BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang sekaligus memiliki kompleksitas masalah dalam bidang kesehatan. Menurut Umaroh (2015), Indonesia menyandang Triple Burden Diseases dengan angka penyakit menular yang masih tinggi, penyakit tidak menular yang terus berkembang, dan penyakit Re-emerging yang marak terjadi. Penyakit menular dan Re-emerging disease ini dapat berpotensi sebagai wabah atau kejadian luar biasa (KLB). Oleh karena itu disiplin ilmu epidemiologi berupaya menganalisis sifat dan penyebaran berbagai masalah kesehatan dalam suatu penduduk tertentu serta mempelajari sebab timbulnya masalah dan gangguan kesehatan tersebut untuk tujuan pencegahan maupun penanggulangannya Kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia masih cukup menjadi perhatian dunia kesehatan. Hal ini dikarenakan oleh tingginya angka KLB menjadi salah satu indikator kesuksesan upaya preventif bidang kesehatan dalam bidang surveillans epidemiologi. Kondisi ini menyebabkan perlunya peningkatan sistem kewaspadaan dini dan respon terhadap KLB tersebut dengan langkah-langkah yang terprogram dan akurat, sehingga proses penanggulangannya menjadi lebih cepat dan akurat pula. Untuk dapat mewujudkan respon KLB yang cepat, diperlukan bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari para petugas yang diterjunkan ke lapangan. Kenyataan tersebut mendorong kebutuhan para petugas di lapangan untuk memiliki pedoman penyelidikan dan penanggulangan KLB yang terstruktur, sehingga memudahkan kinerja para petugas mengambil langkah-langkah dalam rangka melakukan respon KLB. Peristiwa bertambahnya penderita atau kematian yang disebabkan oleh suatu penyakit di wilayah tertentu, kadang-kadang dapat merupakan kejadian yang mengejutkan dan membuat panik masyarakat di wilayah itu. Secara umum kejadian ini kita sebut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), sedangkan yang dimaksud dengan penyakit adalah semua penyakit menular yang dapat menimbulkan KLB, penyakit yang disebabkan oleh keracunan makanan dan keracunan lainnya. Penderita atau yang beresiko penyakit dapat menimbulkan KLB dapat diketahui jika dilakukan pengamatan yang merupakan semua kegiatan yang dilakukan secara teratur, teliti dan terus-menerus, meliputi pengumpulan, pengolahan, analisa/interpretasi, penyajian data dan pelaporan. Apabila hasil pengamatan menunjukkan adanya tersangka KLB, maka perlu dilakukan penyelidikan epidemiologis yaitu semua kegiatan yang dilakukan untuk mengenal sifat-sifat penyebab dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya dan penyebarluasan KLB tersebut di samping tindakan penanggulangan seperlunya. Hasil penyelidikan epidemiologis mengarahkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan KLB. Upaya penanggulangan ini meliputi pencegahan penyebaran KLB, termasuk pengawasan usaha pencegahan tersebut dan pemberantasan penyakitnya. Upaya penanggulangan KLB yang direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait
secara terkoordinasi dapat menghentikan atau membatasi penyebarluasan KLB sehingga tidak berkembang menjadi suatu wabah (Effendi, 2009).
