MAKALAH
MANAJEMEN KEUANGAN “KONSEP PEMBIAYAAN PELAYANAN KESEHATAN”
OLEH : KELOMPOK 1
1. RESTU ANINDITYA THAYEB
: J1A1 16 348
2. RISA ATRIYANI R.
: J1A1 16 334
3. ARUM RAFIKA
: J1A1 16 313
4. BINSAR
: J1A1 16 181
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2019
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat. Karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “KONSEP PEMBIAYAAN PELAYANAN KESEHATAN ” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Agnes Mersatika Hartoyo, S.KM., M.Kes., selaku dosen mata kuliah Manajemen Keuangan yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa adanya saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Kendari, 18 Maret 2019
Kelompok 1
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ······························································· i KATA PENGANTAR ································································ ii DAFTAR ISI ··········································································· iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ································································ 1 B. Rumusan Masalah ···························································· 2 C. Tujuan Penulisan ······························································ 2 BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Pembiayaan Jasa Pelayanan Kesehatan ·························· 3 B. Konsep Dasar Biaya Fasilitas Kesehatan ·································· 6 C. Regulasi Pembiayaan Jasa Fasilitas Pelayanan Kesehatan ············· 13 D. Metode Pembayaran Jasa Fasilitas Pelayanan Kesehatan ··············· 16 E. Teknik Dasar Penentuan Tarif Pelayanan Kesehatan RS ··············· 21 F. Analisis Titik Impas (BEP=Break Even Point) ··························· 29 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ···································································· 35 B. Saran ············································································ 36 DAFTAR PUSTAKA ································································· 37
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa adanya kesehatan yang baik maka tidak akan ada masyarakat yang produktif. Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan merupakan suatu hal yang bernilai sangat insentif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senantiasa “siap pakai” dan terhindar dari ancaman penyakit. Di Indonesia sendiri tak bisa dipungkiri bahwa trend pembangunan kesehatan bergulir mengikuti pola rezim penguasa. Ketika pemerintah negeri ini hanya memandang sebelah mata pada pembangunan kesehatan, maka kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat akan menjadi sangat memprihatinkan. Salah satu sub sistem kesehatan nasional adalah subsistem pembiayaan kesehatan. Jika ditinjau dari dari defenisi sehat, sebagaimana yang dimaksud oleh WHO, maka pembiayaan pembangunan perumahan dan atau pembiayaan pengadaan pangan, yang karena juga memiliki dampak terhadap derajat kesehatan, seharusnya turut pula diperhitungkan. Pada akhir akhir ini, dengan makin
1
kompleksnya pelayanan kesehatan serta makin langkanya sumber dana yang tersedia, maka perhatian terhadap sub sistem pembiayaan kesehatan makin meningkat. Pembahasan tentang subsistem pembiayaan kesehatan ini tercakup dalam suatu cabang ilmu khusus yang dikenal dengan nama ekonomi kesehatan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep pembiayaan jasa pelayanan kesehatan? 2. Apa konsep dasar biaya fasilitas kesehatan? 3. Apa saja regulasi pembiayaan jasa fasilitas pelayanan kesehatan? 4. Bagaimana metode pembayaran jasa fasilitas pelayanan kesehatan? 5. Bagaimana teknik dasar penentuan tarif pelayanan kesehatan rumah sakit? 6. Apa yang dimaksud dengan analisis titik impas (BEP=Break Even Point)?
C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui konsep pembiayaan jasa pelayanan kesehatan 2. Untuk mengetahui konsep dasar biaya fasilitas kesehatan 3. Untuk mengetahui regulasi pembiayaan jasa fasilitas pelayanan kesehatan 4. Untuk mengetahui metode pembayaran jasa fasilitas pelayanan kesehatan 5. Untuk mengetahui teknik dasar penentuan tarif pelayanan kesehatan rumah sakit 6. Untuk mengetahui analisis titik impas (BEP=Break Even Point)
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Pembiayaan Jasa Pelayanan Kesehatan Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa “siap pakai” dan tetap terhindar dari serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini. Negara, pada beberapa kasus, juga demikian. Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat
dipandang sebagai
rendahnya
apresiasi
akan pentingnya
bidang
kesehatan sebagai elemen penyangga, yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru yang muncul karena kesalahan kita sendiri. Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010, pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang nyatanya cukup bertentangan dengan anutan desentralisasi, dimana kewenangan daerah menjadi otonom untuk menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat jauh dari pusat. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas : 1. Upaya Kesehatan 2. Pembiayaan Kesehatan 3. Sumber Daya Manusia Kesehatan 4. Sumber Daya Obat dan Perbekalan Kesehatan
3
5. Pemberdayaan Masyarakat 6. Manajemen Kesehatan
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan. Berbagai hal bias dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang mengalami transisi demokrasi ini.
Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan penggunaan anggaran yang efektif dan efisien akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan programprogram kesehatan yang hanya dilakukan secara asal-asalan dan tidak tepat fungsi. Relatif ketatnya birokrasi di lingkungan departemen kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di wilayah ini. Peran serta masyarakat dalam pembahasan fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi sangat minim, jika tak mau disebut tidak ada sama sekali.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanankesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality) . Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin
4
terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada umumnya adalah dalam area sebagai berikut: 1. meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan 2. mengupayakan
pencapaian
kepesertaan
semesta
dan
penguatan
permeliharaan kesehatan masyarakat miskin 3. pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan sosial (SHI) 4. penggalian dukungan nasional dan internasional 5. penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional 6. pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan fakta ilmiah 7. pemantauan dan evaluasi.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya.
5
B. Konsep Dasar Biaya Fasilitas Kesehatan
a) Pengertian Biaya Kesehatan Sub system pembiayaan kesehatan merupakan salah satu bidang ilmu dari ekonomi kesehatan (health economy). Yang dimaksud dengan biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Dari batasan ini segera terlihat bahwa biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yakni : 1. Penyedia Pelayanan Kesehatan Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan (health provider) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Dengan pengertian yang seperti ini tampak bahwa kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan atau pun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan. 2. Pemakai Jasa Pelayanan Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut pemakai jasa pelayanan (health consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Berbeda dengan pengertian pertama, maka biaya kesehatan di sini menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan. Dalam batas-batas tertentu, pemerintah juga turut mempersoalkannya, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya.
