Lp-fraktur Mba Dian.docx

  • Uploaded by: Isti Feronika
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp-fraktur Mba Dian.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,427
  • Pages: 23
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN FRAKTUR

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas praktek profesi Ners:

DISUSUN OLEH : DIAN ARFIYANTI 42010118157

PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON 2019

FRAKTUR

A. Pengertian Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Jamal, 2014). Fraktur femur adalah terputusnya kontiunitas batang femur yang bisa terjadi akibat truma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok Fraktur colum femur adalah fraktur yang terjadi pada colum tulang femur (Anita, 2015). Fraktur kolum femur merupakan fraktur intrakapsular yang terjadi pada bagian proksimal femur. Yang termasuk kolum femur adalah mulai dari bagian distal permukaan kaput femoris sampai dengan bagian proksimal dari intertrokanter (Anita, 2015). Fraktur collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung, yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung, yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Untuk memperbaiki posisi fragmen tulang pada fraktur terbuka yang tidak dapat direposisi tapi sulit dipertahankan dan untuk memberikan hasil yang lebih baik maka perlu dilakukan tindakan operasi ORIF (Open Rreduktion wityh Internal Fixation) (Juanda, 2014). Fraktur juga bisa dibedakan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Jamaludin, 2015).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa definisi fraktur secara umum adalah terputusnya kontiunitas tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa atau kekerasan, bisa dalam keadaan normal atau patologis.

B. Klasifikasi Penampakan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: 1) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan). a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. 2) Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur. a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang 3) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma. a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga. c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. e) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang. 4) Berdasarkan jumlah garis patah.

a) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. c) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. 5) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh. b) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen. 6) Berdasarkan posisi frakur, Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian : a) 1/3 proksimal b) 1/3 medial c) 1/3 distal 7) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang 8) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang

C. Etiologi Berikut ini merupakan beberapa penyebab fraktur, antara lain: a. Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, kontraksi otot ekstrim. b. Kekerasan langsung; Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. c. Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. d. Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan

e. Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh. f. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis. Fraktur patologik yaitu fraktur yang terjadi pada tulang disebabkan oleh melelehnya struktur tulang akibat proses patologik. Proses patologik dapat disebabkan oleh kurangnya zat-zat nutrisi seperti vitamin D, kaslsium, fosfor, ferum. Factor lain yang menyebabkan proses patologik adalah akibat dari proses penyembuhan yang lambat pada penyembuhan fraktur atau dapat terjadi akibat keganasan.

D. Patofisiologi Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan

dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen. Pengobatan dari fraktur tertutup dapat konservatif maupuan operatif. Terapi konservatif meliputi proteksi dengan mitela atau bidai. Sedangkan terapi operatif terdiri dari reposisi terbuka, fiksasi internal, reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna. Pada pemasangan bidai, gips atau traksi maka dilakukan imobolisasi pada bagian yang patah. Imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas tulang agak cepat. Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi dari imobilisasi antara lain: adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka akibat penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagin tubuh diimobilisasi dan mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri. Pada reduksi terbuka fiksasi interna (ORIF) fragmen tulang dipertahankan dengan pin, sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan memungkinkan terjadinya infeksi, pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang sebelumnya tidak mengalami cidera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi. Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan nyeri yang hebat. E PROSES PENYEMBUHAN TULANG Tahapan penyembuhan tulang terdiri dari: inflamasi, proliferasi sel, pembentukan kalus, penulangan kalus (osifikasi), dan remodeling. a) Inflamasi. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cidera kemudian akan diinvasi oleh magrofag (sel darah putih besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. b) Proliferasi Sel.

