MAKALAH HUKUM DAN HAM (Dilema Antara Penegak Ham dan Supremasi Hukum di Indonesia)
Disusun Oleh Nama: Neni Yulia Yahya Nim: D1A 016219
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2019
KATA PENGANTAR
Sejak era perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mengikatkan diri kepada demokrasi sebagai alternatif bagi bentuk dan pemerintahan otoritarianisme. Di awal revolusi kemerdekaan, tekad itu dituangkan ke dalam konstitusi sebagai blue print negara Indonesia merdeka. Di dalam konstitusi alternatif yang ditetapkan di pertengahan dan akhir revolusi pun komitmen demokrasi itupun dipertahankan. Begitu pula didalam konstitusi yang gagal ditetapkan oleh Dewan Konstituante hasil pemilu 1955. Dan bahkan di dalam konstitusi yang diamandemen di era reformasi inipun demokrasi dirumuskan secara lebih rinci. Runtuhnya rezim militer Soeharto tidaklah dengan sendirinya membuka jalan bagi demokratisasi dan dinikmatinya kebebasan setiap orang tanpa diganggu atau dipatahkan. Kendati beberapa tahun lalu tersedia ruang yang lebih besar bagi kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat yang disusul dengan terbukanya kebebasan pers, pembebasan tahanan politik serta pemilihan umum yang demokratis, tetapi beberapa kebebasan inilah barulah syarat perlu belum menjadi syarat yang cukup bagi kemajuan dan perlindungan hak-hak manusia yang menyeluruh. Tidak ada jaminan bahwa kebebasan itu dilindungi dengan penuh dan otoriterisme negara tak akan kembali.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................
i
Daftar Isi ................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1
A. Latar Belakang ...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................
4
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................
5
A. Pelaksanaan Hukuman Mati sebagai Upaya Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia ......................................
5
1. Sejarah Hukuman Mati di Indonesia ............................................
5
2. Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia ....................................
7
B. Benturan antara Pelaksanaan Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia .....................................................................
11
BAB III PENUTUP ...............................................................................................
17
A. Kesimpulan ........................................................................................
17
B. Saran ..................................................................................................
18
Daftar Pustaka ........................................................................................................
19
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelusuran historis dan pentakrifan (pemberitahuan) paham HAM itu harus dimulai dengan memfokuskan penelahan terhadap suatu periodesasi awal sejarah perkembangan HAM itu sendiri. Kajian ini berguna untuk membantu kita agar memverifikasi,
dan
mentataurutkan
keseluruhan
silsilahnya,
guna
mempermudah
pentransmisiannya agar tidak mengalami penceceran dalam proses pengejewantahnya, dari satu konteks pemahaman periodik ke sistematika pemahaman komperhensif yang utuh tentang pengakuan HAM sebagai ideology universal (total) bukanya yang particular. Ide ini merupakan parameter untuk mengukur derajat perkembangannya pemahaman dan pemenuhan HAM itu bersesuaian dengan dimensi perubahan zaman. Ini salah stau fakta mendasar dalam kehidupan manusia dan harus di kaji, dan dipertahankan terus-menerus dalam pikiran kita. Sebagai sejarah dunia, ia merupakan risalah kompleksitas dari proses perjalanan akan kesadaran diri dan kebebasan manusia untuk memperjuangkan jatri diri
dan
pemenuhan kemartabatannya. Pada periode 1215 kekuatan bangsawan berhasil mendesak raja-raja di inggris untuk segera memberikan Magma Charta Libertatum sebagai wujud realisasi berbagai tuntutan-tuntutan rakyat. Kekuatatan kolektif kaum bangsawan ini di pedomani oleh volume dan dinamika konflik yang berkepanjangan yang terjadi pada level aristokrasi berhadapan dengan kalangan feodalis (para raja) hampir selama empat puluh kemudian bermuara pada penandatanganan dokumen ini di dekat istana Windsor. Peristiwa ini memiliki nilai historis yang sangat menumental dalam “sejarah dunia” umat manusia. Di balik ini termasuk pengakuan paham hitoris HAM, karana ia memiliki postulat pokok dan merupakan dokumen pertama Hak Asasi Manusia yang relative konstruktif, tertata dan pada prinsip-prinsipnya menghargai sekaligus melindungi hak-hak individu. Dalam paham HAM bahwa hak itu tidak dapat dihapus atau dinyatakan hilang dan tidak belaku oleh negara. Negara dapat saja mengakui hak asasi itu, sehingga hak asasi itu