B. Tujuan 1. Mengetahui definisi Kejadian Luar Biasa (KLB) 2. Mengetahui kriteria kerja Kejadian Luar Biasa (KLB) 3. Mengetahui klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB) 4. Mengetahui macam-macam penyakit yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) 5. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) 6. Mengetahui langkah penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) 7. Mengetahui langkah penyelidikan epidemiologi Kejadian Luar Biasa (KLB)
BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Peningkatan frekuensi suatu penyakit yang relatif besar dalam waktu yang cepat sehingga jumlah penderita melampaui keadaan normal atau lebih tinggi daripada yang diharapkan atau yang diperkirakan sebelumnya, pada waktu dan tempat tertentu, disebut Keadaan Luar Biasa (KLB) (Noor, 2008). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010, kejadian luar biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Selain itu, Menteri Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai berikut: “Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”. Kejadian Luar Biasa : Persepsi Risiko Kesehatan. Pemerintah menetapkan status wilayah yang terjangkit wabah penyakit berdasarkan perhitungan angka kesakitan (morbidity) dan kematian (mortalitas). Bila di suatu wilayah ditemukan jumlah penderita melebihi jumlah penderita di bulan yang sama pada tahun lalu di wilayah itu atau angka kematiannya sudah melebihi 1%, status wilayah itu dinyatakan telah terjadi Kejadian Luar Biasa (Sinaga, 2015). B. Kriteria Kerja KLB Kriteria kerja KLB telah diatur dalam Kep.Dirjen PPM dan PLP No. 451 I/PD.03.04/1997 tentang Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan KLB, yakni sebagai berikut: 1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal. 2. Peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus-menerus selama kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya. 3. Peningkatan kejadian atau kematian ≥ 2 kali dibandingkan dengan periode sebelumnya. 4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukan kenaikan ≥ 2 kali bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan tahun sebelumnya. 5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukan kenaikan ≥ 2 kali dibandingkan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya. 6. CFR suatu penyakit dalam tertentu menunjukan kenaikan 50% atau lebih di banding CFR periode sebelumnya. 7. Proposional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan ≥ 2 kali dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu atau tahun sebelumnya. 8. Beberapa penyakit khusus: Kolera, DHF/DSS daerah endemis (setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya) dan terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit tersebut.
9. Beberapa penyakit yang dialami satu atau lebih penderita: keracunan makanan, pestisida, tetanus, gizi buruk, dipteri. (Umaroh, 2015).
C. Klasifikasi KLB Menurut Bustan (2002), Klasifikasi Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab dan sumbernya, yakni sebagai berikut: 1. Berdasarkan Penyebab a. Toxin Entero toxin, misal yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus, Vibrio, Kholera, Eschorichia, Shigella Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, Clostridium perfringens - Endotoxin b. Infeksi - Virus - Bakteri - Protozoa - Cacing c. Toxin Biologis - Racun jamur - Alfatoxin - Plankton - Racun ikan - Racun tumbuh-tumbuhan d. Toxin Kimia Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain cyanida, nitrit, pestisida. - Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN, dan sebagainya. 2.
Berdasarkan Sumber a. Sumber dari manusia Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti: Salmonella, Shigella, hepatitis. b. Bersumber dari kegiatan manusia Misalnya: toxin dari pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan pencemaran lingkungan. c. Bersumber dari binatang Misalnya: binatang peliharaan, rabies dan binatang mengerat. d. Bersumber pada serangga (lalat, kecoak) Misalnya: Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus e. Bersumber dari udara Misalnya: Staphylococcus, Streptococcus virus f. Bersumber dari permukaan benda-benda atau alat-alat Misalnya: Salmonella g. Bersumber dari makanan dan minuman
Misalnya: keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.