Setelah kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benangbenang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak sruktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif. c) Tahap Pembentukan Kalus. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis fargmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. d) Tahap Penulangan Kalus (Osifikasi). Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai tiga minggu patah tulang, melalui proses penulangan endokondral. Patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat bulan. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. e) Tahap Menjadi Tulang Dewasa (Remodeling). Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan – bulan sampai bertahun-tahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus – stress fungsional pada tulang. Tulang

kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat daripada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik kompak langsung. Selama pertumbuhan memanjang tulang, maka daerah metafisis mengalami remodeling (pembentukan) dan pada saat yang bersamaan epifisis menjauhi batang tulang secara progresif . Remodelling tulang terjadi sebagai hasil proses antaa deposisi dan reabsorbsi osteoblastik tulang secara bersamaan. Proses remodeling tulang berlangsung sepanjang hidup, dimana pada anak-anak dalam masa pertumbuhan terjadi keseimbangan (balance) yang positif, sedangkan pada orang dewasa terjadi keseimbangan yang negative. Remodelling juga terjadi setelah penyembuhan suatu fraktur.

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan tulang: a. Faktor yang mengganggu penyembuhan fraktur 1) Imobilisasi yang tidak cukup Imobilisasi dalam balutan gips umumnya memenuhi syarat imobilisasi, asalkan persendian proksimal dan distal dari patah tulang turut di imobilisasi. Gerakan minimal pada ujung pecahan patah tulang di tengah otot dan di dalam lingkaran kulit dalam gips, yang misalnya disebabkan oleh latihan ekstremitas yang patah tulang tidak mengganggu, bahkan dapat merangsang perkembangan kalus. Hal ini berlaku nutuk atah tulang yang ditangani gips maupun traksi. 2) Infeksi Infeksi di daerah patah tulang merupakan penyulit berat. Hematom merupakan lingkungan subur untuk kuman patologik yang dapat menyebabkan osteomyelitis di kedua ujung patah tulang, sehingga proses penyembuhan sama sekali tidak dapat berlangsung. 3) Interposisi Interposisi jaringan seperti otot atau tendo antara kedua fragmen patah tulang dapat menjadi halangan perkembangan kalus antara ujung patahan tulang. Penyebab yang lain, karena distraksi yang mungkin disebabkan oleh kelebihan traksi atau karena tonus dan tarikan otot.

4) Gangguan perdarahan setempat Pendarahan jaringan tulang yang mencukupi untuk membentuk tulang baru merupakan syarat mutlak penyatuan fraktur. 5) Trauma local ekstensif 6) Kehilangan tulang 7) Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang 8) Keganasan local 9) Penyakit tulang metabolic (mis; penyalit paget) 10) Radiasi (nekrosis radiasi 11) Nekrosis avaskuler 12) Fraktur intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendala 13) Usia (lansia sembuh lebih lama) 14) Kortikosteroid (menghambat kecepata perbaikan)

b. Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur 1) Imobilisasi fragmen tulang 2) Kontak fragmen tulang maksimal 3) Asupan darah yang memadai 4) Nutrisi yang baik 5) Latihan-pembebanan berat badan untuk tulang panjang 6) Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid kalsitonin, vitamain D, steroid anabolic 7) Potensial listrik pada patahan tulang

G. Pathway Trauma Langsung

Trauma tidak langsung

Kondisi Patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang

Pergeseran fragmen tulang

Perubahan jaringan sekitar

Pergeseran fragmen tulang

Deformitas

Nyeri Akut

Kerusakan fragmen tulang

Spasme otot

Tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari kapiler

Peningkatan tekanan kapiler

Melepaskan katekolamin

Gangguan fungsi ekstrimitas

Pelepasan histamin

Metabolisme asam lemak

Hambatan mobilitas fisik

Protein plasma hilang

Bergabung dengan trombosit

Laserasi kulit

Edema

Penekanan pembuluh darah

Putus vena/ arteri

Perdarahan Kehilangan volume cairan Resiko syok

Kerusakan integritas kulit Resiko infeksi

Emboli

Menyumbat pembuluh darah

Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

H. Tanda dan gejala a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat. c. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm. d. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya. e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera. f.