tidak dapat dituntut di depan hakim. Dalam perkembangannya, paham ini menyatu dengan satu tesis filosofis john locke dalam toleransi religius, yang berp0edoman bahwa semua manusia diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural right) yang tidak dapat dipisahkan, diantaranya adalah hakatas hidup, hak kemerdekaan dan milik, dan juga untuk mengusahakan kabahagiaan. Hahk-hak ini tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia sebagai manusia dalam kehidupannya. Tetapi, dan justru itulah, yang menentukan bahwa hak-hak tetapa dimiliki dan melekat dalam diri manusia. Suatu negara yang tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, menunjukkan bahwa martabat manusia belum diakui secara sepenuhnya dalam negara itu. Inilah prinsip dasar pemahaman akan hak asasi manusia. Melalui hak asasi itu, tuntutan moral yang prapositif dapat direalisasikan dalam hukup positif. Melihat silsilah dokumen politik HAM ini, dapatlah digambarkan bahwa teks-teks ini bukanlah hanyadikodifikasikan pertama kali di inggris, bahkan juga dikodifikasi juga pada deklarasi Amerika (1776-1789) dan deklarasi Prancis (1789), dengan secara tegas mengumandangkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat. Dan ini dijadikan pedoman bagi setiap pernyataan tentang pengagungan hak alamiah manusia itu. Bagi deklarasi-deklarasi ini, “manusia” dapat dikatakan manusia bila ia telah memenuhi kriteria pokok terhadap pengakuan hak-hak yang dimilikinya. Keutuhan hak-hak alamiah itu melekat dalam diri manusia sebagai sati kesatuan yang utuh dalam eksistensi dan kemartabatannya, sehingga ia tidak bisa diganggu oleh siapapun juga. Adapun hak-hak itu meliputi, hak asas kemerdekaan, kebebasan, menikmati hak miliknya tanpa diganggu, itu ditindas oleh suatu pemerintahan yang tiran dan mampu menyatakan
pendapat dengan
bebas. Kesimpulan himpunan bibliografi dokumen-dokumen terpentingakan eksistansi hakhak manusia itu ; pertama, Magma Charta Libertatum (1215) dan Bill Of Rights (1689), yang membatasi kekuasaan raja di inggris, dan sekaligus merumuskan hak-hak warga negara. Substansinya mengatur, bahwa tidak seorang pun dapat dimasukkan dalam penjara, dirampas hakj miliknya atau di cabut kewarganegaraannya tanpa keputusan pengadilan atau hukum negara ; kedua, The Virgina Bill Of Rights (1776) tentang pemberontakan dan perlawanan rakyat Amerika utara terhadap kolonialisme Inggris suatu dokumen mengenai kebebasan pribadi manusia terhadap kekuasaan negara. Menusia berhak untuk menikmati hidup, kebebasan dan kebahagiaan (life, liberty, the of happiness). Deklarasi ini mengemukakan
bahwa semua manusia harus mampu untuk dengan bebas dan dapat menentukan kebahagiaan dan juga keselamatan. Hal ini ditegaskan juga dalam deklarasi Massacussets (1780) untuk menikmati hak-hak alami dan nikmat0nikmat hidup mereka dalam ketentraman dan kedamaian. Deklarasi in lebih cenderung mengkonstruksi model masyarakat, dan model masyarakat yang diproyeksikan haruslah terdiri dari pribadi-pribadi yang bebas yang sama dengan lainya. Dan ketiga, Declaration des droit de I’homme et du citoyen (1789). Meskipun dokumen ini sangat dipengaruhi oleh deklarasiu Amerika tadi, tetapiada perbedaan. Dokumen Amerika bertolak dari pandangan bahwa para penguasa adalah manusia dan karenanya dapat terbawa hawa nafsu kerananya harus hidup bebas : orang-orang lahir dan tinggal bebas dan sama dihadapan hukum (les homes naissent et demeurent libres et egaux en droits). Hak-hak adalah kebebasan, milik, keamanan, dan perjuangan melawan penjajahan (ces droits sont la liberte, la propriete, la surete et Ia resistence a l’oppression), deklarasi Amerika dan derklarasi Prancis denghan tegas mengumumkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat. Keempat, deklarasi tentang hak-hak rakyat yang berkarya dan diperas (1918). Deklarasi in berbeda dengan deklarasi lainnya karena yang disebutkan dalam hak-hak dasar hanya hak-hak dasar social, sedangkan jarak-jarak pribadi tidak disebutkan. Intinya adalah bahwa manusia berhak untuk hidup menurut martabatnya secara ekonomis. Suatu kehidupan ekonomis yang menvukupi harus menjamin suat kehidupan yang bebas. Pengakuan hak asasi manusia secara global, dikumandangkan secara internasional setelah berakhirnya perang dunia kedua. Dampak perang memang sangat dahsyat dengan melibatkan kerusakan hampir sebagian masyarakat internasional, sebagai korbanya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka penulis mencobamengkerucutkan permasalahan yang ada dalam suatu rangkaian rumusan masalah, sebagai berikut : 1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan hukuman mati sebagai upaya penegakan supremasi hukum di indonesia 2. Bagaimanakah benturan antara pelaksanaan Hukuman Mati dan
