di Sumatra. Melihat tumbuh subur berdirinya organisasi perempuan di tanah Minang, Roehana lalu berinisiatif untuk mewadahinya dan menjadi motor pendeklarasian perhimpunan Sarikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) sebagai wadah pemersatu berbagai organisasi perempuan Sumatra. SKIS resmi dibentuk di Padang pada 1911. Roehana mendirikan persatuan organisasi perempuan ini jauh sebelum Kongres Perempuan Indonesia digagas, yang kelak baru terlaksana pada 22-25 Desember 1928. d. Rahmah El-Yunusiyah Rahmah lahir di Padang Panjang, 29 Desember 1900, ia merupakan bungsu dari lima bersaudara.24 Rahmah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kuat adat dan agama.25 Perempuan, dalam pandangan Rahmah el-Yunusiyah, mempunyai peran penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikanjalurkehidupan mereka selanjutnya.26 Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan 24 Aminuddin Rasyad. Disertasi Perguruan Diniyyah Puteri Padangpanjang: 1923-1978, Suatu Studi Mengenai Perkembangan Sistem Pendidikan Agama. (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1982), hlm. 176. 25 Ibid., hlm. 132-133

12

pendidikan khusus kaum perempuan yang diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bldang intelektual, kepribadian ataupun keterampilan. Terlebih, saat itu masih banyak perempuan di daerahnya yang belum mendapatkan pendidikan seperti yang ia rasakan. Atas dasar inilah, ia mendirikan sekolah khusus perempuan dengan model pesantren, Diniyah Putri. Tidak lupa, ia memasukkan pendidikan keperempuanan dalam kurikulum sekolahnya agar perempuan tidak melupakan hak dan kewajibannya. Dengan berdirinya Diniyah Putri pada 1923, sang pendiri, Rahmah el-Yunusiyah, memperluas misi kaum modernis untuk menyediakan sarana pendidikan bagi kaum perempuan yang akan menyiapkan mereka menjadi warga yang produktif dan muslim yang baik. Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau, dan meletakkan tradisi baru dalam pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Indonesia. Diniyah Putri adalah akademi agama pertama bagi putri yang didirikan di Indonesia.27 Murid-murid pertamanya saat itu berjumlah 71 orang yang mayoritas terdiri dari ibu-ibu rumah tangga muda, dengan pelajaran diberikan setiap hari selama 3 jam di sebuah Masjid Pasar

Usang,

Padang

Panjang,

dengan

sistem

halaqah. 28

Dalam

perkembangannya, sekolah ini menjadi pesantren dan hanya menerima murid perempuan yang belum menikah. Tujuan akhir Rahmah adalah meningkatkan kedudukan kaum perempuan

dalam

masyarakat

melalui

pendidikan

modern

yang

berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum 26 Hamka, Ayahku Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amarullah Dari Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982), hlm. 245 27 hamruni, Jurnal Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahma el-Yunusiyah, Vol. 02 No. 01 (Juli, 2004) , hlm. 8 28 Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Pustaka LP3ES. 1982). hlm. 62-63.

13

perempuan dalam masyarakat tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, hal ini harus dilakukan oleh kaum perempuan sendiri." Melalui lembaga seperti itu, ia berharap bahwa perempuan bisa maju.29 Cita-cita dan gagasan Rahmah el-Yunusiyah tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan mungkin dipengaruhi oleh pengalaman dan capaian pendidikannya sendiri. Meskipun Rahmah hanya sempat mengecap pendidikan dasardi Padang Panjang, studinya yang mendalam terhadap agama adalah sesuatu yang tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad kedua puluh di Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan melalui pengaturan khusus dengan beberapa ulama modemis yang terkemuka, dalam pola kaum muda di zamannya. Selain itu, Rahmah belajar kerumahtanggaan dengan seorang bibi maternal, dan mempelajari soal kesehatan dan pemberian pertolongan pertama di bawah bimbingan enam orang dokter kelahiran India. Ia belajar senam dengan seorang guru Belanda di Sekolah Menengah Putri di Padang Panjang. Pada dasarnya Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat pendidikan formal bagi kaum perempuan hanya tersedla bagi segelintir orang. 30 Untuk menarik minat masyarakat, baik kaum intelektual maupun kaum adat (golongan yang sangat kuat memegang faham kuno: bahwa perempuan tidak perlu bersekolah), dan khususnya kaum ibu, maka sekolah inl menggunakan tiga macam perkataan yang menjadi satu yaitu: Dinijah School Poeteri, dengan nama yang spesiflk tersebut masyarakat menjadi tertarik dan pada masa penjajahan jepang dipopulerkan dengan nama "Sekolah Diniyah Puteri", sedang pada masa sekarang dikenal dengan