6
Dari batasan biaya kesehatan yang seperti ini segera dipahami bahwa pengertian biaya kesehatan tidaklah sama antara penyedia pelayanan kesehatan (health provider) dengan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer). Bagi penyedia pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan upaya kesehatan. Sesuai dengan terdapatnya perbedaan pengertian yang seperti ini, tentu mudah diperkirakan bahwa besarnya dana yang dihitung sebagai biaya kesehatan tidaklah sama antara pemakai jasa pelayanan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan lebih menunjuk padaa seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost) yang harus disediakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan besarnnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatka suatu upaya kesehatan. Secara umum disebutkan apabila total dana yang dikeluarkan oleh seluruh pemakai jasa pelayanan, dan arena itu merupakan pemasukan bagi penyedia pelayan kesehatan (income) adalah lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh penyedia pelayanan kesehatan (expenses), maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut mengalami keuntungan (profit). Tetapi apabila sebaliknya, maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut mengalami kerugian (loss). Perhitungan total biaya kesehatan satu negara sangat tergantung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh kedua belah pihakk tersebut. Hanya saja, karena pada umumnya pihak penyedia pelayanan kesehatan terutama yang diselenggrakan oleh ihak swasta tidak ingin mengalami kerugian, dan karena itu setiap pengeluaran telah diperhitungkan terhadap jasa pelayanan yang akan
7
diselenggarakan, maka perhitungan total biaya kesehatan akhirnya lebih banyak didasarkan pada jumlah dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan saja. Di samping itu, karena di setiap negara selalu ditemukan peranan pemerintah, maka dalam memperhitungkan jumlah dana yang beredar di sektor pemerintah. Tetapi karena pada upaya kesehatan pemerintah selalu ditemukan adanya subsidi, maka cara perhitungan yang dipergunakan tidaklah sama. Total biaya kesehatan dari sektor pemerintah tidak dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa, dan karena itu merupakan pendapatan (income) pemerintah, melainkan dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah (expenses) untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Dari uraian ini menjadi jelaslah untuk dapat menghitung besarnya total biaya kesehatan yang berlaku di suatu negara, ada dua pedoman yang dipakai. Pertama, besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta. Kedua, besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan untuk sektor pemerintah. Total biaya kesehatan adalah hasil dari penjumlahan dari kedua pengeluaran tersebut. b) Sumber Biaya Kesehatan Telah kita ketahui bersama bahwa sumber pembiayaan untuk penyediaan fasilitas-fasilitas kesehatan melibatkan dua pihak utama yaitu pemerintah (public) dan swasta (private). Kini masih diperdebatkan apakah kesehatan itu sebenarnya barang public atau private mengingat bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan yang dipegang oleh pihak swasta (private) cenderung bersifat komersil. Di sebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan, lebih dari setengah rumah sakit yang tersedia merupakan rumah sakit swasta, dan sekitar 30-50 persen segala bentuk pelayanan kesehatan diberikan oleh pihak swasta (satu dekade yang lalu hanya sekitar 10 persen). Hal ini tentunya akan menjadi kendala terutama bagi masyarakat golongan menengah ke
8
bawah. Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan jika menggunakan fasilitas-fasilitas kesehatan swasta tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tergolong menengah ke bawah. Sumber biaya kesehatan tidaklah sama antara satu negara dengan negara lain. Secara umum sumber biaya kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Bersumber dari anggaran pemerintah Pada sistem ini, biaya dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Pelayanannya diberikan secara cumacuma oleh pemerintah sehingga sangat jarang penyelenggaraan pelayanan kesehatan disediakan oleh pihak swasta. Untuk negara yang kondisi keuangannya belum baik, sistem ini sulit dilaksanakan karena memerlukan dana yang sangat besar. Contohnya dana dari pemerintah pusat dan provinsi. 2. Bersumber dari anggaran masyarakat Dapat
berasal
dari
individual
ataupun
perusahaan.
Sistem
ini
mengharapkan agar masyarakat (swasta) berperan aktif secara mandiri dalam penyelenggaraan maupun pemanfaatannya. Hal ini memberikan dampak adanya pelayanan-pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pihak swasta, dengan fasilitas dan penggunaan alat-alat berteknologi tinggi disertai peningkatan biaya pemanfaatan atau penggunaannya oleh pihak pemakai jasa layanan kesehatan tersebut. Contohnya CSR atau Corporate Social Reponsibility) dan pengeluaran rumah tangga baik yang dibayarkan tunai atau melalui sistem asuransi. 3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri Sumber pembiayaan kesehatan, khususnya untuk penatalaksanaan penyakit-penyakit tertentu cukup sering diperoleh dari bantuan biaya pihak lain, misalnya oleh organisasi sosial ataupun pemerintah negara lain. Misalnya bantuan
9
dana dari luar negeri untuk penanganan HIV dan virus H5N1 yang diberikan oleh WHO kepada negara-negara berkembang (termasuk Indonesia). 4. Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat Sistem ini banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia karena dapat mengakomodasi kelemahan-kelemahan yang timbul pada sumber pembiayaan kesehatan sebelumnya. Tingginya biaya kesehatan yang dibutuhkan ditanggung sebagian oleh pemerintah dengan menyediakan layanan kesehatan bersubsidi. Sistem ini juga menuntut peran serta masyarakat dalam memenuhi biaya kesehatan yang dibutuhkan dengan mengeluarkan biaya tambahan. Dengan ikut sertanya masyarakat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, maka
ditemukan
pelayanan
kesehatan
swasta.
Selanjutnya
dengan
diikutsertakannya masyarakat membiayai pemanfaatan pelayanan kesehatan, maka pelayanan kesehatan tidaklah cuma-cuma. Masyarakat diharuskan membayar pelayanan kesehatan yang dimanfaatkannya. Sekalipun pada saat ini makin banyak saja negara yang mengikutsertakan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan, namun tidak ditemukan satu negara pun yang pemerintah sepenuhnya tidak ikut serta. Pada negara yang peranan swastanya sangat dominan pun peranan pemerintah tetap ditemukan. Paling tidak dalam membiayai upaya kesehatan masyarakat, dan ataupun membiayai pelayanan kedokteran yang menyangkut kepentingan masyarakat yang kurang mampu. c) Macam Biaya Kesehatan Biaya kesehatan banyak macamnya karena semuanya tergantung dari jenis dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan atau dimanfaatkan. Hanya saja disesuaikan dengan pembagian pelayanan kesehatan, maka biaya kesehatan tersebut secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni :
10
1. Biaya pelayanan kedokteran Biaya yang dimaksudkan di sini adalah biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran, yakni yang tujuan utamanya untuk mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita. 2. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat Biaya yang dimaksudkan di sini adalah biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yakni yang tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah penyakit. Sama halnya dengan biaya kesehatan secara keseluruhan, maka masingmasing biaya kesehatan ini dapat pula ditinjau dari dua sudut yakni dari sudut penyelenggara kesehatan (health provider) dan dari sudut pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer). d) Permasalahan Seputar Pembiayaan Layanan Kesehatan Yang Ada Saat Ini Antara Lain: 1) Kurangnya dana yang tersedia; hal ini terjadi akibat pola pikir dimana biaya kesehatan merupakan suatu hal yang bersifat konsumtif dan bukan produktif, sehingga cendrung dikurangi. 2) Penyebaran dana yang tidak sesuai; hal ini terjadi saat pihak tertentu meminta bagian yang lebih, misalnya satu jabatan yang lebih tinggi merasa berhak menerima layanan kesehatan yang lebih baik pula, padahal hal tersebut lebih baik di alihkan kepada pihak lain yang lebih membutuhkan, sehingga aliran dana kesehatan lebih merata. 3) Pemanfaatan dana yang tidak tepat; adanya kesalahan pada pola pikir baik dari sisi penyedia maupun pemakai layanan kesehatan menyebabkan
11
kecendrungan pemanfaatan dana kesehatan yang tidak tepat. Misalnya meminta dilakukan pemeriksaan yang pada dasarnya tidak perlu dilakukan. 4) Pengelolaan dana yang belum sempurna; kurangnya keterampilan, pengetahuan dan moral dari pihak pengelola dana kesehatan akan dapat berdampak pada sistem pengelolan dana yang sudah ada, sehingga akan merugikan pihak – pihak lain yang terlibat di dalam sistem tersebut, seperti dokterm maupun pasien. 5) Biaya kesehatan yang makin meningkat; Seiring dengan bertambahnya tahun, biaya pelayanan kesehatan semakin meningkat. Adanya peningkatan biaya kesehatan sendiri, biasanya disebabkan oleh : 1) Tingkat Inflasi : peningkatan biaya yang terjadi di masyarakat, akan berdampak pada meningkatnya biaya investasi dan operasional kesehatan secara otomatis. Dan hal ini pada akhirnya akan kembali dibebankan pada pengguna jasa kesehatan. 2) Tingkat Permintaan; Peningkatan kuantitas (jumlah) penduduk dan kualitas (tingkata pendidikan dan pedapatan) penduduk akan menuntu penyediaan layanan kesehatan yang lebih tinggi pula, sehingga biaya yang dibutuhkan juga akan semakin meningkat. 3) Kemajuan Ilmu dan Teknologi; Kemajuan ilmu dan teknologi akan mendorong peningkatan biaya operasional sehingga akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan bagi pengguna jasa kesehatan. 4) Perubahan Pola Penyakit; Pergeseran pola penyakit dari akut menjadi kronis juga akan meningkatkan biaya jasa layanan kesehatan. 5) Perubahan Pola Pelayanan Kesehatan; Adanya pelayanan kesehatan spesialisasi dan subspesialisasi yang saat ini masih terkotak – kotak satu sama lain tanpa adanya penghubung seperti dokter keluarga / gate keeper lainnya menyebabkan tumpang tindih dan terjadinya pengulangan proses pemeriksaan yang sama, sehingga biaya kesehatan yang dikeluarkan pun meningkat pula.