HAM ?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Hukuman Mati Sebagai Upaya Penegakan Supremasi Hukum Di Indonesia. 1. Sejarah Hukuman Mati Indonesia Dalam sejarahnya pidana mati ini merupakan suatu jenis hukuman (pidana) yang tidak diketahui sejak kapan mulai diberlakukannya, tetapi sejarah mencatat bahwa jenis hukuman yang saat ini merupakan jenis hukuman yang terberat dan tertua yang pernah ada, bahkan menurut Codex Hammurabbi yang diperkirakan yang diperkirakan telah ada sekitar 2000 tahun sebelum masehi, pidana mati ini telah digunakan’ pada orang yang telah melakukan kejahatan tertentu, bahkan menurut Codex Hammurabbi tersebut dikatakan, “kalau ada binatang pemeliharaan yang membunuh orang,
maka binatang berikut
pemiliknya juga akan dibunuh juga.” Begitu juga dengan yang ada dalam Pentateuch (kitab taurat Agama Yahudi) yang ada jauh sebelum masehi, dinyatakan bahwa jenis pidana mati in juga telah diatur, disahkan dan diperguanakan pada orang-orang tertentu yang telah melakukan kejahatan pada masa itu, seperti contohnya dengan melempari seorang anak yang durhaka sehingga mati oleh orang-orang sekotanya (Deuteronomy / Ulangan 21:21) Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya dijaman Romawi Kuno, pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, disalibkan, ditenggelamkam, digergaji,
bahkan pada sekitar abad ke-4
disemua daerah jajahan Roimawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukkan dengan cara yang sama yang telah diatur pada peraturan yang ada, sehingga ada yang sampai digantung hidup-hidup dipinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Seperti dijabarkan oleh seorang ahli sejarah ang menyatakan, “kita ketahui jalannya acara-acara peradilan itu, hukuman itu adalah di pancung kepalanya, dibuang kesalah satu pulau yang sangat jauh, depekerjakan selaku budak, dibakar hidup-hidup ataupun diterkam binatang buas didalam gelanggan arena ditonton oleh beribu-ribu orang.”
Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi sati “alat” yang paling efisien dan dipandang paling kuat gereja maupun raja-raja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk terus menerus membuat rakyat tetap tunduk pada para menguasa yang ada. Contohnya adalah hukum / peraturan yang berkembang pada abd pertengahan, yaitu “criminal extra ordinaria ini yang sangat adalah terkenal adalah criminal stellionatus, yang letterlijk artinya : perbuatan jahat, durjana. Tetapi tidak ditentukan perbuatan berupa ap yang dimaksud disitu. Sewaktu romawi kuno itu diterima (diresipeer) dieropa brat pada abad pertengahan, maka pengertian tentang criminal extra ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya criminal extra ordinaria ini selalau diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenagwenang, menurut kehendaknya dan kebutuhannya reaja itu sendiri”. Perbuatan sewenangwenangan penguasa inilah yamng lalu menjadi titik otak munculnya pemikiran-pemikiran pembaharuan hukum pidana dan munculnya asas legalitas (abad 18) oleh para pemikir hukum seperti Montesquieu, J.J. Rousseau, von Feurbach, dsb. Akan tetapi sekalipun asa legalitas tersebut kemudian diterima dan dimasukan dalam perundangan yang ada (Code penal Perancis), tidak berarti menghapuskan pidana mati itu sendiri, hanya saja membatasi penguasa dalamn menerapkan pidana itu sendiri. Penjajahan perancis oleh Napoleon (1801) kemudian membawa bukan saja pengaruh budaya, bahaya dan guncangan terhadap perekonomian,tetapi juga sampai dengan pemahaman dan perkembangan hukum yang ada di negeri Belanda (Nederlannd). Seperti dinyatakan bahwa “dari sini asas itu dikenal oleh Nenderland karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v. Strafrecht Nederland 1881”. Yang kemudian sejarah mencatat oleh kerena itu penjajahan belanda di indonesia, secara perlahan-lahan hukum pidana mulai diperlihatkan dan mulai menggeser kekuatan hukum adat yang telah ada dan kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni ada saat Wetboek v. strafrecht itu mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh) di indonesia pada tahun 1918, baik bagi golongan Bumiputera, timur asing maupun golongan penduduk eropa, yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Pidana (KUPH). Dalam KUPH inilah pidana mati (death penalty) dicantumkan dan dan mendapat pengaturanya yang sah (legal act) bagi pemerintah / negara Indonesia hingga saat ini dalam melakukan pemidanaan terhadap orang yang melakukan detik tertentu.
