2 Isi Ptsd Scene 1.docx

  • Uploaded by: linda
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 2 Isi Ptsd Scene 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,479
  • Pages: 26
BAB I SKENARIO

Skenario 1 - Sarah Mudah Marah Sarah seorang mahasiswi usia 20 tahun dibawa oleh ibunya datang ke praktek dokter dengan alasan mudah marah saat berpergian dengan mobil.

1

BAB II KATA KUNCI

1.

Mudah marah Marah adalah reaksi emosional akut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi , pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik; dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat

2.

somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan (Fauzia, 2006). Perempuan 20 tahun Dewasa muda (young ) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja yang ditandai dengan pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur kronologis dan mental ege-nya. Berbagai masalah juga muncul dengan bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa peralihan dari ketergantungan kemasa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis (Fauzia, 2006).

2

BAB III PROBLEM

1.

Apa masalah pasien tersebut ?

2.

Bagaimana prinsip anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang bagi pasien tersebut ?

3.

Bagaimana cara diagnosa pasti pada pasien tersebut ?

4.

Bagaimana prinsip penatalaksanaan pada pasien tersebut ?

3

BAB IV PEMBAHASAN

A. Batasan PTSD merupakan gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang. Tiga tipe gajala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama, pengulangan pengalama n trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan denga n trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga , sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu (Fauzia, 2006).

B. Anatomi

4

C. Fisiologi Limbic System Komponen

limbik

hipotalamus,

antara

thalamus,

lain

amigdala,

hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, dorongan

rasa

seks,

haus, pusat

rasa rasa

lapar, senang,

metabolisme dan juga memori jangka panjang. Bagian limbik yang menjadi pusat emosi yang berada di amygdala dan hippocampus berfungsi mengatur emosi manusia dan memori emosi. Amigdala berfungsi dalam pengolahan data sensorik dan ingatan atas emosi. Tubuh akan bereaksi menggunakan amigdala sebagai pusat emosi lebih cepat daripada tubuh menyadari apa yang dilakukannya. Emosi yang ditangkap oleh amigdala akan dirasionalisasikan oleh salah satu komponen dari system limbic yang lain yang dinamakan korteks prefrontal. Ketika amigdala mengontrol emosi, korteks prefrontal mengendalikannya dalam proporsi seimbang. Hippocampus

berfungsi mengubah memori jangka pendek

menjadi lebih permanen dan proses recall memori: memunculkan kembali informasi yang telah disimpan sebelumnya (Liza,2010).

5

D. Patofisiologi Pemahaman mengenai patofisiologi yang mengatur berbagai jalur yang berhubungan dengan respon ekstrim terhadap stress masih kurang. Pemahaman yang ada dari patofisiologi PTSD didasarkan dari fungsi etiologis noradrenergic, serotonergic, cannabinoid endogen dan system opioid maupun axis hipotalamik pituitary-adrenal. 1.

System noradrenergic transporter (NET) Adalah target potensial untuk studi tentang patofisiologi PTSD oleh noradrenalin. NET adalah bagian dari Na+/Cl- neurotransmitter yang memiliki konsentrasi tinggi di locus coeruleus dan kadar yang tidak terlalu tinggi di regio kortikal termasuk korteks frontal, hipokampus, amygdala, thalamus dan korteks cerebellar. NET memiliki hubungan dengan pengaturan dari reuptake dopamine, sehingga disregulasi NET dapat berhubungan dengan gangguan mood dan stress. Bukti preklnik telah mendemosntrasikan bahwa pemaparan stress secara kronik akan menyebabkan disregulasi system adrenoreseptor dan menurunkan kadar NET di lokus coeuruleus. Berkurangnya kadar NET pada pasien PTSD akan menyebabkan gejala depresi dan cemas yang menggambarkan

2.

PTSD (Bailey, et al, 2013). Reseptor serotonergic (5-HT1A, 5-HT1B) System reseptor 5-HT terlibat dalam proses kognisi, emosional dan pengaturan kebiasaan. Percobaan pada hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa system reseptor 5-HT terlibat dalam patofisiologi dari beberapa gangguan psikiatrik, termasuk depresi, alkoholisme dan PTSD. Pengaturan rasa takut dan respon terhadap ancaman telah dihubungkan aktivasi reseptor 5-HT di amygdala. Agonis 5-HT dapat secara selektif menginduksi serangan kecemasan dan ingatan masa lalu

3.