12
6) Perubahan
Pola
Hubungan
Dokter-Pasien;
Hilangnya
hubungan
kekeluargaan antar dokter – pasien yang dulu ada menyebabkan hubungan antar dokter – pasien saat ini hanya seolah sebatas penyedia jasa dan konsumen saja, dimana disatu pihak pasien meminta kepastian akan kesehatan dan kondisinya, sementara itu sang dokter menganggap pasien sebagai lading penghasilan sehingga sering timbul adanya overutilisasi dan rasa was – was akan prosedur yang diberikan, sehingga semakin banyak dokter yang menggunakan asuransi terhadap prosedur medis yang dilakukan, namun preminya tetap dibebankan ke pasien. Sehingga biaya yang harus dibayarpun meningkat pula. 7) Lemahnya Mekanisme Pengendalian Biaya;
Kurangnya peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan untuk mengatur dan membatasi pemakaian biaya pelayanan kesehatan menyebabkan pemakaiannya sering tidak terkendali, yang akhirnya akan membebani penanggung (perusahaan) dan masyarakat secara keseluruhan. 8) Penyalahgunaan Asuransi Kesehatan; Penggunaan asuransi kesehatan dengan metode reimbursement/penggantian biaya kesehatan perkunjungan sebagai ganti biaya layanan yang dikeluarkan, seperti yang terjadi dahulu (sebelum adanya mekanisme kapitasi) malah akan meningkatkan pengeluaran di bidang kesehatan karena bisa saja terjadi pemalsuan bukti layanan kesehatan atau identitas. C. Regulasi Pembiayaan Jasa Pelayanan Kesehatan Pembiayaan kesehatan di Indonesia secara umum berasal dari Pemerintah, Swasta, Masyarakat dalam bentuk pembiayaan langsung (fee for service) dan asuransi, serta dari sumber-sumber lain dalam bentuk hibah atau pinjaman dari luar negeri. Diperkirakan pembiayaan kesehatan di masa depan akan semakin mahal. Hal ini disebabkan karena :
13
1. Pertumbuhan ekonomi nasional yang juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan (demand) masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. 2. Perkembangan teknologi kedokteran dan pertumbuhan industri kedokteran. Hampir semua teknologi kedokteran masih diimpor sehingga harganya relatif mahal karena nilai rupiah kita jatuh dibandingkan dolar Amerika. 3. Kemampuan anggaran pemerintah semakin terbatas. Asuransi kesehatan adalah suatu mekanisme pengalihan resiko (sakit) dari resiko perorangan menjadi resiko kelompok. Dengan cara mengalihkan resiko individu menjadi resiko kelompok, beban ekonomi yang harus dipikul oleh masing-masing peserta asuransi akan lebih ringan tetapi mengandung kepastian karena memperoleh jaminan. Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari asuransi kesehatan merupakan salah satu cara yang terbaik untuk mengantisipasi mahalnya biaya pelayanan kesehatan, dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Pemerintah dapat mendiversifikasi sumber-sumber pendapatan dari sektor kesehatan. 2. Meningkatkan efisiensi dengan cara memberikan peran kepada masyarakat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan. 3. Memeratakan beban biaya kesehatan menurut waktu dan populasi yang lebih luas sehingga dapat mengurangi resiko secara individu. Unsur asuransi kesehatan meliputi adanya Perjanjian, adanya Pemberian Perlindungan, serta adanya Pembayaran Premi oleh Masyarakat. Sedangkan jenis asuransi kesehatan yang berkembang di Indonesia 1. Asuransi kesehatan sosial (Sosial Health Insurance), seperti PT Askes untuk PNS dan penerima pensiun dan PT Jamsostek untuk tenaga kerja swasta.
14
2. Asuransi kesehatan komersial perorangan (Private Voluntary Health Insurance), seperti Lippo Life, BNI Life, Tugu Mandiri, Takaful, dan lainlain. 3. Asuransi kesehatan komersial kelompok (Regulated Private Health Insurance), seperti produk Asuransi Kesehatan Sukarela oleh PT Askes. Sistem Kapitasi : Sistem kapitasi merupakan suatu sistem pembiayaan kesehatan yang dilaksanakan
dimuka
(prepaid)
berdasarkan
kapita
atau
jiwa
yang
diikutsertakan. Kapitasi berarti bahwa pembayaran imbalan jasa pelayanan pada pemberi pelayanan kesehatan berdasarkan jumlah kapita (jiwa) yang ikut dalam program, baik sakit / tidak sakit, pembiayaan wajib diberikan. Segi positif dari sistem kapitasi ini adalah : Dengan sistem prepaid, dimungkinkan adanya suatu perencanaan yang lebih baik, sehingga memungkinkan tersedianya obat dan alat-alat kesehatan tepat pada waktunya. Mendorong pengumpulan data (untuk perencanaan) yang lebih baik dan akurat. Dengan kapitasi, akan mengubah hubungan pasien-dokter secara lebih bertanggung jawab, dalam arti seluruh tindakan medis yang dilakukan akan didasari pada pertimbangan medis yang setepatnya. Penggunaaan teknologi, tindakan medis, obat-obatan akan lebih rasional. Lebih jauh juga akan mengubah orientasi pelayanan kearah pencegahan, oleh karena dokter yang memegang peranan penting dan menentukan dalam pelayanan kesehatan akan menerima beban yang berat, apabila banyak peserta yang sakit (baik dari segi keuangan / fisik). Dengan kata lain pemberi pelayanan kesehatan akan ikut memikul resiko sakit peserta, termasuk dari segi keuangan. Hal ini sudah tentu akan mendorong upaya-upaya pencegahan, disamping akan mengubah orientasi pelayanan. Dengan kata lain pelayan kesehatan disini akan lebih tampil seperti konsep seorang dokter keluarga.
15
Dengan orientasi pelayanan yang bersifat promotif dan preventif, diharapkan mampu menekan angka kesakitan, sehingga dengan sendirinya pengguna jasa pelayanan kesehatan akan lebih produktif baik secara sosial maupun
ekonomi.
