KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan seluruh alam, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Bencana tentang Penilaian Risiko Bencana Yogyakarat. Kami berterimakasih kepada Ibu Ns. Ade Martiwi Eka Putri selaku dosen mata kuliah Keperawatan Bencana yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangkan menambah wawasan serta pengetahuan kita pada pelajaran Keperawatan Bencana. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan.
Tangerang Selatan, 07 April 2018
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas sistem penyesuaian dalam merespon ancaman (Paripurno, 2002). Renspon itu bersifat jangka pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar: keamanan, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (Paripurno, 2002). Masalah bencana akibat lingkungan mulai semakin mencuat ke permukaan,baik yang disebabkan oleh proses alam itu sendiri maupun yang disebabkan karena ulah manusia di dalam membangun sarana dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kasus-kasus mengenai perubahan tata guna lahan di daerah tangkapan air hujan di hulu menjadi padat penduduk karena berubah menjadi pemukiman. Hal tersebut berdampak pada banjir yang sering terjadi di daerah bawahnya atau daerah hilir. Konversi lahan ini sedikit banyak telah berpengaruh terhadap menurunnya kualitas lingkungan. Bencana alam apapun bentuknya memang tidak diinginkan. Sayangnya kejadian pun terus saja ada. Berbagai usaha tidak jarang dianggap maksimal tetapi kenyataan sering tidak terelakkan. Masih untung bagi kita yang mengagungkan Tuhan sehingga segala kehendak-Nya bisa dimengerti, meski itu berarti derita. Banyak masalah yang berkaitan dengan bencana alam. Kehilangan dan kerusakan termasuk yang paling sering harus dialami bersama datangnya bencana itu. Harta benda dan manusia terpaksa harus direlakan, dan itu semua bukan masalah yang mudah. Dalam arti mudah difahami dan mudah diterima oleh mereka yang mengalami. Bayangkan saja harta yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, dipelihara bertahun-tahun lenyap seketika. 1.1. Rumusan Masalah 1. Bagaimana profil kota Yogyakarta ? 2. Apa saja jenis bencana di yogyakarta ? 3. Bagaimana penilaian risiko bencana yogyakarta ?
1.2. Tujuan Masalah a. Agar pembaca mengetahui dan memahami gambaran profil kota yogyakarta. b. Agar pembaca mengetahui dan memahami jenis bencana kota yogyakarta. c. Agar pembaca mengetahui dan memahami penilaian risiko bencana kota yogyakarta.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Profil wilayah Yogyakarta Nama Resmi
:
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Ibukota
:
Yogyakarta
Luas Wilayah
:
3.133,15 Km² *)
Jumlah Penduduk
:
3.542.078 Jiwa *)
Suku Bangsa
:
Jawa, Sunda Parahiyangan, Melayu, Cina, Batak (Tapanuli), Minang Kabau, Bali, Madura, dan Lain-lain.
Agama
:
Islam : 3.084.990 Jiwa, Kristen Protestan : 92.097 Jiwa, Kristen Katholik : 162.806 Jiwa, Budha : 5.387 Jiwa, Hindu : 5.798 Jiwa.
Wilayah Administrasi
:
Kab.: 4, Kota: 1, Kec.: 78, Kel.: 46, Desa : 392 *)
Lagu Daerah
:
Pitik Tukung, Sinom
2.1.1 Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah satu daerah otonom setingkat propinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini beribukota di Yogyakarta. Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati.Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berartiYogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa). Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakartaadalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten
Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No. 577. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah : 1. 2. 3.
Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 ( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah) Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 ( yang dibuat bersama dalam satu naskah ).
Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini. Apalagi pemudapemudanya yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta. Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro Pakualaman oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peranan yang sangat menentukan di dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta. Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Propisni Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati. Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “. Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945
tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman. Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata. Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalanpeninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram. Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak berlebihan bila Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia. Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan, bahkan, yang terbaru, wisata malam. Disamping predikat-predikat di atas, sejarah dan status Yogyakarta merupakan hal menarik untuk disimak. Nama daerahnya memakai sebutan DIY sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah Yogyakarta, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 2.1.2. Kondisi Geografis 1. Letak geografis Secara geografis provinsi Jogjakarta terletak di tengah-tengah pulau Jawa, dimana dengan bentuk peta provinsi Jogjakarta menyerupai segitiga dengan puncak gunung berapi di bagian utara yang mepunyai ketinggian 2911 m di atas permukaaan laut, gunung berapi ini adalah slah satu gunung aktif di Indonesia, sedangkan bawah terdapat dataran pantai yang membentang sepanjang pantai selatan yang terletak di pinggiran samudra Indonesia. Posisi daerah istimewa Jogjakarta yang terletak antara 7o.33-8o.12 lintang selatan dan 110o.00-110o.50 bujur timur tercatat memilki luas 3.185,80km2 atau 0,17% dariluas Indonesia (1.890,75km2), merupakan provinsi terkecil setlah provinsi daerah khusus ibukota Jakarta. 2. Batas Wilayah Kabupaten Klaten disebelah timur laut Kabupaten Wonogiri disebelah tenggara
Kabupaten Purworejo disebelah barat Kabupaten Magelang disebelah barat laut Samudra Indonesia disebelah selatan
3. Luas Wilayah Luas wilayah provinsi daerah istimewa Jogjakarta 3.185,80km2 atau 0,17 dari luas wilayah Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan informasi dari Badan Pertahanan Nasional dari 3.185,80 km2 luas Jogjakarta 35,93% merupakan jenis tanah lithosol, 27,41% regosol , 11,94% lathosol , 10,45% grumosol, 10,30% mediteran, 2,23% alluvial, dan 1,74% adalah tanah jenis rensina. Sebagaian besar wilayah daerah istimewa Jogjakarta terletak pada ketinggian antara 100 m sampai 499 m dari permukaan laut tercatat sebesar 63,18% , ketinggian kurang dari 100 m sebesar 31,56% , ketinggian antara 500 sampai 999 m sebesar 4,79% dan ketinggian diatas 1000 m sebesar 0,47%. Provinsi daerah istimewa Jogjakarta merupakan provinsi terkecil kedua setelah provinsi daerah khusus ibukota Jakarta dan secara administratif Jogjakarta meliputi 4 kabupaten dan 1 kota madya diantaranya : Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Bantul Kabupaten Gunung Kidul Kabupaten Sleman Kota Jogjakarta Daerah istimewa jogjakarta merupakan salah satu provinsi terkecil kedua setelah ibukota Jakarta, dimana luas wilayah provinsi daerah istimewa jogjakarta adalah 314.792,91 km2. Maka dari itu dapat kita jelaskan luas wilayah dan penggunaan lahan di tiap kabupaten dan kota yang ada di provinsi jogjakarta. Berdasarkan data yang telah ada disebutkan bahwa luas kabupaten Kulonprogo 58.999,09 km2, kemudian luas wilayah kabupaten Bantul adalah 50.316,63km2, luas wilayah kabupaten Gunung Kidul sebesar 145.589,38km2,luas wilayah kabupaten Sleman sebesar 56.791,02km2, dan luas wilayah kota jogjakarta sebesar 3.186,79 km2. 1. Iklim dan jenis tanah Ikli dan cuaca mempunyai sifat spesifik untuk suatu tempat, sehingga keadaannya sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan kondisi hidrologi daerah setempat adalah pada potensi ketersediaan air tanah dan besarnya aliran permukaan yang dihasilkan. Ketersediaaan air tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang berada di daerah tersebut. Curah hujan tahunan di provinsi daerah istimewa jogjakarta berkisar antara 718 mm/tahun-2992.3mm/tahun, curah hujan yang rendah umumnya dijumpai wilayah Kidul dan Bantul sedangkan curah hujan yang relative tinggi dijumpai di wilayah Sleman. Curah hujan terbesar selama kurun waktu 1994-1997 terjadi di kabupaten Sleman yaitu tahun 1995 dengan intensitas 2992.3 mm/tahun. Curah hujan paling kecil terjadi di kabupaten Gunung Kidul yaitu 197,6 mm/tahun pada tahun 1997. Berdasarkan fakta ini dapat diketahui bahwa kabupaten Sleman merupakan daerah yang memilki potensi sumber daya air yang besar ditinjau dari banyaknya input dari air hujan. Selain itu potensi sumber daya air berdasarkan input curah hujan tersebut dapat ditinjau secara lebih luas berdasarkan periode kering dan periode
basah yang tercermin dari jumlah bulan basah (BB) dan bulan kering (BK). Bulan basah adalah bulan dengan curha hujan lebih dari 100 mm sedangkan bulan kering merupakan bulan dengan curha hujan kurng dari 60 mm. 2. Pembagian Wilayah Provinsi daerah istimewa jogjakarta terdiri atas 4 kabupaten dan 1 kota. Ibukotanya adalah jogjakarta. Berikut adalah daftar kabupaten dan kota di daerah istimewa jogjakarta, beserta ibukota kabupaten. NO.