D. Macam - Macam Penyakit yang Menimbulkan KLB Menurut Rajab (2008) penyakit-penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kolera Pes Tifus Demam Berdarah Dengue Campak Polio Difteri Pertusis Rabies Malaria Influenza Hepatitis Tifus perut Meningitis Ensefalitis Antra
Adapula menurut dalam Permenkes 560/MENKES/PER/VIII/1989 telah ditetapkan 16 penyakit potensial wabah, yakni: Kholera, Pes, Demam Kuning, Demam Bolak - balik, Tifus Bercak wabah, DBD, Campak, Polio, Difteri, Pertusis, Rabies, Malaria, Influenza, Hepatitis, Tifus Perut, Meningitis, Ensefalitis, Antraks (Umaroh, 2015). a. Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Penyakit DBD sering menimbulkan kepanikan di masyarakat, karena penyebarannya yang cepat dan berpotensi menimbulkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue yang penularannya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang hidup digenangan air bersih di sekitar rumah. Umumnya kasus ini mulai meningkat saat musim hujan. Tahun 2011 jumlah kasus yang dilaporkan dan dinyatakan positif sebanyak 199 kasus dan 4 meninggal orang, (CFR: 2,0%). Dengan demikian dilihat dari indikator CFR, maka CFR Sambas sedikit di atas indikator nasional (<1%). Kasus DBD tersebar hampir merata di seluruh kecamatan di Kabupaten Sambas, namun bila dibandingkan dengan tahun 2010 jumlah kasus DBD mengalami penurunan yang signifikan dengan angka insiden DBD tahun 2010 39,3 per 100.000 penduduk. Dalam penanganan kasus DBD perlu melibatkan dan dukungan semua sektor, baik pemerintah, masyarakat maupun pihak swasta, dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk yaitu 3 M (menguras - mengubur - menutup tempat penampungan air). Upaya lain yaitu melakukan pemantauan rumah / bangunan bebas jentik serta melakukan pengenalan dini gejala DBD dan penanganannya di rumah. b. Diare Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, di mana sarana air bersih dan jamban yang tidak sehat serta perilaku manusia yang tidak sehat merupakan faktor dominan penyebab penyakit tersebut. Kasus diare dapat menyebabkan kematian terutama pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB). Pada tahun 2011 di Kabupaten Sambas terdapat 11.532 kasus dan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2010. Persentase diare ditemukan dan ditangani tahun 2011 adalah sebesar 22,75%. Dengan demikian program penyehatan lingkungan dan kebersihan individu menjadi sangat penting untuk mereduksi penyakit diare. Penyakit diare dapat dikorelasikan dengan perbaikan hygiene sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam kehidupan sehari - hari serta melibatkan kader dalam tatalaksana diare karena dengan penanganan yang tepat dan cepat ditingkat rumah tangga, maka diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus dehidrasi berat yang dapat mengakibatkan kematian. c. Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit infeksi menahun (kronis) yang disebabkan oleh cacing mikrofilaria. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening yang dapat menimbulkan cacat menetap (seumur hidup) berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin, sehingga dapat menimbulkan stigma sosial.
Di Indonesia kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini dengan jumlah penderita kronis (elephantiasis) kurang lebih 6.500 orang. Di Kabupaten Sambas jumlah penderita kronis filariasis berdasarkan laporan terdapat 82 kasus yang tersebar di 16 kecamatan. Penderita terbanyak di Kecamatan Sejangkung sebanyak 24 orang, Tekarang sebanyak 15 orang dan Sebawi sebanyak 17 orang. Angka kesakitan penyakit filariasis tahun 2011 sebesar 16 per 100.000 penduduk. Upaya pencegahan dan pemberantasan dilakukan dengan memutus rantai penularan dan mengobati penderita untuk mencegah infeksi sekunder. Dalam upaya mencapai eradikasi Filariasis tahun 2020 (WHO), diperlukan alat / sarana yang sensitif untuk penegakan diagnosis, sehingga penderita dapat ditemukan dalam stadium dini dan tidak sampai menimbulkan kecacatan.
E. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Timbulnya KLB Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang memengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah: 1. Herd Immunity yang Rendah Herd immunity merupakan kekebalan yang dimiliki oleh penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan tingkat kekebalan individu. Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit terkena penyakit tersebut. 2. Patogenesitas Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit. 3. Lingkungan yang Buruk Seluruh kondisi di sekitar organisme yang memengaruhi kehidupan ataupun perkembangan organisme tersebut. F. Penanggulangan KLB Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD - KLB) yang dimaksud Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani penderita, mencegah perluasan kejadian dan timbulnya penderita atau kematian baru pada suatu KLB yang sedang terjadi. Program penanggulangan KLB adalah suatu proses manajemen yang bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat (Sulistyaningsih, 2011). Penanggulangan KLB dilaksanakan dengan adanya SKD - KLB yang memiliki tujuan umum yaitu terselenggaranya kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB. Serta memiliki tujuan khusus yaitu: 1) Identifikasi atau Kajian Epidemiologi Ancaman KLB Untuk mengetahui adanya ancaman KLB, maka dilakukan kajian secara terus menerus dan sistematis terhadap berbagai jenis penyakit berpotensi KLB dengan menggunakan kajian: Data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB;
Kerentanan masyarakat seperti status gizi yang buruk, imunisasi tidak lengkap, personal hygiene yang buruk dll; Kerentanan lingkungan seperti sanitasi dan lingkungan yang jelek; Kerentanan pelayanan kesehatan seperti sumberdaya, sarana dan prasarana yang rendah atau kurang memadai; Ancaman penyebaran penyakitberpotensi KLB dari daerah lain; Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi.