29 Ibid., hlm. 113 30 Lucy A. Wh.ley, Meletakkan Islam Ke Dalam Praktik : Perkernbangan Islam Dalam Perspektif Gender Di Minangkabau., hlm. 217

14

"Perguruan Diniyah Putri " Padang Panjang.

31

Nama ini juga sekaligus

sebagai perlambang pembaharuan pendidikan agama Islam untuk wanita. Tidak hanya Diniyyah Puteri, Rahmah juga mendirikan lembaga pendidikan Menyesal School untuk kaum Ibu yang belum bisa baca-tulis, kemudian Freubel School (Taman Kanak-kanak), Junior School (setingkat HIS), Diniyah School Puteri 7 tahun secara berjenjang dari tingkat Ibtidaiyah (4 tahun), dan Tsanawiyah (3 tahun).32 Rahmah ingin perempuan bisa menjadi sosok intelektual yang tetap pada fitrahnya dan anak didiknya menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak, karenanya ia tetap memasukkan pendidikan rumah tangga seperti menjahit, memasak dan keterampilan rumah tangga lainnya ke dalam kurikulum sekolahnya. Karena menurut Rahmah, masyarakat bisa baik bila rumah tangga dari masyarakat tersebut juga baik, karena rumah tangga adalah tiang masyarakat dan masyarakat adalah tiang negara, sebagaimana yang diajarkan oleh agama Islam. Ia menginginkan setiap wanita menjadi ibu yang baik dalam rumah tangganya, masyarakat dan sekolah. Menurut Rahmah hal ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan.33 C. KESIMPULAN Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan, yaitu: 1. Bahwa dalam sejarah kaum perempuan di Indonesia sangatlah banyak tokohtokoh yg berperan bagi pendidikan antara lain: Raden Dewi Sartika (dari Bandung), R.A. Kartini (dari Jepara), Rohana Kudus (dari Kotogadang), Rahmah El-Yunusiyah (dari Padang Panjang) 2. Pemikiran-pemikiran yg dicetuskan para tokoh wanita pendidikan itu sangat berpengaruh dengan kemajuan yg dialami masyarakat Indonesia saat ini, 31 Aminuddin Rasyad, dkk. Hj Rahmah El Yunusiyah dan Zainuddin Labay El' Yunusy Dua Bersaudara Tokoh Pembaharu Pendld/kan Islam di Indonesia, (Pengurus Perguruan Diniyah Putri Padang panjang Perwakilan Jakarta:Jakarta, 1991), hlm. 101 32 33

15

meskipun Indonesia masih mengalamai kemeresotan dalam bidang pendidikan. Setidaknya, kaum perempuan

16

Related Documents

Tugas Makalah Spi
October 2019 35
Tugas Spi 2
October 2019 24
Spi
June 2020 37
Spi
May 2020 36

More Documents from "Eliot Brown / New York Observer"

Tugas Makalah Spi
October 2019 35
Bab Iii
October 2019 21
Pengumuman.pdf
May 2020 23
Pengumuman.pdf
May 2020 21
Abstrack Ing.docx
December 2019 17