2. Pelaksanaan Hukuman Mati Di Indonesia Sekalipun telah memiliki pengaturanya sediri dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan; hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Tetapi dalam prakteknya setelah tahun 1918 tersebut mengalami perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “pada waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu peratuan pasal 11 KUHP dan satu lagi praturan baru yang di undangkan olrh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1 pada tanggal 2 maret dan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminal dari pemerintah pendudukan Jepang). Kemudian setelah kesatuan RI tercapai dimulai dengan proklamasi kemerdekaan indinesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti yang ada dalam pasal 11 KUHP. Pada tahun 1964, terjadi perubahan kembali dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui penetapan Presiden No.2 tahun 1964 ini juga melalui lembaran negara tahun 1964 nomor 38, dirubah menjadi undang-undang No.2 tahun 1964. Melaui UU No.2 tahun 1964 diatur bahwa pelaksanaan pidana ini tidak lagi dengan cara digantung oleh sorang algojo, melainkan dengan cara ditembak mati oleh suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka umum kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI. Disini terlihat bahwa efek penjeraan atau untuk mencoba membuat takut orang banyak agar suatu detik tidak dilakukan, yang adalah tujuan dari pidana mati dilakukan didepan umum pada masa yang lalu tidak lagi dijadikan alasan untuk mencapai tujuan pidana (mati), hal tyersebut terlihat kerana pidana mati itu sendiri sekarang dilakukan tidak di tempat umum untuk dilihat oleh khayalan ramai. Sementara itu saat ini, pelaksanaan pidana mati di indonesia juga diharapakan mendapat perubahan dalam pandangan para pakar, disini terlihat bagaimana dalam rancangan KUHP yang masih dalam tahap penyusunan, dapat dilihat disana bahwa pidana mati tersebut tidak lagi dimasukan memjadi pidana pokok beriringan dengan pidana penjara dsb, melainkan talah mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat khusus, yang dalam hal ini dijadikan suatu ancaman pidana sacara alternatife. (pasal 61 konsep KUHP 1999-2000). Jadi disini dapat disimpulkan bahwa pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih diperlukan dan dapat diterapakan, akan tetapi pelaksanaannya diharapkan
hanyalah sebagai suatu alternatif yang bersifat khusu dan bukan lagi merupakan pidana pokok seperti yang masih dianut hingga sekarang berdasakan KUHP lam (Wetboek van strafrecht). Berikut adalah beberapa uraian yang dapat menjelaskan
tentang bagaimana
efektivitas pelaksanaan hukuman kati di Indonesia : 1. Karakter reformasi hukum positif indonesia masih belum menunjukkan sistem peradian yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang slah. Kasus hukuman mati sengkon dan karta pada tahun 1980 lalu di indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai institusi buatan manusia tentu tidak selalu benar dan selalu bisa salah. 2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembukyian limiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2000 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dan hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak sematamata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Ditahun 2005 misalnya ditemukan pebrik pil ekstasi bersekala internasional di Cikande,Serang,Banten. Pabrik ini dianggap sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga didunia dengan total produksi 100 kelogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp. 100 milyar. Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat kepolisian; komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang. Maningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. Angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainya (narkoba) tahun 2004 naik hingga 39.36 persen jika dengan dibandingkan dengan kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 polda metrojaya telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1,338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba tahun2003 yang hanya 3.441 kasus. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan dimasa depan. Hukuman mati justru menjadi