Peningkatan temperatur lokal

g. Pergerakan abnormal h. Kehilangan fungsi

I. Komplikasi a. Komplikasi Akut 1. Infeksi Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur. 2. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung

dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain. 3. Sindrom Kompartemen Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera. 4. Syok Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.

b. Komplikasi Kronis 1. Mal union Malunion adalah keadaan dimana fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi terdapat deformitas yang terbentuk angulasi, varus / valgus, rotasi, kependekan atau union secara menyilang misalnya pada fraktur radius dan ulna. Pada foto roentgen terdapat penyambungan fraktur tetapi pada posisi yang tidak sesuai dengan keadaan yang normal. Etiologi mal union adalah fraktur tanpa pengobatan, pengobatan yang tidak adekuat, reduksi dan imobilisasi yang tidak baik, pengambilan keputusan serta teknik yang salah pada awal pengobatan, dan osifikasi premature pada lempeng epifisis karena adanya trauma. Gambaran klinis dari malunion antara lain deformitas dengan bentuk yang bervariasi, gangguan fungsi anggota gerak, nyeri dan keterbatasan pergerakan sendi, ditemukan komplikasi seperti paralysis tardi nervus ulnaris , osteoarthritis apabila terjadi pada daerah sendi , dan bursitis atau nekrosis kulit pada tulang yang mengalami deformitas 2. Delayed union Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3 -5 bulan (3 bulan untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah). Pada pemeriksaan radiologist tidak ada gambaran tulang baru pada ujung daerah fraktur, gambaran kista pada ujung – ujung tulang karena

adanya dekalsifikasi tulang, dan gambaran kalus yang kurang disekitar fraktur. Etiologi delayed union sama dengan non union, antara lain vaskularisasi pada ujung – ujung fragmen yang kurang, reduksi yang tidak adekuat, imobilisasi yang tidak adekuat sehingga terjadi gerakan pada kedua fragmen, waktu imobilisasi yang tidak cukup, infeksi, distraksi pada kedua ujung karena adanya traksi yang berlebihan, interposisi jaringan lunak diantara kedua fragmen tulang, terdapat jarak yang cukup besar antara kedua fragmen, destruksi tulang misalnya oleh karena tumor atau osteomielitis (fraktur patologis), disolusi hematoma fraktur oleh jaringan sinovia (fraktur intrakapsuler), kerusakan periosteum yang hebat sewaktu terjadi fraktur atau operasi, fiksasi interna yang tidak sempurna, pengobatan yang salah atau sama sekali tidak dilakukan pengobatan, dan terdapat benda asing diantara kedua fraktur, misalnya pemasangan screw diantara kedua fragmen. Gambaran klinis dari delayed union adalah nyeri anggota gerak pada pergerakan dan waktu berjalan, terdapat pembengkakan, nyeri tekan, terdapat gerakan yang abnormal pada daerah fraktur, dan pertambahan deformitas

3. Non union Disebut nonunion apabila fraktur tidak menyembuh antara 6 – 8 bulan dan tidak didapatkan konsolidasi sehingga didapat pseudoarthrosis (sendi palsu). Pseudoarthrosis dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi sama – sama dengan infeksi disebut infected pseudoarthrosis. Pada pemeriksaan radiologi terdapat gambaran sklerotik pada ujung – ujung tulang, ujung – ujung tulang berbentuk bulat dan halus, hilangnya ruangan meduler pada ujung – ujung tulang , salah satu ujung tulang dapat berbentuk cembung dan sisi lainnya cekung (psedoarthrosis). Etiologi dari non union sama dengan etiologi delayed union dan delayed union yang tidak diobati. Gambaran klinis dari non union adalah nyeri ringan atau sama sekali tidak ada, gerakan abnormal pada daerah fraktur yang membentuk sendi palsu yang disebut pseudoarthrosis, nyeri tekan atau sama sekali tidak ada, pembengkakan bisa

