Tinjauan Aspek Ham Dan Hukum Kesehatan

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tinjauan Aspek Ham Dan Hukum Kesehatan as PDF for free.

More details

  • Words: 1,684
  • Pages: 7
TINJAUAN ASPEK HAM DAN HUKUM KESEHATAN HAK BURUH PEREMPUAN DI PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN

Oleh : Ratih Citra Sari, dr

MAGISTER HUKUM KESEHATAN UNIKA SOEGIJAPRANATA BANDUNG 2009 PENDAHULUAN Sektor industri tekstil dan garmen, layaknya sektor sektor industri padat kerja lain, kebanyakan

mempekerjakan

buruh

perempuan,

pertama

dikarenakan

kualitas

buruh

perempuan yang sesuai dengan pekerjaan yang harus dilakukan yaitu teliti, sabar, tidak rewel, mudah diatur serta memiliki daya fisik yang mampu diandalkan, kedua karena upah buruh perempuan, dikarenakan statusnya yang lebih inferior dan merupakan suatu gambaran jelas

ketidakadilan gender, lebih rendah dari upah buruh laki-laki dalam mengerjakan pekerjaan yang sama. Dalam industri ini buruh perempuan menempati posisi yang terendah, sehingga para buruh perempuan ini sering kali tidak dapat menikmati hak-hak mereka baik sebagai manusia (individu) maupun golongan (kelompok buruh). Kondisi lingkungan pekerjaan di industri tekstil dan garmen sendiri banyak memberikan dampak negatif bagi buruh perempuan, baik secara fisik maupun psikis. Kondisi lingkungan pekerjaan yang diciptakan oleh pihak perusahaan sering kali tidak memperhitungkan Hak Asasi Manusia para buruh perempuan tersebut. Segala bentuk pelecehan dan pelanggaran HAM sering kali tidak dihiraukan. Semisalpun terjadi insiden terkait dengan pelecehan dan pelanggaran HAM, pihak perusahaan sering kali tidak berusaha mengevaluasi kebijakan-kebijakan mereka untuk menyediakan lingkungan kerja yang lebih baik dan berdasarkan keadilan gender, sehinga buruh perempuan tetap dirugikan. Tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri tekstil dan garmen adalah tenaga kerja yang mampu melalukan pekerjaan dengan teliti, seperti yang disebutkan diatas, buruh perempuan memiliki kualitias yang baik dalam melakukan pekerjaan pada industri ini, maka sudah selayaknya hak buruh perempuan pada industri tekstil dan garmen mendapat perhatian selayaknya sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Selain aspek Hak Asasi Manusia, aspek lain yang perlu diberi perhatian lebih adalah aspek kesehatan. Dalam hal ini berkaitan dengan penyelenggaraan kesehatan kerja, maka pihak perusahaan diharapkan dapat menciptakan lingkungan pekerjaan yang sehat dan bebas dari kecelakaan kerja, penyakit akibat pekerjaan dan bebas dari segala bentuk kerugian fisik serta psikis. Buruh perempuan, layaknya wanita pada umumnya, secara anatomis dan fisiologis memiliki perbedaan yang jelas bila dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan ini seharusnya menjadi dasar utama terciptanya keadilan gender dalam aspek kesehatan. Dengan dasar HAM, maka sudah selayaknya buruh perempuan mendapatkan perhatian kesehatan yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang wanita. Kerugian-kerugian yang disebabkan ketidakadilan gender bagi para buruh perempuan seperti ketidakmampuan menyusui anak, keguguran akibat pekerjaan dan masih banyak lagi, sering kali tidak mendapat perhatian khusus. Walaupun telah diatur dalam Undang-undang, seperti masalah cuti haid (Pasal 13 UU Kerja No.12/1984), masalah perlindungan keselamatan kerja ( Pasal 108 UU Ketenagakerjaan No.25/1997) dan masalah kesehatan kerja ( Pasal 23 UU

Kesehatan No.23/1992 ), namun masalah-masalah kesehatan yang berhubungan dengan buruh perempuan seringkali tidak di tindaklanjuti. Kelayakan suatu pekerjaan adalah hak setiap warga Negara seperti disebutkan dalam Undangundang Dasar 1945 Pasal 27 (2) :“Tiap warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak bagi kemanusiaan”, yang berarti tidak terkecuali buruh perempuan.

IDENTIFIKASI MASALAH Terlepas dari masih banyaknya kekurangan yang terdapat pada industri

tekstil dan

garmen bagi seluruh tenaga kerjanya, hak buruh perempuan dalam industri ini sering kali dilanggar dan dilecehkan sehingga buruh perempuan banyak mengalami kerugian baik secara fisik dan psikis. Buruh perempuan sudah selayaknya mendapatkan kesempatan mendapatkan hak-haknya, termasuk aspek kesehatan, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengusah/perusahaan sebagai penyedia lapangan pekerjaan, harus bertanggung jawab atas kelangsungan hak-hak tenaga kerja, dalam hal ini buruh perempuan. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha/perusahaan adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.