KABUPATEN/KOTA
IBUKOTA
1.
Bantul
Bantul
2.
Gunung Kidul
Wonosari
3.
Kulonprogo
Wates
4.
Sleman
Sleman
5.
Jogjakarta
-
KETERANGAN
Gabungan antara kabupaten kulonprogo yaitu beribukota di sendtol dengan kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates.
Gabungan antara kabupaten kota kasultanan dan kabupaten kota paku alaman.
2.2. Kondisi Demografis 2.2.1. Jumlah dan Kepadatan penduduk Jumlah penduduk provinsi Di yogyakarta sebanyak 3.457.491 jiwa yang mencakup mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 2.297.261 jiwa (66,44%) dan di daerah perdesaan sebanyak 1.160.230 jiwa (33,56%).
Persentase distribusi penduduk menurut kabupaten atau kota bervariasi dari yang terendah sebesar 11,24% di kota yogyakarta hingga yang tertinggi sebesar 31,62% di kabupaten sleman. 2.2.2. Tingkat pertumbuhan penduduk Jumlah penduduk DIY setiap tahun selalu bertambah, namun laju pertumbuhan masih cukup terkendali. Hasil sensus penduduk tahun 2000 mencacat jumlah penduduk DIY mencapai 3,12 juta jiwa atau tumbuh dengan rata-rata 0,72% per tahun. Selama kurun waktu 10 tahun jumlah penduduk DIY meningkat hingga menjadi 3,46 juta jiwa atau tumbuh dengan rata-rata 1,04% per tahun. 2.2.3. Komposisi penduduk berdasarkan aspek jenis kelamin Penduduk laki-laki provinsi DI yogyakarta sebanyak 1.708.910 jiwa dan perempuan sebanyak 1.748.581 jiwa. Seks rasio adalah 98, berarti terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
Seks rasio pada kelompok umur 0-4 sebesar 106, kelompok umur 5-9 sebesar 106,kelompok umur lima tahunan dari 10 sampai 64 berkisar antara 84 sampai dengan 106, dan kelompok umur 65-69 sebesar 86. 2.2.4. Komposisi penduduk berdasarkan aspek usia Median umur penduduk provinsi DI Yogyakarta tahun 2010 adalah 32,05 tahun. Angka ini menunjukan bahwa penduduk provinsi DI Yogyakarta termasuk kategori tua. Penduduk suatu wilayah di kategorikan penduduk muda bila median umur <20, penduduk mencegah jika median umur 20-30, dan penduduk tua jika median umur >30. Rasio ketergantungan penduduk provinsi DI Yogyakarta adalah 45,93. Angka ini menunjukan bahwa setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 46 orang usia tidak produktif (0-14 dan 65+), yang menunjukan bahayanya beban tanggungan penduduk suatu wilayah. Rasio ketergantungan di
daerah perkotaan adalah 42,08 sementara di perdesaan 54,19. Perkiraan rata-rata umur pertama penduduk laki-laki sebesar 28,3 tahun dan perempuan 24,3 tahun. 2.2.5. Komposisi penduduk berdasarkan usia sekolah Jumlah penduduk usia 7-12 tahun sebanyak 300 781 jiwa, 13-15 tahun 156 900 jiwa, 16-18 tahun 166 734 jiwa dan 19-24 tahun 362 361 jiwa. Diperkotaan jumlah penduduk usia 7-12 tahun sebanyak 194 880 jiwa, 13-15 tahun 100 483 jiwa, 16-18 tahun 116 830 jiwa dan 19-24 tahun 287 959 jiwa. Di perdesaan jumlah penduduk usia 7-12 tahun sebanyak 105 901 jiwa, 13-15 tahun 56 417 jiwa , 16-18 tahun 49 904 jiwa dan 19-24 tahun 74 402 jiwa. No 1 2 3 4
Usia Sekolah 7-12 Tahun 13-15 Tahun 16-18 Tahun 19-24 Tahun
Jumlah 300 781 jiwa 156 900 jiwa 166 734 jiwa 362 361 jiwa
Jumlah penduduk perempuan usia 7-12 tahun sebanyak 146 243 jiwa, 13-15 tahun 76 38 jiwa, 16-18 tahun 82 713 jiwa dan 19-24 tahun 177 545 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki usia 7-12 tahun sebanyak 154 538 jiwa, 13-15 tahun 80 520 jiwa, 16-18 tahun 84 021 jiwa dan 19-24 tahun 184 816 jiwa. 2.2.6. Komposisi penduduk berdasarkan aspek agama Penduduk Di mayoritas beragama islam yaitu sebesar 92.04%, khatolik sebanyak 4.94%, pemelu agama kristen sebanyak 2.70%, hindu sebanyak 0,17%, dan buddha 0.15%.
2.3. Kondisi Sosial 2.3.1. Fasilitas Kesehatan Pada tahun 2010 capaian indikator kesehatan untuk umur harapan hidup berada pada level usia 74,20 tahun. Angka kematian balita sebesar 18/1000 KH, angka kematian bayi sebesar 17/1000 KH, dan angka kematian ibu melahirkan sebesar 103/100.000 KH. Prevalensi gizi buruk sebesar 0.70%, cakupan rawat jalan puskesmas 16% sedangkan cakupan rawat inap rumah sakit sebesar 1,32%. Untuk meningkatkan kualitas kesehatan penduduk, pemerintah berupaya menyediakan sarana dan prasarana kesehatan disertai tenaga kesehatan yang memadai dan berkualitas. Upaya yang di upayakan agar pelayanan kesehatan mudah di kunjungi dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Sarana kesehatan yang tersedia di provinsi DI Yogyakarta sebanyak 54 rumah sakit, 26 unit rumah bersalin, 177 unit balai pengobatan, dan 120 unit puskesmas, induk dan 1542 praktek dokter perorangan
Dari 120 puskesmas, 20% puskesmas telah menerapkan sistem management mutu melalui pendekatan ISO 9001:200 ; 7% rumah sakit telah menerapkan ISO 9001:200 ; 25% rumah sakit di DIY telah terakterditasi dengan 5 standar; 17% rumah sakit terakreditasi dengan 12 standar ; dan 5% rumah sakit telah terakteditasi dengan 16 standar pelayanan. Sarana pelayanan kesehatan yang memiliki unit pelayanan gawat darurat meningkat menjadi 40% dan rumah sakit dengan pelayanan kesehatan jiwa meningkat menjadi 9%. Meskipun demikian cakupan rawat jalan tahun 2006 baru mencapai 10% (nasional 15%) sementara untuk rawat inap 1,2% (nasional 1,5%). Rasio pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin secara cuma – Cuma di unit pelayanan teknik dinas kesehatan provinsi maupun kabupaten telah mencapai 100% rasio dokter umum per 100.000 penduduk menunjukan trend meningkat sebesar 39.64 pada tahun 2006. Adapun program jamkesos tahun 2010 dianggarkan Rp. 34.978.592.000.00,- .
