MAKALAH KEBIJAKAN DAN HUKUM LINGKUNGAN “PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI JALUR PENGADILAN DAN DI LUAR PENGADILAN”
DOSEN PENGAMPU : Zulwisman, SH.,MH DISUSUN OLEH : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Aulia Ayuni Ikadarus Betharia Nurmaida Julia Lestari Nindy Tania Prastika Alikahaya Sabrina Rizka Anggi Pratiwi
( 1707122737 ) ( 1707111483 ) ( 1707122662 ) ( 1307113295 ) ( 1707111523 ) ( 1707111360 )
PRODI TEKNIK LINGKUNGAN S1 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU 2018
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Masalah lingkungan bukan menjadi persoalan di masa yang akan datang, akan tetapi menjadi realita yang harus segera di benahi agar tidak terjadi kerusakan lingkungan atau degradasi lingkungan. Masalah lingkungan bukan saja menjadi masalah dalam satu wilayah atau berdampak terhadap satu masyarakat saja. Kebutuhan terhadap alam yang semakin meningkat mengakibatkan permasalahan lingkungan menjadi persoalan lintas Negara. Perbuatan yang tidak bertanggungjawab oleh pihakpihak yang mengambil keuntungan dari alam tersebut dapat memicu suatu reaksi bik dari masyarakat lokal maupun internasional. Menurunnya mutu lingkungan pada akhirnya akan menyebabkan manusia atau masyarakat yang ada di dalam lingkungan tersebut tidak akan memperoleh mutu kehidupan yang baik dan optimal. Begitu pula sebaliknya, bila mutu kehidupan manusianya menurun, maka lingkungan tempat tinggal mereka juga akan menurun. Sengketa lingkungan hidup dapat dirumuskan dalam arti luas dan sempit. Dalam pengertian luas sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang timbul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam disamping memberikan manfaat kepada sekelompok orang, juga dapat menimbulkan kerugian kepada kelompok lain. Sering kali manfaat dari suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dilihat secara makro, sementara risiko atau dampak negatif dari kegiatan itu dirasakan ole sekelompok kecil orang. Penegakan hukum lingkungan ialah pengamatan hukum lingkungan melalui pengawasan (supervision) dan pemeriksaan (inspection) serta melalui deteksi pelanggaran hukum, pemulihan kerusakan lingkungan dan tindakan kepada ( dader, offender). Pemerintah dalam rangka melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Hal tersebut di jamin
dalam undang-undang yang mengatur tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH). Pasal 84 UUPPLH menyatakan : 1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. 3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrument dan sanksi hukum administrasi dilakukan oleh pemerintah dan juga oleh warga atau badan hukum perdata. Gugatan tata usaha negara merupakan sarana hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga negara atau badan hukum perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang secara formal atau materiil bertentangan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah. Penggunaan instrument hukum perdata, yaitu gugatan perdata, dapat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi pemerintah. Namun jika di bandingkan diantara ketiga bidang hukum, sebagian besar norma-norma hukum lingkungan termasuk kedalam wilayah hukum administrasi negara. Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum. Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan 3
peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”. Sesuai dengan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, bahwa dalam hal terjadinya suatu sengketa ligkungan hidup dapat di tempuh melalui dua jalur, melalui pengadilan atau litigasi maupun di luar pengadilan atau non litigasi. Khusus untuk penyelesaian sengketa malalui pengadilan, maka tetap mengacu pada ketiga pendekatan instrumen yaitu hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. B. Rumasan Masalah 1. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian masalah lingkungan hidup melalui jalur pengadilan? 2. Bagaimana penyelesaian masalah lingkungan hidup melalui jalur luar pengadilan?
4
BAB II PEMBAHASAN Sengketa lingkungan hidup dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu (Bedner 2007): 1) sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan; 2) sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; dan 3) sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan. Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/perusakan. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau dugaan adanya pencemaran dan atau perisakan lingkungan. Sengketa lingkungan (“environmental disputes”) merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan “Dispute a conflict or conroversy; a conflict of claims or rights; an assertion of a right, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa inggrisnya pun beragam : “dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 25 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan di dalam dan di luar pengadilan. Hal ini telah dijamin dalam undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Hal yang sama juga diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya, yakni UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997) dan UU No. 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan 5
Hidup (UUKPPLH 1982). Serta peraturan MA tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup Ketua MA RI dengan NO : 36/KMA/SK/II/2013. 2.1
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Jalur Pengadilan (Litigasi)
2.1.1 Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009. Sebagian besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan UUPPLH mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997. Peneyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam UUPPLH diatur dalam pasal 87 hingga pasal 93. Menurut UUPPLH penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh secara sukarela melalui dua pilihan mekanisme, yaitu mekanisme proses pengadilan dan mekanisme diluar pengadilan. Jika para pihak telah bersepakat untuk memilih mekanisme diluar pengadilan, maka gugatan keperdataan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika mekanisme diluat pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak. Penyelesaian lingkungan hidup melalui pengadilan bermula dari adanya gugatan dari pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang dianggap penyebab kerugian itu. UUPPLH menyediakan dua bentuk tuntunan yang dapat diajukan oleh penggugat, yaitu meminta ganti kerugian dan meminta tergugat untuk melakukan tindakan tertentu. Agat tergugat dapat dijatuhi hukuman seperti yang dituntut oleh penggugat, maka harus ditentukan lebih dahulu, bahwa tergugat bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Didalam ilmu hukum terdapat dua jenis tanggung gugat, yaitu tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan tanggung gugat tidak berdasarkan kesalahan (liability without fault) atau yang juga disebut strict liability. Tanggung gugat berdasarkan kesalahan ditemukan dalam rumusan pasal 1356 KUHPerdata. Bahwa ketentuan pasal 1356 menganut tanggung gugat berdasarkan kesalahan dapat dilihat dari unsur-unsur rumusan pasal tersebut yaitu : a. Perbuatan tergugat harus bersifat melawan hukum b. Pelaku harus bersalah c. Ada kerugian 6
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbutan dengan kerugian. Penggugat yang mengajukan gugatan berdasarkan pasal 1356 BW harus membuktikan terpenuhinnya unsur-unsur tersebut agar gugatannya dapat dikabulkan oleh hakim. Salah satu unsure itu adalah bahwa tergugat itu bersalah. Dalam ilmu hukum kesalahan dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu kesengajaan dan kealpaan atau kelalaian. Jadi, berdasarkan asas tanggung gugat berdasarkan kesalahan, adalah tugas penggugat untuk membuktikan adanya unsur kesengajaan atau kelalaian pada diri tergugat, sehingga telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat. Selain tetap menganut tanggung gugat berdasarkan keasalahan, UUPPLH juga memberlakukan tanggung gugat tanpa kesalahan (strict liability) yaitu untuk kegiatankegiatan yang “ menggunakan bahan berbahaya dan beracun atau mengahasilkan dan atau mengelola limbah bahan berbahaya dan beracun dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup “. Terdapat perbedaan penting antara rumusan tanggung gugat mutlak berdasarkan UULH 1997 dan berdasarkan UUPPLH yaitu : 1. Membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (“schuld”) dan unsur hubungan kausal. Pasal 1365 BW mengandung asas tanggunggugat berdasarkan kesalahan (“schuld aansprakelijkheid”), yang dapat dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum AngloAmerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada tempatnya. Rumusan UUPPLH lebih tepat karena sesuai dengan konsep dalam Anglo Saxon yaitu strict liability atau yang disebut liability witout fault. 2. Masalah beban pembuktian (“bewijslast” atau “burde of proof”) yang menurut Pasal 1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. Padahal, dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah, bahkan sudah berada dalam keadaan sekarat . Jika dikaitkan dengan kasus pencemaran lingkungan hidup, maka si penggugat harus dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritannya disebabkan oleh aktivitas industri atau pabrik yang menjadi tergugat. Pembuktian hal ini sangat 7
sulit karena kompleksnya sifat-sifat zat kimiawi dan reaksinnya dengan komponen abiotik dan biotik di dalam suatu ekosistem yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan manusia. 3. Dalam UULH 1997 terdapat pengecualian atas berlakunya tanggung gugat mutlak, yaitu penanggung jawab usaha atau kegiatan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul jika kerugian yang timbul akibat dari tiga hal, yaitu : adanya bencana alam atau peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia, dan adanya tindakan dari pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran atau perusakkan lingkungan hidup. Dalam UUPPLH ketentuan pengecualian tidak ada. Tujuan penerapan asas tanggung gugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa keadilan; mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya. Penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009 dan terdiri dari : 1. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan 2. Tanggung Jawab Mutlak 3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah 4. Hak Gugat Masyarakat 5. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup 6. Gugatan Administratif
a.
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan Hal ini termuat dan diatur lebih lanjut pada Pasal 87 UU No.32 Tahun 2009, ganti kerugian dikenakan terhadap setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum/dan atau kewajiban badan usaha tersebut. Dalam hal ini pengadilan dapat mengenakan uang paksa terhadap keterlambatan atas pelaksanaan 8
putusan pengadilan, dimana uang paksa ini didasarkan pada peraturan peraturan perundang-undangan. 2. Tanggung Jawab Mutlak Terhadap setiap orang yang tindakannya atau usahanya dan kegiatannya yang menggunakan B3( Bahan Berbahaya Beracun), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3 dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. 3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah Dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup, berwenang untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. ( Pasal 90 Ayat 2). 4. Hak Gugat Masyarakat Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Gugatan dapat diajukan apabila terjadi kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum,
serta
jenis
tuntutan
di
antara
wakil
kelompok
dan
anggota
kelompoknya.Ketentuan mengenai hak gugat ini masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memnuhi persyaratan sebagai berikut: a. Berbentuk badan hukum b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. 9
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 tahun. 6. Gugatan Administratif Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara apabila: a. Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal. b. Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL c. Badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Kegiatan Penyidikan dilakukan oleh penyidik baik dari POLRI juga dari Pejabat PNS yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pembuktian berupa alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan terdiri atas: a.
