BAB II PEMBAHASAN 2.1
DEFINISI
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shafi yang bias terjadi akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami laki-laki dewasa. (Desiartama & Aryana, 2017) Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada tulang femur dapat menimbulkan perdarahan cukup banyak serta mengakibatkan penderita mengalami syok. Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahann otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis. Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari: kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligament dan otot. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dan pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah trankhanter dan bagian bawah dari leher femur.
Gambar 1. Tipe pada Fraktur
3
2.2
ETIOLOGI
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu: a.
Cedera Traumatic Cedera traumatic dapat disebabkan oleh: 1. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang patah secara sepontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. 2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula. 3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b.
Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut: 1. Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif. 2. Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri. Rakhitis:L suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut: 3. Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif. 4. Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
4
5. Rakhitis:L suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat
disebabkan
kegagalan
absorbVitamin
D
yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbs Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah. c.
Secara Spontan Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
2.3
MANIFESTASI KLINIS
a.
Deformitas Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya, perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti: 1. Rotasi pemendekan tulang. 2. Penekanan
tulang. b. Bengkak Edema muncul secara cepat dikarenakan aciran serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan ekstravasasi daerah di jaringan sekitarnya. c.
Echymosis dari perdarahan subcutaneous. Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari ekstavasasi daerah di jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar fraktur. 5
e.
Tenderness/ keempukkan.
f.
Nyeri Dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
g. Kehilangan sensasi Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema. h. Pergerakan abnormal Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang. i.
Shock hipovolemik Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
j.
Krepitasi Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian tulang digerakkan.
k. Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. Paralisis dapat terjadi karena kerusakan syaraf. l.
Gambaran X-Ray menentukan fraktur Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur.
2.4
KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur femur berdasarkan tempat terjadinya antara lain: 1. Fraktur Collum Femur Fraktur Collum femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis. Fraktur leher femur pada anak-anak jarang ditemukan. Fraktur ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki
6
daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering pada usia 11-12 tahun
Gambar 2. Ilustrasi dan gambar radiologis fraktur intrakapsular leher femur. A, Fraktur Impaksi. B, Fraktur Leher Femur tanpa perubhan letak. C, Fraktur Leher Femur dengan perubahan letak. Fraktur terjadi karena jatuh pada derah trokanter, baik karena kecelakaan lalu lintas maupun jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi, seperti terpeleset dikamar mandi ketika panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Kaput femur mendapat aliran darah dari tiga sumber sebagai berikut. a.
Pembuluh darah intramedular di dalam leher femur
b. Pembuluh darah servikal asenden dalam retinakulum kapsul sendi c.
Pembuluh darah dari ligamen yang berputar Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah intramedular dan
pembuluh darah retinakulum selalu mengalami robekan apabila terjadi pergeseran fragmen. Fraktur transervikal adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler dan mempunyai kapasitas yang sangat rendah dalam penyembuhan karena adanya kerusakan pembuluh darah, periosteum yang rapuh, serta hambatan dari cairan sinovial.
7
Lebih dari 1/3 klien fraktur leher femur tidak dapat mengalami union terutama pada fraktur yang bergeser. Komplikasi lebih sering terjadi pada fraktur dengan lokasi lebih ke proksimal. Ini disebabkan oleh vaskularisasi yang jelek, reduksi yang tidak akurat, fiksasi yang tidak adekuat, dan lokasi fraktur adalah intra-artikular. 2.
Fraktur Subtrochanter Femur
Gambar 3. Ilustrasi fraktur Subtrokanter Femur Fraktur subtrokhanter femur ialah di mana garis patahnya berada 5 cm distal dari trokhenter minor. Fraktur jenis ini dibagi dalam beberapa klasifikasi, tetapi yang lebih sederhana dan sudah dipahami adalah klasifikasi fielding dan Magliato, yaitu sebagai berikut. a.
Tipe 1: garis fraktur satu level dengan trokhenter minor.
b. Tipe 2: garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhenter minor. c.
