Lp Status Epileptikus.docx

  • Uploaded by: linda
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Status Epileptikus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,215
  • Pages: 13
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN “STATUS EPILEPTIKUS” DI RUANG HCU RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Pediatrik

Disusun Oleh : Lindasari Dwiputri Oktaviani 180070300111058

PROGRAM PROFESI NERSILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN “STATUS EPILEPTIKUS” Untuk Memenuhi Tugas Individu Pendidikan Profesi Ners Departemen Pediatrik Ruang HCU RSSA Malang

Oleh : Lindasari Dwiputri Oktaviani 180070300111058

Telah diperiksa kelengkapannya pada : Hari

:

Tanggal

:

Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

Perseptor Klinik

( NIP.

Perseptor Akademik

)

( NIP.

)

LAPORAN PENDAHULUAN STATUS EPILEPTIKUS

1. Definisi Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori (Rastiti, 2010) Epilepsi adalah gejala komplek dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku, alam perasaan, sensasi, persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tapi suatu gejala. Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di antar serangan.

2. Etiologi Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu

3. Faktor Resiko Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi, dapat terjadi saat (Andrian, S. 2014)

4. Klasifikasi Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma epilepsi: 1. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik 

Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)



Epilepsi anak dengan paroksimal oksipital

b. Simtomatik Lobus temporalis 

Lobus frontalis



Lobus parietalis



Lobus oksipitalis



Kronik progresif parsialis kontinu

c. Kriptogenik 2. Epilepsi umum a. Idiopatik 

Kejang neonates familial benigna



Kejang neonates benigna



Epilepsi mioklonik benigna pada bayi



Epilepsi absans pada anak (pyknolepsy)



Epilepsi absans pada remaja



Epilepsi mioklonik pada remaja



Epilepsi dengan serangan tonik-klonik saat terjaga

b. Simtomatik a. Etiologi non spesifik 

Ensefalopati mioklonik neonatal



Epilepsi ensefalopati pada bayi



Gejala epilepsi umum lain yang tidak dapat didefinisikan

b. Sindrom spesifik 

Gangguan metabolisme



Malformasi serebral

c. Kriptogenik atau simtomatik 

Sindroma West (spasme bayi)



Sindroma Lennox-Gastaut



Epilepsi dengan kejang mioklonik-astatik



Epilepsi dengan mioklonik absans

3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau generalisata a. Serangan fokal dan umum • Kejang neonatal • Epilepsi mioklonik berat pada bayi b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama gelombang rendah tidur (Sindroma Taissinare) • Sindroma Landau-Kleffner

4. Sindrom khusus Kejang demam Status epileptikus Kejang berkaitan dengan gejala metabolik atau toksik akut

5. Patofisiologi Secara umun epilepsy terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksis, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang merendahkan potensi membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga menifestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak dari pada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatrits setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio, serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensi membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsy fokal yang biasanya simptomatik. Pada epilepsy idiomatic, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan oleh Nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti ini merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan esendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajad kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh Karena sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebih menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Hasil penelitian menujukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kajang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal.

PATHWAY Trauma lahir, cidera kepala, demam, gangguan metabolik, tumor otak

Faktor idiopatik

Kerusakan Neuron

Ketidak seimbangan neurotransmiter

Stabilisasi membran sinaps Depolarisasi Asetikolin (zat eksitatif

Invlux Na ke intraseluler

GABA Zat Inhibitif

Na dalam Intra sel berlebihan G3 polarisasi (hypo/hiper polarisasi

Kerusakan berfikir

Ketidak seimbangan lektrolit G3 Persepsi Sensori

G3b Depolarisasi (ke listrik syaraf

KEJANG

Isolasi Sosial Umum

Parsial Sederhana

Resti Injuri

Komplex

Absen

Mioklonik

Kesadaran

G3 peredaran darah

Reflek menelan

Pen CO

Akumulasi mucus

Permeabilitas kapiler

G3 bersihan jalan nafas inefektif Lidah melemah, dan menutup saluran trakea

Gangguan perfusi jaringan

Tonik Klonik

Atonik

Aktivitas otot Metabolisme

Keb O2

Suhu tubuh/ Hipertermi

Asfiksia Kerusakan Neuron Otak

G3 nervus V, IX, X

6. Manifestasi Klinis Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu : (Andrian, S 2014) a. Kejang parsial Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik. 

Kejang parsial sederhana. Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.



Kejang parsial kompleks. Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

b. Kejang umum Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun. 

Kejang Absans.

Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan

mendadak disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi. 

Kejang Atonik. Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.



Kejang Mioklonik. Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.



Kejang Tonik-Klonik. Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.



Kejang Klonik. Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.



Kejang Tonik. Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan,

7. Pemeriksaan Penunjang a. Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila : 

Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak



Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya



Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan

penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE). b. Neuroimaging Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.

8. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa fan pengobatan psikososial. 1. Pengobatan medikamentosa Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic, mka di samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan: a) Pada

sawan

yang

sangat

jarang

dan

dapat

dihilangkan

factor

pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan. b) Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama. c) Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan. d) Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat. e) Dosis obat disesuaikan secara individual. f)

Evaluasi hasilnya. Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya: 

Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.



Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.



Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.



Faktor emosional sebagai pencetus.



Termasuk intractable epilepsi.

g) Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 – 3 tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya. 2. Pengobatan Psikososial. Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarkat secara normal. 3. Penatalaksanaan status epileptikus a) Lima menit pertama



Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya.



Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.



Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.



Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).

b) Menit ke-6 hingga ke-9 Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena. c) Menit ke-10 hingga ke-20 Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin. d) Menit ke 20 hingga ke-60 Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian. e) Menit setelah 60 menit Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal. 4. Perawatan pasien yang mengalami kejang : a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu

(pasien

yang

mempunyai

aura/penanda

ancaman

kejang

memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi b) Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras. c) Lepaskan pakaian yang ketat

d) Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang. e) Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur. f)

Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.

g) Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini. h) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera i)

Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret

j)

Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adrian, Setiaji. 2014 . Pengaruh Penyuluhan Tentang Epilepsi Anak Eprints. Semarang : Undip.Ac.Id 2. Helen Lewer. 2005. Learning to Care on the Paediatric Ward : terjemahan. Jakarta: EGC. 3. Joane Mc closkey dkk. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). Edisi 5. United States of America : Mosby Elsivier. 4. Judith M. Wilkinson, Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with NIC Intervention and NOC Outcomes, Upper Saddle River, New Jersey, 2005 5. Mansjoer, Arif; dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius. Jakarta: FKUI. 6. Muttaqin, Arif. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: EGC. 7. Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Edisi 4. United States of America : Mosby Elsivier 8. Nanda international. 2012. Diagnosis Keperawatan. Definisi dan Klasifikasi 20122014. Jakarta : EGC.

Related Documents

Lp Status Epileptikus.docx
November 2019 9
Lp Status Epileptikus.docx
December 2019 16
Status
November 2019 53
Status
May 2020 36
Status
June 2020 30
Status
November 2019 47

More Documents from ""