Keterangan saksi
b. Keterangan ahli c.
Surat
d. Petunjuk e.
Keterangan terdakwa
f.
Alat bukti lain termasuk alat bukti yang diatur dengan peraturan perundangundangan. Dalam rangka penegakan hukum terpadu pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian dan kejaksaan di bawah Koordinasi Menteri. Akan tetapi dibalik ini semua, UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan asas Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Yang mana penerapan asas ini, hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata, Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah, hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan bentuk-bentuk pengamalan konsep axio popularis, class action dan legal 10
standing. Konsep-konsep ini merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam penerapannya. Penerapan hukum perdata ini juga diikuti engan berbagai persyaratan seperti pelaksanaan hak gugat oleh pemerintah bisa dilakukan oleh Kejaksaan, pelaksanaan clas action yang dapat dilakukan oleh orang atau sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi Lingkungan yang harus memenuhi persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 ini. Ancaman hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini juga cukup komprehensif, misalkan mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik perseorangan, korporasi, maupun pejabat. Contoh yang paling konkret adalah porsi yang diberikan pada masalah AMDAL. Sekurangnya terdapat 23 pasal yang mengatur mengenai AMDAL, tetapi pengertian dari AMDAL itu sendiri berbeda antara UU No 32/2009 dengan UU No 23/1997,yakni hilangnya ”dampak besar”. Hal-hal baru mengenai AMDAL yang termuat pada undang-undang terbaru ini antara lain: 1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; 2. Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; 3. Komisi penilai AMDAL pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi AMDAL; 4. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penertiban izin lingkungan; 5. Izin
lingkungan
diterbitkan
oleh
Menteri,Gubenur,Bupati/Walokota
sesuai
kewenangannya. Selain hal-hal yang disebutkan diatas, ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam UU No 32 Tahun 2009 ini ,yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL. Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut berupa : a. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan; b. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi; c. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAL atau UPL/UKL. 11
2.1.2 Mekanisme Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Instrumen Hukum Administrasi.
Pengawasan Penyelesaian masalah lingkungan melalui instrumen hukum administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran), oleh karena itu, fokus dari sanksi administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi hukum pidana tidak hanya ditujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial menjadi pembuat (pelanggar). Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal itu, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium). Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup. Terdapat 4 (empat) peraturan perundang – undangan yang dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum administrasi yaitu : 1. Hinder Ordonantie (S. 1926 – 226) 2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 3. PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
12
4. PP No. 19 Tahun 1994 jo. PP No. 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun 1999. Sementara itu dalam pasal 48 PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan: “Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan pasal 24 ayat (1), pasal 25, pasal 26 , pasal 32, pasal 34 , pasal 35, pasal 37, pasal 38, pasal 40, dan pasal 42, bupati atau walikota berwenang menjatuhkan sanksi administrasi.” Ketentuan pasal diatas memberikan gambaran bahwa pemerintah daerah kabupataen atau kota secara hukum memiliki kewenangan dalam pengaturan izin terhadap kegiatan pengelolaan sumbar daya air. Namum demikian dalam konsep hukum administrasi terdapat 4 (empat ) sanksi hukum administratif yang terdiri atas, paksaan administratif, penutupan perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang paksaan dan penarikan izin. UU nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun. Hukum lingkungan administrasi memiliki fungsi preventif dan fungsi korektif
terhadap kegiatan-kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau persyaratanpersyaratan pengelolaan lingkungan hidup. Fungsi preventif terhadap timbulnya masalah-masalah lingkungan yang bersumber dari kegiatan usaha diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang berwenang dibidang pengawasan lingkungan. Jika berdasarkan fungsi pengawasan ditemukan pelanggaran ketentuanketentuan hukum lingkungan administrasi, pejabat yang berwenang dapat menjatuhkan sanksi administrasi teradap si pelanggar.
13
Didalam UUPPLH, pengawasan diatur dalam pasal 71 hingga pasal 74. Selain terdapat pesamaan , juga ditemukan perbedaaan ketentuan-ketentuan tentang pengawasan anatara UULH dan UUPPLH. Persamaan antara lain berkaitan dengan kewenangan pengawasan ad pada Menteri Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah, baik Menteri atau Pemerintah Daerah berwenang menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Perbedaannya yaitu : a. Jika dalam UULH 1997 terdapat pasal 23 yang menjadi dasar hukum bagi BAPEDAL yang tela dibahas dalam bab II untuk melakukan pengawasan, dalam UUPPLH ketentuan ketentuan tentang lembaga BAPEDAL yang berwenang ditingkat pusat melakukan pengawasan dibidang lingkugan hidup tidak lagi ditemukan karena Kementrian Lingkugan Hidup sepenunya berwenang melakukan pengawasan setelah BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementrian Lingkugan Hidup. b. Dalam UUPPLH memberlakukan mekanisme pengawasan dua jalur, sedangkan UULH 1997 hanya satu jalur. Yang dimaksud dengan mekanisme dua jalur adalah bahwa pada prinsipnya Gurbernur dan Bupati/Walikota berwenang melakukan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing, tetapi jika kewenangan pengawasan lingkungan tidak dilaksanakan sehingga terjadi “pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup “, Menteri Lingkungan Hidup dapat melakukan
pengawasan
usaha/kegiatanyang
izin
terhadap lingkungannya
ketaatan
penanggung
diterbitkan
oleh
jawab
Pemerintah
Daerah.pemberlakuan pengawasan jalur kedua oleh Kementrian Lingkungan Hidup terhadap kegiatan usaha yang izin lingkungannya diterbitkan oleh Gurbernur
atau
BUpati/Walikota
dilatarbelakangi
oleh
fakta
bahwa
Gurbernur/Walikota sering kali tidak menggunakan kewenangnnya sebagaimana mestinya terhadap kegiatan usaha, sehingga terjadi toleransi yang berkelebihan terhadap pelanggaran hukum lingkungan administrasi. Sebagaimana UULH 1997, UUPPLH juga menyebutkan kewenangan dari pejabat pengawas lingkugan hidup yaitu: a. melakukan pemantauan b. meminta keterangan 14
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang di perlukan d. memasuki tempat tertentu e. memotret f. membuat rekaman audio visual g. mengambil sampel h. memeriksa peralatan i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi j. menghentikan pelanggaran tertentu Sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti UU No. 32 Tahun 2004, yang menyerahkan masalah lingkungan hidup kepada pemerintahan daerah, maka di setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau kota telah memiliki kelembagaan pengelolaan lingkungan yang kuat dengan mandat yang jelas. Strategi dikembangkan di setiap kota atau kabupaten (pendekatan “Atur Dan Awasi “, Ekonomi, Perilaku, dan Tekanan publik).
Sanksi-Sanksi Hukum Lingkungan Administrasi J.B.J.M ten Berg menguraikan instrumen penegakan hukum administrasi,
meliputi pengawasan dan penerapan sanksi. Sementar itu, instrumen penegakan hukum administrasi terhadap hukum lingkungan hidup, menurut Philipus M. Hadjon terdiri dari empat hal pokok, keempatnya berkaitan dengan penggunaan wewenang penegakkan hukum administrasi yaitu : 1. legitimasi 2. instrumen hukum administrasi 3. norma hukum administrasi 4. kumulasi sanksi : kumulasi eksternal dan kumulasi Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum lingkugan administrasi. UUPPLH memuat empat jenis sanksi hukum administrasi, sebagaimana tercantum dalam pasal 76 ayat (2) yatu teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan. Pasal 80 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemegang izin disektor kehutanan dikenai sanksi administrasi jika melanggar ketentuan pasal 78, 15
tetapi tanpa mengatur secara rinci jenis dan proses penjatuhan sanksi hukum administrasi tersebut. Sanksi administrasi dibidang kehutanan diatur lebi lanjut dalam PP No. 34 Tahun 2002 pasal 87 yang memberlakukan enam jenis sanksi administrasi yaitu : penghentian sementara pelayanan administrasi, penghentian sementara kegiatan dilapangan, denda administratif, pengurangan areal kerja, dan pencabutan izin. Sanksi administrasi diberlakukan jika melanggar pasal 88 hingga 97. Dalam UUPPLH, kewenangan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah ada pada tiga pejabat yaitu: Menteri Lingkugan Hidup, Gurbernur, Bupati/Walikota. Pasal 80 ayat (1) UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk paksaan pemerintah yaitu : a. penghentian sementara kegiatan produksi b. pemindahan sarana produksi c. penutupan saluran pembungan saluran air limbah atau emisi d. pembingkaran e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran f. penghentiaan semetara seluruh kegiatan g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkugan hidup. Sanksi pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan merupakan upaya terakhir dalam penegakkan hukum administrasi setelah penanggung jawab usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Tata Usaha Negara Sanksi-sanksi hukum administrasi negara berupa paksaan pemerintahan, denda,
pembekuan izin dan pencabutan izin dilakukan oleh pejabat tata usaha negara terhadap para penggar hukum administrasi tanpa melalui proses peradilan. Persoalan akan timbul jika terjadi pelanggaran hukun lingkungan administrasi, tetapi pejabat tata usaha negara yang berwenang
tidak menjalankan kewenangannya yaitu, menjatuhkan sanksi
administrasi kepada pelanggar, maka dapat pejabat yang berwenang tersebut dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan terhadap pejabat tata usaha negara diatur dalam UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha negara.