sehubungan dengan trauma di penderita PTSD (Bailey, et al, 2013). Reseptor Endokannabinoid dan cannabinoid CB1 Berbagai bukti telah menyatakan bahwa cannabinoid endogen, anandamid dan 2-arachidonolyflycerol yang banyak berikatan dengan reseptor cannabinoid (CB1 dan CB2), memiliki peranan penting dalam

6

perkembangandan fungsi dari sirkuit PTSD, secara spesifik di respon 4.

terhadap stress (Bailey, et al, 2013). Axis hipotalamik-pituitary-adrenal

(axis

HPA)

dan

corticotropin

releasing factor (CRF) System endogenous cannabinoid dipercaya berhubungan kuat dengan axis HPA, neurosirkuit lain yang terlibat dalam respon stress. Axis HPA adalah system neuroendokrin untuk respon stress yang menghubungkan system saraf pusat ke system endokrin. Axis HPA membantu adapatasi terhadap stress dan mengatur homeostasis tubuh setelah terpapar suatu kejadian yang menantang, tapi juga vital untuk membantu fungsi-fungsi dasar tubuh. CRF adalah molekul signal neuron yang diproduksi oleh sel di hipotalamus untuk merespon terhadap stress fisik

maupun

psikologik.

Peningkatan

CRF

di

hipotalamus

mengakibatkan aktivasi axis HPA yang kemudian meningkatkan kadar kortisol. Dipercaya bahwa peningkatan CRF pasca trauma dapat memunculkan ingtan traumatic dan mempertahankan gejala cemas pada pasien (Bailey, et al, 2013).

E. Jenis – jenis penyakit yang berhubungan 1. Arterial Fibrilasi AF adalah takiaritmia supraventrikular dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi dan akibatnya kontraksi atrium tidak efektif (Alpert, Calkins, dkk, 2014). Gejala yang timbul apabila seseorang memiliki atrial fibrilasi mungkin mengalami palpitasi, dan mungkin benar-benar merasakan "fluttering" jantung yang tidak teratur. Fluttering ini disebabkan oleh sinyal listrik abnormal di atrium yang mencapai ventrikel dan menyebabkannya berdetak terlalu cepat dan dalam pola yang tidak teratur. Beberapa orang mungkin memperhatikan bahwa mereka memiliki denyut nadi yang tidak teratur. Mungkin juga menyebabkan perasaan lelah, lemah, intoleransi latihan, ketidaknyamanan pusing, karena jantung tidak memompa secara efisien. Terkadang hal ini bisa berakibat pingsan atau 7

kolaps. Beberapa orang dengan AF mungkin tidak memperhatikan gejala apapun, bagaimanapun, tetap penting untuk mengobati kondisinya, karena bisa menimbulkan masalah lain (Alpert, Calkins, dkk, 2014). Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis atrial fibrilasi pada pasien didasarkan pada riwayat klinis pasien dan pemeriksaan fisik dan dikonfirmasi oleh EKG, pemantauan irama pada rawat jalan (misalnya telemetri, monitor Holter, event recorders), implant loop recoders, alat pacu jantung atau defibrilator, atau dalam kasus yang jarang terjadi, dengan studi elektrofisiologi. Evaluasi klinis, termasuk studi tambahan yang mungkin diperlukan (Alpert, Calkins, dkk, 2014). 2. Ventrikel Fibrilasi Fibrilasi ventrikel adalah aritmia awal yang paling umum menyebabkan henti jantung dan muncul sebagai ritme yang kacau pada EKG. fibrilasi ventrikel dapat digambarkan sebagai bagian yang berbeda dari ventrikel miokardium yang terdepolarisasi secara kacau satu sama lain, dan pada tingkat yang cepat dan tidak teratur. Aktivitas koordinasi ventrikel dan kontraksi otot berhenti, menghasilkan curah jantung nol, (Ambu). Gejala yang mungkin timbul selama fibrilasi ventrikel, jantung berhenti memompa setelah sekitar 10 detik dan henti jantung secara klinis disertai dengan hilangnya kesadaran. Jika tidak diobati, kematian akan terjadi setelah beberapa menit. Penyebab fibrilasi ventrikel terutama penyakit arteri koroner, yang paling sering terjadi selama beberapa jam pertama setelah infark miokard (primary VF). Fibrilasi ventrikel dapat disebabkan oleh kecelakaan listrik, gangguan elektrolit yang serius, tenggelam, tersedak, hipotermia dan toksisitas obat (digoxin, antidepresan trisiklik, quinidin dan lainnya). Ventrikel fibrilasi yang terjadi jika tidak ada infark miokard biasanya terkait dengan penyakit arteri koroner yang parah dan kemungkinan akan kambuh pada pasien yang masih dapat bertahan. Pasien tersebut memerlukan pemantauan terperinci, termasuk pengujian latihan, angiografi koroner dan elektrofisiologi invasif, (Ambu).