amunisi ideologis untuk meningkatkan redikalisme an militansi para pelaku. Sampai ssat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhit bkali pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh didri di Bali. Satu pernyatan pelaku kasus pemboman di depan Kedubes Ausralia, Jakarta (9 september 2004). Iwan Dharmawan alias Rois, ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 November 2005: “saya tidak kaget dengan vonis ini kerena saya sudah menyangka sejak awal saya menjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini kerena di jatuhkan oleh pengadilan setan yang berdasrkan hukum setan, bukan hukum Alla. Kalaupun saya du hukum mati, berarti saya mati syahid”. Sikap ini juga ditunjukan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah dilakukan. Penerapan hukum mati jelas tidak berefek positif untuk kejahatan terorisme semacam ini. 3. Praktek hukuman mati di indonesia selama ini masih bias kelas dan disikriminasi, dimana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa diketegorikan sabagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugiakan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati. Padahal janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM. 4. Penerapan hukuman mati juga menunbjukkan wajib politik indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati karena sesuai dengan hukum positif indonesia. Pada hal semnjak era roformasi/transisi politik berlajan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen Kedua)menyatakan : “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Sayangnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan yang bartentangan dengan semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11 perundang-undangan yang masih mencantumkan hukuman mati. 5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada warga negara Indonesia, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus lainnya baru-baru ini.
B. Benturan Antara Pelaksanaan Hukuman Mati Dan Hak Azasi Manusia. Hak atas penghidupan instrumen tidak dijamin sebagai hak mutlak. Misalnya, menurut Konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak bertentangan dengan hak atas penghidupan, apabila pencabutan ini diakibatkan oleh tindakan tertentu yang sudah ditetapkan. Dalam beberapa instrumen, larangan hukuman mati dimuat dalam sebuah Protokol tersendiri. Konvenan internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik dan Konvensi Amerika keduanya membatasi hukuman mati pada “kejahatan yang paling berat”, dikenakan pada suatu “keputusan final suatu pengadilan yang berwenang” sesuai dengan undangundang yang tidak retroaktif. Kedua perjanjian ini memberikan hak untuk mencari “pengampunan atau keringanan hukuman” dan melarang pengenaan hukuman mati pada orang dibawah usia delapan belas tahun pada saat melakukan kejahatan, dan melarang eksekusinya pada wanita hamil. Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan, sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena keputusannya ditetapkan oleh undang-undang. Ada beberapa uraian yang menjelaskan benturan antara pelaksanaan hukuman mati dan hak asasi manusia, antara lain : 1. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia/Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 39/46 tertanggal 10 Desember 1984. Interpretasi ini didasari pada argumen bahwa seorang terpidana mati yang sedang menghadapi eksekusi akan
mengalami tekanan mental/psikis yang luar biasa yang menjadi cakupan Konvensi Anti Penyiksaan ini. 2. Ketentuan ini juga sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak/Convension on the Rights of the Child, Pasal 37 (a) yang menyatakan “Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusia atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun.” 3. Komite HAM juga melarang penggunaa hukuman mati sebagai suatu hukuman wajib/mandatory punishment. 4. Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European Convention of Human Rights/Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada pasal 2-nya menegaskan larangan hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan di berbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun juridiksinya mengcakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of Internasional Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statute of Internasional Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) 5. Pada 11 desember tahun 1977 Deklarasi Stokholm, Amnesti Internasional telah menyerukan penghapusan pidana mati diseluruh dunia. Terhukum mengetahui bahwa “his death will be in a ritualized killing by other people, symbolyzing his ultimate rejection by the members of his community” (Jonathan Glover). Dan hal itu merupakan suatu ”additional horror” bagi terhukum. Karena itu, bagi banyak orang pada saat sekarang, hukuman mati itu dirasakan sebagai “a horrible business of a long premeditated killing”. Sebaliknya dalam menetapkan pidana mati ini terdapat juga golongan kedua yaitu mereka yang setuju (pro) mengenai pelaksanakannya pidana mati tersebut. Seorang bernama Greg. L. Bahnsen dalam bukunya menjelaskan alasan mengapa ia setuju dengan pidana mati ini tetap diterapkan, yang menurutnya “kita harus mengerti kententuan dari hukuman mati