2.1.3 Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Instrumen Hukum Perdata Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen Hukum Perdata, untuk menentukan seseorang atau badan hukum bertanggung jawab terhadap kerugian yang 16
diakibatkan oleh pencemaran atau perusakan lingkungan, penggugat dituntut membuktikan adanya pencemaran, serta kaitan antara pencemaran dan kerugian yang diderita. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara perdata, terjadi karena pada satu sisi masyarakat dirugikan atas pengelolaan lingkungan hidup yang menyimpang dari aturan yang sebenarnya. Pembuktian dalam kasus lingkungan, khususnya delik, karena kasus-kasus pencemaran sering kali ditandai oleh sifat-sifat khasnya, anatara lain : 1. Penyebab tidak selalu dari sumber tunggal. Akan tetapi berasal dari berbagai sumber 2. Melibatkan disiplin-disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan pakar-pakar di luar hukum sebagai saksi 3. Sering kali akibat yang diderita tidak timbul seketika, akan tetapi selang beberapa lama kemudian. Lingkungan hidup mempunyai peranan sangat besar dalam kehidupan masyarakat, kualitas kehidupan masyarakat dapat dipengaruhi lingkungan hidup, pada prinsipnya lingkungan merupakan sumber daya yang dibutuhkan keberadaannya oleh makhluk lainnya, khususnya manusia. Dalam UUPLH dasar hukum gugatan lingkungan terdapat dalam Pasal 34 yaitu : 1. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. 2. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Dengan demikian berdasarkan Pasal 34 ayat (1) gugatan lingkungan untuk mendapatkan ganti rugi dan/atau tindakan tertentu haruslah memenuhi persyaratan yang menjadi unsur Pasal 34 ayat (1) yaitu :
perbuatan melanggar hukum
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan 17
kerugian pada orang lain atau lingkungan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Hal tersebutlah yang menjadi acuan Dasar Pengajuan Gugatan Lingkungan. Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan ia pun berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu
- gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi, - gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi. Oleh karena itu, gugatan perdata bisa menjadi dasar diselenggarakannya pengadilan perdata. Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara: 1. Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya. 2. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (class action). Gugatan dengan prosedur gugatan perwakilan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, sebaiknya orang banyak itu diartikan dengan lebih dari 10 orang; sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan. 2. Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan dasar hukum (question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan kelompok dan anggota kelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari sumber yang sama,
18
berlangsung dalam waktu yang sama, atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di lokasi yang sama, dll. 3.
Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dan anggota kelompok; Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat mempunyai tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting adalah jenis tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya biaya pemulihan kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya tergantung tingkat penyakit yang dideritanya.
4.
Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan perwakilan kelompok yang layak, dengan memenuhi beberapa persyaratan: -
harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota kelompok yang diwakilinya;
-
memiliki bukti-bukti yang kuat;
-
jujur;
-
memiliki
kesungguhan
untuk
melindungi
kepentingan
dari
anggota
kelompoknya; -
mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan anggota kelompoknya; dan
-
sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di pengadilan.
Surat gugatan, selain harus memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata, harus memuat: A. identitas lengkap dan jelas, B. definisi kelompok secara secara rinci dan spesifik; C. keterangan tentang anggota kelompok; D. posita dari seluruh kelompok; E. jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda, maka dalam satu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian atau sub kelompok; F.
tuntutan atau petitum ganti rugi, mekanisme pendistribusian dan usulan pembentukan tim. Gugatan didaftarkan ke peradilan umum, segera setelah hakim memutuskan
bahwa pengajuan gugatan kelompok dinyatakan sah, wakil kelompok memberitahukan kepada anggota kelompok melalui media cetak/ elektronik, kantor pemerintah atau langsung kepada anggota kelompok. Setelah pemberitahuan dilakukan, anggota kelompok dalam jangka waktu tertentu diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok. Seterusnya 19
proses persidangan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata.
2.1.4 Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Pendekatan Instrumen Hukum Pidana. Menggunakan instrumen hukum pidana yang pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum remidium (obat terakhir). Artinya instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum acara pidana dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan merupakan suatu jalan terakhir yang dipakai dalam suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum lingkungan, akan tetapi dapat pula langsung menggunakan instrumen hukum pidana apabila kasus tersebut disinyalir sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar atau extraordinary crime. Dengan demikian instrumen hukum pidana ikut pula dalam ruang lingkup penyelesaian sengketa hukum lingkungan. Menurut pendapat dari Hermin Hadiati Koeswadji menunjukkan bahwa instrumen hukum pidana melihat akan adanya suatu kasus bukan hanya akibat perbuatan akan tetapi juga melihat kepada orang yang melakukan akibat dari perbuatan tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan pertama mengenai hukum lingkungan dengan hukum pidana ialah dalam hukum lingkunga tidak hanya mengatur mengenai pertanggungjawaban lingkungan akan tetapi juga mengenai pertanggungjawaban sosial, sehingga hukum pidana juga ikut berperan dalam mengatur pertanggungjawan di hukum lingkungan terutama yang berkaitan dengan pertanggungjawaban sosial. Lebih lanjut membahas penyelesaian sengketa hukum lingkungan dengan instrumen hukum pidana terdapat alur penyelesaian sengketa mulai dari penyidikan, pembuktian maupun gugatan dalam perspektif hukum pidana. Alur dari perspektif hukum pidana tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang – Undang Pidana saja meainkan salah satunya aturan yang memuat alur perspektif hukum pidana adalah Undang – Undang No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaha lingkungan hidup dan AMDAL, kemudian Undang – Undang No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang khusus menangani masalah berkaitan dengan hukum lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya air.
20
Penyelesaian masalah hukum lingkungan melalui instrumen pidana sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Seiring dengan berjalannya waktu pengaturan hukum lingkungan lebih dibuat lebih kompleks dari peraturan hukum lingkungan sebelumnya, alasan yang paling utama ialah banyaknya kasus yang muncul terhadap hukum lingkungan yang pada kenyataannya kasus tersebut perlu diatur lebih lanjut akibat tindakannya yang bermacam-macam. Dengan adanya bermacam-macam kejahatan terhadap hukum lingkungan hidup maka muncul Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup yang lebih lengkap daripada undang-undang sebelumnya (Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang pengelolahan lingkungan hidup). Dalam penegakkan hukum lingkungan yang terdapat dalam Undang -Undang no 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa terdapat empat pihak yang memiliki hak untuk menggugat apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum lingkungan, yaitu pihak pemerintah, masyarakat, orang dan pihak organisasi lingkungan hidup. Empat pihak tersebut memiliki hak yang berbeda seperti yang terdapat dalam pasal 90, 91, dan 92 Undang – Undang No 32 Tahun 2009, sehingga keempat pihak tersebut telah jelas mendapatkan hak untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku tindakan kejahatan terhadap lingkungan hidup. Adapun pihak pemerintah yang berhak mengajukan gugatan apabila terjadi pelanggaran atau kejahatan terhadap lingkungan diatur dalam pasal 90 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup. Menurut pasal tersebut secara garis besar pemerintah maupun pemerintah daerah dapat meminta ganti rugi dan tindakan tertentu terhada usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Sedangkan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian yang dimaksud dalam pasal 90 diatur lebih dalam dengan Peraturan Menteri. Adapun pihak lain yang berhak mengajukan gugatan adalah masyarakat yang pada dasarnya seperti yang tercantum dalam pasal 91 undang – undang no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup memiliki hak untuk mewakili kelompok untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan masyarkat apabila mengalami kerugian. Terdapat hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan yang mengatasnamakan pihak masyarakat yaitu harus terdapat kesamaan fakta 21
atau peristiwa, dasar huku, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompok. Selanjutnya pihak organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup, akan tetapi ia tidak berhak meminta ganti rugi kecuali biaya atau pengeluaran riil. Adapun sebelum mengajukan gugatan, organisasi lingkungan hidup harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut: 1. Berbentuk badan hukum. 2. Menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. 3. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat dua tahun. Kemudian pihak terakhir adalah setiap orang yang pada prinsipnya dapat mengajukan gugatan berkaitan dengan pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin kegiatan terhadap suatu usaha atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL maupun UKLUPL, serta tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada hukum acara peradilan tata usaha negara. Penyidikan dalam hukum lingkungan tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup pasal 94 dan pasal 95. Adapun yag berhak melakukan penyidikan adalah pejabat polisi negara republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. Adapun wewenang dari penyidik pegawai negeri sipil yang berwenang tercantum dalam pasal 94 ayat 2 seperti: 1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan tindakan lingkungan hidup
22