2.3.2. Fasilitas pendidikan Kualitas pendidikan yang memadai diperlukan penduduk untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Tinggi permintaan jasa pendidikan menuntut tersedianya penyelanggaraan pendidikan yang semakin bermutu. Secara rasional pendidikan diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta. Jenjang TK hingga sekolah menengah atas tercatat 5.073 unit sekolah atau turun 0.90% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada jenjang sekolah dasar pada tahun 2009 memiliki 1.862 sekolah untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni SMP tercatat sebanyak 422 sekolah, pada sekolah menengah umum tercatat sebanyak 166 sekolah, pada sekolah menengah kejuruan terdapat 192 unit sekolah, pada jenjang perguruan tinggi negeri. Provinsi daerah istimewa Yogyakarta memiliki 10 perguruan tinggi. Adapun perguruan tinggi swasta tercatat sebanyak 120 unit institusi dengan rincian 41.67% akademi, 33.33% sekolah tinggi, 15.00% Universitas, 6.67% Politeknik dan 3.33% Institusi. Penyebaran sekolah untuk jenjang SD/MI sampai sekolah menengah sudah merata dan menjangkau seluruh wilayah sampai ke pelosok desa. 2.3.3. Agama Jumlah peribadatan yang ada di DI Yogyakarta di dominasi oleh tempat ibadah umat Islam berupa masjid, mushola dan langgara yang tercatat sebanyak 96,77%. Kemudian rumah ibadah kristen dan katholik masing masing 1.74% dan 1.08% serta tempat ibadah umat hindu dan buddha masinh-masing 0.21% dan 0,20%
Jamaah haji yang dari DI Yogyakarta yg berangkat pada awal tahun 2009 M sebanyak 3.007 orang atau menurun sebanyak 0.42 dibandingkan dengan awal tahun 2008 M yang tercatat sebanyak 3.090 orang. Berdasarkan asal jamaah, sebagian besar dari kabupaten sleman, kabupaten bantul, dan kota Yogyakarta masing-masing sebesar 41.04%, 27.01% dan 16.22% dari keseluruhan jamaah,
sedangkan sisanya 0.19% dan 7.18% berasal dari kabupaten gunung kidul dan kulon progo. 2.3.4. Sosial lainnya Selama tahun 2009, provinsi DIY Yogyakarta 35 kejadian bencana alam yang berupa angin topan, peristiwa tersebut menimbulkan kerugian material berupa 350 kerusakan rumah. Menurut kabupaten atau kota bencana tersebut menimbulkan kerugian material terbanyak terjadi digunung kidul yakni 40%, kemudian dikulon probo dan bantul masing-masing 20% dan kerugian material di Yogyakarta dan sleman 11.4% dan 8.57%
Sedangkan kasus kebakaran pada tahun 2009 tercatat 49 kali atau berkurang sebesar 69 kasus, dengan jumlah kerugian sebesar Rp. 3.884.85 juta atau naik secara signifikan (153,5%) dibanding dengan tahun sebelumnya. 2.3.5. Ekonomi Perekonomian daerah istimewa yogyakarta antara lain meliputi sektor investigasi; perindustrian,perdagangan, koperasi, dan UKM; pertanian; ketahanan pangan; kehutanan, dan perkebunan; perikanan, dan kelautan; energi,dan sumber daya mineral; serta pariwisata. a. Penanaman modal dan industri Penanaman modal DIY dilaksanakan melalui program investigasi; serta program peningkatan iklim investigasi, dan realisasi investasi, capaian investasi total 2010 mencapai Rp. 4.580.972.827.244,00 dengan rincian PMDN sebesar Rp. 1.884.925.869.797,00, dan PMA sebesar 2.696.046.957.447,00. Unit dengan penyerangan tenaga kerja sebesar 292.625 orang, dan nilai investigasi sebesar Rp. 878.063.496.000,00 b. Perdagangan dan UKM Varian produk ekspor DIY andalan meliputi produk olahan kulit, tekstil, dan kayu. Pakaian jadi tekstil dan mebel kayu merupakan produk yang mempunyai nilai ekspor tertinggi. Namun secara umum ekspor ke mancanegara di dominasi
oleh produk-produk yang di hasilkan dengan nilai seni, dan kreatif tinggi yang padat karya (labor intensive). Program pembangunan dalam mengembangkan koperasi dan UKM di DIY, salah satunya adalah memberdayakan usaha mikro, dan kecil, dan menengah yang disinergikan dengan kebijakan program dari pemerintah pusat. Salah satu upaya pembinaan UKM adaklah melalui kelompok (sentra) karena upaya ini lebih efektif, dan efisien, di samping itu dengan sentra akan banyak melibatkan usaha mikro, dan kecil. Pada 2010 tercatat koperasi aktif sebanyak 1.926 koperasi, dan UKM tercatat 13.998 unit usaha. c. Pertanian dan kehutanan Tingkat kesejahteraan petani dalam bidang pertanian di DIY yang di ukur dengan nilai tukar petani (NTP) NTP dapat menjadi salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan petani di suatu wilayah pada 2010 NTP sebesar 112,74%. Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak asasi manusia. Secara umum ketersediaan pangan di DIY cukup karena berkaitan dengan musim panen sehingga diperlukan pengaturan distribusi oleh pemerintah. Pemenuhan kebutuhan iklan di DIY dapat dipenuhi dari perikanan tangkap maupun budidaya. Untuk perikanan tangkap dilakukan melalui pengembangan pelabuhan perikanan sadeng dan gladah. Produksi perikanan budidaya tahun 2010 mencapai 39.032 ton, dan perikanan tangkap mencapai 4.906 ton, dengan konsumsi ikan sebesar 22,06 kg/kap/tahun. Hutan produksi, yang sebagian besar berada di wilayah kabupaten gunung kidul. Presentase luas hutan di DIY pada tahun 2010 sebesar 5,87% dengan rehabilitas lahan kritis sebesar 9,93% dan kerusakan kawasan hutan sebesar 4,94%. Sektor perkebunan, dari segi produksi tanaman perkebunan yang potensial di DIY adalah kelapa, dan tebu. Kegiatan perkebunan di prioritaskan dalam rangka pengutuhan tanaman memenuhi skala ekonomi serta peningkatan produksi, prokdutivitas, dan mutu produk tanaman untuk meningkatkan pendapatan petani. 2.4. Fenomena Alam D.I. Yogyakarta Bentang alam yang dijumpai di wilayah Provinsi D.I Yogyakarta dimulai di bagian utara ada G. Merapi yang aktif, di bagian barat dijumpai perbukitan Menoreh dan Kubah Kulon Progo dengan sungai yang besar ialah Kali Progo yang mengalir ke selatan bermuara di Samudera Indonesia. Di sebelah timur dijumpai perbukitan Boko dengan sungai. Kali Opak juga mengalir ke selatan bermuara di Samudera Indonesia. Di wilayah tengah dijumpai Kali Code yang mengalir di tengah Kota Yogyakarta dan Kali Kuning di sebelah timur Kota Yogyakarta. Dengan fenomena alam yang ada di wilayah Yogyakarta maka potensi kebencanaan alam yang ada ialah erupsi G. Merapi dengan bahaya primer (lava pijar, awan panas dan hujan abu vulkanik). dan banjir lahar hujan sebagai bahaya sekunder. Untuk peningkatan kewaspadaan akan potensi bencana tanah longsor kita harus mengenal daerah-daerah dengan fenomena alam yang dijumpai seperti perbukitan dengan kemiringan lereng yang terjal mempunyai batuan penyusun lereng bersifat lempungan, struktur geologi daerah hancuran (fracture zone), pelapukan