PEMBAHASAN Undang Undang Dasar 1945 Pasal 27 (2) menyebutkan bahwa : Tiap warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak bagi kemanusiaan. Pekerjaan yang layak adalah pekerjaan dimana orang yang bekerja ditempat tersebut bebas dari resiko bahaya bahaya yang mungkin terjadi, sesuai dengan Hak Asasi Manusia yang telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan serta Pasal 23 Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan-peraturan perundangan lain adalah dasar hak buruh perempuan di industri teksil dan garmen yang selayaknya mendapat perhatian dan tinjauan guna terciptanya keadilan. Buruh perempuan dikarenakan adanya ideologi jender di masyarakat dan pabrik, tafsir agama dan hukum yang mengakibatkan ketidakadilan jender, sangatlah dirugikan. Gerak

mereka dibatasi oleh ‘kodrat’, kodrat tersebut membedakan laki-laki dan perempuan secara fisik sejak kecil yang dikukuhkan oleh norma masyarakat dan hukum, selain itu dalam kehidupan keluarga, perempuan cenderung menjalankan pekerjaan rumah yang tidak produktif. Begitu pula subsidi yang harus diberikan buruh perempuan serta peran ganda atas kewajiban yang harus dijalani perempuan dan dominasi laki-laki dalam rumah tangga, juga pandangan meremehkan terhadap pekerjaan perempuan menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap mereka. Tekanan psikis terhadap buruh perempuan yang dilakukan oleh pekerja laki-laki yang merupakan atasan mereka menyebabkan beban buruh perempuan menjadi berlipat. Pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kerja, ancaman dan tindak kekerasan terhadap buruh perempuan membuat psikis mereka tertekan dan terus-menerus dibayangi ketakutan dalam melakukan pekerjaannya. Pelecehan seksual, ancaman dan tindak kekerasan ini terjadi akibat adanya ketidakadilan gender yang terbentuk di masyarakat luas tentang inferioritas perempuan. Ketidakadilan gender ini lahir di lingkungan keluarga masyarakat dan mendapat pengukuhan norma-norma serta hukum, sehingga para pekerja laki-laki merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan dan berhak berlaku sewenang-wenang. Hal ini jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Kondisi lingkungan pekerjaan pada kedua industri ini ( terutama industri tekstil ), bukanlah suatu kondisi lingkungan yang dapat dikategorikan sebagai lingkungan pekerjaan yang kondusif bagi pekerja untuk melaksanakan pekerjaannya dan menjamin kesehatan pekerja. Suara mesin memintal yang bising, debu dan kelembaban demi menjaga agar benang tidak putus, serta getaran yang dihasilkan oleh mesin-mesin tersebut banyak memberikan kerugian fisik secara general, sementara bagi buruh perempuan, dapat menyebabkan kerugian yang lebih seperti terjadinya keguguran kandungan, kegagalan memproduksi air susu dan menyusui bayi mereka. Pasal 23 Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Kerja : 1. Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. 2. Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja,pencegahan penyakit akibat kerja, dan kesehatan kerja. 3. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja. 4. Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan Ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Sebagaimana juga telah disebutkan dalam Pasal 86 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.:

(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. (2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku

Keppres No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja, telah memasukkan 31 jenis penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan ataupun lingkungan kerja. Yang didalamnya termasuk penyakit-penyakit saluran pernafasan akibat debu kapuk, ruangan yang ventilasinya tidak baik, penyakit akibat kebisingan, penyakit akibat getaran dan lain lain. Namun belum ada jenis Penyakit Akibat Kerja yang mempengaruhi sistem reproduksi yang dimasukkan kedalam kelompok tersebut. Sementara WHO dan negara-negara maju seperti, Amerika Serikat, telah berhasil menyusun 10 jenis penyakit dan luka akibat kerja berdasarkan frekuensi, tingkat keparahan dan kemungkinan pencegahan yang didalamnya termasuk gangguan reproduksi misalnya keguguran, infertilitas dan teratogenitas (kecacatan janin). Walaupun demikian kewajiban pengusaha/perusahaan terhadap buruh perempuan telah telah disebutkan dalam Pasal 76 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 : 1. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. 2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. 3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. 4. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00

Keterbatasan buruh perempuan sebagai wanita yang secara anatomis dan fisiologis berbeda dengan laki-laki, misalnya masalah haid, melahirkan dan menyusui, telah disebutkan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal-pasal berikut : Pasal 81 1. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 82 1. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. 2. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuaidengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Pasal 83 Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Walaupun Undang-undang telah mengatur mengenai Ketenagakerjaan, Hak Asisi Manusia dan Kesehatan, hak dari buruh perempuan dalam industri tekstil dan garmen, juga dalam industri padat kerja lainnya, tetap sering diabaikan dan dianggap remeh. Pengusaha/perusahaan yang seyogyanya bertanggung jawab akan hal tersebut cenderung tidak menghiraukan terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam tempat kerja.

KESIMPULAN Hak buruh perempuan pada industri tekstil dan garmen, layaknya hak asasi manusia pada umumnya, tidak dapat dianggap remeh dan dikesampingkan hanya karena adanya ideologi dan ketidakadilan jender yang terjadi didalam keluarga, masyarakat dan lingkungan kerja. Segala perlakuan semena-mena terhadap buruh perempuan dalam berbagai bentuk, baik berupa pelecehan seksual, ancaman, tindak kekerasan, pembatasan hak kesehatan dan lainnya harus dihapuskan karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Segala bentuk

kerugian buruh perempuan, baik fisik maupun psikis, tidak boleh terjadi dalam praktek ketenagakerjaan seperti layaknya yang telah diatur oleh undang-undang. Pengusaha/perusahaan

wajib

memberikan

perhatian

yang

lebih

terhadap

terjadinya

pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada para buruh perempuan sehingga keadilan jender dapat diwujudkan.

Daftar Pustaka : 1. Widanti, Agnes, 2005, Hukum Berkeadilan Jender Aksi-Interaksi Kelompok Buruh Perempuan Dalam Perubahan Sosial, Jakarta, Penerbit Buku Kompas. 2. Suyono, Joko, 1993, Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja, Jakarta, EGC. 3. Undang-Undang Dasar 1945. 4. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 5. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 6. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 7. Materi Pelatihan Dokter HIPERKES dan K3.

Related Documents