2. Melakukan pemerikasaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 3. Meminta keterangan dan bahan bukti berkenaan peristiwa tindak pidana lingkungan hidup 4. Melakukan pemeriksaan pembukaan, catata, dan dokumen lain berkenaa dengan tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup. 5. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terhadap bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain. 6. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup. 7. Menghentikan penyidikan 8. Memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual 9. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana. 10. Menangkap dan menyerahkan tersangka. Kemudian dalam hal penyidikan yang pada dasarnya menentukan apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana hukum lingkungan sangat erat kaitannya dengan pembuktian, yaitu alat bukti. Alat bukti merupakan alat yang digunakan untuk menjerat tersangka atau pihak tertentu untuk mendapatkan sanksi maupun hukuman. Adapun alat bukti terdiri dari ; 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa 6. Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang – undangan. Mengenai penyidikan dan pembuktian, hal lain yang perlu diperhatikan adalah terdapat ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup mulai dari pasal 97 hingga pasal 120. Isi dari ketentuan pidana secara garis besar menjerat orang yang sengaja melakukan 23
tindak pidana lingkungan hidup, orang yang lalai sehingga mengakibatkan kerugian lingkungan hidup, orang yang melanggar ketentuan lingkungan hidup, orang yang mengedarkan rekayasa genetik, dan orang yang menghasilkan limbah B3 tanpa melakukan pertanggung jawaban. Akan tetapi tidak hanya orang saja yang dapat dikenakan ketentuan pidana melainkan pihak pemberi ijin atau dalam hal ini pejabat pemberi ijin lingkungan hidup, serta penanggung jawab usaha dapat pula dikenakan ketentuan pidana. Lebih lanjut mengenai penegakkan lingkungan hidup seperti yang telah terjadi dibeberapa kasus yang ada, setiap kali terjadi kejahatan terhadap tindak pidana maka hal yang paling erat ialah berkaitan dengan kejahatan korporasi. Korporasi dalam hal bagian dari kegiatan ekonomi dapat pula dikenakan ketentuan pidana lingkungan hidup apabila dalam melakukan kegiatannya disinyalir telah melakukan kegiatan merusak, mengurangi, maupun mengubah sesuai batas – batas yang telah ditentukan. Apabila suatu korporasi ternyata telah melakukan suatu kejahatan lingkungan yang serius maka yang perlu diperhatikan sebaiknya aturan dari ketentuan hukum pidana lingkungan itu sendiri,
namun
apabila
tindakan
korporasi
tersebut
lebih
mengarah
ke
pertanggungjawaban lainnya maka dapat dipakai instrumen hukum perdata maupun instrumen hukum administrasi. Adapun mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh pihak korporasi maka dapat diketahui dalam pasal 55 KUHP buku ke I yang memberikan ancaman terhadap orang yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doen pleger), yang turut melakukan (medepleger), dan yang membujuk (uitlokker). Dengan demikian apabila mengaju pada pasal 55 maka yang dapat dikenakan sanksi dapat dimulai dari pemimpin suatu korporasi, kemudian pemberi perintah dari kegiatan tersebut hingga orang-orang yang melakukan kegiatan yang pada hakekatnya melakukan kejahatan lingkungan hidup. Ketentuan instrumen hukum pidana sangat dipengaruhi dengan kemampuan bertanggungjawaban dan unsur kesalahan, sehingga dalam strafbaar feit menunjuk pada kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang melawan hukum, dan oleh karenanya patut dipidana. Menurut pendapat ahli pompe dan vost yang menganut pengertian melawan hukum identik dengan “in strijd met het recht” atau dapat dikatakan bertentangan dengan hukum.Bertentangan dengan hukum bukan hanya 24
dinilai sebagai hal – hal yang bertentangan dengan undang – undang melainkan dengan kepatutan. Selanjutnya apabila melihat pengertian strafbaar feit maka dapat dipertanyakan apa hubungannya dengan dengan hukum lingkungan. Menjawab pertanyaan berkaitan hubungan antara strafbaar feit dengan hukum lingkungan maka pada pokoknya menurut Hermin Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa terdapat dua pokok unsur penting, yaitu; 1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti hendeling, kelakuan, tingkah laku yag berada dalam dunia nyata yang dapat dirasakan oleh panca indera. 2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yag menimbulkan kelakuan tadi, yaitu berada dalam lubuk batin atau tidak dirasakan dengan panca indra. Kedua unsur penting tersebut mudah untuk dibuktikan karena pabila kita melihat dari unsur yang pertama jelas bentuknya seperti pengerusakan hutan, pencemaran air, dan segala tindakan yang dapat dirasa merupakan kejahatan lingkungan. Sedangakan mengenai unsur kedua, keksalahan seeorang diakitkan suasana dalam batin seseorang yaitu orang tersebut mengetahui dan merasa perbuatan tersebut bertentangan dengan batinnya. Pengaruh
lain
dari
tindak
pidana
adalah
unsur
mampu
bertanggungjawab, unsur ini merupakan suatu bukti sah dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam kaitannya dengan mamp bertanggungjawab maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa terdapat tiga sistem pertanggungjawaban pidana, pertama yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dikenakan pertanggug jaawaban adalah orang, kedua adalah badan huku, dan yang ketiga orang dan badan hukum. Dengan demikian dalam suatu kejahatan yang dilakuakn oleh korporasi tidak hanya orangnya saja yang dapat dikenakan sanksi pidana melainkan bdan hukumnya dapa dikenakan sanksi pidana. Selain dari pada itu kemampuan bertanggung jawab adalah normalitas psikis dan kematangan yang membawa tiga kemampuan, yaitu
25
1. Mampu mengerti nilai-nilai dan akibat perbuatannya sendiri. 2. Mampu menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakt tidak boleh. 3. Mampu menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya itu. Dengan adanya pesyaratan diatas maka para sarjana hukum menyepakati bahwa hukum pidana harus dipandang sebagai ultimatum remidium. Sedangkan maksud dari ultimatum remidium daat dilihat dari pandangan A. Hamzah yang menggolongkan tiga pengertian ultimatum remidium, yaitu hukum pidana itu hanya diterapkanterhadap perbuatan – perbuatan yang sangat tidak bear secara etis, kemudian dianggap sebagai obat terakhir atau alat terakhir yang diterapkan dalam hukum lingkungan, dan pejabat administrasilah yang harus bertanggung jawab pertama kalinya. 2.2 Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Jalur Luar Pengadilan (Non litigasi) Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien. Hal mana mengingat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif tidak sedikit. Hal ini disebabkan proses penyelesaian sengketa lambat, biaya beracara di pengadilan mahal, pengadilan dianggap kurang responsif dalam penyelesaian perkara, sehingga putusan sering tidak mampu menyelesaikan masalah dan penumpukan perkara ditingkat Mahkamah Agung yang tidak terselesaikan. Sementara itu, dalam persidangan perdata di Indonesia, kapan perkara dapat terselesaikan secara normatif tidak ada aturan hukum yang jelas, sehingga bagi yang beritikad buruk akan semakin lama menikmati sesuatu kebendaan yang bukan miliknya, sebaliknya yang beritikad baik akan semakin menderita kerugian oleh karena suatu sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu terkait dengan beban pembuktian dalam proses penyelesaian melalui litigasi merupakan kewajiban penggugat sebagaimana dijelaskan diatas, padahal dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah. 26
Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan, bagi bangsa Indonesia telah ada sebelum kita merdeka. Dalam Peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda yang bernama Reglement of de Burgerlijik Rechtsvordering (RV). Ketentuan ini tetap berlaku sebelum ada peraturan yang baru, sebab peraturan Undang-Undang Dasar 1945 tetap mengakui keberadaannya sebelum diganti oleh peraturan yang baru. Perkembangan
yang
terjadi
setelah
Reglement
of
de
Burgerlijik
Rechtsvordering (RV), pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi Internasional, seperti konvensi Washington dengan Undang-undang nomor 5 Tahun 1968, Konvensi New York diratifikasi dalam Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian sengketa di luar pengadilan tetap diakui keberadaannya oleh pemerintah dengan memasukkannya dalam salah satu pasal Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 tersebut, dinyatakan penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan. Selain itu penyelesaian perkara di luar pengadilan juga diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang –undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa, ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian sengketa perkara secara perdamaian. Pemerintah sepenuhnya dalam menindaklanjuti ketentuan dalam pasal 3 dan 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut, maka pemerintah mendirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pemerintah pada tahun 1999 mengundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase secara tegas menyatakan sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa. Khusus terhadap sengketa lingkungan hidup, pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat dilakukan melalui sebuah lembaga baik yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 8 Peraturan 27
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 yang dinyatakan bahwa, lembaga jasa dapat dibentuk oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditetapkan oleh menteri dan berkedudukan di instansi yang bertanggungjawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sementara itu, lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota dan berkedudukan di instansi yang betanggungjawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan (pasal 8 ayat 1,2, dan 3). Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya. Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan. Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan dan/atau menjamin adanya tindakan guna mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tersebut dapat difasilitasi melalui jasa pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, seperti pemerintah dan/atau masyarakat. Pemerintah dan masyarakat dalam hal ini dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
28
No. 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan. Adapun bentuk penanganan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat melalui Arbitrase, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan fact finding. Berikut akan dijelaskan masing-masing bentuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. a.
Arbitrase Arbitrase
berasal
dari
kata
arbitrare
(bahasa
latin)
yang
berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Menurut Frank Elkoury arbitrase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih oleh para pihak secara sukarela karena ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. Sedangkan menurut Prof. Gary Goodpaster “arbitration is theprivete adjuducaticn of dispute parties, anticipating possible dispute or experience an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion selec.” Menurut UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas, pada dasamya terdapat kesamaan bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata di mana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh orang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit yang ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara rnusyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. Menurut Felix OS ada beberapa alasan mengapa para pihak menggunakan arbitrase, yaitu:
29
a).