tanah tebal. Keadaan lingkungan alam ini memang merupakan faktor dalam (intern) dari alam itu sendiri dan jika ditambah pengaruh oleh faktor luar (ekstern) seperti curah hujan yang tinggi serta ulah manusia yang mengubah fungsi lahan untuk keperluannya tanpa terkontrol dapat menimbulkan ketidakseimbangan sehingga terjadilah ketidakstabilan lereng dan ujung akhirnya adalah terjadi bencana tanah longsor. 2.5. Ancamana kebencanaan di Wilayah Yogyakarta 2.5.1. Peta indeks rawan bencana
2.5.2. Erupsi gunung api atau letusan gunung api Erupsi atau letusan gunungapi terjadi karena adanya proses magma yang naik melalui daerah corong magma sampai ke permukaan bumi yang disebut dengan kawah (crater). Bahaya erupsi gunungapi ada dua macam yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer ialah bahaya yang sifatnya langsung saat letusan terjadi (seperti hujan abu, aliran lava, lontaran batu berbagai ukuran dan awan panas). Sedangkan bahaya sekunder yaitu bahaya yang sifatnya tidak langsung dirasakan tetapi dapat terjadi pasca erupsi adalah banjir lahar hujan.
2.5.3. Banjir lahar hujan Banjir lahar hujan terjadi dari adanya sumber material piroklastik hasil letusan gunungapi, bila bercampur dengan air hujan yang turun di puncak gunung lalu mengalir turun menggelontor menuju sungai-sungai yang berhulu dari puncak gunung tersebut. Aliran lahar hujan ini mempunyai kecepatan yang tinggi dengan daya rusak yang sangat besar. Parameter yang dapat memicu terjadinya banjir lahar hujan ialah kemiringan dasar sungai yang terjal, material lepas yang belum terkonsolidasi. Contoh banjir lahar hujan yang terjadi di Kali Gendol dan K. Boyong di wilayah Kabupaten Sleman dan K. Putih di wilayah Kabupaten Magelang ( November 2011). Bencana banjir D.I. Yogyakarta memang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu walaupun presentasinya kecil, namun tetap potensial mengingat terdapat sejumlah sungai besar di wilayah D.I. Yogyakarta dan terdapatnya kecenderungan penyempitan aliran sungai dan menimbullkan
kerentanan yang cukup tinggi terjadinya genangan air. Untuk wilayah D.I Yogyakarta, potensi banjir terdapat diwilayah bagian selatan dan sejumlah wilayah lain yang di aliri oleh sungai-sungai besar.
2.5.4. Tanah longsor Tanah longsor terjadi pada daerah perbukitan dengan kemiringan lereng yang terjal perlapisan batuan yang miring sejajar dengan kemiringan lereng, tanah pelapukannya tebal mudah terombak, ada struktur patahan yang merupakan zona hancuran dan ulah manusia sendiri, Penyebabnya karena kondisi alam itu sendiri atau juga pengaruh dari luar karena ulah manusia. Faktor alam karena karakteristik geologis misalnya jenis tanahnya lempungan, perlapisan batuan yang mengikuti aturan, alih fungsi lahan yang berlebihan. Faktor pemicu lain adalah hujan dengan intensitas yang tinggi. Contoh tanah longsor di Kab. Kulonprogo di Samigaluh, desa Semagung, Kedungrong, (2001), tanah longsor di Desa Mudon, Kec. Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul.
2.5.5. Gempa Bumi Gempabumi terjadi karena adanya pelepasan akumulasi energi yang kuat akibat tumbukan dari pergerakan lempeng tektonik sehingga dapat dirasakan manusia di permukaan bumi dengan magnitude dalam Skala Richter (SR) atau Mercalli Cancani (MM). Gempabumi dengan kekuatan magnitude > 6 SR, dapat menimbulkan lapisan tanah menjadi retak dan “liquifaction” sehingga kekuatan daya dukung tanah menjadi lemah dan akibatnya bangunan yang berdiri diatasnya dapat menjadi runtuh dan ambruk. Contoh gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta 27 Mei 2006 ( 5,9 R) pusat gempa pada patahan Opak. 2.5.6. Angin Puting Beliung Adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan lebih dari 120 km dan terjadi di wilayah tropis disebabkan adanya perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca Di Indonesia dikenal dengan sebutan angin badai yang bertiup berpusar sampai radius pusaran puluhan kilometer dengan kecepatan lebih dari 20 – 60 km/jam.
Kabupaten Sleman Bantul Kulon progo Gunung kidul Kota yogyakarta
Skor 97 90 80 76 74
Kelas rawan Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Rangking nasional 3 49 90 120 135
2.5.7. Tsunami Tsunami / gelombang pasang terjadi karena adanya gempa tektonik dengan sumber gempa berada di bawah laut dan mempunyai magnitude > 6,5 Skala Richter sehingga menimbulkan gelombang pasang yang menerjang masuk daratan dan dapat mencapai ratusan meter hingga beberapa kilometer dengan “amplitude” atau “tinggi gelombang” yang besar (dapat mencapai puluhan meter. Tsunami di wilayah pesisir selatan Yogyakarta patut di waspadai terutama daerah wisata pantai selatan seperti Parangtritis, Desa Gading Sari Sanden Bantul, pantai Glagah wilayah Kulon Progo dan Gadingharjo, Pantai Baron, di wilayah Kab. Gunung Kidul. Untuk wilayah D.I. Yogyakarta, potensi tsunami terdapat di wilayah daerah pantai selatan rawan tsunami. Daerah ini telah mengalami sejumlah tsunami kecil yang merusak kapal nelayan dan sejumlah infrastruktur yang terdapat di tepi pantai di wilayah pantai selatan. 2.6. Kebencanaan yang di tinjau 2.6.1. Tanah longsor di wilayah kabupaten kulon progo Secara geografis daerah longsoran di Kulon Progo terletak di Perbukitan Menoreh pada ketinggian 862 meter dpl. Perbukitan ini mempunyai kemiringan lereng yang curam lebih dari 45° dengan vegetasi yang cukup lebat. Susunan batuan di daerah ini terbentuk dari batuan dasar bereaksi andesit tua dengan tanah pelapukan yang tebal dari endapan gunungapi hasil letusan Merapi tua. Daerah yang berpotensi longsor menempati wilayah Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Kokap, Kecamatan Girimulyo dan Kecamatan Kalibawang. Pada longsoran di Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh dipilih sebagai tempat model Desa Tangguh dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana tanah longsor.