Selain
itu,
dengan
kapitasi
juga
akan
mendorong
terselenggaranya suatu pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat keahlian yang akan diberikan. Dengan demikian kapitasi juga akan mendorong berjalannya sistem rujukan dan terbentuknya pelayanan kesehatan yang efisien. Mendorong berkembangnya standar-standar prosedur / profesi, tidak saja untuk efisiensi dana yang tesedia, tetapi juga meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, yang dalam hal ini terkait dengan kepentingan untuk mempertahankan citra sebagai penyedia pelayanan kesehatan, yang juga harus bersaing dengan penyedia jasa sejenis yang lainnya. Keluarga karyawan dapat memanfaatkan pelayanan ini kapan saja dibutuhkan, sehingga dengan sendirinya. Dengan ini Sistem Kapitasi dinilai dan diharapkan akan menjadi sistem pembiayaan kesehatan yang ideal. Karyawan dapat menjalankan tugas dengan tenang dan konsentrasi tanpa harus membagi pemikiran terhadap keluarga yang dirumah. D. Metode Pembayaran Jasa Pelayanan Kesehatan Membahas tentang kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan suatu rumah sakit / dokter / tenaga kesehatan lainnya, maka tidak akan terlepas dari bagaimana sistem pembayaran dan pendapatan yang diterima oleh mereka, tentu saja kita tidak dapat menyalahkan hal tersebut karena saat ini hampir semua orang membutuhkan pendapatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, namun yang perlu di catat ialah bahwasanya hal itu bukanlah segalanya dan bukanlah suatu hal yang menjadi tujuan utama dari kegiatan seorang dokter, melainkan suatu hak yang didapatkan setelah selesai menunaikan kewajibannya dalam membantu kesehatan masyarakat.
16
Di Indonesia sendiri, saat ini 70% mekanisme pembiayaan kesehatan berasal dari pihak swasta dan hanya 30% nya yang berasal dari pemerintah. Dan dari 70% tersebut, sebagian besar berasal dari kantong masyarakat sendiri yang kita kenal dengan istilah Fee For Service dan hany sekitar 6% yang berasal dari asuransi. Saat ini kebanyakan masyarakat menggunakan sistem pembayaran kesehatan Fee For Service , sistem ini menggambarkan mekanisme pembayaran biaya kesehatan yang langsung berasal dari dompet / kantong pasien (out of pocket). Pada mekanisme ini, biasanya pasien datang ke salah satu penyedia layanan kesehatan yang mereka pilih, lalu memeriksakan dirinya di dokter tersebut, kemudian dokter akan menentukan jenis layanan kesehatan apa yang akan diberikan dan nanti sang pasien akan membayar semacam "jasa" dari layanan kesehatan apa saja yang telah ia terima.
Pada dasarnya, ada 4 sistem pembiayaan jasa kesehatan yang ada, yaitu :
1) Sistem Pembiayaan Fee For Service Pada sistem pembiayaan fee for service, pembayaran jasa kesehatan berasal dari kantong orang itu sendiri. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada mekanisme pembiayaan ini, pasien cendrung berada di dalam posisi menerima sehingga sering terjadi penyimpangan seperti overutilisasi jasa kesehatan dimana sang dokter memberikan banyak pelayanan yang pada dasarnya tidak dibutuhkan, namun sengaja diberikan dengan tujuan agar semakin banyak layanan yang diberikan, maka pendapatanyang didapat dari layanan tersebut juga akan semakin besar. 2) Sistem Pembiayaan Kapitasi Kapitasi merupakan suatu sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang dilakukan di muka berdasar jumlah tanggungan kepala per suatu daerah tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa melihat frekuensi kunjungan tiap kepala 17
tersebut. Misalnya saja setiap kepala di desa A ditetapkan biayanya sebesar Rp 10.000,- /bulan, bila sang dokter bertanggung jawab atas 500 kepala, maka ia akan menerima Rp 10.000,- x 500 / bulannya yaitu Rp 5.000.000,- . Biaya sebesar Rp 5.000.000,- inilah yang akan ia kelola untuk meningkatkan kualitas kesehatan di 500 warga tersebut, baik melaui tindakan pencegahan (preventive), pengobatan (curative) maupun rehabilitasi. Sehingga semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan / semakin banyak pasien yang sakit dan butuh pengobatan, biaya yang akan dipotong semakin banyak dan penghasilan sang dokter akan semakin sedikit. Pada sistem ini, termasuk di dalamnya jaminan kesehatan yang dijalankan oleh PT.Askes 3) Sistem Pembiayaan Berdasar Gaji Pada sistem ini, sang dokter akan menerima penghasilan tetap di tiap bulannya sebagai balas jasa atas layanan kesehatan yang telah diberikan. Termasuk di dalamnya sistem pembayaran pada penyedia layanan kesehatan yang bekerja di instansi dimana dokternya dibayarkan berdasar gaji bulanan di instansi tersebut, bukan dari jenis layanan kesehatan yang diberikannya.
4) Sistem reimbursement Sistem penggantian biaya kesehatan oleh pihak perusahaan berdasar layanan kesehatan yang dikeluarkan terhadap seorang pasien. Metode ini pada dasarnya mirip dengan fee for service, hanya saja dana yang dikeluarkan bukan oleh pasien, tapi pihak perusahaan yang menanggung biaya kesehatan pasien, namun berbeda dengan kapitasi karena metode ini melihat jumlah kunjungan dan jenis layanan yang diberikan oleh provider Saat ini metode baru pembayaran jasa pelayanan kesehatan ada 2 yaitu : I.
KAPITASI Kapitasi merupakan salah satu aplikasi adanya perubahan mekanisme
pembayaran dari bentuk fee for service ke bentuk prospective payment system. Definisi Kapitasi itu sendiri ialah metode pembayaran untuk jasa pelayanan
18
kesehatan dimana pemberi pelayanan kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta, per periode waktu (biasanya bulan), untuk pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu tertentu. Kapitasi didasarkan atas jumlah tertanggung (orang yang dijamin atau anggota) baik anggota itu dalam keadaan sakit atau dalam keadaan sehat yang besarnya ditetapkan dan umumnya dibayarkan di muka tanpa memperhitungkan jumlah konsultasi atau pemakaian pelayanan di pusat pelayanan kesehatan tersebut. Jenis Kapitasi: a) Penuh/total: rawat jalan sampai rawat inap b) Sebagian: rawat jalan saja, rawat inap saja, hanya jasa pelayanan tanpa
obat, dll c) Risk adjustment capitation: berbasis umur, risiko sakit, geografi, dll
Keuntungan dan Kelemahan: Keuntungan a) Rumah Sakit dapat jaminan adanya pasien (captive market) b) Rumah Sakit mendapat kepastian dana di awal tahun/kontrak c) Bila berhasil mengefisienkan pelayanan akan mendapat keuntungan d) Dokter dapat lebih taat prosedur e) Promosi dan prevensi akan lebih ditekankan
Kelemahan a) Cenderung underutilization b) Bila dokter belum memahami dapat menimbulkan konflik c) Bila peserta tidak banyak ada risiko kerugian
19
II.
DRG (Diagnosis Related Group) Sistem DRG awalnya dikembangkan di Amerika. Berbeda dengan sistem
kapitasi, DRG hingga saat ini belum mulai diaplikasikan di Indonesia. Di Asia baru Singapore yang telah mengimplementasikannya. Diagnosis Related Groups adalah salah satu jenis sistem pembayaran rumah sakit yang menggunakan metode case mix. Case mix sendiri merupakan sistem klasifikasi yang mengkategorisasikan pasien dalam grup-grup yang menggunakan sumber-sumber yang sama. Berdasarkan kondisi pasien, Case mix diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Clinical homogeneityà pasien yang mempunyai kondisi klinis yang sama dan Resource homogeneity à pasien yang menggunakan intensitas sumber-sumber yang sama untuk pengobatan atau terapi. Dengan sistem pembayaran ini rumah sakit dituntut untuk lebih efisien dalam memberikan pelayanan medis kepada pasien sesuai dengan standar mutu pelayanan. Dengan adanya kedua sistem pembayaran di atas, dokter maupun rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang optimal sesuai standar. Hal ini secara langsung mencegah adanya prosedur pemeriksaan maupun penanganan yang berlebih atau tidak sesuai indikasi. Adanya prosedur pemeriksaan maupun penanganan yang berlebih, akan merugikan pihak dokter atau rumah sakit itu sendiri karena pembiayaan yang berasal dari pihak pasien hanya untuk standar pemeriksaan dan penanganan yang berlaku. Agar pihak dokter ataupun rumah sakit mendapat keuntungan dari sistem pembayaran tersebut, maka dokter dan rumah sakit mau tidak mau harus mengutamakan upaya Promotif dan Preventif sehingga bisa menekan biaya kuratif.