Adanya kebebasan, kepercayaan dan keamanan. Arbitrase pada umumnya
menarik bagi para pengusaha, pedagang dan investor sebab memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat has kepada mereka. Secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga menghindari kemungkinan pihak lokal dari mereka yang terlibat dalam satu perkara. b).
Wasit/arbiter memiliki keahlian (expertise). Para pihak seringkali memilih
arbitrase karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap keahlian arbiter mengenai persoalan yang dipersengketakan dibandingkan jika mereka menyerahkan penyelesaian kepada pihak pengadilan yang telah ditentukan. Lebih cepat dan hemat biaya. Proses pengadilan keputusan arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal dan lebih murah daripada proses litigasi di pengadilan. c).
Bersifat rahasia. Proses pengambilan keputusan dalam lingkungan arbitrase
bersifat privat dan bukan bersifat umum, sehingga hanya para pihak yang bersengketa saja yang tahu. d).
Adanya kepekaan arbiter/wasit. Arbiter dalam pengambilan keputusan lebih
mempertimbangkan sengketa sebagai bersifat privat dari pada bersifat umum/publik. Hal ini berbeda dengan di pengadilan yang lebih mengutamakan kepentingan umum. e).
Pelaksanaan putusan lebih mudah dilaksanakan. Dalam perikatan arbitrase ada
dua macam klausula arbitrase, yaitu Pactum de Compromitendo dan Acta Cimpromise. Klausula Pactum de compromitendo dibuat sebelum persengketaan terjadi, bersamaan dengan pembuatan perjanjian pokok atau sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitrase menjadi satu dengan perjanjian pokoknya atau dalam suatu perjanjian yang tersendiri di luar perjanjian pokok. Sedangkan Acta compromise dibuat selelah terjadi sengketa yang berkenaan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Jadi klausula ini ada setelah sengketa terjadi dan kedua belah pihak setuju bahwa sengketa yang terjadi akan diselesaikan dengan arbitrase. Dari bentuknya di Indonesia dikenal dua macam lembaga arbitrase, yaitu arbitrase institusional dan arbitrase ad hoc.
30
Arbitrase institusional adalah arbitrase yang sifatnya permanen dan melembaga, yaitu suatu organisasi tertentu yang menyediakan jasa administrasi yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, dan pengangkatan para arbiter. Arbitrase Ad Hoc atau arbitrase volunter adalah badan arbitrase yang tidak permanen. Badan arbitrase ini bersifat sementara atau temporer, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan/memutuskan perselisihan tertentu sesuai kebutuhan saat itu. Setelah selesai tugasnya badan ini bubar dengan sendirinya. Ciri- ciri arbitrase antara lain : (1)
Adanya pihak ketiga netral yang terdiri dari seorang atau panel dari arbiter.
(2)
Argumentasi dalam arbitrase dapat disampaikan baik lisan maupun tertulis dengan dokumen tertentu sebagai bukti.
(3)
Keputusan arbutrase bersifat mengikat
(4)
Dalam arbitrase terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan provisional relief, initiating arbitrations, dan law applied by the arbitrator (NolanHaley,1991:128,149-155) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup menggunakan arbitrase secara
teoritis memang lebih cepat dan “murah” dan dengan prosedur yang sederhana namun pilihan ini kadang dirasa kurang tepat dikarenakan arbitrase menyerupai dengan pengadilan, sehingga keputusan yang diambil bisa saja tidak menimbulkan kepuasan dari kedua belah pihak dan win-win solutions tidak dapat tercapai. Badan arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah Badan Arbitrase Indonesian (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri pada tanggal 3 Desember 1977 d
an Badan Arbitrase Muamalat Indonesia(BAMUI) yang
didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia pada 21 Oktober1993. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, pada prinsipnya mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase adalah melalui tiga tahapan, yaitu : tahap persiapan atau pra pemeriksaan, tahap pemeriksaan atau penentuan dan tahap pelaksanaan. 31
Tahap persiapan adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan perkara. Tahap persiapan antara lain meliputi : 1)
Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis;
2)
Penunjukan arbiter;
3)
Pengajuan
4)
Jawaban surat tuntutan oleh termohon;
5)
Perintah arbiter agar para pihak menghadap sidang arbitrase.
surat
tuntutan oleh pemohon;
Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap mengenai jalannya sidang pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter. Selanjutnya adalah tahap pelaksanaan sebagai tahap terakhir, yaitu tahap untuk merealisasikan putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat. Pelaksanaan putusan dapat dilakukan secara sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi oleh Pengadilan negeri. Adapun mekanisme arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut : 1. Permohonan arbitrase dilakukan dalam bentuk
tertulis
dengan
cara
menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbitrase yang memuat identitas para pihak, uraian singkat tentang sengketa yang disertai dengan lampiran bukti-bukti dan isi tuntutan yang jelas. Kemudian surat tuntutan dan surat permohonan tersebut disampaikan kepada termohon yang
disertai
perintah
untuk memberikan tanggapan dan jawaban dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak termohon, selanjutnya
diterimanya
tuntutan
oleh
diteruskan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu,
arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah tersebut. 2. Pemeriksaan sengketa arbitrase harus dilakukan
secara
tertulis,
kecuali
disetujui para pihak maka pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Semua 32
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Jumlah arbiter harus ganjil, penunjukan 2 (dua) arbiter dilakukan oleh para pihak yang memiliki wewenang untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga yang nantinya bertindak sebagai ketua majelis arbitrase. Arbiter yang telah menerima penunjukan tersebut tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak. 3. Dalam sidang pertama diusahakan perdamaian, bila dicapai kesepakatan maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang sifatnya final dan mengikat para pihak dan memerintahkan untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dengan persetujuan para pihak apabila diperlukan. 4. Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang atau lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar kesaksiannya yang sebelumnya disumpah. Saksi atau saksi ahli tersebut dapat memberikan keterangan tertulis atau didengar keterangannya di muka sidang arbitrase yang dihadiri oleh para pihak atau kuasanya. 5. Putusan arbiter atau majelis arbitrase diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, putusan tersebut harus diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat juga dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak, yang dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain. Adapun syarat menjadi arbiter sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undangundang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut : 33
1. cakap melakukan tindakan hukum; 2. berumur paling rendah 35 tahun; 3. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; 4. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan 5. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. b.
Mediasi Mediasi dalam bahasa Inggris disebut mediation adalah penyelesaian sengketa
dengan menengahi. Orang yang menjadi penengah disebut mediator. “ Mediation is private , informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties (Hendry Campbell Black). Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, apabila antara kedua pihak tidak dapat menyelesaikan sendiri sengketa yang mereka hadapi, mereka dapat menggunakan pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka mencapai persetujuan atau kesepakatan. Mediasi sendiri diatur dalam Pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum. Di dalam mediasi, seorang mediator mempunyai 2 macam peran yang dilakukan, yaitu pertama, mediator berperan pasif. Hal ini berarti para pihak sendiri yang lebih aktif untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi sehingga peran mediator hanya sebagai penengah, mengarahkan penyelesaian sengketa, dan sebagainya. Kedua, mediator berperan aktif. Hal ini berarti mediator dapat melakukan berbagai tindakan seperti merumuskan dan mengartikulasi titik temu untuk mendapatkan kesamaan pandangan dan memberikan pengertian kepada kedua belah pihak tentang penyelesaian sengketa. Dengan demikian seorang mediator diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut karena kedua pihak yang bersengketa bersifat menunggu. Dalam proses mediasi yang dituntut dari mediator adalah kemampuan untuk memahami seluruh aspek kepentingan yang disengketakan dan kemampuan memfasilitasi proses pencapain masalah. Mediasi sebenarnya merupakan proses perundingan antara pihak-
34
pihak yang bersengketa dimana pihak-pihak tersebut secara aktif melakukan tawarmenawar untuk menyelesaikan masalah dengan bantuan mediator sebagai fasilisator. Mediasi diatur dalam pasal 85 dan 86 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi dinilai merupakan langkah terbaik melihat bahwa keputusan hasil perundingan mediasi merupakan responsif atas permasalahan yang disengketakan disamping melihat pada segi biaya dan waktu yang relatif lebih minimal. Dari
uraian
tersebut
dapat
disampaikan
bahwa
ciri-ciri
dan
syarat
penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi adalah : Ciri-ciri : (1)
Perundingan dengan bantuan pihak ketiga yang netral.
(2)
Pihak ketiga netral tersebut dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.
(3)
Tugas mediator adalah memberikan bantuan substansial dan prosedural, dan terikat pada kode etik sebagai mediator.
(4)
Mediator tidak berwenang mengambil keputusan. Keputusan diambil oleh pihak yang bersengketa itu sendiri.