2.6.2. Tanah longsor di wilayah kabupaten gunung kidul Secara geografis daerah Gunung Kidul terletak di Perbukitan Gunung Sewu pada ketinggian 200 - 600 meter dpl. Perbukitan ini mempunyai kemiringan lereng yang curam lebih dari 45° dengan vegetasi yang kurang lebat. Susunan batuan di daerah ini terbentuk dari batuan gamping. Formasi Wonosari, batuan napal dan batupasir dasar breksi andesit tua yang sudah lapuk dengan tanah pelapukan yang tidak begitu tebal. Daerah yang berpotensi longsor menempati wilayahKecamatan Gedangsari, Kecamatan Patuk, Kecamatan Semin, Kecamatan Ponjong. Untuk daerah rawan longsor di wilayah Kabupaten Gunung Kidul yang dijadikan model Desa Tangguh adalah Desa Nglegi, Desa Terbah dan Desa Semoyo Kecamatan Patuk. Bencana tanah longsor di wilayah D.I. Yogayakarta terjadi pada beberapa titik rawan dengan kondisi tanah curam yang biasanya berada pada dinding sungai dan
di sepanjang kawasan pegunungan Menoreh yang berpotensi longsor terutama di musim penghujan. Salah satu contoh bencana akibat tanah longsor yang pernah terjadi adalah musibah banjir dan tanah longsor di sungai Belik dan sungai Gajah wong tanggal 13 desember 2006, dikarenakan oleh kondisi tanah yang labil, kelerengan yang curam, beban peruntukan lahan dan hujan lebat. 2.6.3. Gempa Bumi Bantul, yogyakarta mei 2006 Gempabumi adalah peristiwa alam yang dipengaruhi oleh proses tektonik maupun vulkanik. Gempabumi Yogya pada 26 Mei 2006 adalah akibat goncangan gempa tektonik dengan kekuatan 5,8 – 6,2 pada SR. Pusat Gempa diperkirakan di pinggir pantai selatan Kabupaten Bantul dengan kedalaman 17 km Gempa ini ternyata disebabkan adanya gerakan sesar aktif di Yogyakarta yang kemudian disebut Sesar Kali Opak. Episentrum diperkirakan terjadi di muara S. Opak- Oyo, Gempa terasa di seluruh wilayah Yogyakarta, Klaten dan kerusakan terutama terjadi di wilayah Bantul ( Wonolelo, Pleret) dan Kecamatan Patuk di wilayah Gunung Kidul. Seperti yang sudah di jelaskan di atas, bahwa wilayah D.I. Yogyakarta merupakan jalur subduksi lempeng Indo-AustraliaEurasia. Pertemuan ketiga lempeng ini menyebabkan wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi. Dari data yang ada, D.I. Yogyakarta sudah mengalami beberapa kali gempa dan gempa dengan kekuatan di atas 5 skala richter di D.I Yogyakarta dan sekitarnya terjadi pada tahun 1867, 1937, 1943, 1976, 1981, 2001 dan terakhir tahun 2006. Namun gempa dengan kerusakan dan korban jiwa yang besar terjadi tahun 1867, 1943 dan 2006. Gempa tahun 1867 menyebabkan runtuhnya tugu keraton yogyakarta, sebagian gedung agung dan taman sari. Sementara tahun 1943 mengakibatkan 2800 rumah hancur dan 213 orang meninggal dunia dan 2096 lainnya luka-luka. Dan gempa yang terjadi di tahun 2006 menewaskan 5.048 jiwa dan melukai 27.808 jiwa. Korban terbanyak berada di wilayah bantul dengan jumlah meninggal sebanyak 4.143 orang, luka berat 8.673 orang serta luka ringan sebanyak 3.353 orang. Sementara jumlah rumah rusak sebanyak 240.396. 2.6.4. Erupsi gunung merapi november 2010 dan banjir lahar hujan Bahaya erupsi gunungapi ada dua macam yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer ialah bahaya yang sifatnya langsung saat letusan terjadi (seperti hujan abu, aliran lava, ontaran batu berbagai ukuran dan awan panas). Contoh erupsi G. Merapi Nopember 2010). Banjir lahar hujan terjadi dari adanya gunungapi, bila bercampur dengan air hujan yang turun di puncak gunung lalu mengalir turun menggelontor menuju sungai-sungai yang berhulu dari puncak gunung tersebut. Contoh banjir lahar hujan yang terjadi di Kali Gendol dan K. Boyong di wilayah Kabupaten Sleman dan K. Putih di Kab. Muntilan dari material hasil letusan (Januari 2011). Gunung merapi yang masuk dalam wilayah kabupaten Sleman merupakan gunung api aktif, bahkan teraktif di dunia karena periodisitas letusannya relatif pendek (3-7 tahun). Dalam kegiatannya, gunung merapi menunjukkan terjadinya guguran kubah lava yang terjadi setiap hari. Jumlah serta letusannya bertambah sesuai tingkat kegiatannya. Volume guguran kubah lava biasa oleh orang setempat disebut “wedhus gembel” atau glowing cloud/nueeardente atau awan panas. Geofisik gunung merapi memiliki tipe khas stratolandesit dan punya
bentuk lereng yang konkaf, merapi juga merupakan pertemuan persilangan dua buah sesar transversal yang membentengi wilayah tengah provinsi jawa tengah dan provinsi D.I. Yogyakarta dan sesar longitudinal yang melewati pulau jawa. Bahaya letusan gunung api terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yabg langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya, awan panas, udara panas (surger) sebagai akibat samping awan panas dan lontaran material berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara tidak langsung dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan lahan pertanian/perkebunan atau rumah. Sejak tahun 1548, gunung ini telah meletus sebanyak 68 kali. Letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun dan letusan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Dampak letusan merapi yang bersar terjadi pada tahun 1548, 1786, 1822, 1872 dan 1930. Letusan tahun 1548 mengakibatkan tertutupnya bagian tengah pulau jawa oleh abu. Tabel berikut menunjukkan aktivitas gunung merapi yang cukup berbahaya. No 1.
Tahun 1930
Peristiwa
Korban Hancurnya 13 desa dan hilangnya 1400 jiwa Hancurnya beberapa desa dan hilangnya puluhan jiwa Tidak ada korban jiwa
Erupsi
2.
1994
Erupsi
3. 4.
1998 2001 – 2003
5.
2006
Erupsi vertikal Peningkatan aktivitas dengan periode yang lama Peningkatan aktivitas dengan Dua orang relawan meniggal periode yang lama yang disertai dunia dengan luncuran awan panas
2.7. Aspek Kemampuan di wilayah Yogyakarta 2.7.1. Kebijakan 1. Evaluasi sistem penanggulangan bencana provinsi D.I. Yogyakarta Dari sebaran kejadian dan potensi bencana yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya maka bisa disimpulkan bahwa meskipun Provinsi DI Yogyakarta tergolong provinsi yang kecil, namun memiliki potensi bencana yang beragam seperti telah diuraikan di atas dan kejadian bencana gempa bumi tahun 2006 membuat pemerintah serta masyarakat memandang bencana dengan perspektif berbeda. a. Kebijakan penanggulangan bencana D.I. Yogyakarta Kebijakan penanggulangan bencana akan ditinjau dari beberapa sisi yaitu dari sisi berbagai peraturan yang secara khusus mengatur tentang bencana itu sendiri,kebijakan lain yang memiliki kaitan erat dengan penanggulangan bencana, sistem kelembagaan dalam penanggulangan bencana serta kebijakan yang terkait dengan alokasi anggaran dibidang kebencanaan. Untuk selanjutnya akan dideskripsikan kebijakan penanggulangan bencana yang disusun dan diterapkan di provinsi di DIY.