8

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa yaitu dengan elektrokardiogram.

F.

Anamnesis 1.

2. 3.

IDENTITAS - Nama : Nn. Sarah - Umur : 20 tahun - Jenis kelamin : Perempuan - Pekerjaan : Mahasiswi - Status pernikahan : Belum menikah - Alamat : Sidoarjo KELUHAN UTAMA - Mudah marah lebih dari satu bulan RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG - Mudah marah bila bepergian dengan mobil terutama jika dikemudikan dengan kecepatan tinggi. - Keluhan disertai gangguan tidur dan sering terbangun dengan mimpi-mimpi yang terasa nyata. - Ada suatu penghindaran apabila harus bepergian dengan mobil di malam hari disertai hujan. - Stressor tiga bulan yang lalu ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas saat bepergian dengan keluarga pada saat malam hari dalam kondisi

4. 5. 6.

7.

hujan. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU - Pasien tidak pernah sakit fisik sebelumnya RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA - Tidak ada riwayat gangguan psikis maupun fisik dalam keluarganya RIWAYAT SOSIAL - Tidak ada riwayat penyalahgunaan obat-obatan - Saat ini Sarah tinggal dengan ibu dan adik perempuannya - Sarah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri RIWAYAT PENGOBATAN - Tidak sedang dalam pengobatan

G. Pemeriksaan Fisik Penyakit 1. 2. 3.

Keadaan umum Kesadaran Vital sign

: cukup : composmentis : 9

4.

Tekanan darah : 135/90 mmHg Nadi : 115 x/menit Respiratory read : 30 x/menit Suhu tubuh : 37 ℃ Saturasi O₂ : 99% Inspeksi / Palpasi / Perkusi / Auskultasi a. Kepala – leher - Anemia / Icterus / Cyanosis / Dypsneu : -/ - / - / - Pupil isokor, refleks cahaya kanan / kiri (+/+) b. Thorax - Cor : S1 S2 tunggal reguler, takikardi - Pulmo : dalam batas normal, vesikuler, wheezing / ronchi (-/-) c. Abdomen - Dalam batas normal d. Extremitas - Dalam batas normal

H. Pemeriksaan Penunjang Penyakit 1. EKG sinus takikardi 2. TSH dan T4 dalam batas normal 3. Gula darah acak 103 mg/dL 4. Toksikologi Urine negatif

10

BAB V HIPOTESIS AWAL ( DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)

1.

PTSD ( Post Trauma Stress Disorder )

2.

Hipertiroid

3.

Hipoglikemi

11

BAB VI ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

1.

PTSD ( Post Trauma Stress Disorder) Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan berkembangnya serangkaian gejala khas menyusul suatu peristiwa traumatis, termasuk gejala pikiran dan ingatan yang mengganggu (intrusif), penghindaran kenangan akan traumanya, penumpulan emosi, dan sangat sensitif (hyper-arousal) (Jiwo, 2014). Kriteria Diagnostik DSM-IV untuk PTSD 1 a. Stresor traumatik Satu atau banyak peristiwa

yang

membuat

seseorang

mengalami, menyaksikan, atau menghadapi bahaya yang mengancam hidupnya, kematian, luka parah, atau ancaman serius bagi diri sendiri atau orang lain; dan tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut b.

dengan ketakutan, kengerian, atau ketidakberdayaan yang sangat kuat. Mengalami ulang gejalanya (satu atau lebih) Kenangan yang mengganggu; mimpi yang mencemaskan; kilas balik peristiwa trauma; gejala disosiatif; kecemasan psikologis dan fisik

c.

bersamaan dengan kenangan akan peristiwa trauma. Gejala penghindaran dan penumpulan perasaan (tiga atau lebih) Menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan

yang

berhubungan dengan peristiwa trauma; menghindari tempat, situasi, atau orang yang mengingatkan kepada peristiwa itu; tidak mampu mengingat aspek penting peristiwanya; minat yang berkurang; terasing dari orang sekitar; terbatasnya rentang emosi; perasaan bahwa masa depan menjadi d.

lebih pendek. Gejala sensitifitas yang sangat / hyper-arousal (dua atau lebih) Gangguan tidur; konsentrasi yang terganggu; rasa kesal atau ledakan amarah; hypervigilance (kewaspadaan yang berlebih); reaksi

e.

kaget yang berlebihan Gejala berlangsung sedikitnya1 bulan

12

f.