atas dasar bahwa suatu hukuman yang bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan yang dibenarkan dimata Allah.” Begitu juga dengan David Anderson, seorang pakar yang berasal dari kalangan Kristiani, yang sangat setuju (pro) dengan pidana mati pernah menulis bahwa “in order to rightly value the death penalty it is necessary to have emphaty and understanding for all the victims and their relatives.” Sangat tepat bahwa pidana mati justru menujukan rasa simpati teradap korban-korban kejahatan berat, mengapa kita harus mendahulukan dan mengutamakan hak asasi para criminal, ketimbang hak asasi korban-korban kejahatan itu sendiri? Menurutnya sampai kapanpun pidana mati ini tetap diperlukan terhadap pelakupelaku kejahatan berat seperti pembunuhan berencana yang dilakukan secara medis, pembunuhan massal, koruptor kelas kakap dan teroris. Hanya saja menurutnya eksekusi pidana mati itu yang perlu dirivisi, sehingga mengurangi mengurangi rasa sakit pidana, misalnya dengan menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan. Alasannya lain juga dikemukakan oleh pakar lainnya yaitu Ririn di Swedia yang menjelaskan bahwa pidana mati perlu dipertahankan dengan alasan sepanjang hukuman mati tersebut merupakan senjata efektif untuk terpidana dan untuk masyarakat. Dilaksanakannya sepanjang tidak digunakan untuk memberantas lawan politiknya dan dilakukan dengan manusiawi, serta melalui proses peradilan yang adil dan jujur. Begitu juga dengan Bichon van Ysselmode yang menyatakan “Saya masih berkeyakinan, banhwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya. Keduanya Jure divino humano. Pedang pidana, seperti juga pedang harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tetapi haruslah dipertahankan dan juga digunakan.” Didalam hukum Islam hampir tidak diketemukan pro-kontra pidana mati, oleh karena di dalam Islam dikenal Talio, yang berarti membuat sebanding dengan perbuatannya terhadap orang lain, sehingga disini sama dengan apa yang dianut dengan agama Yahudi dalam kitab Pentatuech mereka yang menyatakan bahwa mata balas mata, gigi ganti gigi. Bahkan didalam Islam diwajibkan qishash, yang dalam surat Al Baqarah ayat 178 dinyatakan “Hai orang-orang yang beriman : sesungguhynya diwajibkan kamu qishash untuk soal pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak,
wanita dengan wanita, tetapi kalau seorang kamu dimaafkan oleh sanak saudaranya hendaklah kamu membalas kebaikan mereka itu, karena itu adalah suatu keringanan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.” Sulaeman Rasjid menyebutkan syarat-syarat dapat dijatuhkannya pidana mati sebagai berikut ; Keadaan yang membunuh sudah baliq dan berakal. Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh. Keadaan yang dibunuh tidak kurang juga derajatnya dari yang membunuh. Yang dimaksud dengan derajat disini ialah agama dan merdeka atau tidak, begitu juga dengan anak dengan bapak. Maka oleh karenanya orang Islam yang membunuh orang orang kafir tidak berlaku terhadapnya. Keadaan yang terbunuh, orang yang terpelihara darahnya dengan Islam atau dengan perjanjian. Dalam perkembangannya para pakar dari kalangan agama Islam juga memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda tentang pidana mati tersebut, contohnya Malik yang setuju untuk menerapkan pidana mati tersebut terhadap orang yang melakukan tindakan pembunuhan yang tidak disengaja, sementara yang lain seperti Abu Hanifah dan As-Syafii hanya setuju tetapi dengan syarat bahwa perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang. Begitu juga menurut Juynboll, “pidana mati hanya dipergunakan terhadap pembunuhan yang disengaja dan membunuh dengan senjata dalam keadaan normal dan yang melakukan kejahatan itu cukup umur dan waras.” Bambang Poernomo menyatakan bahwa “Pidana mati yang dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Islam yang “benar” adalah tidak bertentangan dengan falsafah Negara, tidak berlawanan pula dengan unsur-unsur Ketuhanan YME, karena syari’at Islam merupakan syari’at yang berdasarkan Ketuhana YME.” Kemudian dalam pandangan penulis (jika seandainya pro pidana mati) akan menyatakan setuju masih diatur dan diterapkannya pidana mati tersebut dalam KUHP, dengan memandang dari sisi pendegahannya (general deterent). Menurut penulis berhubungan dengan efek pencegahan ini, ancaman pidana mati terhadap delik tertentu akan membawa secara langsung tak langsung jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) seseorang “ditekan” untuk tidak melakukan bahkan berusaha menjauhkan diri untuk melakukan delik yang diancam pidana mati tersebut dan dengan demikian akan berhasil membuat suatu efek pencegahan pada masyarakat luas terhadap delik-delik tertentu.