1. Peraturan tentang Penanggulangan Bencana Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap peraturan yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, maka sama seperti Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DIY juga belum ada peraturan setingkat perda yang mengatur tentang Penanggulangan Bencana memang sudah menjadi pembahasan yang cukup lama dikalangan pemerintah dan legislatif setelah terjadinya gempa bumi yang melanda Provinsi di DIY dan menjadi salah satu rekomendasi yang diusulkan dalam laporan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi. Namun hingga survey dilakukan rekomendasi ini masih belum dapat diwujudkan. Untuk tahap tanggap darurat, terdapat sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan sebagian besar kebijakan ini dikeluarkan untuk mengatasi bencana gempa bumi yang terjadi pada tahun 2006. Kebijakan dan peraturan tersebut : 1. Surat Pernyataan Gubernur Di Yogyakarta Tentang Pernyataan Bencana Alam Gempa Bumi 2. Keputusan Gubernur di Yogyakarta No.56 Tahun 2006 tentang pembentukan dan penunjukkan tim penanganan bencana gempa bumi di provinsi DIY 3. 3 buah intruksi Satkorlak di DIY tentang Satgas Pramuka, Saltak Kecamatan dan tanda pengenal relawan 4. Instruksi Gubernur DIY tentang mobilisasi tenaga PNS Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Gubernur DIY telah berupaya mengambil langkah-langkah kebijakan dengan memperpendek jalur birokrasi dalam rangka kelancaraan dan ketetapan distribusi bantuan kepada korban bencana, mengeluarkan berbagai instruksi, pengumuman dan seruan serta memberi peran pada pemerintah, masyarakat dan pihak lain seperti swasta , NGO dan lembaga donor untuk berperan serta. Instruksi,seruang dan pengumuman yang dikeluarkan oleh Gubernur DIY pada intinya adalah untuk memberikan ketenangan bagi masyarakat, serta instruksi kepada PNS agar segera kembali bekerja untuk memulihkan kembali pelayanan public. Kebijakan Gubernur dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam masa tanggap darurat ini cukup berhasil bahkan mendapat respons positif dari para stakeholder Sementara tentang pedoman umum bantuan tanggap darurat yang dikeluarkan oleh kepala Bakornas PB Provinsi di DIY dan Provinsi Jawa Tengah. Untuk tahap rehabilitasi dan rekontruksi, terdapat sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi DIY :
1. Keputusan Gubernur DIY tentang Tim Pelaksana Rehabilitai dan Rekontrusi 2. Keputusan Gubernur DIY tentang kegiatan rencana aksi pasca gempa bumi diprovinsi DIY 3. Keputusan Gubernur DIY tentang Penetapan satuan kerja,struktur organisasi pelaksana kegiatan, pejabat pengelola kegiatan serta uraian tugas dan tanggung jawab pengelola kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi pasca gempa bumi di provinsi Yogyakarta 4. Pergub No.38/2006 tentang mekanisme pencairan, penyaluran dan pertanggungjawaban sisa dana penyelesaian rehabilitasi dan rekontruksi rumah pasca gempa diProvinsi Yogyakarta yang dibiayai melalui DIPA TA 2006 5. Pergub No.47 Tahun 2006 tentang petujuk operasional rehabilitasi dan rekontruksi pasca gempa bumi diprovinsi Yogyakarta
2. Kebijakan terkait lainnya Pada dasarnya terdapat berbagai kebijakan yang terkait erat serta mempengaruhi kebijakan penanggulangan bencana. Salah ssatu kebijakan tersebut adalah kebijakan tata ruang. Untuk provinsi Yogyakarta, seiring dengan habisnya masa berlaku Perda RTRW lama, maka pemerintah telah menyusun rencana tata ruang wilayah berbasis pengurangan risiko bencana. Disamping itu pengembangan tata ruang juga sudah dimulai dengan pengkajian mikrozonasi untuk beberapa wilayah.
3. Sistem Kelembagaan Sistem kelembagaan merupakan salah satu faktor yang sangat penting serta memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pelaksanaan sistem penanggulangan bencana di suatu wilayah. Jika sebelumnya pemerintah daerah membentuk Satkorlak sebagai organisasi yang bertugas untuk mengatasi bencana, maka dengan dikeluarkannya UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi perubahan lembaga dari Satkorlak menjadi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pasal 18). Ternyata amanat UU No.24/2007 ini belum diimplementasikan oleh Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta karena terbukti dari evaluasi terhadap SOTK yang baru disahkan oleh DPRD, peran ini masih diberikan kepada Satkorlak dan masih bersandar pada kebijakan yang lama. Dari hasil wawancara diketahui bahwa Provinsi DI Yogyakarta memilih untuk menunggu pedoman teknis pembentukan BPBD untuk menghindari kesalahan implementasi dan masih efektifnya kebijakan yang lama untuk diterapkan.
Untuk fungsi penanggulangan bencana, terutama untuk tahap tanggap darurat dan pasca bencana masih tetap diemban oleh sejumlah SKPD seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosialdan Dinas Pekerjaan Umum dan masih menerapkan pola koordinasi yang telah diterapkan sebelumnya. Dalam membangun landasan yang kokoh bagi pengurangan risiko bencana di DI Yogyakarta, telah ada inisiasi untuk membentuk suatu forum atau platform pemangku kepentingan PRB di Provinsi DI Yogyakarta. Forum ini bernama forum PRB yang diharapkan dapat membantu memperbaiki jalur koordinasi antar institusi baik pemerintah, lembaga non pemerintah, LSM dan perguruan tinggi serta pihak lainnya dengan tujuan menghindari inefisiensi program kegiatan, menghindari tumpang tindih para pemangku kepentingan PRB di masa yang akan datang.