20
E. Teknik Dasar Penentuan Tarif Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Tarif rumah sakit merupakan suatu elemen yang amat esensial bagi rumah sakit yang tidak dibiayai penuh oleh pemerintah atau pihak ketiga. Rumah sakit swasta, baik yang bersifat mencari laba maupun yang nirlaba harus mampu mendapatkan biaya untuk membiayai segala aktifitasnya dan untuk dapat terus memberikan pelayanan kepada masyarakat sekitarnya. Rumah sakit pemerintah yang tidak mendapatkan dana yang memadai untuk memberikan pelayanan secara cumacuma kepada masyarakat, juga harus menentukan tarif pelayanan.
Di
Indonesia, praktis seluruh rumah sakit, apakah itu RS umum ataupun RS perusahaan atau RS swasta, harus mencari dana yang memadai untuk membiayai pelayanannya. Jadi semua rumah sakit di Indonesia, harus mampu menetapkan suatu tarif pelayanan. Tiap rumah sakit akan menetapkan tarif pelayanan sesuai dengan misinya masing-masing.
Akan tetapi, ada pertimbangan yang relatif sama di dalam
penetapan tarif rumah sakit, yaitu mendapatkan revenue yang mencukupi untuk menjalankan rumah sakit, baik dari sumber pengguna jasa maupun dari sumber lain.
Ada rumah sakit yang membutuhkan revenue untuk menutupi biaya
operasional saja, ada rumah sakit yang membutuhkan dana bahan habis pakai saja, dan ada rumah sakit yang membutuhkan dana untuk segala macam pengeluaran, termasuk penghasilan pemegang saham.
Ada rumah sakit yang memerlukan
revenue hanya dari sumbangan atau anggaran pemerintah, akan tetapi memberikan pelayanan cuma-cuma kurang dapat diterima. Jadi rumah sakit ini juga perlu menetapkan tarif pelayanan. Jadi dapat kita katakan bahwa penetapan tarif pelayanan rumah sakit akan sangat bervariasi tergantung dari sifat rumah sakit itu sendiri. Lebih-lebih lagi jika kita kaji bahwa rumah sakit juga memiliki misi sosial, khususnya RSU dan rumah sakit pemerintah lain, yang di dalam penetapan tarif tidak hanya
21
bergantung paga revenue requirement.
Pertimbangan kondisi komunitas di
sekitarnya atau komunitas yang menjadi target pelayanan seringkali sangat dominan di dalam penetapan tarif rumah sakit. Hal ini terkait dengan fungsi sosial dan aspek komoditas umum (publik) pada berbagai pelayanan kesehatan. Oleh karenanya sering kita saksikan bahwa tarif rumah sakit umum ditetapkan oleh Peraturan Daerah, yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kini dengan maraknya arus swastanisasi, banyak rumah sakit pemerintah diswadanakan. Salah satu komponen penting dari swadana adalah penetapan tarif, dengan tujuan mencapai cost recovery yang memadai. Rumah sakit swadana juga perlu bersaing dengan RS swasta yang lebih leluasa menetapkan tarif dan mempunyai keharusan penyediaan tempat tidur bersubsidi (kelas III) yang lebih besar. Jika RS swasta nirlaba diharuskan menyediakan 25% tempat tidurnya untuk masyarakat yang kurang mampu, maka di RS Swadana diharuskan tersedia 50% TT untuk golongan ekonomi lemah.
Sementara RS Swadana juga
diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan subsidi silang kepada masyarakat yang tidak mamapu.
Faktanya, kebanyak RS Swadana
menerima subsidi pemerintah lebih besar dari masa mereka belum swadana. Mengapa demikian? Kesalahan menetapkan tarif? Bisa jadi. Yang jelas, kini penetapan tarif pelayanan rumah sakit dengan pendekatan ekonomis, dengan memperhitungkan kebutuhan biaya untuk menyediakan pelayanan dengan kualitas tertentu sudah menjadi keharusan, kalau bukan sekedar mode. Efisiensi rumah sakit juga berbeda satu dengan yang lainnya. Suatu rumah sakit bisa untung dengan tarif tertentu, akan tetapi rumah sakit yang lain belum tentu bisa bertahan dengan tarif yang sama. a) Tujuan Penetapan Tarif Rumah Sakit Tarif dapat dibedakan dengan berbagai tujuan, antara lain :
22
1. Pemulihan biaya Tarif dapat ditetapkan untuk meniingkatkan pemulihan biayya (costrecovery) RS. Hal ini semacam dapat dijumpai pada RS Pemerintah yang semakin lama semakin kurang subsidinya. Karena itu kebijakan swadana sangat berkaitan dengan penetapat tarif yang menghubungkan dengan pemuliahn biaya. 2. Subsidi silang Penentuan tarif bertujuan untuk menyeimbangkan penggunaan pelayanan bagi masyarakat ekonomi lemah. Mengingat heterogennitas pendapatan masyarakat. Pola subsidi silang dapat didasarkan pada kelas ruang pelayanan profit dan pelayanan non profit. Subsidi silang merupakan suatu kebijakan yang diharapkan pengguna asa pelayanan medis dari kalangan yang mampu ekonominya dapat ikut serta meringankan beban biaya pasien ekonomi lemah. Dengan konsep subsidi silang ini, maka tariff kelas VIP dan kelas I semestinya diatas unit cost agar surplus dari tariff tersebut dapat digunakan untuk mengatasi deficit di kelas III. 3. Mengurangi pesaing Penetapan
tarif
terkadang
diilaukan
untuk
mengurangi
potensi
pembangunan RS baru yang akan menjadi competitor baru. Denagn cara ini, maka RS yang sudah beroperasi terlebih dahulu mempunyai strategi agar terifnya tidak dapat disamakan oleh RS baru. Penetapan tarif benar-benar dilakukan berbasis pada analisis persaingan. Dalam metode ini, biaya yang menyesuaikan dengan tarif. Ada 2 metode dalam hal ini yakni penetapan tarif diatas pesaing dan penetapan tarif dibawah pesaing.
23
4. Memaksimalkan Pendapatan Pada ciri pasar monopoli, maka penetapan tariff dapat dilakukan dengan tujuan memaksimalkan pendapatan. Tanpa kehadiran pesaing dalam suasana pasar dengan demand tinggi, maka tarif pada tingkatan yang setinggi-tingginya, akan memberikan surplus setinggi-tingginya. 5. Memaksimalkan Penggunaan pelayanan Ada suatu kondisi dimana RS mempunyai BOR yang rendah. Guna meningkatkan BOR maka tarif ditekan serendah mungkin dengan demikian tujuan utama adalah meniingkatkan utilisasi walaupun pada akhirnya surplus juga diharapkan ada dengan pendapatan tarif. 6. Meminimalisasi Penggunaan Pelayanan Untuk mengurangi pemakaian, dapat ditetapakan tarif tinggi. Sebagai contoh, tariff periksa umum di RS Pemerintah ditetapkan jauh lebih tinggi dari pelayanan sejenis di Puskesmas. Dengan cara ini, maka fungsi rujukan dapat ditingkatkan. b) Strategi Penetapan Tarif 1. Basis biaya Perhitungan biaya satuan merupakan strategi awal dari setiap perhitungan tarif pelayanan, baik bagi RS umum pemerintah, RS U non pemerintah, maupun rumah sakit swata komersial. Perhitungan biaya satuan pada hakikatnya adalah perhitungan biaya rata-rata (baik tertimbang maupun tidak tertimbang) untuk suatu satuan tertentu. Satuan yang digunakan dapat bervariasi tergantung dari filosofi dan kebijakan direksi. Misalnya, biaya satuan dapat berupa biaya per kunjungan, biaya per hari rawat, biaya per operasi, ataupun biaya per diagnosis. Pendekatan yang sudah umum kita kenal adalah biaya satuan per pelayanan (fee 24
for service). Di negara-negara maju, variasi tarif sudah semakin banyak sehingga satuannya tidak hanya pelayanan (service) akan tetapi telah berkembang menjadi paket, harian, prosedur, diagnosis, dan bahkan episode penyakit. Hal in didorong oleh peraturan pemerintah dan tingkat kompetisi yang tinggi.