Gejala menyebabkan kecemasan atau gangguan fungsional Spesifikasi: 1) Akut : Gejala berlangsung 1 sampai 3 bulan 2) Kronis : Gejala berlangsung lebih dari 3 bulan (Jiwo, 2014). Awal gejala (onset) yang tertunda gejala dimulai sedikitnya 6 bulan setelah ada stresor

Faktor Resiko : a. b. c. d.

Perempuan Mengalami trauma intens atau trauma jangka lama Memiliki trauma diawal kehidupan Memiliki masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan atau

depresi e. Karena tidak memiliki sistem pendukung yang baik dari keluarga dan teman f. Memiliki kerabat dekat dengan masalah kesehatan mental g. Memiliki kerabat dekat dengan depresi h. Setelah dilecehkan atau disia-siakan sebagai seorang anak. (Jiwo, 2014). Gambaran klinis Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan cemoohan. Pasien juga menggambarkan disosiatif dan serangan panik, ilusi dan halusinasi (APA, 1994). Pemeriksaan Fisik Sering tidak ditemukan adanya kelainan akan tetapi uji kognitif dapat menunjukkan bahwa pasien memiliki penurunan daya memori dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup agresi, kekerasan, kendali impuls yang buruk, depresi (APA, 1994).

Terapi Non farmakologi : Psikoterapi, suatu bentuk dari perawatan (treatment) terhadap masalah-masalah yang dasarnya emosi, meliputi :

13

1) Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah mengidentifikasi pikiranpikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang. 2) Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagai landasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku kita. 3) Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengobati PTSD pada anak periode awal/young children. Pada terapi ini bertujuan untuk memahami trauma anak dan memberikan kebebasan untuk berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional yang dialami (APA, 1994 ; Jiwo, 2014). Farmakologi : a. antipsikotik untuk meredakan kecemasan yang parah dan masalah yang terkait, seperti sulit tidur atau ledakan emosional. b. Antidepresan. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) obat sertraline (Zoloft) dan paroxetine (Paxil) disetujui FDA untuk pengobatan PTSD. c. Prazosin. Jika gejala termasuk insomnia atau mimpi buruk berulang (Jiwo, 2014). 2.

Hipertiroid Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid memproduski hormone tiroid berlebihan. Berbeda dengan hipertiroidisme ada gejala klinis yang disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid di dalam darah. Penyakit Graves merupakan penyabab hipertiroidisme yang tersering. Gejala Klinis Hipertiroid a. Umum : Mudah Lelah, lemah b. Neuropsikiatrik : Gelisah, insomnia, iritabel c. Mata : Mata berair, fotofobia, sensasi benda asing, nyeri, mata menonjol, pandangan ganda, gangguan d.

penglihatan. Kardiovaskular : Berdebar-debar, sesak saat aktivitas, edema, nyeri dada. 14

e. f. g. h. i. j. k.

Respiratorik Gastrointestinal Renal Reproduksi

: Sesak nafas. : Peningkatan motilitas usus, sering buang air besar. : Poliuria, polydipsia. : Gangguan siklus menstruasi, perubahan volume menstruasi, impotensi, ginekomastia. Neuromuskular : Tremor, mudah Lelah, kelemhan otot proksimal, paralisis periodic. Metabolik : Penurunan berat badan, nafsu makan tetap atau meningkat. Dermatologi : Miksedema, lembab, berkeringat, onkilosis.

Pemeriksaan Fisik Hipertiroid. Gejala toksik pada pemeriksaan fisik dapat berupa retrasi atau lag kelopak mata, eksoftalmus, takikardi, fibrilasi atrial, ginekomastia, tremor, kulit yang hangat dan lembap, kelemahan otot, dan myopati proksimal. Pemeriksaan neurologi menunjukkan adanya peningkatan reflex wasting otot dan myopati proksimal yang tidak disertai fasikulasi. Pemeriksaan kelenjar tiroid ditemukan pembesaran difus yang disertai bruit akibat peningkatan vaskularisasi kelenjar tiroid. Pemeriksaan Penunjang Hipertiroid. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat penurunan TSH dan peningkatan FT4. Pemeriksaan radiologi dan EKG dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit penyerta. Pemeriksaan FT3 dilakukan pada kondisi klinis tirotoksikosis namun hasil pemeriksaan FT4 nya normal. Kondisi ini dapat dijumpai pada T3 toksikosis. 3.