4. Kebijakan di Bidang Penganggaran Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta tidak memiliki kebijakan tertentu yang secara khusus mengatur tentang alokasi anggaran atau sistem anggaran di tahapan mitigasi bencana. Sementara untuk tahap tanggap darurat dan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah Provinsi DI Yogyakarta telah mengeluarkan sejumlah kebijakan, seperti: Keputusan gubernur tentang ijin perubahan penbayaran beban tetap menjadi pengisian kas belanja tidak tersangka tahun anggaran 2006 SE Gubernur DI Yogyakarta tentang sisa anggaran belanja tak tersangka tahun anggaran 2006 untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi Sejumlah surat keputusan gubernur terkait dengan kuasa pengguna anggaran Pergub No. 38 Tahun 2008 tentang Mekanisme Pencairan, Penyaluran dan Pertanggung Jawaban Sisa Dana Penyelesaian Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa, Surat keputusan gubenur tentang alokasi anggaran 147 milyar rupiah untuk penanggulangan bencana tahun 2006. 2. Strategi penanggulangan bencana provinsi di yogyakarta Untuk melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana, maka perlu disusun sejumlah strategi. Dalam kegiatan kajian ini, maka strategi yang dimaksud adalah menjadikan penanggulangan bencana sebagai bagian dari rencana dan sistem perencanaan pembangunan di daerah, karena dengan cara seperti ini maka keberlangsungan program dan kegiatan akan terwujud, disamping juga alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan. a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan berbagai pihak maka diperoleh informasi bahwa penanggulangan bencana saat ini sudah
dibahas dan akan menjadi bagian dari program pembangunan jangka panjang untuk DI Yogyakarta, sehingga diharapkan program-program penanggulangan bencana akan tetap mendapat perhatian dari berbagai kalangan terutama dari pemerintah dan legislatif. b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Seiring dengan proses integrasi aspek pengurangan risiko bencana ke dalam RPJP, maka integrasi aspek pengurangan risiko bencana ke dalam RPJMD dan proses ini masih dalam proses dan belum selesai. c. Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB) Meskipun dalam tatanan sistem perencanaan pembangunan daerah tidak dikenal sebuah tatanan yang disebut rencana aksi, namun teryata rencana aksi ini cukup efektif sebagai wadah untuk mengintegrasikan programprogram di bidang penanggulangan bencana dan menjadi pedoman bagi SKPD dalam menyusun rencana kerja tahunan SKPD. Untuk Provinsi DI Yogyakarta, RAD PRB sudah disusun dan dibahas beberapa kali namun rencana aksi ini belum mencapai kata final dan masih terus dalam proses pembahasan. d. Rencana Kerja Tahunan SKPD Kegiatan penanggulangan bencana sudah menjadi bagian dari Renja SKPD meskipun rencana tersebut masih bersifat sektoral dan lebih mengarah pada upaya antisipatif. Dari sebagian besar program dan kegiatan yang ada di SKPD, sebagian besar diarahkan pada rehabilitasi dan rekonstruksi akibat gempa tahun 2006. e. Alokasi Anggaran Alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana secara reguler tersebar di seluruh SKPD terkait, sesuai dengan TUPOKSI-nya. Besaran anggran masih terbatas untuk kegiatan rutin yang mendukung TUPOKSI dan sebagian besar diarahkan pada kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
3. Sistem operasional penanggulangan bencana provinsi di yogyakarta Dalam kajian ini yang dimaksud dengan sistem operasional penanggulangan bencana adalah prosedur-prosedur tetap yang digunakan pemerintah dalam penanggulangan bencana, serta tata komando serta tata komunikasi dan aspekaspek operasional lainnya. a. Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana Dari hasil evaluasi dan wawancara dengan berbagai pihak di Provinsi DI Yogyakarta, prosedur penangulangan bencana masih mengacu pada pedoman pemerintah pusat. Untuk prosedur penanggulangan bencana, pemerintah provinsi DI Yogyakarta masih mengacu pada Surat Bakornas
tanggal 2 Juni 2006 tentang pedoman umum bantuan tanggap darurat dan beberapa aturan lain yang dikeluarkan untuk mengatasi kondisi tanggap darurat pasca gempa 2006 serta tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Semua prosedur yang dihasilkan pada saat tanggap darurat akibat peristiwa gempa yang ada bersifat sementara dan bukan aturan baku untuk mengantisipasi bencana selanjutnya. b. Tata Komando dan Komunikasi Penanggulangan Bencana Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saat ini lembaga yang mengemban tugas penanggulangan bencana di provinsi DI Yogyakarta adalah Satkorlak dan Kesbanglinmas dan ini tentu saja mempengaruhi tata komando dan komunikasi penanggulangan bencana. Saat ini tata komando jika terjadi bencana ada pada Ketua Satkorlak dengan, Kesbanglinmas sebagai leading sektor. Sebagai pelaksana lansung adalah SKPD terkait sesuai dengan bidang keahliannya. Komunikasi inter dan intra SKPD relatif lancar dan bersifat koordinatif Masing-masing SKPD akan mengambil peran sesuai dengan TUPOKSI-nya.
2.7.2. Evaluasi implementasi sistem penanggulangan bencana provinsi di yogyakarta Untuk melihat efesiensi dan efektifitas dari suatu sistem maka perlu dilakukan evaluasi terhadap implementasi dari sistem tersebut. Dalam kajian ini terdapat sejumlah aspek yang digunakan dan hasil dari evaluasi atas implementasi tersebut dapat dilihat dalam serangkaian tabel di bawah ini. 1. Evaluasi Kebijakan Evaluasi dari aspek kebijakan dapat dilihat pada tabel berikut ini: No
Aspek Hasil Evaluasi 1. Efektifitas kebijakan dalam Selama ini kebijakan penanggulangan mengurangi risiko bencana bencana masih bersifat antisipatif dan saat bencana terjadi belum kebijakan yang bersifat preventif. Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Provinsi DI Yogyakarta selama tahap tanggap darurat dan rehabilitasi serta rekonstruksi menggunakan pendekatan partisipatif yang dibuktikan dengan tingkat partisipasi masyarakat dan berbagai pihak yang sangat tinggi Saat ini pemerintah sedang dalam proses perubahan kebijakan dari antisipatif ke arah preventif dengan disusunnya berbagai instrumen
2. Hambatan dalam penyusunan kebijakan di bidang penangulangan bencana (pusat maupun daerah)
3. Sinergi implementasi antar peraturan (adakah yang saling kontraproduktif)
Tingkat dukungan politik terkait kebijakan penanggulangan bencana 4. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana
kebijakan yang mengarah pada tindakan preventif Masih banyak terjadi ketidak sesuaian antara desain yang diharapkan oleh pusat dengan realitas pelaksanaan di daerah. Perbedaan cara pandang ini membuat pemerintah daerah bersifat menunggu kebijakan lanjutan yang dikeluarkan oleh pemerintah Masalah yang dihadapi dan kebutuhan yang diperlukan oleh masing-masing daerah tidak selalu sama Masih ada kontraproduktif antara peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi/lembaga dan departemen. Dukungan politik dari berbagai fihak (Legeslatif, Perguruan Tinggi dan LSM) sangat baik. Masih adanya ketidak sesuaian antara kebijakan yang dikeluarkan pusat (antara lembaga/instansi dan departemen) berdampak pada lemahnya komitmen dan kepercayaan dari daerah
2. Evaluasi Strategi Evaluasi dari aspek strategi dapat dilihat pada tabel berikut ini: No
Aspek Hasil Evaluasi 1. Proses penyusunan rencana Rencana khusus untuk rencana di bidang penanggulanagn bencana belum penanggulangan bencana disusun. SKPD menyusun kegiatan sebatas untuk mendukung TUPOKSI. Sehingga kegiatan penanggulanagn bencana yang disusun masih sangat dasar. Program dan kegiatan direncanakan/diusulkan oleh masingmasing SKPD sesuai dengan TUPOKSI-nya Usulan dari SKPD akan diverifikasi oleh Bapeda dan Tim Anggaran Daerah 2. Mekanisme integrasi rencana Masih belum ditemukan mekanisme strategis ke dalam renja SKPD yang pasti bagaimana
3. Hambatan dalam penyusunan rencana dan implementasi rencana penanggulangan bencana
4. Hambatan dalam alokasi anggaran terkait dengan penanggulangan bencana
5. Hambatan dalam meraih komitmen SKPD dan mekanisme koordinasi dalam melaksanakan rencanarencana penanggulangan bencana
mengintegrasikan rencana strategis ke dalam renja SKPD Karena kegiatan diusulkan secara sektoral oleh SKPD, maka masih ditemui adanya tumpang tindih kegiatan yang serupa (hanya beda obyek). Alokasi anggaran untuk kebencanaan tersebar di SKPD terkait. Selama ini SKPD merasakan terbatasnya anggaran untuk kegiatan penanggulangan bencana. Masih ada hambatan klasik mengenai eselonisasi (jika yang mengkoordinir, eselonnya lebih rendah dari yang dikoordinir, maka akan mengalami beberapa kendala)
3. Evaluasi Operasional Evaluasi dari aspek operasional dapat dilihat pada tabel berikut ini: No
Aspek 1. Hambatan implementasi lapangan
Hasil Evaluasi Protap yang ada dapat dilaksanakan dengan baik, namun untuk tahap selanjutnya perlu disusun prosedur baku yang akan menjadi pedoman dalam penanggulangan bencana 2. Hambatan dalam Secara umum tata komando dan implementasi tata komando komunikasi sudah berjalan dengan dan tata komunikasi. baik karena sistem pemerintah di DI Yogyakarta yang masih sangat menghargai kepemimpinan sultan selaku gubernur. dalam protap di
2.7.3. Kesiapsiagaan No Lokasi 1 Desa Nglegi, Kec. Patuk, Kab. Gunung Kidul
waktu 29 Mei 2012 19 Juni 2012 09 Juli 2012
2
20 Mei 2012 20 Juni 2012
Desa Terbah , Kec. Patuk, Kab. Gunung
Jenis kegiatan Pembentukan dan Pengembangan Desa Tangguh oleh Masyarakat Bersama BPBD Daerah Istimewa Yogyakarta Pembentukan dan Pengembangan Desa
Hasil 3 X Rambu rambu jalur evakuasi terpasang, FPRB, SOP,, Protap
3X Rambu jalur
Kidul
12 Juli 2012
3
Desa Semoyo , Kec. Patuk, Kab. Gunung Kidul
28 Mei 2012 21 Juni 2012 13 Juli 2012
4
Desa Sidoharjo, Kec. Samigaluh, Kab. Kl. Progo
24 Mei 2012 12 Juni 2012 3 Juli 2012
5
Desa Glagah, Temon Kab. Kulon Progo. Desa Gadingharjo, . Sanden, Gunung Kidul.