Pada tingkat
persaingan yang tinggi, seperti halnya jasa pelayanan hotel atau penerbangan, rumah sakit mulai meningkatkan kreatifitasnya di dalam mengemas tarif yang atraktif dengan menawarkan satuan atau paket khusus. Penentuan biaya satuan ini umumnya berdasarkan perhitungan biaya retrospektif, atau biaya yang telah dikeluarkan pada periode sebelumnya. Hal ini masih memerlukan asumsi tertentu karena biaya yang telah dikeluarkan pada periode sebelumnya mungkin sudah tidak memadai lagi pada masa kini. Demikian juga tarif tersebut kemudian diberlakukan secara retrospektif. Artinya, biaya ditagih setelah pelayanan dilaksanakan. Sudah barang tentu, metoda ini tidak mendorong staf melakukan efisiensi dan direksi juga tidak perduli dengan efisiensi, sejauh pasien mampu membayar. Akan tetapi kebiasaan ini menjadi kurang baik, pada waktu terjadi persaingan ekonomi yang ketat. Untuk mendapatkan biaya yang akurat, rumah sakit perlu melakukan audit eksternal.
Meskipun audit internal memadai, akan tetapi sering terjadi
bahwa tenaga internal kurang mempertimbangkan faktor-faktor non rutin dan kurang memperhitungkan faktor persaingan.
Sementara audit eksternal yang
mencoba melihat persaingan dari sisi lebih objektif, dapat melihat celah-celah yang dapat digunakan untuk persaingan.
Auditor eksternal juga lebih dapat
melihat apakah pengadaan barang atau pembayaran honor staf terlalu mahal atau terlalu rendah. Audit internal pada umumnya tidak mempertimbangkan alternatif biaya pengadaan selain dari yang telah tercantum dalam kwitansi pembelian. Metoda perhitungan juda dapat bervariasi seperti step-down, double distribution, atau reciprocal.
25
Yang perlu diingat adalah bahwa setiap usaha penghitungan biaya rata-rata satuan tertentu, harga satuan input sangat berpengaruh besar. Sebagai contoh, rumah sakit pemerintah mungkin menetapkan satuan honor dokter yang jauh lebih rendah dari rumah sakit swasta komersial. Sebaliknya bahan yang dibeli oleh rumah sakit pemerintah seringkali lebih mahal dari barang yang dibeli oleh RS swasta. Rumah sakit Pertamina misalnya, mempunyai komponen biaya investasi dan pegawai yang jauh lebih besar dari RSU atau bahkan rumah sakit swasta. Hal ini tentu saja terkait dengan peraturan, insentif, maupun prilaku petugas. Oleh karenanya di dalam menggunakan dasar hasil perhitungan biaya satuan untuk penetapan tarif, tidak harus selalu otomatis kita mendasari penetapan tarif atas dasar biaya satuan tersebut. Bahkan kadangkala, dasar perhitungan ini bisa saja tidak dapat digunakan karena efisiensi rumah sakit itu masih sangat rendah. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit dengan BOR 30% menyebabkan biaya satuan aktual menjadi sangat tinggi. Alternatif penggunaan biaya satuan normatif tidak didukung oleh kemampuan pasar, oleh karenanya alternatif lain harus diambil. 2. Negosiasi Tidak jarang, tarif akhir yang digunakan adalah tarif negosiasi dengan pihak ketiga, misalnya perusahaan asuransi atau perusahaan besar yang melakukan kontrak langsung dengan rumah sakit. Dalam hal ini, perhitungan rata-rata biaya satuan hanya merupakan patokan untuk mengetahui sejauh mana RS untung atau merugi. Pertimbangan yang biasanya mendasari tarif negosiasi adalah: 1) Volume penjualan.
Seperti halnya perdagangan grosir dan
perdagangan eceran, rumah sakit bersedia memberikan tarif lebih murah atau tarif diskon kepada pihak ketiga jika volume penjualan cukup besar. Akan tetapi volume saja tidak merupakan satu-satunya
26
pertimbangan. Rumah sakit harus secara cermat menganalisa apakah tarif negosiasi memadai dan berharga untuk disetujui atau terpaksa harus ditolak. 2) Faktor
kedua
adalah
ketepatan
atau
frekuensi
pembayaran.
Pembayaran yang tepat waktu akan sangat membantu rumah sakit mengatur alur kas yang baik. Alur kas yang baik merupakan faktor esensial di dalam manajemen rumah sakit. Pembayaran dimuka (prepaid) juga merupakan faktor penting yang dipertimbangkan rumah sakit. Baik pembayaran dimuka berdasarkan resiko tertentu atau tanpa resiko tertentu, keduanya mempunyai keunggulan tersendiri. 3) Dalam menentukan tarif negosiasi, sebuah rumah sakit harus memperhitungkan berapa besar tingkat hutang bermasalah atau hutang tak lancar.
Demikian juga dengan pelayanan cuma-cuma yang
diberikan selama ini. Hal ini perlu dipertimbangkan apakah rumah sakit dapat melakukan cost shifting, bila dimungkin oleh peraturan pemerintah. 4) Yang terakhir adalah tingkat okupansi rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit dengan tingkat okupansi rendah, dengan penerimaan dibawah titik impas akan cenderung lebih berani menerima tarif negisiasi pada tingkat di sekitar biaya marjinal.
Sebaliknya rumah sakit yang
mempunyai tingkat okupansi yang tinggi tidak mudah menerima negosiasi.
3. Harga Pasar Pendekatan pasar dalam menetapkan tarif pelayanan kini semakin berkembang dan semakin menarik perhatian pimpinan rumah sakit, bahkan rumah sakit umum pemerintah sekalipun. Hal ini memang dimungkinkan oleh peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun di negara-negara maju sekalipun, khususnys di negara Eropa, penetapan tarif berdasarkan pada kondisi pasar lebih terbatas penerapannya. Pada hakikatnya penetapan tarif berdasarkan mekanisme pasar ini
27
didorong dengan adanya persaingan antar rumah sakit dan pertumbuhan selera konsumen. Asumsi utama penetapan tarif berdasarkan harga pasar ini adalah bahwa pengguna jasa, konsumen bersikap sensitif terhadap perubahan tarif atau harga. Konsumen akan melakukan survey pasar (shoping) untuk mengetahui tarif yang lebih murah. Akan tetapi di dalam pelayanan kesehatan, sensitifitas pasar terbatas pada sifat pelayanana kesehatan sendiri yang asimetris. Oleh karenanya pengaruh sensitifitas konsumen terhadap tarif di negara yang penduduknya kurang terdidik tidak begitu besar.
