1
Life In 1 Oleh : Imron Rosidin 2 Editor : Muhammad Sabil Fadhillah
Taman Sari, 21 Muharram 1430 H.
“Orang hidup dengan tidak hanya dari dan dengan benda-benda, betapapun pentingnya benda-benda itu seperti makanan, minuman, pondok atau orang-orang lain. Orang juga hidup dari makna-makna berbagai benda, kegiatan, dan hubungan dirinya dengan semua itu. Orang senantiasa diliputi kesadaran, pikiran, perasaan, pandangan, khayalan, kenangan, selera dan nilai-nilai pada saat berhubungan dengan dunia di sekitarnya. Semua ini memakai segala sesuatu disekitar kita” 3 Pada tanggal 3 Januari yang lalu saya dan teman-teman Leadership Intermediate Training (LIT) Jawa Barat berkesempatan berbagi pengetahuan dan menggagas pemahaman utuh berkaitan dengan apa, bagaimana dan seperti apa metodologi penelitian sosial (MPS). Praksis dan strategi implementasi seperti apa yang akan dihasilkan oleh MPS untuk menstimulasi dan mengawal agenda-agenda perubahan sosial yang dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia. Esoknya,-terlepas dari terencana atau tidak- teman-teman sepakat berdemonstrasi mengutuk penyerangan Israel terhadap Palestina dan jalur Gaza. Pertama, apa relasi substansif antara MPS yang telah kami gagas pemahaman utuhnya dengan perang yang terjadi?. Maksud saya, kontekstualitas dan teritoritas antara materi MPS dan demonstrasi yang dilakukan oleh teman-teman LIT tidak cukup memiliki relasi orientasi yang sama. Teman-teman LIT tentu saja tidak berencana memahami dan melakukan MPS hanya untuk melakukan demonstrasi, apapun konteksnya. Pun perihal yang menjadi tema pusat demonstrasinya belum benar-benar dikaji berdasar MPS. Kedua, relasi antropologi-geografis diantara kedua tema;peperangan dan demonstrasi, faktanya memang jauh. Bermil-mil jaraknya antara tempat dan kondisi demonstrasi, dengan tempat dan kondisi peperangan. Tentu saja teman-teman yang berdemonstrasi masih memiliki waktu untuk sekedar, misalnya, tertawa kecil di tengah-tengah demonstrasi. Tentu saja hal yang berbeda dengan apa yang terjadi dengan peperangan itu sendiri. Pertanyaan kritisnya, apa yang –sebenarnya- mendorong teman-teman LIT sehingga berdemonstrasi?. Profethic, norm, consiousness, or prestige are reasons?. Ketiga, saya memahami tindakan merupakan salahsatu representasi kondisi. Tindakan demonstrasi dimaksud sepatutnya lahir dari proses –personal maupun komunal- memahami realitas. Dialektika memerlukan dialog menuju pemahaman, pemahaman ditindaklanjuti oleh tindakan, dan tindakan merefleksikan realitas atas tindakan. Saya tidak memiliki keberanian untuk menduga, apakah peperangan merepresentasikan juga realitas yang dialami temanteman LIT. Lagi-lagi, pertanyaan kritisnya, untuk apa teman-teman LIT mengutuk peperangan?. ***
1
Disampaikan kepada teman-teman Advanced Leadership Training Pelajar Islam Indonesia (PII). Cicalengka, 22 Januari 2009. 2 Pekerja Sosial. Greenpeace Indonesia. Supporter ID 4586. 3 Perlawanan dalam kepatuhan. Ariel Heryanto. Mizan, Mei 2001.