28 Mei 2012 11 Juni 2012 02 Juli 2012
6
Desa Ponjong, Kab. G. Kidul.
05 Juni 2012
7
Desa Bunder, Wonosari, Kab. G.Kidul
0 1 Nov 2011
8
Desa Wonolelo, Kec..Pleret, Kabupaten Bantul
Januari 2010
9
Desa Hargotirto, Kec. Kokap, Kab. Kulon
April 2009
Tangguh Oleh Masyarakat bersama BPBD Daerah Istimewa Yogyakarta Pembentukan dan Pengembangan Desa Tangguh oleh Masyarakat, bersama BPBD Daerah Istimewa Yogyakarta Pelatihan, Pembentukan dan Pengembangan Desa Tangguh oleh Masyarakat . bersama BPBD Daerah Istimewa Yogyakarta Pembentukan dan Pengembangan Desa Tangguh oleh Masyarakat bersama BPBD aerah Istimewa Yogyakarta Pelatihan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Pelatihan Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Longsor Rancangan Perdes tentang Rencana Penanggulangan Bencana DesaWonolelo tahun 2010 – 2015. Pembentukan Tim Satgas Penanggulangan
evakuasi terpasang membentuk FPRB, SOP, Protap
3X Membentuk FPRB, SOP, Protap
3x membentuk FPRB, FGD, SOP dan Protap Tsunami
3x membentuk FPRB, FGD, SOP dan Protap Tsunami
1X
1X
Rambu rambu jalur evakuasi terpasang, membentuk FPRB, FGD, SOP dan Protap
Peraturan Desa
Proogo
Bencana Tingkat Desa
2.8.Penilaian Risiko Bencana Menetapkan besarnya resiko yang diperkirakan, dan yang kemampuan antisipasinya di suatu daerah ada 3 unsur yang dinilai : a. Ancaman atau bahaya ( H = Hazard ) b. Kerentanan ( V = Vulnarebility ) c. Kemampuan ( C = Capacity )
Penilaian resiko 1. Setiap jenis ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala tertentu ( 3 – 1 ) a. Bahaya/ancaman tinggi nilainya 3 b. Bahaya/ancaman sedang nilainya 2 c. Bahaya/ancaman rendah nilainya 1 2. a. b. c.
Setiap kerentanan dinilai tingkat kerentanan dengan skala yang sama ( 3 – 1 ) Kerentanan tinggi nilainya 3 Kerentanan sedang nilainya 2 Kerentanan rendah nilainya 1
3. a. b. c.
Sedangkan untuk kemampuan dinilai dengan skala yang berbalikan ( 1 – 3 ) Kemampuan tinggi nilainya 1 Kemampuan sedang nulainya 2 Kemampaun rendah nilainya 3
No
Variabel/jenis
1.
Bahaya a. Frekuensi b. Intensitas c. Dampak d. Keluasan e. Durasi TOTAL Kerentanan a. Fisik b. Sosial c. Ekonomi TOTAL Kemampuan a. Kebijakan b. Kesiapsiagaan c. Partisipasi mas. TOTAL NILAI TOTAL
2.
3.
Tanah longsor
Banjir
Gempa bumi
Erupsi merapi
gunung
tsunami
-
1 2 2
2 3 3 3 1,8 2
2 3 2 3 3,3 3
-
-
2 2 1,31
2 2 1,3 1
2 2 1,3 1
2 2 1,3 1
-
2 1 2
2 1 2
2 1 2
2 1 2
-
1,72 5
1,7 2 5
1,7 2 6
1,7 2 3
BAB III PENUTUP 3.1.Kesimpulan 1) Pelatihan kesiapsiagaan dan kewaspadaan penanggulangan bencana kepada masyarakat setempat membuat warga lebih peduli akan wilayahnya. 2) Pembentukan Desa Tangguh menjadikan warga lebih percaya diri dan mandiri. 3) Adanya Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) oleh masyarakat, menimbah khasanah kebencanaan, sehingga mereka jadi lebih siap dan waspada. 4) Peran warga bersama pamong desa lebih menyatu dalam pembuatan Protap/ SOP Kebencanaan dan lainnya. 5) Untuk menuju Desa Tangguh siaga selalu dan aman seterusnya perlu proses ruang dan waktu. 3.2. Saran 1) Selayaknya peran masyarakat Desa Tangguh dikembangkan dengan program pemasangan alat peringatan dini yang sesuai kebutuhan wilayah. 2) Pengembangan Desa Tangguh harus dilakukan pendampingan yang berkelanjutan bersama BPBD Provinsi atau Kabupaten/ Kota secara berkelanjutan. 3) Seyogyanya diagendakan program simulasi evakuasi yang sesuai kondisi kebencanaan wilayahnya
DAFTAR PUSTAKA http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/34/di-yogyakarta http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t51883.pdf https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://bencanakesehatan.net/images/file/kebijakan%2520bencana.pdf&ved=2ahUKEwjEwfiMk7DaAhXDo 48KHa_JBaoQFjAFegQIAhAB&usg=AOvVaw3Y_Ncu5uXzBdl2CrBQ-Puj https://id.m.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta https://www.google.co.id/url?url=https://www.bappenas.go.id/indeks.php/download_file/vie w/14060/3930/&rct=j&sa=U&ved=2ahUKEwisx9em9K_aAhVML48KHekBBz4QFjAlegQI ARAB&q=kebijakan+bencana+di+yogyakarta&usg=AOvVaw1RRGUMehhnLwEtwmmbFJ -d bnpb_volume3_nomor2_tahun2012.pdf