C. Hukuman Mati Dalam Perspektif HAM Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain: Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”.Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya. Bagaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.Dapat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di Cina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti kasus Rwanda dan Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang. Jika pidana mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain Indonesia, Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law dimana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang merdeka. Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan bahwa Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya
untuk kejahatan yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan (suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini menurut uraian diatas penulis mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam memahami suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HAM hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati. Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam DUHAM tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan
hak
tersebut
yaitu
dengan
adanya
pemahaman
mendalam
terhadap
adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which treatens the life of nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif. (Muladi, 2004 : 101). Hal tersebut diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa upaya-upaya tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban negara-negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HAM berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 ICCPR.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Pidana mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan oleh pemerintahan suatu Negara (kerajaan) yang dianggap merupakan pidana terberat dan tertua dilihat dari sejarahnya. Dalam perkembangannya pidana mati ini sering diselewengkan oleh penguasa yang ada sebagai suatu senjata yang ampuh dalam menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan juga sebagai sarana yang paling sering digunakan untuk mempertegas kedudukannya sebagai penguasa dihadapan masyarakat luas. Dalam bentuknya pidana mati ini juga merupakan suatu jenis pidana yang paling banyak memiliki variasi dalam pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di salibkan, ditenggelamkan, di adu hingga mati dengan binatang buas dalam suatu gelanggang arena, digergaji, ditarik oleh 4 kuda hingga mati terpotong-potong, bahkan pada sekitar abad ke 4 sampai dengan cara digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Semua bentuk-bentuk tersebut dilaksanakan dengan alasan dan tujuannya masing-masing tetapi dengan hasil akhir yang sama yakni matinya seseorang. Berbagai bentuk tidak manusiawi dan penerapan akhir yang seringkali dianggap merupakan kesewenangan penguasa inilah yang membawa pro-kontra terhadap pidana mati ini terus berlangsung hingga kini. Sebagian berpendapat agar pidana mati tersebut harus segera dihapuskan, tetapi sebagian orang lainnya menyatakan bahwa pidana mati ini masih merupakan suatu jenis pidana yang dibutuhkan hingga saat ini. Dibutuhkan hikmat serta pemikiran yang dalam dan objektif dalam mengkaji mengenai masih diatur dan dilaksanakannya pidana mati tersebut dalam kehidupan bernegara. Dan jika pelaksanaan pidana mati tersebut masih tetap harus dipertahankan, maka harus juga dipikirkan dalam-dalam bagaimana pelaksanaan pidana mati itu dilakukan
sehingga dilakukan dengan cara yang paling tepat, manusiawi, meringankan si terdakwa dan tidak berdampak negatif/buruk terhadap pandangan masyarakat luas. B. Saran Menurut penulis, bukanlah antara pro kotra tentang hukuman mati yang harus diperdebatkan, tetapi yang harus dilakukan adalah penegakan Pasal 7 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin atas hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi di depan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi Emilianus, MENGGUGAT NEGARA: Rasionalitas Demokrasi, Ham dan Kebebasan, PBHI, Jakarta 2005. Etika Politik Dalam Konteks Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2001. Fakih Mansour, Bebas Dari Neoliberalisme, Insist Yogyakarta, 2003. Gaffar Afan, Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992. Harahap Krisna, pasang Surut Kemerdekaan Pers di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001. Mahfud, Moh, MD. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001. Moerdiono, M Soemantri Sri, dkk, Politik Pengembangan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992. Naning Mardiniah, dkk, Memperkuat Posisi Politik Rakyat, Cesda-LP3ES, Jakarta, 2004. Tanuredjo, Budiman, Pasung Kebebasan, Menelisik kelahiran UU Unjuk Ras, Elsam, Jakarta, 1999. Wingjosoebroto, Soetandyo, HUKUM, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam, Huma, Jakarta, 2002.