Syarat : (1)
Adanya kekuatan tawar menawar yang seimbang antara para pihak
(2)
Para pihak menaruh harapan terhadap hubungan dimasa depan
(3)
Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran
(4)
Adanya urgensi untuk menyelesaikan secara cepat
(5)
Tidak adanya rasa pemusuhan yang mendalam atau yang telah berlangsung lama di antara para pihak
(6)
Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan dapat dikendalikan
(7)
Membuat suatu preseden atau mempertahankan hak tidak lebih penting 35
dibandingkan dengan penyelesaian sengketa yang cepat (8)
Jika para pihak berada dalam proses litigasi, maka kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti pengecara atau penjamin tidak diberlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup, mediasi akan menguntungkan
kedua belah pihak, selain proses penyelesaiannya yang cepat dan biaya murah. Selain bergantung kepada mediator, hasil dari negosiasi dapat juga dikatakan gagal apabila ada salah satu pihak yang melakukan pengingkaran terhadap hasil mediasi. Mekanisme
penyelesaian
sengketa
menggunakan
mediasi
perlu
dikemukakan mengenai peran dan fungsi mediator sebagaimana yang dikemukakan oleh Raiffa yaitu sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan perannya, yakni : 1)
Penyelenggara pertemuan;
2)
Pemimpin diskusi netral;
3)
Pemelihara atau penjaga aturan perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab;
4)
Pengendali emosi para pihak;
5)
Pendorong pihak/ perunding yang kurang
mampu
atau
segan
mengemukakan pandangannya. Sisi peran yang kuat oleh mediator bila dalam perundingan adalah mengerjakan/melakukan hal-hal diantaranya : 1. Mempersiapkan dan membuat notulen perundiangan; 2. Merumuskan titik temu/kesepakatan para pihak; membantu para pihak agar menyadari, bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tapi diselesaikan; 3. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah; 4. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.
36
Menurut Fuller sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono, menyebutkan 7 (tujuh) fungsi mediator, yakni : 1. Sebagai katalisator (catalyst) mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi. 2. Sebagai pendidik (educator) berarti seorang
mediator
harus berusaha
memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak. 3. Sebagai
penerjemah
(translator),
berarti
mediator
harus
berusaha
menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang enak didengar oleh pihak lainnya, tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul. 4. Sebagai narasumber (resource person), berarti mendayagunakan
seorang
mediator
harus
sumber-sumber informasi yang tersedia.
5. Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news), berarti seorang mediator harus menyadari, bahwa para pihak dalam
proses
perundingan dapat
bersikap emosional, maka mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak untuk menampung berbagai usulan. 6. f.
Sebagai agen realitas (agent of reality), berarti mediator harus berusaha
memberi pengertian secara terang kepada sasarannya
tidak
mungkin/
salah satu
pihak bahwa
tidak masuk akal untuk dicapai melalui
perundingan. 7. Sebagai kambing hitam (scapegoat), berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan. Lebih lanjut, mekanisme mediasi sebenarnya tergantung pada situasi sosial dan budaya masyarakat dimana para pihak berada.
Secara
garis
besar
dapat
dikemukakan tahapan-tahapan mediasi sebagai berikut : 1. Tahap pembentukan forum.
37
Pada awal mediasi, sebelum rapat antara mediator dan para pihak, mediator menciptakan atau membentuk forum. Setelah forum terbentuk, diadakan rapat bersama. Mediator memberi tahu kepada para pihak mengenai bentuk dari proses, menjelaskan aturan dasar, bekerja berdasar hubungan perkembangan dengan para pihak dan mendapat kepercayaan sebagai pihak netral, dan melakukan negosiasi mengenai wewenangnya dengan para pihak, menjawab pertanyaan para pihak, bila para pihak sepakat melanjutkan peruundingan, para pihak diminta komitmen untuk mentaati aturan yang berlaku. 2. Tahap kedua: pengumpulan dan pembagian informasi. Setelah tahap awal selesai, maka mediator meneruskannya dengan mengadakan rapat bersama, dengan meminta pernyataan atau penjelasan pendahuluan pada masingmasing pihak yang bersengketa. Pada tahap informasi, para pihak dan mediator dalam acara bersama. Apabila para pihak setuju meneruskan mediasi, mediator kemudian mempersilakan masing-masing pihak menyajikan versinya mengenai fakta dan patokan yang diambil dalam sengketa tersebut. Mediator boleh mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan informasi, tetapi tidak mengijinkan pihak lain untuk mengajukan pertanyaan atau melakukan interupsi apapun. Mediator memberi setiap pihak dengar pendapat mengenai versinya atas sengketa tersebut. Mediator harus melakukan kualifikasi fakta yang telah disampaikan, karena fakta yang
disampaikan
dipertahankan
para
oleh
pihak
merupakan
masing-masing
kepentingan-kepentingan pihak
agar
pihak
yang lain
menyetujuinya. Para pihak dalam menyampaikan fakta memiliki gaya dan versi yang berbeda-beda, ada yang santai, ada yang emosi, ada yang tidak jelas, ini semua harus diperhatikan oleh mediator. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak, untuk mengukuhkan bahwa mediator telah mengerti para pihak, mediator
secara
netral
membuat kesimpulan atas
penyajian masing- masing pihak, mengulangi fakta-fakta esensial menyangkut setiap perspektif atau patokan mengenai sengketa. 38
3. Tahap ketiga, merupakan tahap penyelesaian masalah. Selama tahap tawar-menawar atau perundingan penyelesaian problem, mediator bekerja dengan para pihak secara bersama-sama dan terkadang terpisah, menurut keperluannya, guna membantu para pihak merumuskan permasalahan, menyusun agenda untuk membahas masalah dan mengevaluasi solusi. Pada tahap ketiga ini terkadang mediator mengadakan “caucus” dengan masing-masing dalam mediasi. Suatu caucus merupakan pertemuan sendiri para pihak pada satu sisi atau pertemuan sendiri antara para pihak pada satu sisi dengan mediator. Mediator menggunakan caucus (bilik kecil) untuk mengadakan pertemuan pribadi dengan para pihak secara terpisah,
dalam
hal
ini
mediator
dapat
melakukan
tanya
jawab
secara
mendalam dan akan memperoleh informasi yang tidak diungkapkan pada suatu kegiatan mediasi bersama. Mediator juga dapat membantu suatu pihak untuk menentukan alternatifalternatif
untuk
menyelesaikannya, mengeksplorasi serta mengevaluasi pilihan-
pilihan, kepentingan dan kemungkinan penyelesaian secara lebih terbuka. Apabila mediator akan mengadakan caucus, harus menjelaskan penyelenggaraan caucus ini kepada para pihak, menyusun perilaku mediator sehubungan dengan caucus yang mencakup kerahasiaan yaitu mediator tidak akan mengungkapkan apapun pada pihak lain, kecuali sudah diberi wewenang untuk itu. Hal ini untuk menjaga netralitas dari mediator dan akan memperlakukan yang sama pada para pihak.
4. Tahap pengambilan keputusan. Dalam tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk memilih solusi yang dapat disepakati bersama atau setidaknya solusi yang dapat diterima terhadap masalah yang diidentifikasi. Setelah para pihak mengidentifikasi solusi yang mungkin, para pihak harus memutuskan sendiri apa yang akan mereka setujui atau sepakati. Akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan bersama, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mediator dapat
39
membantu untuk menyusun ketentuan-ketentuan yang akan dimuat dalam perjanjian agar seefisien mungkin, sehingga tidak ada keuntungan para pihak yang tertinggal di dalam perundingan. Syarat menjadi Mediator sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai berikut : 1. cakap melakukan tindakan hukum; 2. berumur paling rendah paling rendah 30 (tiga puluh) tahun; 3. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya; 4. tidak ada keberatan dari masyarakat dan 5. memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. c.
Negosiasi Negosiasi secara umum dapat diartikan sebagai satu upaya penyelesaian
sengketa oleh para pihak tanpa melalui proses peradilan. Dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Dengan demikian negosiasi adalah proses tawar menawar yang bersifat konsensus yang di dalamnya para pihak berusaha memperoleh atau mencapai persetujuan tentang hal-hal yang disengketakan atau yang berpotensi menimbulkan sengketa. Para pihak yang bersengketa berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi secara korporatif dan saling terbuka. Meskipun sederhana, negosiasi adalah suatu keterampilan yang bersifat mendasar yang dibutuhkan oleh para negosiator.
Negosiasi
baik
yang
bersifat
tranksional (transactional
negotiation) maupun dalam konteks penyelesaian sengketa (dispute negotiation), tidak hanya sekedar sebuah proses yang bersifat intuitive, melainkan proses yang harus dipelajari, perlu pengetahuan, strategi dan keterampilan tertentu. Menurut Suparto Wijoyo, bahwa negosiasi ini bersifat informal, tidak terstruktur, dan waktunya tidak terbatas.