Sumber data surveilans epidemiologi penyakit meliputi: laporan KLB/wabah dan hasil penyelidikan KLB, data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya, surveilans terpadu penyakit berbasis KLB, serta sistem peringatan dini KLB di rumah sakit. Sedangkan sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi meliputi: 1. Data surveilans terpadu penyakit 2. Data surveilans khusus penyakit berpotensi KLB 3. Data cakupan program 4. Data cakupan program tersebut diantaranya adalah 5. Data lingkungan pemukiman, perilaku masyarakat, pertanian, meteorologi dan geofisika 6. Informasi masyarakat sebagai laporan kewaspadaan dini 7. Data terkait lainnya (Kristina, 2014). 2)
Identifikasi atau Kajian Epidemiologi Ancaman KLB Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLB pada daerah tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3 - 6 bulan yang akan datang) dan disampaikan kepada semua unit terkait di Dinkes Kab./Kota, Provinsi dan Depkes RI, sektor terkait dan masyarakat sehingga mendorong peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB di unit pelayanan kesehatan dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan masyarakat perorangan dan kelompok. Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga dilakukan terhadap penyakit berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yangakan datang) agar terjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat dijadikan acuan perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB (Sulistyaningsih, 2011). 3) Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB Kewaspadaan dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB, peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini KLB, penyelidikan epidemiologi adanya dugaan KLB, kesiapsiagaan menghadapi KLB dan mendorong segera dilaksanakan tindakan penggulangan KLB (Sulistyaningsih, 2011). - Deteksi Dini Kondisi Rentan KLB. Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya kerentanan masyarakat, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan terhadap KLB dengan menerapkan cara - cara surveilans epidemiologi atau Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) kondisi rentan. Hal ini dapat dilakukan dengan: (1) Identifikasi kondisi rentan KLB, secara terus - menerus perubahan
kondisi lingkungan, kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan, kondisi status kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan KLB di daerah, (2) Pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB. Setiap sarana pelayanan kesehatan merekam data perubahan kondisi rentan KLBmenurut Desa/Kelurahan atau lokasi tertentu lainnya, menyusun tabel dan grafik PWS kondisi rentan KLB. Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus - menerus dan secara sistematis untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB, (3) Penyelidikan dugaan kondisi rentan KLB. Penyelidikan tersebut dapat dilakukan: Di sarana kesehatan secara aktif mengumpulkan informasi kondisi rentan KLB dari berbagai sumber termasuk laporan perubahan kondisi rentan oleh masyarakat,perorangan atau kelompok; Di Sarana kesehatan petugas meneliti dan mengkaji data kondisi rentan KLB, data kondisi kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat, status kesehatan masyarakat, status pelayanan kesehatan; Petugas kesehatan mewawancarai pihak - pihak terkait yang patut diduga mengetahui adanya perubahan kondisi rentan KLB; Mengunjungi daerah yangdicurigai terdapat perubahan kondisi rentan (Kristina, 2014). - Deteksi Dini KLB. Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya KLB dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan dugaan KLB: (1) Identifikasi kasus berpotensi KLB. Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke UPK diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain disekitar tempat tinggal kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan kasus; (2) PWS penyakit berpotensi KLB. Setiap UPK melakukan analisis adanya dugaan peningkatan penyakit dan faktor risiko yang berpotensi KLB diikuti penyelidikan kasus; (3) Penyelidikan dugaan KLB. Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara: Di UPK setiap petugas menanyakan kepada setiap pengunjung UPK tentang kemungkinan adanya peningkatansejumlah penderita yang diduga KLB pada lokasi tertentu; Di UPK setiap petugas meneliti register rawat jalan dan rawat inap khususnya yang berkaitan dengan alamat penderita, umur dan jensis kelamin atau karakteristiklain; Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa atau pihak yang terkait yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya peningkatan kasus yang diduga KLB; Membuka pos pelayanan di lokasi yangdiduga terjadi KLB; Mengunjungi rumah - rumah penderita yang dicurigai memunculkan KLB (Kristina, 2014). - Deteksi Dini KLB melalui Pelaporan Kewaspadaan KLB oleh Masyarakat Perorangan dan organisasi yang wajib membuat laporan kewaspadaan KLB antara lain: Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi KLB; Petugas kesehatan yang memeriksa penderita yangberpotensi KLB; Kepala instansi yangterkait seperti kepala pelabuhan, kepala stasiun kereta api, kepala bandara udara dll serta UPK lainnya; Nahkoda kapal, pilot dan sopir (Sulistyaningsih, 2011). - Kesiapsiagaan Menghadapi KLB. Kesiapsiagaan menghadapi KLB dilakukan terhadap SDM, sistem konsultasi dan referensi, sarana penunjang, laboratorium dan anggaran biaya, strategi dan tim penanggulangan KLB serta jejaring kerja tim penanggulangan KLB Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat (Kristina, 2014). 4) Tindakan Penaggulangan KLB yang Cepat dan Tepat
Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap kejadian KLB dapat terdeteksi dini dan dilakukan tindakan penanggulangan dengan cepat dan tepat, melalui: Advokasi dan Asistensi Penyelenggaran SKD - KLB, untuk menjaga kesinambungan penyelenggaraan dengan kinerja yang tinggi. Pengembangan SKD - KLB Darurat, untuk menghadapi ancaman terjadinya KLB penyakit tertentu yang sangat serius dapat dikembanghkan dan atau ditingkatkan SKD - KLB penyakit tertentu dalam periode waktu terbatas dan wilayah terbatas (Kristina, 2014). G. Penyeilidikan KLB Prinsip dasar penyelidikan wabah umumnya sama, pada penyakit menular dan tidak menular, (khusus untuk penyakit menular ada beberapa terminologi yang harus dipahami, yaitu: karier, kontak, masa penularan, menular, infeksi masa inkubasi, subklinis, isolasi, karantina transmisi, reservoir, sumber penularan, vektor, konvalesent, zoonosis, dan sebagainya) (Noor, 2008). Sebelum melakukan penyelidikan, langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan tujuan penyelidikan KLB. Menurut Weraman (2010), tujuan utama dari suatu penyelidikan KLB adalah untuk mencegah meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian), sedangkan tujuan khususnya dengan memastikan diagnosis penyakit, menetapkan KLB, dan menentukan sumber dan cara penularan. Menurut Noor (2008), terdapat 3 langkah dalam penyelidikan KLB, antara lain: 1. Garis Besar Pelacakan Wabah / Kejadian Luar Biasa Keberhasilan suatu kegiatan pelacakan wabah sangat ditentukan oleh berbagai kegiatan khusus. Pengumpulan data dan informasi secara seksama langsung di lapangan/tempat kejadian, yang diikuti dengan analisis data yang teliti dengan ketajaman penelitian merupakan landasan dari keberhasilan pelacakan. Menurut Weraman (2010), pertimbangan penetapan pelacakannya selain didasarkan pada perolehan informasi yang akurat juga harus mempertimbangkan hal-hal lain seperti sumber daya yang ada (dana, sarana, dan tenaga), luas wilayah KLB, asal sumber KLB, dan sifat penyakit. Dengan demikian maka dalam usaha pelacakan KLB, diperlukan langkah langkah yang merupakan pedoman dasar yang kemudian harus dikembangkan sendiri oleh investigator (pelacak) dalam menjawab pertanyaan yang mungkin timbul dalam kegiatan pelacakan tersebut. Walaupun penentuan langkah-langkah sangat tergantung tim pelacak, namun prinsip dasar seperti penentuan diagnosis serta penentuan adanya wabah harus mendapatkan perhatian lebih awal dan harus ditetapkan sedini mungkin. 