PENDAHULUAN BAB I
1.1 LATAR BELAKANG Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbedabeda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Padatahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000,Word Health Organisation membuat daftar 91 negara yang endemik kusta.70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal (Depkes RI, 2005). Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India danBrazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun ada penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain angka prevalensi rate, angka penemuan kasus baru juga merupakan indikator yang harus diperhatikan (Depkes RI, 2005).
Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHOpada
tahun
itu,
90%
kasus
kusta
dunia
terdapat
di
Brasil,
Madagaskar,Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orangdiperkirakan
menderita
kusta.
Distribusi
penyakit
kusta
dunia
pada
2003menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikutioleh Brasil dan Myanmar (Depkes RI, 2005).Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsiJawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk. selanjutnya provinsi JawaBarat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan kusta? 1.3 TUJUAN 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien kusta 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui definisi penyakit Kusta Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari penyakit Kusta Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari penyakit Kusta Untuk menegetahui klasifikasi dari penyakit Kusta Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Kusta Untuk mengetahui patoflow dari penyakit Kusta Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan diagnostik dari penyakit Kusta Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Kusta
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI KUSTA adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.(Depkes RI, 1998) Kusta
merupakan
penyakit
kronik
yang
disebabkan
oleh
infeksi
mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)Kusta adalah penyakit infeksikronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial,mata,otot, tulang, dan testis ( djuanda,4.1997 ) Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer,tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
2.2 ETIOLOGI Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang,gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic yang bersifat tahan asam. Sampai saat ini kuman tersebut belum dapat dibiakkan dalam medium buatan, dan manusia merupakan satu-satunya sumber penularan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membiakkan kuman tersebut yaitu melalui: telapak kaki tikus, tikus yang diradiasi,armadillo, kultur jaringan syaraf manusia dan pada media buatan. Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui kerokan kulit penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering,dapat bertahan hidup sampai 9 hari di luar tubuh, sedangkan di tanah yang lembab dan suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai 46 hari.
2.3 MANIFESTASI KLINIS Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2) BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain. Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu: 1.
Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2.
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer ). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan ( paralise) Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3)
Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+) Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.
2.4 KLASIFIKASI A.Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953) Indeterminate(I) Tuberkuloid (T) Boderline-Dimorphous(B) Lepromatosa (L) B. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962) Tuberkoloid (TT) Borderline tuberculoid (BT)
Mid-Borderline (BB) Borderline Lepromatous (BL) Lepromatosa (LL) C.Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: Pause Basiler (PB) : I, TT, BT Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)menurut WHO No
Kelainan kulit & hasil
Bercak (makula) a.Jumlah b.Ukuran c.Distribusi 1
Pause Basiler
pemeriksaan
d.Konsistensi e.Batas f.Kehilangan rasa pada bercak g.Kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada bercak
a.Banyak a.1-5
b.Kecil-kecil
b.Kecil dan besar
c.Bilateral, simetris
c.Unilateral atau bilateral
d.Halus, berkilat
asimetris
e. Kurang tegas
d.Kering dan kasar
f.Biasanya tidak jelas,
e. Tegas
jika ada terjadi pada
f.Selalu ada dan jelas
yang sudah lanjut
g.Bercak tidak berkeringat,
g.Bercak masih
ada bulu rontok pada bercak
berkeringat, bulu tidak rontok
Infiltrat a.Kulit 2
b.Membranamukosa tersumbat perdarahan
Multiple Basiler
a.Ada, kadang-kadang a.Tidak ada
tidak ada
b.Tidak pernah ada
b.Ada, kadang-kadang tidak ada
dihidung
a.Punched out lessi
3
Ciri hidung
”central healing” penyembuhan ditengah
b.Medarosis c.Ginecomastia d.Hidung pelana e. Suara sengau
4
Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5
Penebalan saraf tepi
Lebih sering terjadi dini,
Terjadi pada yang lanjut
asimetris
biasanya lebih dari 1 dan simetris
6
Deformitas cacat
7
Apusan
Biasanya asimetris terjadi
Terjadi pada stadium
dini
lanjut
BTA negatif
BTA positif
2.5 PATOFISIOLOGI Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. M.leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
2.6 PATOFLO
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut: Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bilaperlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
Cuping telinga kiri atau kanan
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
Tidak menyenangkan pasien
Positif palsu karena ada mikobakterium lain
Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
Semua orang yang dicurigai menderita kusta
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat
Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
2.
Indeks Bakteri (IB): Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEYsebagai berikut :0 : Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang2 : Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang3 : Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang4 : Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang5 : Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang6 : Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang3.
Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IMdigunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
2.8 PENATALAKSANAAN 1.
Terapi
Medik
Tujuan
utama
program
pemberantasan
kusta
adalah
penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995sebagai berikut: 1) Tipe PB (Pause Basiler) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : A. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas B. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 69 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2) Tipe MB (Multi Basiler)Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: A. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas B. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum dirumah
C. DDS 100 mg/hari diminum dirumah Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. MenurutWHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yangdiselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakanRFT. Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100mgdan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosisdalam 24 jam. Putus obat Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2.
Perawatan Umum Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
A. Perawatan mata dengan lagophthalmos
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
B. Perawatan tangan yang mati rasa
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda luka, melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebihkurang setengah jam
Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
C. Perawatan kaki yang mati rasa
Penderita memeriksa kaki tiap hari
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
Masih basah diolesi minyak
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
Jari-jari bengkok diurut lurus
Kaki mati rasa dilindungi
D. Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
Luka dibalut agar bersih
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 PENGKAJIAN a.