Hipoglikemi Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh konsumsi obat yang digunakan untuk mengobati diabetes mellitus atau dengan paparan obat lain, termasuk alkohol. Namun, sejumlah gangguan lainnya, termasuk gagal organ kritis, sepsis dan malnutrisi, defisiensi hormon, tumor non-β-sel, insulinoma, dan keadaan sebelum operasi lambung, dapat menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia paling meyakinkan didokumentasikan oleh triad Whipple: (1) gejala yang konsisten dengan hipoglikemia, (2) konsentrasi glukosa plasma rendah diukur dengan metode yang tepat (bukan monitor glukosa), dan (3) perbaikan gejala setelah kadar glukosa plasma dinaikkan. Batas bawah kadar 15

glukosa plasma puasa biasanya 70 mg / dL (3,9 mmol / L), tetapi kadar glukosa vena yang lebih rendah terjadi secara normal, terlambat setelah makan, selama kehamilan, dan selama puasa yang lama (> 24 jam). Gejala Klinis Hipoglikemi Kekurangan gula darah berpengaruh pada system saraf pusat sehingga menimbulkan gejala yaitu perubahan perilaku, kebingungan, kelelahan, kejang, kehilangan kesadaran, dan jika hipoglikemia parah dan berkepanjangan menyebabkan kematian. Gejala adrenergik seperti palpitasi, tremor, dan kecemasan, serta gejala kolinergik seperti berkeringat, lapar, dan parestesia. Pemeriksaan Fisik Hipoglikemi Tanda umum hipoglikemia meliputi diaphoresis dan pucat. Denyut jantung dan tekanan darah sistolik biasanya meningkat tapi mungkin tidak meningkat pada orang-orang yang sering mengalami episode gejala hipoglikemi. Pemeriksaan Penunjang Hipoglikemi Pemeriksaan Lab. Glukosa Darah : < 70 mg/dL.

BAB VII HIPOTESIS AKHIR (DIAGNOSIS)

Dari beberapa differential diagnosis didapatkan beberapa kesamaan gejala dari pasien pada skenario ini dengan gejala Post Trauma Stress Disorder, sebagai berikut :

Anamnesa

 

PTSD Mudah marah Gelisah dan

 

insomnia Perubahan perilaku Berdebar - debar

Hipertirod  Mudah Lelah  Gelisah dan Insomnia  Pandangan Ganda , gangguan penglihatan

   

Hipoglikemi Perubahan perilaku, Kebingungan Kelelahan, Kejang,

16

 Dada berdebar-debar  Sesak nafas  Tremor, kelemahan otot

Pemeriksaan 

Takikardia

Fisik

 Miksedema  retrasi atau lag kelopak mata  Takikardia  Eksoftalmus  adanya peningkatan

 Kehilangan kesadaran

 Diaphoresis dan pucat  Denyut jantung dan tekanan darah sistolik meningkat

reflex wasting otot dan myopati proksimal yang tidak disertai fasikulasi  Tiroid difus yang disertai bruit akibat peningkatan vaskularisasi kelenjar Pemerikasaa n Penunjang

 EKG sinus takikardi

tiroid  Penurunan TSH

 TSH dan T4 dalam

 Peningkatan FT4

batas normal  Gula darah acak 103 mg/dL  Toksikologi Urine negatif



Glukosa Darah : < 70 mg/dL

 Radiologi dan EKG dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit penyerta  Pemeriksaan FT3 jika FT4 normal

Berdasarkan data diatas, kelompok kami mendapatkan hipotesis akhir yaitu Post Trauma Stress Disorder (PTSD).

17

BAB VIII MEKANISME DIAGNOSIS

ANAMNESA GEJALA KLINIS 1. IDENTITAS - Nama : Nn. Sarah - Umur : 20 tahun - Jenis kelamin : Perempuan - Pekerjaan : Mahasiswi - Status pernikahan: Belum menikah - Alamat : Sidoarjo 2. KELUHAN UTAMA - Mudah marah lebih dari satu bulan 3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG - Mudah marah bila bepergian dengan mobil terutama jika dikemudikan dengan kecepatan tinggi. - Keluhan disertai gangguan tidur dan sering terbangun dengan mimpi-mimpi yang terasa nyata. - Ada suatu penghindaran apabila harus bepergian dengan mobil di malam hari disertai hujan. - Stressor tiga bulan yang lalu ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas saat bepergian dengan keluarga pada saat malam hari dalam kondisi hujan. 4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

18

PEMERIKSAAN FISIK PENYAKIT 1. 2. 3.