2. Analisis Situasi Awal Pada tahap awal pelacakan suatu situasi yang diperkirakan KLB, diperlukan sekurang - kurangnya empat kegiatan awal yan bersifat dasar dari pelacakan. a. Penentuan / penegakan diagnosis Penelitian/pengamatan klinis dan pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk kepentingan diagnosis. Laporan awal yang diperoleh harus diamati secara tuntas apakah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (perhatikan
tingkat kebenarannya yaitu kasus pasti: ada kepastian pemeriksaan laboratorium serologi, bakteriologi, virologi atau parasitologi atau tanpa gejala klinis. Kasus mungkin: tanda/gejala sesuai dengan penyakitnya tanpa dukungan laboratorium. Kasus tersangka: tanda/gejala sesuai dengan penyakitnya tetapi pemeriksaan laboratorium negatif) (Lapau, 2011). Seperti contohnya wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD), harus jelas diagnosis secara klinis maupun laboratorium. Hal ini mengingat bahwa gejala DBD dapat didiagnosis secara tidak tepat, disamping itu, pemeriksaan laboratorium terkadang tidak cukup hanya satu kali. Dalam menegakkan diagnosis, harus ditetapkan kapan seseorang dapat dinyatakan sebagai kasus. Hal ini sangat tergantung pada keadaan dan jenis masalah yang sedang dihadapi. Seseorang dapat dinyatakan kasus hanya dengan gejala klinis saja atau dengan pemeriksaan laboratorium saja atau keduanya. Misalnya wabah diare, bila kita mengarah pada masalah diare secara umum maka diagnosisnya hanya dengan gejala klinis saja. Tetapi bial masalah ini diarahkan khusus untuk cholera Eltor, maka pemeriksaan laboratorium sangat menentukan disamping gejala klinis dan analisis epidemiologi. Weraman (2010) mengemukakan cara diagnosis penyakit pada KLB adalah dengan mencocokkan gejala atau tanda penyakit yang terjadi pada individu. Pada tahap ini paling tidak dapat dibuat distribusi frekuensi gejala klinis. Cara penghitungan distribusi frekuensi dari tanda dan gejala yang ada pada kasus antara lain: 1) Membuat daftar gejala yang ada pada kasus 2) Menghitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut 3) Menyusun urutan menurut frekuensinya Selanjutnya melakukan uji hipotesis dengan menyelaraskan pola klinis, laboratoris, dan pola epidemiologis dari kasus yang ditemukan dengan pengetahuan tentang penyakit tersebut. b. Penentuan adanya wabah Langkah ini adalah saat tindakan deskriptif mulai berperan. Sebelumnya harus dipastikan dulu bahwa memang benar terjadi epidemik (Magnus, 2010). Penentuan adanya wabah dapat dilakukan dengan melakukan usaha perbandingan keadaan jumlah kasus sebelumnya untuk melihat apakah terjadi kenaikan frekuensi, artinya apakah jumlah kasus yang dihadapi jauh lebih banyak dari sebelumnya, atau jumlah kasus lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya. Selain itu perbandingan periode waktu yang terdekat serta periode tahun sebelumnya untuk mengidentifikasi pola penyakit perlu dilakukan. Contohnya, jika seseorang melihat jumlah kasus saat musim panas, pada umumnya kasus campak lebih banyak terjadi daripada di musim lainnya. Di samping itu, juga dapat memeriksa rate yang disesuaikan menurut usia, jenis kelamin, dan ras untuk melihat apakah ada perbedaan subpopulasi yang mengalami penyakit dan rate yang disesuaikan dapat menunjukkan penjelasan alternatif wabah yang memang terjadi (Magnus, 2010).
c.