2 Tanya besar, apakah lingkungan itu? Ariel Heryanto menunjuk lingkungan sekitar adalah juga perihal makanan, minuman, pondok atau orang-orang lain, makna-makna berbagai benda, kegiatan, hubungan seseorang dengan kesemuanya. Hubungan dan atau keterhubungan seseorang yang dimediasi oleh kesadaran, pikiran, perasaan, pandangan, khayalan, kenangan, selera dan nilai-nilai. 4 Lingkungan sah dikatakan sebagai proses simbiosa manusia bersama pepohonan, binatang dan makhluk hidup lainnya pada ekosistem komunal maupun habitat spesies dalam khasanah biologi. Definisi lingkungan lainnya dapat lebih spesifik jika antropologi digunakan sebagai basis paradigmanya. Tawaran definisi lainnya muncul dari lahirnya ilmu-ilmu terapan seperti halnya planologi, dalam paradigmanya, lingkungan sangat terkait dengan indikasi-indikasi keberadaan (eksisting) sosio-prasarana dasar infrastruktur dan tingkat keterpenuhannya untuk mendukung mobilitas kehidupan manusia. Dan agama tentunya akan memberikan gambaran yang berbeda pula tentang lingkungan, kontekstualitas Illahiah agama akan sangat universal membicarakannya. Ke-indera-an; fungsionalis panca indera manusia banyak memberikan kontribusi bagi terbentuknya definisi lingkungan, sekaligus juga memberikan sumbangan terbanyak terbangunnya pandangan marginal lingkungan. Pemaknaan, penilaian dan persepsi indera manusia secara aktif dan terus menerus menstimulasi kesadaran manusia terhadap apa yang – selanjutnya- disebut lingkungan. Indera pula lah yang selanjutnya di fahami dan sering digunakan sebagai media efektif untuk memaknai dan memotivasi manusia melakukan tindakan terhadap lingkungan. Selanjutnya, lingkungan, sebab ia dijelajahi oleh indera dan ditandaklanjuti oleh sikap, realitas, dianggap cukup mewakili untuk menggambarkan bagaimana dialektika itu terjadi. Proses hubungan dan keterhubungan manusia dengan ‘yang terjadi disekitarnya’, baik dalam khasanah biologi, sosioligi, antropologi, planologi dan pelbagai disiplin ilmu lainnya difahami sebagai realitas sebab indera menjadi media validitas menelusurinya. Agama memberikan pemahaman yang berbeda tentang apa lingkungan dan bagaimana menyikapi lingkungan. Dengan pendekatan Illahiah, agama menggambarkan lingkungan sebagai segala apapun yang Tuhan telah ciptakan dan kuasa absolut Tuhan atas ciptaanNya, termasuk manusia. Lingkungan oleh agama disarankan menjadi media efektif untuk mencerna bentuk-bentuk kepemilikan Tuhan atas segalanya, dan sebab itu manusia memiliki kewajiban tunduk terhadap perintah-perintah Tuhan. Islam memberikan contoh yang paling spesifik dan sempurna bagaimana orientasi dan relasi agama terhadap lingkungan dan manusia terhubung dalam kontekstualitas Illahiah. Salah satunya ialah Firman Allah ”Dan (sebahagian daripada dalil yang tersebut ialah) matahari; ia kelihatan beredar ke tempat yang ditetapkan baginya; itu adalah takdir Tuhan yang Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui. Dan bulan pula kami takdirkan dia beredar melalui beberapa peringkat, sehingga diakhir peredarannya kelihatan kembalinya pula keperingkat awalnya-(berbentuk melengkung) seperti tandan yang kering. (Dengan ketentuan yang demikian), matahari tidak mudah baginya mengejar bulan, dan malam pula tidak dapat mendahului siang; karena tiap-tiap satunya beredar terapung-apung di tempat edarannya masing-masing.” 5
4 5
Ibid., halaman 64. Al Qur’an Surat Yassin 38-40
3 Hanah Arendt, saya fikir, mencoba untuk memecah dikotomi agama dan ilmu dalam memahami lingkungan dan realitas sekaligus pula memcah ambiguitas antara lingkungan dan realitas. “For us, appearance-something that is being seen and heard by others as`well as by ourselves-constitutes reality. Compared with the reality wich comes from being seen and heard, even the greatest forces of intimate life-the passions of the heart, even the tought of the mind, the delights of the senses-lead an uncertain, shadowly, kind of existences unless and untill they are transformed,…..”. 