4.

Keadaan umum : cukup Kesadaran : composmentis Vital sign : Tekanan darah : 135/90 mmHg Nadi : 115 x/menit Respiratory read : 30 x/menit Suhu tubuh : 37 ℃ Saturasi Oksigen : 99% Inspeksi / Palpasi / Perkusi / Auskultasi a. Kepala – leher - Anemia / Icterus / Cyanosis / Dypsneu : -/ - / - / - Pupil isokor, refleks cahaya kanan / kiri (+/+) b. Thorax - Cor : S1 S2 tunggal reguler, takikardi - Pulmo : dalam batas normal, vesikuler, wheezing / ronchi (-/-) c. Abdomen - Dalam batas normal d. Extremitas - Dalam batas normal 19

PEMERIKSAAN PENUNJANG PENYAKIT 1. EKG sinus takikardi 2. TSH dan T4 dalam batas normal 3. Gula darah acak 103 mg/dL 4. Toksikologi Urine negatif

POST TRAUMA STRESS DISORDER (PTSD) BAB IX STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH Penatalaksanaan Terdapat dua pilihan terapi yang dapat diberikan kepada penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) , yakni terapi psikologi dan pharmakologi . Beberapa terapi psikologi untuk PTSD diantaranya trauma-focused cognitivebehavioural therapy (TFCBT) dan eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), manajemen stres, dan terapi lainnya termasuk terapi suportif, terapi psikodinamik dan hipnoterapi. Sedangkan secara pharmakologi, obat yang dapat diberikan untuk penderita PTSD antara lain golongan selective serontonin reuptake inhibitor (SSRIs), golongan tricyclics dan monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) (Bisson, 2007).

20

Terapi Psikologi Menurut The National Institute for Health and Clinical Excelence (NICE) lini pertama dalam penanganan PTSD adalah trauma-focused cognitivebehavioural therapy (TFCBT) atau eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). 1.

Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT) Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT) ini mencakup pendidikan tentang PTSD, pemantauan gejala-gejala PTSD, manajemen kecemasan, pemaparan terhadap rangsangan yang mengakibatkan kecemasan dalam suasana yang mendukung dan manajemen kemarahan. Pendekatan kognitif-pilaku terutama terapi pemaparan (exposure therapy) efektif untuk PTSD karena kekerasan seksual (Leserman, 2005). Terapi pemaparan ini diantaranya, konfrontasi ketakutan namun situasinya tidak membahayakan yang berkaitan dengan trauma yang dialami misalnya, saat tidur tidak menggunakan penerangan, atau pergi ke tempat ramai. Terapi ini memfasilitasi proses emosional dengan menolong pasien untuk bereaksi dengan sedikit rasa takut terhadap memori atau ingatan tentang peristiwa yang dialami. Terapi ini dapat dikombinasikan dengan cognitiveexposure therapy dan stress-inoculation therapy (penataan kembali kognisi, pelatihan kemampuan coping, dan manajemen stres). Menurut Foa et al kombinasi terapi pemaparan berkepanjangan dan stress inoculation therapy tersebut efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD pada korban pemerkosaan. Penelitian selanjutnya menyatakan terapi-terapi tersebut tidak efektif bila tidak dikombinasikan. Resick et al membandingkan pemaparan berkepanjangan dengan cognitive processing therapy (mengkombimasikan pemaparan dalam bentuk menulis dan membaca tentang trauma dan terapi kognitif) untuk meminimalkan perhatian. Penelitian ini menunjukan kedua terapi tersebut efektif mengurangi gejala PTSD dibandingkan kelompok

2.

kontrol (Leserman, 2005). Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR) Eye Movement Desensitisation and Reprocessing (EMDR) adalah terapi yang menggunakan gerakan bola mata bolak-balik secara volunter untuk mengurangi kecemasan yang berhubungan dengan pikiran yang mengganggu pasien PTSD (Bisson, 2007). 21

Terapi ini difokuskan pada gambaran trauma serta pikiran dan respon afektif negatif yang ditimbulkan oleh trauma. Tujuan terapi ini agar seseorang dapat berpikir dan bersikap lebih positif terhadap trauma yang dialami. EMDR menggunakan stimulasi bilateral berupa gerakan mata saccadic atau rangsangan bolak balik mata lainnya, dilakukan saat keadaan terpapar (fokus terhadap ingatan, emosi dan kognitif yang mengganggu).Tidak diketahui secara pasti komponen gerakan saccadic mata yang bagaimana dari terapi yang mempunyai nilai lebih dalam terapi. Terdapat delapan fase dalam terapi ini, yaitu : a. Fase I assessment, dalam fase ini terapis sudah mendapatkan cerita lengkap mengenai peristiwa yang dialami oleh pasien, pada fase ini b.