Konsumen umumnya tidak memiliki kemampuan yang
memadai untuk melihat perbedaan tarif tersebut. Tumbuhnya pihak asuransi atau pihak ketiga yang lebih terdidik dan mampu menganalisis tarif merupakan tantang terbesar bagi rumah sakit di dalam menetapkan tarifnya berdasarkan mekanisme pasar. Penetapan tarif metoda pasar ini juga dipengaruhi oleh tingkat persaingan di suatu wilayah. Rumah sakit di wilayah dengan hanya sedikit rumah sakit lebih lebih bisa melakukan kolusi dan karenanya bisa berbuat sebagai pelaku pasar monopolistik dan menjadi price leader. Rumah sakit yang mempunyai pangsa pasar besar (monopolistik) dengan mudah dapat menjadi price leader. Sementara rumah sakit di tingkat persaingan ketat atau dengan dominasi pihak ketiga yang kuat terpaksa harus menjadi price taker. Namun demikian, dalam perakteknya sangat jarang terjadi kondisi persaingan sempurna atau penuh pada bidang pelayanan kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya barir entri dan karena prilaku provider itu sendiri. 4. Ketentuan Pemerintah Di negara-negara yang berorientasi socialized medicines, seperti di Eropa dan Jepang, tarif rumah sakit seringkali sangat dipengaruhi oleh peraturan pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan di negara Amerika juga ada ketentuan pemerintah yang mengekang rumah sakit meningkatkan tarifnya pada batas tertentu yang ditetapkan tiap tahun. Di Indonesia misalnya,
28
tarif perawatan di kelas III ditentukan oleh Kanwil Kesehatan setempat. Tujuannya adalah terjadinya subsidi silang di rumah sakit swasta atau rumah sakit swadana. Di rumah sakit pemerintah, tarif tersebut tentu saja disubsidi oleh anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa masyarakat kelas bawah dapat terlayani dengan biaya yang terjangkau. Namun dalam perakteknya, seringkali justeru yang lebih mampu yang menikmati tarif subsidi ini. Sebagai contoh misalnya, banyak perusahaan yang mengganti biaya perawatan karyawannya hanya pada perawatan kelas III. Perusahaan tentu saja tidak boleh dianggap sebagai masyarakat tidak mampu, oleh karenanya mereka seharusnya memberikan penggantian pada kelas diatasnya yang tidak mendapat subsidi dari pasien yang mampu maupun dari pemerintah. F.
Analisis Titik Impas (BEP=Break Even Point)
a) Pengertian Break Even Point Analisa Break Event adalah suatu teknik analisa untuk mempelajari hubungan antara Biaya Tetap, Biaya Variabel, Keuntungan dan Volume aktivitas. Masalah Break Event baru akan muncul dalam perusahaan apabila perusahaan tersebut mempunyai Biaya Variabel dan Biaya Tetap. Suatu perusahaan dengan volume produksi tertentu dapat menderita kerugian dikarenakan penghasilan penjualannya hanya mampu menutup biaya variabel dan hanya bisa menutup sebagian kecil biaya tetap. Contribution Margin adalah selisih antara penghasilan penjualan dan biaya variabel, yang merupakan jumlah untuk menutup biaya tetap dan keuntungan. Perusahaan akan memperoleh keuntungan dari hasil penjualannya apabila Contribution Marginnya lebih besar dari Biaya Tetap, yang berarti total penghasilan penjualan lebih besar dari total biaya. Break Event Point menyatakan volume penjualan dimana total penghasilan tepat sama besarnya dengan total biaya, sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan dan juga tidak menderita kerugian.BEP ditinjau dari konsep
29
kontribusi margin menyatakan bahwa volume penjualan dimana kontribusi margin sama besarnya dengan total biaya tetapnya.
b) Unsur - unsur Pokok Dalam Analisa Break Even Point Analisa unsur-unsur yang mempengaruhi break even point yaitu biaya, volume, harga jual serta laba itu sendiri
1) Biaya Menurut Alwi (1994:44) menyatakan biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis. Sumber ekonomis yang dimaksudkan adalah suatu sumber yang memiliki adanya sifat kelangkaan (scarcity).
2) Klasifikasi Biaya Masing-masing biaya mempunyai perbedaan antara biaya yang satu dengan biaya lainnya. Masing-masing perbedaan tersebut juga tergantung dari sudut pandangnya masing-masing. Namun terkait dengan Break Even Point klasifikasi dari biaya yang dimaksudkan yaitu berdasarkan sifatnya. Halim (1995:52) menyatakan bahwa: “Biaya berdasarkan sifatnya terdiri dari biaya tetap, biaya variable dan biaya semi variabel”.
1. Biaya tetap (Fixed Cost) Biaya tetap merupakan jenis biaya yang selalu tetap dan tidak terpengaruh oleh volume penjualan melainkan dihubungkan dengan waktu (fuction of time), sehingga jenis biaya ini akan konstan selama periode tertentu. Contohnya gaji pegawai, biaya sewa, depresiasi, bunga hutang, biaya asuransi, dan lain-lain. Beroperasi atau tidaaknya perusahaan, biaya ini tetap dikeluarkan. 2. Biaya Variabel (Variabel Cost) Biaya variable merupakan jenis biaya yang selalu berubah sesuai dengan perubahan volume penjualan, dimana perubahannya tercermin dalam biaya variable total. Dalam pengertian ini biaya variabel dapat dihitung berdasarkan persentase tertentu dari penjualan, atau variabel cost per unit dikalikan dengan
30
penjualan dalam unit. Contoh biaya variabel adalah biaya bahan mentah, upah buruh langsung, komisi penjualan, biaya over head pabrik, (biaya yang dikeluarkan untuk kelancaran proses produksi : biaya listrik, biaya air, biaya pemeliharaan mesin, dan lain-lain.) 3. Biaya Semi Variabel Biaya semi variabel adalah biaya yang memiliki 2 unsur yaitu unsur tetap dan variabel. Unsur biaya yang tetap adalah biaya minimum untuk menyediakan produk/jasa, sedangkan unsur biaya variabel adalah bagian dari biaya variabel yang turut dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan produksi. Biaya semi variaabel adalah biaya yang perubahannya tidak berbanding lurus dengan perubahan volume kegiatan. Contoh diantaranya adalah biaya listrik dan air, biaya pemeliharaan dan perbaikan mesin, biaya pengawasan, biaya pajak penghasilan karyawan yang ditanggung oleh perusahaan tersebut.
3) Volume Penjualan Yang dimaksud dengan volume yang terdapat dalam analisa Break Even Point adalah jumlah unit produksi atau jumlah unit penjualan.Volume penjualan sangat mempengaruhi besar kecilnya biaya variabel, semakin tinggi volume penjualan maka semakin tinggi pula biaya variabel yang dikeluarkan, begitu pula dengan sebaliknya.
4) Harga Jual Harga jual per unit adalah sejumlah uang yang diterima atau piutang yang timbul atas penyerahan barang dan jasa kepada konsumen dalam setiap unitnya. Harga jual bisa berupa harga jual bersih atau bisa harga jual kotor. Sedangkan yang digunakan dalam analisa Break Even Point adalah harga jual bersih yang terlepas dari berbagai macam potongan.
31
5) Laba Laba adalah keuntungan yang diperoleh perusahaan, dimana keuntungan ini berasal dari penghasilan setelah dikurangi biaya. Alwi (1994:267) menyatakan: “Variabel-variabel yang membentuk Break Even Point adalah harga jual dan biaya (biaya tetap dan biaya variabel)”. Kedua variable tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya, perubahaan salah satu dari variabel yang dimaksud mengakibatkan perubahan besarnya titik Break Even Point.
c) Manfaat dan Kegunaan BEP Telah dijelaskan sebelumnya bahwa analisa BEP sangat penting bagi pimpinan perusahaan untuk mengetahui pada tingkat produksi berapa jumlah biaya akan sama dengan jumlah penjualan atau dengan kata lain dengan mengetahui BEP kita akan mengetahui hubungan antara penjualan, produksi, harga jual, biaya, rugi atau laba, sehingga memudahkan bagi pimpinan untuk mengambil kebijaksanaan. Manfaat BEP antara lain adalah : a. Alat perencanaan untuk menghasilkan laba. b. Memberikan informasi mengenai berbagai tingkat volume penjualan, serta hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan. c. Mengevaluasi laba dari perusahaan secara keseluruhaan. d. Mengganti sistem laporan yang tebal dengan grafik yang mudah dibaca dan dimengerti.
e. Mengetahui jumlah penjualan minimal yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak mengalami kerugian.