Tipe 3: garis patah berada 2-3 inci di distal dari batas atas trokhenter minor. Manifestasi klinis yang didapatkan, meliputi: keluhan nyeri
lokal, deformitas ( dengan kaki berada dalam posisi rotasi eksternal), pembengkakan paha, krepitasi dan ketidak mampuan dalam melakukan pergerakan paha dan panggul. Pemeriksaan radiografi
8
biasanya didapatkan garis fraktur pada atau di bawah trokhenter minor, bisa bersifat melintang, oblik, atau spiral. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan reduksi terbuka dan rediksi tertutup. Pada intervensi reduksi terbuka dengan viksasi interna menggunakan skrup dan plat untuk mengimobilisasi fragmen tulang yang patah, sedangakan reduksi tertutup dilakukan dengan pemasangan traksi tulang. Pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu dilanjutkan dengan hip gips selama 7 minggu yang merupakan alternatif pelaksanaan pada pasien dengan usia muda. 3.
Fraktur Batang Femur Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu lintas di kota-kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Fraktur batang femur dibagi menjadi: a.
Tertutup Adalah hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis. Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang femur tertutup, umumnya ditemukan beberapa hal berikut. Look Pasien fraktur femur mempunyai komplikasi delayed union, non-union dan malunion. Kondisi yang paling sering didapat di klinik adalah terdapatnya malunion terutama pada pasien fraktur femur yang telah lama dan telah mendapat intervensi dari dukun patah. Pada pemeriksaan look akan didapatkan adanya pemendekan ekstermitas dan akan lebih jelas
9
drajad pemendekan dengan cara mengukur kedua sisi tungkai dari spina iliakake maleolus. Feel Adanya nyeri tekan dan krepitasi pada daerah paha. Move Pemeriksaan yang didapat seperti adanya gangguan atau keterbatasan gerak tungkai. Didapatkan ketidak mampuan menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstermitas bawah dalam melakukan pergerakan. b. Terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu: 1. Derajat I: bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar. 2. Derajat II: lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena benturan dari luar. 3. Derajat III: lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah) Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang terbuka, pada umumnya didapatkan hal berikut ini. Look Terlihat adanya luka terbuka pada baha terbuka pada paha dengan deformitas yang jelas. Kaji beberapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar dan apakah terdapat adanya kerusakan pada arteri yang beresiko akan meningkatkan respons syok hipovolemik. Pada fase awal trauma sering di dapatkan adanya serpihan didalam luka terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang mempunyai indikasi pada resiko tinggi infeksi. Feel Adanya keluhan nyeri tekan dan adanya krepitasi.
10
Meve Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh dilakukan karena akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak di sekitar ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu melakukan pergerakan pada sisi paha yang patah. Penatalaksanaan yang dilakukan hampir sama dengan penatalaksanaan patah tulang panjang lainnya, yaitu sebagai berikut:
Gambar 6. A, Ilustrasi pemasangan traksi skeletal pada fraktur batang femur. B, pemasangan cast brancing setelah terbentuk union. 1.
Terapi konservatif. Traksi kulit merupakan pengobatan sementara
sebelum
dilakukan
terapi
definitif
untuk
mengurangi spasme otot. Traksi tulang berimbang dengan bagian pearson pada sendi lutut. Indikasi traksi terutama adalah fraktur yang bersifat kominutif dan segmental. Traksi ini menggunakan cast bracting yang dipasang setelah terjadi union fraktur secara klinis. 2.
Terapi operatif dengan pemasangan plate dan screw terutama pada fraktur proksimal dan distal femur, mempergunakan K-nail, AO-nail, atau jenis-jenis lain, baik dengan operasi tertutup maupun terbuka. Indikasi K-nail,
11
AO-nail terutama adalah fraktur diafisis, fiksasi eksternal terutama pada fraktursegmental, fraktur kominutif, infected pseudoarthrosis, atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat. 4.