ditemukan dan bisa juga tidak terdapat pembengkakan sama sekali dan ada perabaan ditemukan rongga diantara kedua fragmen. Terdapat dua jenin non union yang terjadi menurut keadaan ujung-ujung fragmen tulang, yaitu: a) Hipertrofik Ujung – ujung tulang bersifat sklerotik dan lebih besar dari normal yang disebut gambaran elephant’s foot. Garis fraktur tampak dengan jelas. Ruangan antar tulang diisi dengan tulang rawan dan jaringan ikat fibrosa. Pada jenis ini vaskularisasinya baik sehingga biasanya hanya diperlukan fiksasi yang rigid tanpa pemasangan bone graft. b) Atrofik (Oligotrofik) Tidak ada tanda – tanda aktivitas seluler pada ujung fraktur. Ujung tulang lebih kecil dan bulat serta osteoporotik dan avaskular. Pada jenis ini disamping dilakukan fiksasi rigid juga diperlukan pemasangan bone graft.

J. Pemeriksaan khusus dan penunjang a. Pemeriksaan Radiologi Sebagai

penunjang,

pemeriksaan

yang

penting

adalah

“pencitraan”

menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/ anterogram menggambarkan arus vaskularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks. b. Pemeriksaan Laboratorium 1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 4) Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), peningkatan Sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma c. Pemeriksaan lain-lain 1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. 2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. 3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. 4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. 5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. 6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

K. Terapi/ Penatalaksanaan Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi : 1. Reduksi, yaitu : restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat diterima. 

Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi anatomis normal.



Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi anatomik normalnya.



Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka.

Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan. Metode reduksi : a. Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan “Manipulasi dan Traksi manual”. Sebelum reduksi dan imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai ketentuan dan bila diperlukan diberi anestesia. Ektremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ektremitas untuk penyembuhan tulang. Rontgen harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar. b. Traksi Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain : 1) Traksi manual Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency 2) Traksi mekanik, ada 2 macam : 

Traksi kulit (skin traction) Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.



Traksi skeletal

Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal. Kegunaan pemasangan traksi antara lain: Mengurangi nyeri akibat spasme otot, memperbaiki & mencegah deformitas, immobilisasi, difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi), mengencangkan pada perlekatannya. Prinsip pemasangan traksi : 

Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik.



Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar reduksi dapat dipertahankan



Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus.



Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol.



Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai. Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman.

c. Reduksi terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, palt, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF: Open Reduction internal Fixation). Merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi pada derah fraktur, kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada tulang yang patah. 2. Immobilisasi 

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.



Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi penyembuhan.



Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat “eksternal” (bebat,

brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan alat-alat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll)

Perkiraan Waktu Imobilisasi yang Dibutuhkan untuk Penyatuan Tulang Fraktur

3. Rehabilitasi 

Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian yang sakit.



Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan isometrik dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktifitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.

L. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita fraktur antara lain: 1. Nyeri Akut 2. Resiko infeksi 3. Kerusakan integritas kulit 4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer 5. Hambatan mobilitas fisik 6. Resiko syok

M. Rencana Keperawatan Rencana asuhan keperawatan pada klien postoperatif ortopedi disusun seperti berikut : 1.

Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan

imobilisasi. Tujuan nyeri berkurang atau hilang dengan Kriteria Hasil : 1. Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang 2. Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan dan ketidaknyamanan. 3. Bergerak dengan lebih nyaman Intervensi : a. Lakukan pengkajian nyeri meliputi skala, intensitas, dan jenis nyeri. R/ Untuk mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan diagnosa selanjutnya. b. Kaji adanya edema, hematom, dan spasme otot. R/ Adanya edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya penyebab nyeri c. Tinggikan ekstremitas yang sakit. R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri. d. Berikan kompres dingin (es). R/ Menurunkan edema dan pembentukan hematom e. Ajarkan klien teknik relaksasi, seperti distraksi, dan imajinasi terpimpin.

R/ Menghilangkan atau mengurangi nyeri secara non farmakologis 2.

Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah. Tujuan tidak terjadi kerusakan / pembengkakan Kriteria hasil : 1.

Klien memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat:

2.

Warna kulit normal dan hangat.

3.

Respons pengisian kapiler normal (crt 3 detik).