Uraian keadaan wabah Uraian keadaan wabah dapat diuraikan berdasarkan tiga unsur utama, yakni waktu, tempat, dan orang. Sebelumnya membuat kurva epidemi terlebih dahulu dengan menggambarkan penyebaran kasus menurut waktu mulainya timbul gejala penyakit. Di samping itu, menggambarkan penyebaran sifat epidemi berdasarkan penyebaran kasus menurut tempat/secara geografis (spot map epidemi). Selanjutnya melakukan perhitungan epidemiologi seperti perhitungan angka kejadian penyakit pada populasi dengan risiko seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, keterpaparan terhadap faktor tertentu (misalnya makanan, minuman atau faktor penyebab lainnya) serta berbagai sifat orang yang berguna dalam analisis. 3. Analisis Lanjutan Setelah melakukan analisis awal dan menetapkan adanya situasi wabah, selanjutnya ada beberapa pokok yang perlu diperhatikan pada tindak lanjut tersebut, yaitu: a. Usaha penemuan kasus tambahan 1) Pelacakan ke rumah sakit dan dokter praktek umum setempat untuk mencari kemungkinan penderita penyakit yang diteliti dan belum termasuk dalam laporan. 2) Pelacakan dan pengawasan yang intensif terhadap orang-orang yang tanpa gejala atau gejala ringan/tidak spesifik, tetapi memiliki potensi menderita atau melakukan kontak dengan penderita, misalnya penyakit hepatitis. b. Analisis lanjutan Dilakukan dengan menambahkan informasi yang didapatkan dan laporan hasil interpretasi tersebut. c. Menegakkan hipotesis Berdasarkan hasil analisis dari seluruh kegiatan, dibuatlah kesimpulan hasil analisis yang bersifat hipotesis tentang keadaan yang diperkirakan. Kesimpulan dari semua fakta yang telah ditemukan dan diketahui harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam hipotesis tersebut. d. Tindakan pemadaman wabah dan tindak lanjut Tindakan pemadaman wabah diambil berdasarkan hasil analisis dan sesuai dengan keadaan wabah yang terjadi. Tindakan pemadaman wabah harus disertai dengan berbagai kegiatan tindak lanjut (follow up) sampai keadaan normal kembali. Biasanyma kegiatan tindak lanjut dan pengamatan dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali masa tunas penyakit yang mewabah. Pada beberapa penyakit yang mempunyai potensi menimbulkan KLB susulan, perlu disusun suatu program dalam bentuk surveilans epidemiologi, terutama pada kelompok risiko tinggi. Pada akhir setiap pelacakan wabah, harus dibuat laporan lengkap yang kemudian dikirim kepada semua instansi terkait. Menurut Hasmi (2011), langkah - langkah yang dapat dilakukan untuk penyelidikan wabah atau KLB antara lain: 1. Menetapkan diagnosis
Melakukan pemeriksaan klinis dan laboratorium untuk memastikan diagnosa. Selalu mempertimbangkan apakah laporan permulaan benar dan diperlukan penetapan kriteria untuk menentukan seseorang kasus. 2. Menetapkan adanya suatu wabah Menunjukkan adanya kelebihan suatu kasus pada waktu ini dibandingkan dengan waktu - waktu sebelumnya. 3. Menguraikan wabah dalam hubungannya dengan orang, waktu, tempat. Membuat kurva epidemik, membuat spot map dan tabulasi penyebaran kasus menurut sifat orang, umur, jenis kelamin, pekerjaan dan lain - lain. 4. Merumuskan dan menguji hipotesa terjadinya wabah. Menunjukkan bentuk wabah, apakah dari orang ke orang atau berasal dari satu sumber. Berdasarkan pengetahuan yang didapat, kemudian menentukan siapa yang mempunyai risiko tertinggi untuk mendapatkan serangan penyakit. Mempertimbangkan kemungkinan - kemungkinan sumber - sumber dari mana penyakit berasal. Membandingkan kasus kasus dan penduduk lainnya yang tidak terserang (kontrol) dari segi pemaparan terhadap sumber yang tersangka. Melakukan uji statistik untuk menentukan sumber penularan yang mungkin. Bila memungkinkan mengusahakan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan hasil penyelidikan epidemiologi. 