Fraktur Supracondyler Femur
Gambar 4. Ilustrasi jenis Fraktur Suprakondilar Femur. A, Fraktur Tranversal. B, Fraktur Interkondilr. C, Fraktur Kominutif. D, Fraktur Single Condyle. Fraktur suprakondiler fragmen bagian distal selalu menjadi dislokasi ke posterior. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot gastroknemius. Biasanya fraktur suprakondiler ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stres valgus atau varus, dan disertai gaya rotasi.
Manifestasi klinis yang didapatkan berupa pembengkakan pada mulut, deformitas yang jelas dengan pemendekan pada tungkain, nyeri bila fragmen bergerak, dan mempunyai resiko terhadap sindrom kompartemen pada bagian distal. Pada pemeriksaan berjongkok terlihat pasien tidak bisa menjaga kesejajaran. Pemeriksaan radiologis dapat menentukan diagnosis fraktur suprakondiler.
12
Pada fraktur suprakondiler femur biasanya akan dilakukan beberapa penatalaksanaan yaitu: 1.
Traksi berimbang dengan mempergunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, east-bracing dan spikal panggul.
2.
Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka atau adanya pergeseran fraktur yang tidak dapat direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nailphroc dare screw dengan macam-macam tipe yang tersedia.
Gambar 5. Ilustrasi beberapa jenis penatalaksanaan pada klien fraktur suprakondiler femur. 5.
Fraktur Intercondylair Biasanya
fraktur
intercondular
diikuti
oleh
fraktur
supracondular, sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur. 6.
Fraktur Condyler Femur Mekanisme traumanya biasanya merupakan kombinasi dari gaya hiperabduksi dan abduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
13
Manifestasi klinik didapatkan adanya pembengkakan pada lutut, hematrosis, dan deformitas pada ekstermitas bawah. Penderita juga mengeluh adanya nyeri lokal, dan kondisi neurologis-vaskular harus selalu
diperiksa
tentang
adanya
tanda
dan
gejala
sindrom
kompartemen pada bagian distal. Penatalaksanaan dengan reduksi tertutup dengan traksi tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan gips minispika sampai terjadi penyambungan tulang. Reduksi terbuka dan fiksasi interna dilakukan apabila intervensi reduksi tertutup tidak memberikan penyambungan tulang atau keluhan nyeri lokal yang parah. 2.5
PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya terjadi hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut, aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakinatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment.
14
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu: 1. Fase Hematum a.
Dalam waktu 24 jam timbul pedarahan, edema, hematume disekitar fraktur.
b. Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat. 2. Fase Granulasi Jaringan a.
Terjadi 1-5 hari setelah injury.
b. Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis. c.
Hematoma berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase Formasi Callus a. Terjadi 6-10 hari setelah injuri. b. Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus. 4. Fase Ossificasi a.
Mulai pada 2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh.
b. Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah. 5. Fase Consolodasi dan Remodelling Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan osteoclast. 2.7
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto Rontgen a.
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung.
b. Mengetahui tempat dan tipe fraktur. c. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodic. 2. Scan Tulang, Tomography, CT-Scan, MRI Dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. 3. Arteriogram Dilakukan bila dicurigai ada kerusakan vaskuler. 4. CCT Dilakukan bila banyak kerusakan otot.
5. Hitung Darah Lengkap HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma. 6. Kreatinin Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. 7.
Profil Koagulasi Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfuse multiple atau cedera hati.
2.8
PENATALAKSANAAN
Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur, yaitu: a.
Rekognisi (pengenalan) Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnose dan tindakan selanjutnya, mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi/reposisi) Reduksi adalah uasaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
c.
Retensi (imobilisasi) Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips atau fiksator eksterna. Implant logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit
untuk
menstabilisasikan
fragmen
tulang
dengan
memasukkan duat atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada begian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis. d. Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus
segera
dimulai
melakukan
latihan-latihan
untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi. Selain konsep dasar tersebut terdapat beberapa penatalaksanaan fraktur, diantaranya: 1.
Terapi konservatif a.
Proteksi.
b. Imobilisasi saja tanpa reposisi. c.
Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips/traksi.