32
d) Kelemahan Analisa BEP Sekalipun analisa BEP ini banyak digunakan oleh perusahaan, tetapi tidak dapat dilupakan bahwa analisa ini mempunyai beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan BEP antara lain : 1) Asumsi yang menyebutkan harga jual konstan padahal kenyataan harga ini kadang-kadang harus berubah sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Untuk menutuapi kelemahan itu, maka harus dibuat analisis sensitivitas untuk harga jual yang berbeda. 2) Asumsi terhadap cost, penggolongan biaya tetap dan biaya variabel juga mengandung kelemahan. Dalam keadaan tertentu untuk memenuhi volume penjualan biaya tetap tidak bisa tidak harus berubah karena pembelian mesin-mesin
atau
perhitungannya
peralatan
biaya
lainnya.
variabel
Dengan
perunit
demikian
juga
akan
dapat
juga
dipengaruhi perubahan ini. 3) Jenis barang yang dijual tidak selalu satu jenis 4) Biaya tetap juga tidak selalu tetap pada berbagai kapasitas. 5) Biaya variabel juga tidak selalu berubah sejajar dengan perubahan volume.
e) Perhitungan Dalam Analisa Break Even Point 1) Perhitungan Break-Even Point dengan Cara “Trial and Error” Perhitungan break-even point dapat dilakukan dengan cara coba-coba, yaitu
dengan
menghitung
produksi/penjualan
tertentu.
keuntungan Apabila
operasi
perhitungan
dan
suatu
tersebut
volume
menghasilkan
keuntungan maka diambil volume penjualan/produksi yang lebih rendah. Apabila dengan mengambil suatu volume penjualan tertentu, perusahaan menderita kerugian maka kita mengambil volume penjualan/produksi yang lebih besar, Demikian dilakukan seterusnya hingga dicapai volume penjualan/produksi di mana penghasilan penjualan tepat sama dengan besarnya biaya total.
33
2) Perhitungan Break-Even Point dengan Menggunakan Rumus Aljabar Perhitungan break-even point dengan menggunakan rumus aijabar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a. atas dasar unit b. atas dasar sales dalam rupiah.
a. Perhitungan break-even point atas dasar unit dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: 𝐁𝐄𝐏 (𝐐) =
𝐅𝐂 𝐏−𝐕
dimana : P = harga jual per unit V = biaya variabel per unit FC = biaya tetap Q = jumlah unit/kuantitas produk yang dihasilkan dan dijual
b. Perhitungan break-even point atas dasar sales dalam rupiah dapat dilakukan dengan menggunakan rumus aljabar sebagai berikut:
𝐁𝐄𝐏 =
𝐅𝐂 𝐕𝐂 𝟏− 𝐒
di mana: FC = biaya tetap VC = biaya variabel S = volume penjualan
34
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanankesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality) . Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri. Pengertian biaya kesehatan tidaklah sama antara penyedia pelayanan kesehatan (health provider) dengan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer). Bagi penyedia pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan upaya kesehatan. Sesuai dengan terdapatnya perbedaan pengertian yang seperti ini, tentu mudah diperkirakan bahwa besarnya dana yang dihitung sebagai biaya kesehatan tidaklah sama antara pemakai jasa pelayanan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Pembiayaan kesehatan di Indonesia secara umum berasal dari Pemerintah, Swasta, Masyarakat dalam bentuk pembiayaan langsung (fee for service) dan asuransi, serta dari sumber-sumber lain dalam bentuk hibah atau pinjaman dari luar negeri. Saat ini metode baru pembayaran jasa pelayanan kesehatan ada 2 yaitu : KAPITASI dan DRG (Diagnosis Related Group). Strategi penetapan tarif rumah sakit antara lain : (1) Basis biaya, (2) Negosiasi, (3) Harga Pasar, (4) Ketentuan Pemerintah.
35
Analisa Break Event adalah suatu teknik analisa untuk mempelajari hubungan antara Biaya Tetap, Biaya Variabel, Keuntungan dan Volume aktivitas. Masalah Break Event baru akan muncul dalam perusahaan apabila perusahaan tersebut mempunyai Biaya Variabel dan Biaya Tetap. Suatu perusahaan dengan volume produksi tertentu dapat menderita kerugian dikarenakan penghasilan penjualannya hanya mampu menutup biaya variabel dan hanya bisa menutup sebagian kecil biaya tetap. Break Event Point menyatakan volume penjualan dimana total penghasilan tepat sama besarnya dengan total biaya, sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan dan juga tidak menderita kerugian.BEP ditinjau dari konsep kontribusi margin menyatakan bahwa volume penjualan dimana kontribusi margin sama besarnya dengan total biaya tetapnya.
B. Saran Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaannya dan adapun kelemahan-kelemahan dari penulis dalam penulisan makalah ini, baik itu kurangnya fasilitas yang mendukung seperti buku-buku referensi yang begitu terbatas dalam menjamin penyelesaian penulisan makalah ini sehingga kritik dan saran yang bersifat konstruktif baik itu dari ibu dosen maupun dari rekan-rekan mahasiswa/i sangatlah diharapkan untuk membantu proses pembelajaran yang lebih lanjut.
36
DAFTAR PUSTAKA
Hemas,
Nastiti.
2010.
Sistem
Pembiayaan
Layanan
Kesehatan.
http://healthforindonesia.blogspot.com/2010/11/sistem-pembiayaanlayanan-kesehatan.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2019 Rahmi
Isna,
Nilna.
2010.
Pembiayaan
Pelayanan
Kesehatan.
https://catatankuliahnya.wordpress.com/2010/01/06/pembiayaanpelayanan-kesehatan/. Diakses pada tanggal 18 Maret 2019 Lucy
Stefani,
Delfi.
2013.
Pembiayaan
Kesehatan.
https://delfistefani.wordpress.com/2013/06/19/makalah-pembiayaankesehatan/. Diakses pada tanggal 18 Maret 2019 Pradipta,
Lingga.
2011.
Regulasi
Pembiayaan
Kesehatan.
http://linggapra.blogspot.com/2011/02/regulasi-pembiayaankesehatan.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2019 Anggita, Imeinar. 2011. Metode Baru Pembayaran Jasa Pelayanan Kesehatan: Kapitasi & DRG. http://imeinars.blogspot.com/2011/02/metode-barupembayaran-jasa-pelayanan.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2019 Qauliyah,
Asta.
2013.
KONSEP
PENETAPAN
TARIF.
https://hmscfkmuh.wordpress.com/2013/01/23/konsep-penetapantarif/. Diakses pada tanggal 18 Maret 2019 Elfrida, Selfia. 2017. ANALISIS BREAK EVEN POINT (TITIK IMPAS). https://www.academia.edu/35047862/ANALISIS_BREAK_EVEN_P OINT_TITIK_IMPAS. Diakses pada tanggal 18 Maret 2019
37
Safitri, Nurmalia. 2016. ANALISIS TITIK IMPAS (BEP) DAN ANALISIS SUMBER & PENGGUNAAN KAS BESERTA CONTOH KASUS. http://uthyns.blogspot.com/2016/04/analisis-titik-impas-bep-dananalisis.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2019
38