Makalah Kwn 6.docx

  • Uploaded by: Siti Nur Haliza
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Kwn 6.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,101
  • Pages: 18
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun

waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain. Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama” berbagai media di tanah air. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung 1

rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala tuntutan hukum. Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945,

Majelis

Permusyarwaratan

Rakyat

melalui

Ketetapan

MPR

Nomor

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembagalembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 1.2 Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan beberapa perumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah : Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut: 1.

Apakah penegakan hukum itu?

2.

Apakah itu aparatur penegak hukum?

3.

Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?

4.

Apakah Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?

5.

Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?

1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain: 1. Untuk memenuhi tugas mata kuiah Sistem Hukum Indonesia 2. Untuk menambah pengetahuan tentang Penegakan Hukum 3. Untuk mengetahui berbagai permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia

2

1.4 Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka atau studi literatur, yaitu penulis mengambil sumber penulisan dari internet dan jurnal hukum.

3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

lalu

lintas

atau

hubungan-hubungan

hukum

dalam

kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai

upaya

aparatur

penegakan

hukum

tertentu

untuk

menjamin

dan

memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat

pula

digunakan

istilah

‘penegakan

peraturan’

dalam arti

sempit.

Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan 4

nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

5

PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF

Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilainilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilainilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

6

Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hakhak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis,

sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang

menyangkut konsepsi yang niscaya terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai

pembatasan

kekuasaan

yang

kemudian

dikenal

dengan

aliran

konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi 7

manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kita pun memang belum berkembang secara sehat.

2.2 Aparatur Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar

kerja,

baik

hukum

materielnya maupun hukum acaranya.

Upaya

penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan 8

persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi

juga

pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration

of

law’

itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules

executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauh mana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu 9

ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.

2.3 Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu : a.

Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang

b.

Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

c.

Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d.

Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e.

Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah :

1.

Faktor Subjektif

a.

Sikap prilaku apriori Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang 10

bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.

b.

Sikap perilaku emosional Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

c.

Sikap Arrogence power Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.

d.

Moral Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaancobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.

2.

Faktor Objektif

a.

Latar belakang sosial budaya Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.

b.

Profesionalisme profesionalisme yang meliputi knowledge ( pengetahuan, wawasan ) dan skills ( keahlian, keterampilan ) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. 11

2.4 Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia

Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri. Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.

a.

Tingkat kekayaan seseorang.

Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang 12

bisa mementahkan dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu pelaku dapat membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya dengan pelaku pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa membayar pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah menerima putusan hakim. Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan pemerintah milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.

b.

Tingkat Jabatan Seseorang

Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku dari PT. Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak dan media elektronik menemukan ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai komisaris PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.

Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi mendapat keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya sampai hal ini terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan hukum dimana karna jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika melakukan pelanggaran hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang jabatannya rendah walaupun pada kasus yang sama.

13

c.

Nepotisme

Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer dari empat tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat. d.

Tekanan Internasional

Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang menewaskan tiga orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan Internasional ini mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti pesenjataan milisi Timor Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasuskasus kekerasan yamg terjadi di bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional, namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan. Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan permasalahannya diluar jalur hukum. 14

Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.

Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya

nilai-nilai

Pancasila

khususnya

nilai

kemanusiaan,

nilai

musyawarah untuk mufakat dan nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap

penegakan

hukum

yang

ada

di

Indonesia.

Hasil penelitian,

menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan atau situasional suatu daerah, apabila disuatu daerah penegakan hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat juga baik di daerah tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut menjadi kurang baik. Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk konsepsi

sistem hukum

Indonesia,

yang

penulis

sebut

dengan

Indonesia

Juripridence maka nilai-nilai Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan standar hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion (Kesatuan pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk Undang-Undang sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka 15

dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas baik, aturan hukum yang responsif

yang

sejalan

dengan

nilai-nilai

Pancasila

dan

selanjutnya

diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak hukum.

2.5 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM

Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik. Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa pemberdayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem 16

sosial; 3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, sesuai dengan asasasas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini

17

BAB III

PENUTUP

3.1

Kesimpulan

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

lalu

lintas

atau

hubungan-hubungan

hukum

dalam

kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.

18

Related Documents

Makalah Kwn 6.docx
April 2020 8
Kwn
June 2020 23
Makalah Kwn Pak Yanuar.docx
November 2019 24
Kwn
June 2020 23
Kwn
June 2020 19

More Documents from "GRACE KEEN J S"