Intervensi : a.

Kaji status neurovaskular (misal warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut

nadi, nyeri, edema, parestesi, gerakan). R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya b.

Tinggikan ekstremitas yang sakit.

R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri c.

Balutan yang ketat harus dilonggarkan.

R/ Untuk memperlancar peredaran darah. d.

Anjurkan klien untuk melakukan pengeseran otot, latihan pergelangan kaki,

dan "pemompaan" betis setiap jam untuk memperbaiki peredaran darah. R/ Latihan ringan sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot dan memperlancar peredaran darah

3.

Perubahan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan kehilangan

kemandirian Tujuan pasien mampu melaksanakan tugas secara mandiri Kriteria hasil : 1. Klien memperlihatkan upaya memperbaiki kesehatan. 2. Mengubah posisi sendiri untuk menghilangkan tekanan pada kulit. 3. Menjaga hidrasi yang adekuat. Intervensi : a.

Bantu klien untuk merubah posisi setiap 2 jam.

R/ Untuk mencegah tekanan pada kulit sehingga terhindar pada luka decubitus.

b.

Lakukan perawatan kulit, lakukan pemijatan dan minimalkan tekanan pada

penonjolan tulang. R/ Untuk menjaga kulit tetap elastic dan hidrasi yang baik. c.

Kolaborasi kepada tim gizi; pemberian menu seimbang dan pembatasan susu.

R/ Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan.

4.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan,

prosedur pembedahan, adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips) Tujuan pasien mampu melakukan mobilisasi sesuai terapi yang diberikan Kriteria hasil : 1. Klien memaksimalkan mobilitas dalam batas terapeutik. 2. Menggunakan alat imobilisasi sesuai petunjuk. 3. Mematuhi pembatasan pembebanan sesuai anjuran Intervensi : a.

Bantu klien menggerakkan bagian cedera dengan tetap memberikan sokongan

yang adekuat. R/ Agar dapat membantu mobilitas secara bertahap b.

Ekstremitas ditinggikan dan disokong dengan bantal.

R/ Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri c.

Nyeri dikontrol dengan bidai dan memberikan obat anti-nyeri sebelum

digerakkan. R/ Mengurangi nyeri sebelum latihan mobilitas d.

Ajarkan klien menggunakan alat bantu gerak (tongkat, walker, kursi roda),

dan anjurkan klien untuk latihan. R/ Alat bantu gerak membantu keseimbangan diri untuk latihan mobilisasi 5.

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

Tujuan tidak terjadi infeksi Kriteria hasil : Tidak terjadi Infeksi Intervensi : a.

Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotik

R/ Untuk menentukan antibiotic yang tepat untuk pasien

b.

Pantau tanda-tanda vital

R/ Peningkatan suhu tubuh di atas normal menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi c.

Pantau luka operasi dan cairan yang keluar dari luka

R/ Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukkan adanya tanda infeksi dari luka. d.

Pantau adanya infeksi pada saluran kemih

R/ Retensi urine sering terjadi setelah pembedahan

N. Evaluasi 1.

Nyeri berkurang sampai dengan hilang

2.

Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan perifer

3.

Pemeliharaan kesehatan terjaga dengan baik

4.

Dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri.

5.

Tidak terjadi perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri

DAFTAR PUSTAKA

Herdman, Heather. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition Classification 2012-2016. United State of America: Sheridan Books, Inc. McCloskey, Joanne et al. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). United State of America: Mosby Moorhead, Sue et al. 2015. Nursing Outcome Clasification (NOC). United State of America: Mosby Smeltzer, Suzanna. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner&Suddart edisi 8 Price & Wilson, (2013). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki. Volume 2. Edisi 6. EGC : Jakarta.

Related Documents

Mba
October 2019 61
Mba
May 2020 33
Mba
May 2020 31
Mba
April 2020 34
Mba
April 2020 50
Mba
October 2019 52

More Documents from "DIPAK VINAYAK SHIRBHATE"