2. Terapi operatif: ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) a.
Indikasi ORIF: a)
Fraktur yang tidak bias sembuh atau bahaya avaskuler nekrosis tinggi.
b) Fraktuk yang tidak bias direposisi tertutup. c)
Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan.
d) Fraktur yang berdasarkan pengalaman member hasil yang lebih baik dengan operasi. e)
Excisional Arthroplasty.
b. Jenis-jenis pembedahan ortopedi dan indikasinya yang lazim dilakukan: a)
Reduksi terbuka: melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebuh dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah.
b) Fiksasi interna: stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku dan pin logam. c)
Graft tulang: penggantian jaringan tulang graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaikan penyembuhan, untuk
menstabiliasi
atau
mengganti
tulang
yang
berpenyakit. d) Amputasi: penghilangan bagian tubuh. e)
Artroplasti: memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka.
f)
Menisektomi: eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
g) Penggantian sendi: penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintesis. h) Penggantian sendi total: penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan logam atau sintesis. i)
Transfer tendo: pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi.
j)
Fasiotomi: pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau mengurangi kontraktur fasia.
c. Tindakan ORIF meliputi: a)
Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomic menuju tempat yang mengalami fraktur.
b) Fraktur diperiksa dan diteliti. c)
Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka.
d) Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali. e)
Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat ortopedik berupa pin, skrup, plat, dan paku.
d. Keuntungan ORIF: a)
Reduksi akurat.
b) Stabilitas reduksi tinggi. c)
Pemeriksaan struktur neurovaskuler.
d) Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal. e)
Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih cepat.
f)
Rawat inap lebih singkat.
g) Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal. e.
Kerugian ORIF: a)
Kemungkinan terjadi infeksi.
b) Osteomielitis. 3.
Terapi medis a.
Pemberian obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut. c. 2.9
Bedrest, fisioterapi.
KOMPLIKASI
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari Fraktur femur yaitu: a.
Syok Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratum,dkk,2008).
b.
Emboli Lemak Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis,fraktur multiple atau cidera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolaminyang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk 15emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain.Awitan dan gejalanya yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia (Suratun, dkk, 2008).
c.
Sindrom Kompartemen (Volkmann’s Ischemia) Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi olehotot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas (Handoyo, 2010).
d.
Nekrosis Avaskular Tulang Cedera baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskulerini sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).
e.
Atrofi Otot Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran normal. Mengecilnya otottersebut terjadi karena selsel spesifik yaitu sel-sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum, dkk, 2008)
DAFTAR PUSTAKA Brunner, & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (8 ed., Vol. Vol. 2). Jakarta: EGC. Desiartama, A., & Aryana, I. W. (2017). GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN FRAKTUR FEMUR AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS PADA ORANG DEWASA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR TAHUN 2013. E-JURNAL MEDIKA , VOL.6, NO.5. Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran (3 ed.). Jakarta: Medika Aesculapius. Mansjoer, A. (2002). Kapita Selekta Kedokteran (3 ed., Vol. Jilid 1). Jakarta: Medika Aesculapius FKUI. Muttaqin,
A.
(2008).
Buku
Ajar:
ASUHAN
KEPERAWATAN
KLIEN
GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. (P. E. Karyuni, Ed.) Jakarta: EGC. Muttaqin, A. (2011). BUKU SAKU GANGGUAN MUSKULOSKELETAL: APLIKASI PADA PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN. (P. E. Karyuni, & M. Ester, Eds.) Jakarta: EGC. Noor, Z. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal (2 ed.). Jakarta: Salemba Medika. Parahita,
P.
S.,
&
Kurniyanta,
P.
(n.d.).
PENATALAKSANAAN
KEGAWATDARURATAN PADA CEDERA FRAKTUR EKSTREMITAS. Price, S. A., & Wilson, L. M. (1995). Buku 1 Patofisiologi "Konsep Klinis ProsesProses Penyakit" (8 ed.). Jakarta: EGC. Sjamsuhidajat. (2004). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
45