digambarkan rencana terapi yang sudah disesuaikan dengan pasien. Fase II persiapan, pasien mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan terapi, metode terapi dijelaskan, terapi ini disesuaikan dengan masingmasing individu sesuai dengan pendidikan dan kondisi psikologisnya,

c.

dalam fase ini disepakati stimulasi bilateral yang digunakan. Fase III penilaian target memori, selama fase ini pasien mengidentifikasi ingatan, kognisi, dan emosi yang akan dirubah. Terapi normalnya focus

d.

terhadap bayangan yang menunjukan ingatan buruk pasien. Fase IV desensitisasi, pasien diminta menanamkan dalam pikirannya tentang gambaran atau bayangan trauma bersamaan dengan kognisi negatifnya. Stimulasi bilateral dimulai sampai semua ingatannya saling terhubung, stimulasi biasanya diberikan melalui gerakan cepat mata pasien yang mengikuti gerakan jari terapis. Gerakan jari dari terapis ada 30 gerakan namun hal ini disesuaikan dengan kondisi pasien. Proses ini dapat diulang sampai proses terapi selesai ataupun sampai pasien sudah tidak merasakan emosi dan respon fisik yang negatif terhadap bayangan

e.

traumanya. Fase V Instalasi, pikiran positif ditanamkan dengan proses stimulasi yang

f.

sama dengan sebelumnya. Fase VI body scan, pasien diminta untuk berkonsentrasi dan mengidentifikasi perasaannya. Jika pasien merasakan perasaan negatif, stimulasi bilateral diulang kembali, namun jika positif stimulasi tersebut digunakan untuk menguatkan perasaannya.

22

g.

Fase VII closure, terapis memuji pasien atas usaha yang dilakukan dan pencapaiannya serta dukungan dan semangat pasien. Penterapi juga

h.

memberikan pelatihan peregangan dengan tahanan. Fase VIII debriefing the experience, pasien diwawancarai dan dijelaskan mengenai efek yang mungkin akan dialami pasien nantinya setelah terapi selesai. (Coetzee, 2005)

Terapi Farmakologi Selain dalam pengobatan untuk pasien Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), intervensi secara pharmakologi dipercaya dapat mencegah terjadinya gangguan tersebut. Berdasarkan level kortisol, pemberian hydrocortisone secara intravena pada korban yang mengalami syok septic di intensif care salah satu rumah sakit di Swiss, menunjukan bahwa dengan pemberian hydrocortisone dapat menurunkan gejala PTSD, namun belum ada penelitian tentang pemberian obat ini pada populasi umum. Study yang kedua tentang pemberian propanolol, hal ini berdasarkan hipotesa adanya gelombang adrenergic pada awal setelah terjadi peristiwa traumatik. Pitman et al berhipotesa bahwa pemberian propanolol 6 jam setelah trauma berhasil mencegah timbulnya gejala PTSD (Bisson, 2007). Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) menggunakan obat-obatan untuk terapi PTSD adalah pilihan ke dua, merupakan terapi alternatif setelah terapi psikologis. NICE merekomendasikan terapi pharmakologi diberikan apabila Trauma-Focused Cognitive-Behavioural Therapy (TFCBT) tidak efektif, kontraindikasi terhadap pasien ataupun karena menolak terapi psikologi. Pilihan golongan obat yang dianggap bisa dipakai untuk pasien PTSD adalah : 1.

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) Jenis obat pertama dari golongan SSRIs adalah paroxetine. Penelitian double blind RCTs tentang paroxetine yang pernah dipublikasikan, menunjukan efek positif dibandingkan plasebo, namun paroxetine tidak direkomendasikan oleh NICE sebagai terapi pilihan pertama untuk PTSD. Efek samping dari obat ini adalah mual, mulut kering, asthenia dan ejakulasi abnormal. Obat kedua adalah sertraline, obat ini dianggap efektif untuk PTSD

23

di Inggris, namun hanya efektif untuk wanita, sedangkan untuk pria tidak. Efek samping dari obat ini dibandingkan plasebo, sertraline secara signifikan meningkatkan insomnia, diare dan mual serta penurunan nafsu makan. 2.