40
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan negosiasi bisa saja unsur-unsur hukum tidak dipersoalkan, asalkan proses negosiasi tersebut mampu diselesaikan dengan baik dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Sukses atau tidaknya sebuah negosiasi tergantung oleh tujuan kedua pihak yang bersengketa, yang tentunya negosiasi tersebut akan mengalami kendala apabila salah satu pihak tidak memahami pentingnya negosiasi sehingga hanya menonjolkan hak-hak masing masing pihak. Selain berhadapan secara langsung antara kedua belah pihak, pada suatu keadaan tertentu masih tetap diperlukan perlunya orang ketiga yang memahami negosiasi sehingga hasil negosiasi justru tidak merugikan/menguntungkan salah satu pihak. Dalam proses bernegosisasi setidaknya ada 3 (tiga) aspek dalam proses negosiasi, untuk tercapainya sebuah negosiasi yang dilakukan oleh negosiator adalah sebagai berikut : (1)
Culture
Budaya antar bangsa yang berlainan , perbedaan budaya tersebut mencakup pula pada kebiasaan, pada masyarakat barat hukum diartikan ( right), dan di masyarakat timur, seperti Cina yang mempunyai akar Confucius , hukum di anggap insturumen untuk menjaga ketertiban (2) Legal Setiap negosiator mutlak memahami peraturan perundang-undangan berkenaan sengketa yang coba untuk diselesaikan. Mungkin ada peraturan perundang-undangan yang merupakan Public Policy, selanjutnya negosiator harus memahami instrument hukum
yang dapat di gunakan sebagai tanda tercapainya penyelesaian sengketa
nantinya, umpamanya perlu nantinya di perkuat keputusan hakim (3) Practical Pada aspek ini mutlak perlu bagi negosiator untuk menetapkan target maksimal dan minimal yang hendak dicapai dalam perundingan untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Hal terpenting lainnya sehingga penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat terlaksana dengan baik adalah tidak adanya pengingkaran dari salah satu pihak terhadap 41
hasil negosiasi. Pengingkaran baik seluruh atau sebagian kesepakatan akan mengakibatkan kegagalan negosiasi yang dapat berakhir dengan terjadinya konflik. Supaya negosiasi dapat berhasil dengan baik dan memuaskan para pihak, maka seorang negosiator harus menggunakan strategi dan taktik. Strategi-strategi negosiasi merupakan cara dasar dalam mengendalikan hubungan kekuatan, pertukaran informasi, dan interaksi diantar para pihak pelaku negosiasi. Menurut Garry Goodpaster, dikatakan meskipun mekanisme negosiasi sangat kompleks dan beragam, namun secara esensial ada tiga strategi dasar negosiasi yaitu : 1. Bersaing (competiting); Negosiasi dengan cara bersaing atau kompetitif, disebut juga “hard bargaining” (tawar-menawar bersikeras), distributif, posisional, “zero-sum bargaining” (menang tawar-menawar sebesar kekalahan pihak lawan) atau “win-lose bargaining” (tawarmenawar menang kalah). Negosiasi bersaing mempunyai maksud memaksimalisasi keuntungan
yang
didapat
pelaku
tawar-menawar
kompetitif
terhadap
pihak lain, yaitu untuk mencari kemenangan, berupaya mendapatkan harga termurah, laba yang besar, biaya rendah,
persyaratan
yang
lebih menguntungkan
dibandingkan dengan pihak lain. 2. Kompromi (compromising); Strategi negosiasi kompromi disebut juga “soft bargaining” (negosiasi lunak), “winsome-lose-some” (mendapat dengan member) atau “take and give bargaining”. Hal ini berarti yang
bahwa diinginkan
mengorbankan
salah agar sesuatu
satu
pihak
harus
memberi
ganti
atas
beberapa
mendapat sesuatu. Pada prinsipnya satu pihak harus untuk
mendapatkan
kesepakatan,
negosiator
tidak mendapatkan semua yang diinginkannya, tetapi hanya sebagian. 3. Kolaborasi pemecahan masalah (problem solving). Negosiasi berkolaborasi pemecahan masalah (problem solving) disebut juga negosiasi integratif atau kepentingan (positive-sum atau win-win). Strategi ini para pihak bertujuan memenuhi kepentingan sendiri, juga kepentingan pihak mitra untuk 42
memaksimalkan keuntungan, para pihak harus berkolaborasi guna menyelesaikan masalah dari penemuan tindakann bersama yang dapat mereka lakukan guna memenuhi kepentingan masing-masing Terdapat beberapa hal yang sangat mempengaruhi jalannya negosiasi, yaitu : kekuatan tawar-menawar; pola tawar-menawar; strategi Melakukan negosiasi untuk menyelesaikan
sengketa
dalam harus
tawar-menawar. melalui tahapan-
tahapan sebagaimana pendapat Howard Raiffa (seperti dikutip oleh Suyud Margono) sebagai berikut : 1)
Tahap persiapan Dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang harus dipersiapkan
adalah
apa
negosiator kepentingan diberikan,
yang
harus pihak dimana
diinginkan. Tahap
dibutuhkan/diinginkan.
mengenali lain,
kata
lain,
dulu kepentingan sendiri sebelum mengenali
misalnya seberapa terbukanya informasi yang harus
perundingan ini
Dengan
akan
dilaksanakan,
apa
sasaran
yang
sering diistilahkan dengan know yourself.
Dalam tahap persiapan ini, juga perlu menelusuri berbagai alternatif lainnya, apabila alternatif terbaik atau maksimal tidak tercapai atau disebut BATNA (Best Alternative To A Negotiated Agreement). Dalam tahap ini perlu juga menentukan halhal yang bersifat logistik, seperti siapa yang harus bertindak sebagai perunding, perlukah menyewa perunding yang mempunyai ketrampilan khusus, apabila perundingan bersifat internasional bahasa apakah yang akan digunakan serta siapa yang bertanggungjawab
menyediakan
penerjemah.
Selanjutnya dilakukan simulasi (simulated role playing), hal ini sangat bermanfaat dalam mempersiapkan strategi bernegosiasi. 2)
Tahap tawaran awal (opening gambit)
Dalam tahap ini seorang perunding melakukan strategi tentang siapa yang harus lebih dahulu menyampaikan tawaran, bagaimana menyikapi tawaran awal tersebut. Apabila ada dua tawaran dalam perundingan, biasanya midpoint (titik diantara dua tawaran) merupakan
solusi
atau
kesepakatan,
43
sebelum midpoint dijadikan kesepakatan hendaknya dibandingkan dengan level aspiration para pihak. 3)
Tahap pemberian konsesi (the negotiated dance)
Konsesi yang harus dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi yang
diberikan
oleh
pihak
lawan.
Seorang
perunding
harus
melakukan kalkulasi yang tepat tentang agresifitas, seperti bagaimana menjaga hubungan baik dengan pihak lawan, empati terhadap pihak lawan, dan fairness. Negosiator mempunyai peranan penting dalam konsesi dan menjaga posisi tawar sampai pada tingkat yang diinginkan. 4)
Tahap akhir permainan (end play)
Tahap akhir permainan ini meliputi pembuatan komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya. Lebih lanjut Howard Raiffa menyatakan, agar suatu negosiasi dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat stabil, ada beberapa kondisi yang mempengaruhinya, di antaranya sebagai berikut: 1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran (willingness); 2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness); 3. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative); 4. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargaining power); 5. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah d. Konsiliasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang bersengketa untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan atau bisa diartikan sebagai upaya untuk membawa pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua pihak secara negosiasi. Konsiliasi juga dapat dipakai apabila mediasi gagal. Mediator dalam 44
konsiliasi bisa berubah fungsi menjadi konsiliator, dan jika tercapai kesepakatan, maka konsiliator berubah menjadi arbiter yang keputusannya dapat mengikat kedua pihak yang bersengketa. e.