5. Mencari kemungkinan adanya kasus - kasus lain yang belum diketahui dan membuat uraian deskriptif bagi mereka seperti yang sudah dilakukan sebelumnya. 6. Menganalisis data. 7. Menentukan apakah fakta - fakta yang telah dikumpulkan mendukung hipotesa terjadinya wabah. 8. Membuat laporan penyelidikan wabah yang memuat pembahasan mengenai faktor - faktor yang menyebabkan wabah, penilaian terhadap usaha - usaha pemberantasan yang telah dilakukan dan rekomendasi rekomendasi untuk pencegahan di waktu mendatang.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kejadian luar biasa adalah peningkatan frekuensi penyakit sehingga jumlah penderita melampaui keadaan normal yang diperkirakan sebelumnya, pada waktu dan tempat tertentu. Terdapat 9 kriteria kerja kejadian luar biasa menurut Kep.Dirjen PPM dan PLP No. 451 I/PD.03.04/1997. Klasifikasi Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebabnya yaitu ; Toksin, infeksi, toksin biologis, dan toksin kimia. Sedangkan berdasarkan sumbernya yaitu ; Sumber dari manusia, kegiatan manusia, binatang, serangga, udara, permukaan benda, makanan dan minuman. Ada 18 penyakit yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa yaitu ; kolera, pes, demam kuning, demam bolak - balik, tifus, demam berdarah dengue, campak, polio, difteri, pertusis, rabies, malaria, influenza, hepatitis, tifus perut, meningitis, ensefalitis, antraks. Faktor yang memengaruhi kejadian luar biasa adalah Herd Imunity yang rendah, patogenesis, dan lingkungan yang buruk. Langkah dalam penanggulangan kejadian luar biasa dapat dilakukan dengan kajian epidemiologi, peringatan kewaspadaan dini, peningkatan kewaspadan dan kesiapsiagaan, dan tindakan penanggulangan dengan cepat dan tepat. Adapun langkah dalam penyelidikan kejadian luar biasa yaitu ; menetapkan diagnosis, menetapkan suatu wabah, menguraikan wabah dalam hubungannya dengan waktu dan tempat, merumuskan dan menghipotesa terjadinya wabah, mencari kemungkinan adanya kasus - kasus lain yang belum diketahui dan membuat uraian deskriptif bagi mereka seperti yang sudah dilakukan sebelumnya, menganalisis data, menentukan faktor - faktor yang mendukung, serta membuat laporan penyelidikan wabah.
Daftar Pustaka Bustan, 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Effendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika. Hasmi. 2011. Dasar - dasar Epidemiologi. Jakarta: Trans Info Media. Heukelbach, Jorg. et al. 2016. “Zika Virus Outbreak in Brazil”. JIDC (The Journal of Infection in Developing Countries), Vol. 10(2):116-120. Kristina. 2014. Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB). http://www.diskes.baliprov.go.id/id/SISTEM-KEWASPADAAN-DINIKEJADIAN-LUAR-BIASA--SKD-KLB-, diakses 13 November 2016. Lapuu, B. 2011. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Lednicky, John.et al. 2016. “Zika Virus Out breakin Haitiin 2014: Molecular and Clinical
Data”.
PLOS
Neglected
Tropical
Diseases.
DOI:10.1371/journal.pntd.0004687. Magnus, M. 2010. Buku Ajar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: EGC. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Jakarta: (tidak diterbitkan). Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip Prinsip Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Rajab, W. 2008. Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Sinaga, N, Siti. 2015. “Kebijakan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Di Indonesia”. Jurnal Ilmiah “Research Sains”. Vol 1: 1. Sulistyaningsih, 2011. Epidemiologi dalam Praktik Kebidanan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Umaroh, A.K., Badar, K., Dwi, A. 2015. “Kejadian Luar Biasa (KLB) BDB Berdasarkan Time, Place, Person di Puskesmas Boyolali (2011-2013)”. University Research Colloquinum. ISSN 2407-9189. Semarang: Kesehatan Masyarakat FIK UMS.
Weraman, P. 2010. Dasar Surveilans Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Gramedia Publishing.