Tricyclics dan Monoamine Oxidase inhibitors Pemberian tricyclics dan golongan MAOIs seperti amitriptyline, imipramine, dan phenelzine, memberikan efek positif, namun efektifitas obatobat tersebut belum diketahui secara pasti di populasi umum (Bisson, 2007).

BAB X PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Cara menyampaikan prognosis kepada pasien / keluarga Prognosis baik apabila pasien dilakukan pengobatan yang baik dan juga ada dukungan baik dari keluarga maupun lingkungan. Mengedukasi pasien bahwa PTSD dapat disembuhkan dengan pengobatan maupun pendekatan dan terbuka dengan dokter agar dokter dapat membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Tanda Untuk Merujuk Pasien Apabila gejala klinis menujukkan keadaan yang semakin berat. Peran Pasien atau Keluarga untuk Penyembuhan Pasien diharap terbuka kepada keluarga maupun masyarakat dan mulai berinteraksi di masyarakat seperti sebelumnya. Dukungan dari keluarga berupa perhatian dan meyakinkan pasien bahwa tidak sendirian dan akan membantu

24

menyelesaikan masalah. Dan juga dukungan sosial seperti teman terdekat maupun di lingkungan tinggal sangat berpengaruh terhadap keadaan pasien. Pencegahan Penyakit Jangan mengingat kejadian traumatic yang dapat membuat stress. Membuka diri dan mendekatkan diri ke lingkungan terdekat seperti keluarga maupun teman dekat. Selalu berfikir bahwa tidak sedirian.

DAFTAR PUSTAKA Fauzia, Yurika dan Weny Lestari. 2006. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban Pelecehan Seksual dan Perkosaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan, Surabaya. Bailey, et al. Recent Progress In Understanding The Patophysiology of Post Traumatic Stress Disorder : Implication for Targeted Pharmacological Treatment. CNS Drugs. 2013 March ; 27(3): 221–232 Liza. 2010. OTAK MANUSIA, NEUROTRANSMITER , DAN STRESS. Dinkes Kab. Cirebon Alpert, J. S., Calkins,H., dkk. 2014. AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the Heart Rhythm Society, (Online), (http://circ.ahajournals.org/content/circulationaha/early/2014/04/10/CIR. 0000000000000041.full.pdf), diakses 25 September 2017. Anonim.Ambu: A Pocket Guide to Common Arrhythmias, (Online), (http://www.ambu.co.uk/Admin/Public/Download.aspx? File=Files/Billeder/MediaDB/Originals/Ambu+EKGguide+forUK.pdf.), diunduh 26 September 2017.

25

Arif, M. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta: Penerbitan Media Aesculapius FKUI. Anthony Fauci, Eugene Braunwald, Dennis Kasper, Stephen Hauser, Dan Longo, J. Jameson, Joseph Loscalzo. 2015. Harrison's Principles of Internal Medicine, 19th Edition, 17th edn., : Mcgraw-hill. Jiwo, Tirto. 2014. Mengenal Gangguan Stress Pasca Trauma 1 Juni 2012, diakses pada tanggal 23 September 2017 pukul 22.24 dalam (http://tirtojiwo.org/wp-content/uploads/2012/06/kuliah-PTSD.pdf) American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders, 4th edition.Washington, DC: American Psychiatric Press. 1994. Leserman J. Sexual Abuse History: Prevalence, Health effects, Mediator, and Psychological Treatment. Psychosomatic Medicine. 2005; 67: 906-915. Bison JI. In-Depth Review Post Traumatic Stress Disorder. Occupational Medicine.2007;57:399-403. Bisson JI, et al. Psychological Treatments for Cronic Post Traumatic Stress Disorder. British Journal of Psychiatry. 2007;190: 97-104 Bisson JI. Pharmacological Treatment of Post Traumatic Stress Disorder. Advances in Psyciatric Treatment. 2007;13:119-126. Coetzee RH, Regel S. Eye Movement Desensitisation and Reprocessing: an update. Advances in Psychiatric Treatment.2005;11:347-354 Solichah, Mutingatu. 2013. Asesment Post Traumatic Stress Disorder pada Perempuan Korban Perkosaan (Acquaintance Rape). Humanitas, Vol. X No. 1. Yogyakarta.

26

Related Documents

Ptsd
November 2019 15
Scene 2
May 2020 13
Ptsd Therapy
April 2020 13
Bronchure-ptsd
June 2020 11
Act 2 Scene Breakdown
June 2020 9

More Documents from ""