Pencarian fakta (fact finder) Pencarian fakta sangat diperlukan dalam penyelesaian sengketa lingkungan
hidup. Fakta-fakta sangat dibutuhkan dalam proses negosiasi ataupun mediasi. Pencarian fakta ini dilakukan oleh pihak yang netral yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan keterangan untuk dapat dilakukan evaluasi dengan tujuan memperjelas masalah-masalah yang menimbulkan sengketa. Adapun yang bisa dilakukan oleh tim pencari fakta tesebut adalah : (1) Pemeriksaan kebenaran pengaduan. (2) Meneliti sumber pencemaran lingkungan hidup (3) Meneliti tingkat pencemaran suatu lingkungan hidup. (4)
Meneliti siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap perusakan
lingkungan hidup. Hasil dari tim pencari fakta tersebut akan sangat berguna untuk menentukan keputusan terhadap perselisihan sengketa lingkungan hidup Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Dengan demikian salah satu yang ditempuh yaitu melalui Lembaga Penyedia Jasa. Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomer 54 Tahun 2000. Memang PP Nomer 54 tahun 2000 ini kelahirannya merupakan amanat dari Undang-undang Nomer 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetapi dalam UUPPLH 2009 menyatakan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan masih tetap 45
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UUPLH 2009. Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi yang bertangung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah yang bersangkutan. Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan
verifikasi
tentang
kebenaran
fakta-fakta
mengenai
permohonan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan menyampaikan hasilnya kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi wajib mengundang para pihak yang bersengketa. Apabila cara ini tidak berhasil menyelesaikan masalah maka para pihak dapat menggunakan mekanisme arbitrase atau menggunakan mediator. Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Sedangkan penyelesaian dengan menggunakan Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya dilakukan sebagai berikut. Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator, atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa. Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya. Kesepakatan tersebut memuat antara lain: 1. masalah yang dipersengketakan; 2. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; 3. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya; 4. tempat para pihak melaksanakan perundingan; 5. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa; 6. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya; 46
7. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya; 8. larangan pengungkapan dan/atau pemyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi; 9. kehadiran Pengamat, ahli dan/atau nara sumber; 10. larangan pengungkapan informasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat; 11. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan. Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan: 1. Mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan; dan/atau 2. Mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syaratsyarat yang seharusnya dipenuhi Apabila terjadi hal yang demikian itu maka : 1. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau 2. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya. Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai yang memuat antara lain: 1. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; 2. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya; 3. uraian singkat sengketa; 4. pendirian para pihak; 5. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya; 6. isi kesepakatan; 7. balas waktu pelaksanaan isi kesepakatan; 8. tempat pelaksanaan isi kesepakatan; 9. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan. Isi kesepakatan tersebut dapat berupa antara lain: 47
1. bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau 2. melakukan
tindakan
tertentu
guna
menjamin
tidak
terjadinya
atau
terulangnyadampak negatif terhadap lingkungan hidup. Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak ketiga lainnya. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri. 2.3 Contoh-Contoh Kasus Sengketa Lingkungan Hidup dan Penyelesaiannya 2.3.1 PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI JALUR MEDIASI(Studi Kasus Sengketa Lingkungan Hidup antara PT Molindo Raya Industrial dengan Masyarakat Dusun Paras Kecamatan Lawang Kabupaten Malang) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi, merupakan salah satu alternatif jalur penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan karena dilihat ada beberapa keuntungan yang bisa diambil, misalnya proses penyelesaian dengan biaya ringan, membutuhkan waktu yang relatif sedikit, hasil yang diterima memiliki rasa keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Adapun tempat penelitiannya dilakukan di Dusun Paras Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, hal ini didasarkan bahwa di Dusun Paras merupakan daerah yang pernah melakukan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan yaitu melalui mediasi. Dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan tiga permasalahan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi yaitu mekanisme dan hasil penyelesaian sengketa lingkungan hidup antara Forling Paras yang mewakili masyarakat Dusun Paras dengan PT Molindo Raya Industrial, kendala apa saja yang dihadapi dan upaya apa saja yang dilakukan dalam menyelesaikan kendala sengketa lingkungan hidup melalui mediasi. Adapun metode penelitian yang penulis pergunakan salam penulisan ini adalah metode pendekatan metode yuridis empiris yaitu penelitian yang didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku juga dilihat dari segi kenyataan atau realita yang terjadi dalam masyarakat. Melalui penelitian dengan pembahasan secara mendalam terhadap permasalahan yang diangkat, bahwa hasil 48
yang di dapat dalam mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi pihak-pihak yang bersengketa adalah Forling Paras yang mewakili masyarakat Dusun Paras sebagai pihak yang dirugikan dengan PT Molindo Raya Industrial sebagai yang melakukan pembuangan limbah di Bukit Bale, sedangkan Camat Lawang sebagai mediator, dalam pertemuan secara mediasi tersebut telah menghasilkan 6 (enam) kesepakatan yaitu, pertama PT Molindo Raya Industrial senantiasa akan menjaga lingkungan dari aktifitasnya, kedua Masyarakat ikut menjaga kelestarian lingkungan dan hubungan timbal balik dengan PT Molindo Raya Industrial, ketiga Untuk pembangunan Balai RW di Dusun Paras masih ada kesanggupan dari PT Molindo Raya Industrial dan dalam proses membantu disamping adanya dana secara swadaya masyarakat Dusun Paras, keempat Segala permasalahan akan diselesaikan secara musyawarah dan pada saat-saat ini semua pihak dituntut untuk menciptakan situasi damai, kelima PT Molindo dan masyarakat Dusun Paras bersama-sama melakukan penghijauan pada obyek di lahan terutama kawasan kritis, keenam Selalu melibatkan Pemerintahan Desa dan BPD dalam menyelesaikan masalah. Kendala yang dihadapi pada pertemuan secara mediasi diantaranya kurangnya pemahaman Forling Paras terhadap permasalahan yang terjadi Dusun Paras, tidak adanya tuntutan alternatif apabila tuntutan yang diinginkan tidak terpenuhi pada waktu pertemuan dan tidak adanya pihak yang netral untuk memantau pertemuan mediasi. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala adalah pihak Forling Paras berusaha untuk menjelaskan tuntutan yang diinginkan dan juga permasalahan yang dihadapi masyarakat Dusun Paras. Akhirnya penulis menyarakan bahwa setiap orang harus menjaga kualitas lingkungan hidup, jika adanya tindakan pencemaran air pihak aparat pemerintahan, kepolisian harus bertindak secara cepat agar tidak ada yang dirugikan lebih banyak lagi, dalam mediasi pihak independen harus dilibatkan, dan pertemuan mediasi seharusnya dilakukan secara terbuka.
2.3.2 CONTOH KASUS SENGKETA LINGKUNGAN DILUAR PENGADILAN Bentuk Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup yang Diterapkan Oleh PT. IACI dengan Petani Desa Kemiri Lahan pertanian yang berada di depan pabrik PT. IACI, seperti telah disebut di muka, seluas 38 patok. Lahan tersebut terdiri dari lahan 49
milik pribadi dan lahan milik kas Desa Kemiri yang merupakan gaji dari Perangkat Desa Kemiri. Sengketa antara PT. IACI dengan warga petani Desa Kemiri terjadi pada awal tahun 2005. Dalam kasus sengketa dengan PT. IACI, salah seorang petani, Mariyo, atas persetujuan petani yang lain, bertindak sebagai koordinator petani dalam rangka penyelesaian sengketa lingkunganhidup dengan PT. IACI. Atas kesepakatan para petani, selanjutnya ditunjuk seorang pendampingyang diharapkan dapat menjembatani perundingan dengan pihak perusahaan. Pendamping yang ditunjuk yaitu Bagus Sela, Anggota DPRD Kabupaten Karanganyar yang berdomisili di Desa Kebak, Kecamatan Kebakkramat. Maksud dari penunjukan pendamping ini, menurut petani adalah supaya proses perundingan dapat berlangsung dengan cepat serta tidak berteletele, sehingga petani juga tidak mau melibatkan banyak pihak. Hal ini diakui petani dikarenakan sebagian besar petani adalah orang-orang yang buta hukum, sehingga orang yang mereka tunjuk sebagai pendamping pun diambil dari orang yang telah mereka kenal sebelumnya. Sedangkan dari perusahaan di wakili oleh Budi Muljono selaku Direktur Utama PT. IACI
50
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Penyelesaian lingkungan hidup melalui pengadilan bermula dari adanya gugatan dari pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang dianggap penyebab kerugian itu. UUPPLH menyediakan dua bentuk tuntunan yang dapat diajukan oleh penggugat, yaitu meminta ganti kerugian dan meminta tergugat untuk melakukan tindakan tertentu. Agar tergugat dapat dijatuhi hukuman seperti yang dituntut oleh penggugat, maka harus ditentukan lebih dahulu, bahwa tergugat bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Didalam ilmu hukum terdapat dua jenis tanggung gugat, yaitu tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan tanggung gugat tidak berdasarkan kesalahan (liability without fault) atau yang juga disebut strict liability. Penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009 dan terdiri dari : ganti kerugian dan pemulihan lingkungan, tanggung jawab mutlak, hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah, hak gugat masyarakat, hak gugat organisasi lingkungan hidup, gugatan administratif. Penyelesaian masalah lingkungan melalui instrumen hukum administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran), oleh karena itu, fokus dari sanksi administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi hukum pidana tidak hanya ditujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial menjadi pembuat (pelanggar). Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen Hukum Perdata, untuk menentukan seseorang atau badan hukum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran atau perusakan lingkungan, penggugat dituntut 51
membuktikan adanya pencemaran, serta kaitan antara pencemaran dan kerugian yang diderita. Instrumen hukum pidana pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum remidium (obat terakhir). Artinya instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum acara pidana dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan merupakan suatu jalan terakhir yang dipakai dalam suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum lingkungan, akan tetapi dapat pula langsung menggunakan instrumen hukum pidana apabila kasus tersebut disinyalir sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar atau extraordinary crime. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan pada akhirnya diorientasikan untuk memberdayakan mekanisme hukum selain proses pengadilan. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi win lose solution sebagaimana selama ini terjadi ketika masalah selalu dibawa ke pengadilan. Satu pihak merasa menang sementara itu pihak lainnya merasa kalah. Dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan diharapkan akan terjadi win win solution karena keputusan penyelesaian diambil dengan kesadaran pernuh para pihak dan dengan cara yang disepakati
para
pihak.
Mekanisme inilah yang perlu terus dilakukan ke depan sehingga dapat menghindari “kemacetan keadilan” akibat buruknya praktek peradilan di Indonesia. Namun tantangan berat juga terjadi ketika kesadaran hukum masyarakat masih rendah dan merasa belum puas dalam penyelesaian sengketa ketika belum di bawa ke pengadilan. Hal ini merupakan tantangan tersendiri menyangkut sikap mental dan kemauan untuk berubah menuju yang lebih baik. B. Saran Dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup diharapkan kepedulian dari masyarakat baik secara individu dan kelompok serta bentuk-bentuk organisasi lingkungan hidup untuk dapat terus perduli dan berperan aktif guna menjaga dan memelihara kelestarian Lingkungan Hidup dari segala kegiatan dan usaha yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup tersebut.
52
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang KUHAP Rina Suliastini, 2009. Perbandingan UU No 23/1997 dengan UU No 32 /2009 Rahmadi, Takdir., 2011. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Supriadi, S.H., M.Hum 2005. hukum lingkungan di indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. http://liamousy.blogspot.com/2013/07/makalah-hukum-lingkungan-aspek-pidana.html http://idrusonly.blogspot.com/2013/01/penegakan-hukum-lingkungan-hidup.html http://herimurdianto.wordpress.com/2013/03/26/instrumen-penegakan-hukum-
53