Biodata Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh. c.
Riwayat Kesehatan Masa Lalu Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e.
Riwayat Psikososial Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan.
f.
Pola Aktivitas Sehari-hari Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1)
System Pengelihatan Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organorgan tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alismata akan rontok.
2)
System Pernafasan Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
3) System Persarafan Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip. Kerusakan Fungsi Motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos). Kerusakan Fungsi Otonom Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecahpecah.
4)
System Musculoskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5)
System
Integumen
Terdapat
kelainan
berupa
hipopigmentasi
(seperti
panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan. 2. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi. 3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan otot 4.
Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.
5. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang meluas 3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN Dx 1: Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan, ditandai dengan: DS: Pasien mengatakan susah tidur
Pasien mengatakan skala nyeri 6 DO: Pasien tampak gelisah Pasien tidak dapat beraktivitas Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan nyeri yang di alami klien berkurang Kriteria Hasil : Skala nyeri pasien 1-3 Grimace tidak ada Pasien dapat tidur atau istirahat dengan tenang Pasien dapat beraktivitas sesuai toleransi No
Intervensi
1
Kaji karakteristik nyeri
2
Observasi tanda-tanda vital.
3
4
5
Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi Atur posisi senyaman mungkin. Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.
Rasional Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien. Dapat mengurangi rasa nyeri. Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri. Menghilangkan rasa nyeri.
Dx 2: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi, ditandai dengan: DS : DO : Adanya lesi Terdapat oedeme, panas, bau di sekitar lesi Terdapat jaringan nekrotik Tidak terdapat jaringan granulasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam prosesinflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh
Kriteria Hasil : Menunjukkan regenerasi jaringan Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi No
Intervensi
Rasional
Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika Memberikan informasi dasar tentang 1
2
ada jaringan nekrotik dan kondisi
terjadi proses inflamasi dan mengenai
sekitar luka.
sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
Berikan perawatan khusus pada
Menurunkan terjadinya penyebaran
daerah yang terjadi inflamasi
inflamasi pada jaringan sekitar.
Evaluasi warna lesi dan jaringan 3
yang terjadi inflamasi, perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar.
4
5
Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.
Mengevaluasi perkembangan lesidan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi. Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi.
Istirahatkan bagian yang terdapat
Tekanan pada lesi bisa
lesi dari tekanan.
menghambat proses penyembuhan.
Dx 3: Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai dengan: DS: Klien mengeluh sulit melakukan aktivitas DO: Terdapat penurunan fungsi kekuatan pada bagian tubuh yang sakit Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan. Kriteria Hasil : Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari Kekuatan otot penuh
No 1
2
Intervensi
Rasional
Pertahankan posisi tubuh yang
Meningkatkan posisi fungsional pada
nyaman.
ekstremitas.
Perhatikan sirkulasi, gerakan,
Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi
kepekaan pada kulit.
pada ekstremitas. Mencegah secara progresif
Lakukan latihan rentang gerak secara 3
mengencangkan jaringan,
konsisten, diawali dengan pasif
meningkatkan pemeliharaan fungsi
kemudian aktif
otot/sendi.
Jadwalkan pengobatan dan aktifitas 4
Meningkatkan kekuatan dan toleransi
perawatan untuk memberikan
pasien terhadap aktifitas.
periode istirahat.
Dx 4: Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh, ditandai dengan: DS: Klien mengatakan belum dapat menerima kehilangan fungsi tubuhnya
DO: Klien tampak kurang percaya diri terhadap kondisi tubuhnya Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tubuh klien dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat. Kriteria Hasil : Pasien menyatakan penerimaan situasi dirinya Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif No
1
2
Intervensi Kaji makna perubahan pada pasien. Terima dan akui ekspresi frustasi,
Rasional Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal.
ketergantungan dan kemarahan.
Penerimaan perasaan sebagai respon
Perhatikan perilaku menarik diri.
normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan.
3
4
Berikan harapan dalam parameter
Meningkatkan perilaku positif dan
situasi individu, jangan
memberikan kesempatan untuk
memberikan kenyakinan yang
menyusun tujuan dan rencana untuk
salah.
masa depan berdasarkan realitas.
Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.
Meningkatkan perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien.
Dx 5: Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang meluas Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkantidak terjadi tanda-tanda infeksi. Kriteria Hasil: Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: Kalor, rubor, dolor, tumor dan fungsiolesa. TTV dalam batas normal No
Intervensi
Rasional Untuk mengetahui apakah pasian
1
Kaji tanda – tanda infeksi
mengalami infeksi. Dan untuk menentukan tindakan keperawatan berikutnya. Tanda vital merupakan acuan untuk men getahui keadaan umum pasien.
2
Pantau TTV,terutama suhu tubuh.
Perubahan suhu menjadi tinggi merupakan salah satu tanda – tanda infeksi.
3 4
Ajarkan teknik aseptik pada pasien
Meminimalisasi terjadinya infeksi
Cuci tangan sebelum memberi asuh
Mencegah terjadinya infeksi
an keperawatan ke pasien.
nosokomial
BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram positif, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Tanda dan gejala penyakit kusta:
1)
Lesi (kelainan) kulit yang mati rasaKelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2)
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer ). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a. b.
Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot ( parese) atau kelumpuhan ( paralise)
c.
Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+) Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu
dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai. 4.2 SARAN Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui konsep dasar penyakit Kusta dan dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan pasien Kusta.