6 Bahwa pemahaman lingkungan seperti halnya pemahaman terhadap realitas tidak melulu menjadikan indera sebagai media penelusurannya. Bahwa lingkungan bukan hanya perihal yang tersentuh oleh jemari, terkecap oleh lidah, terlihat oleh mata, tercium oleh hidung dan terdengar oleh telinga. Lingkungan sebagaimana realitas memerlukan pula kesadaran (conciousness) untuk memahaminya. Apa yang terjadi di lingkungan-sekitar- merupakan bagian integral dari realitas. Artinya, manusia tidak hanya menjalani kehidupan bersama lingkungan. Realitas lingkungan dan hubungannya dengan manusia tidak dapat dihindari oleh manusia untuk juga dapat hidup bersamanya. Kehadiran realitas dalam kehidupan manusia akan variatif bentuknya, ia dapat dikatakan sebagai lingkungan sosial, ia dapat ditemukan dalam fenomena alam, ia dapat dijumpai melalui pendar layar komputer yang terhubung dengan komputer lainnya pada sebuah jejaring internet, dia dapat dinikmati oleh mata melalui film dan media komunikasi lainnya. Singkatnya, realitas merupakan lingkungan yang menyelubungi kehidupan manusia, berproses dengan kehidupan manusia, memberikan dan diberikan pengaruh bagi dan untuk kehidupan manusia, ter-indera atau pun tidak oleh manusia, realitas merepresentasikan semua yang terjadi dalam manusia. Dalam kesempatan ini saya mengajukan tawaran kepada Advanced Leadership Training Pelajar Islam Indonesia untuk, pertama, tidak sekedar memahami lingkungan sebagai realitas, sebab pemahaman parsial terhadap lingkungan dan realitas akan menjadikan tindakan yang parsial untuk keduanya. Bagaimana bisa, nantinya, Pelajar Islam Indonesia melakukan tindakan atas perubahan-perubahan sosial berdasar pemahamannya atas kondisi perihal yang hanya tersentuh oleh jemari, terkecap oleh lidah, terlihat oleh mata, tercium oleh hidung dan terdengar oleh telinga. Pelajar Islam Indonesia niscaya memerlukan lebih dari itu semua untuk melakukan tindakan sosialnya. Kedua, memahami bahwa realitas tidaklah mengangkasa dalam imagi setiap orang. Realitas tidak bersemayam dalam fikiran, ia telah menjadi bagian dari terbentuknya diri dan komunitas manusia. Realitas tidak hadir untuk dibiarkan dalam kehidupan. Realitas menuntut tindakan nyata dalam kehidupan apapun bentuknya. Ketiga, memahami bahwa realitas terus berlangsung mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Bergerak dinamis bahkan mendahului apa yang disebut oleh manusia sebagai realitas merupakan upaya realitas untuk menjaga keutuhan dirinya. Keempat, sebab realitas menuntut tindakan, maka Pelajar Islam Indonesia dengan dimensi ideologi dan profetiknya juga perlu untuk mengambil peranan (tindakan) atas perubahan-perubahan yang telah dilakukan realitas. Stagnasi disemua lini kehidupan berorganisasi Pelajar Islam Indonesia akan terjadi manakala Pelajar Islam Indonesia gagal untuk membuka ruang dialog, berdamai dan hidup bersama realitas.
6
Hannah Arendt. Human Condition. The University of Chicago Press.1985. Halaman 50
4 Menuju matinya realitas 7 ; gagasan tindakan Persoalan realitas adalah sebuah persoalan klasik dalam penjelajahan filsafat, yang telah diperbincangkan sejak era Plato hingga era Heidegger dan Baudrillard. Didalam sejarah filsafat, pandangan bahwa realitas adalah sesuatu yang bersifat materi dan objektif, yang hanya dapat dikenali dan difahami melalui mekanisme intuisi dan indera, membawa pada pandangan materialisme mengenai realitas. Pendapat lain terkait persoalan ini lebih tegas menyatakan “Barat juga hanya menerima perkara yang boleh ditanggap oleh pancaindera semata-mata lalu mereka menafikan perkara ghaib. Setiap neraca dan nilai bersumberkan pancaindera manusia semata-mata. Cara gaya hidup yang diterima adalah yang berasaskan sekularisme. Oleh itu mereka hanya melihat hakikat kehidupan ini daripada satu sudut semata-mata. Mereka tidak dapat menerima kehadiran nilai ruh dan agama. Di sisi mereka antara kedua-dua unsur material dan ruh, sains dan agama tidak boleh dicampur adukkan atau digabung jalin. Sedangkan syariah Islam membawa kesemuanya itu dalam bentuk yang sempurna dan seimbang". 8 Sementara, penjelajahan mengenai kemungkinan adanya realitas lain dibalik yang materi, yang hanya ditangkap lewat kapasitas akal budi (ide, gagasan, Tuhan, esensi) membawa pada pandangan idealisme mengenai realitas. Potret dunia realitas yang dibangun pada era Plato hingga era Heidegger dan Baudrillard, yang dualistik; realitas transenden dan imanen telah menciptakan sebuah ideologisasi realitas, yaitu pandangan tentang realitas sebagai sebuah pilihan biner (either atau or), bila tidak objektif (dalam pengertian subjektif) pasti bukan realitas, dan sebaliknya. Perkembangan sains dan teknologi komunikasi mutakhir telah mempengaruhi berbagai aspek dunia kehidupan sosial, dan telah menimbulkan tantangan serius terhadap berbagai prinsip yang membenntuk masyarakat. Bahkan konsep sosial, sosialitas dan society itu sendiri kini dihadapkan pada kemungkina dekonstruksi. Realitas selalu menampakkan wujudnya dalam cara yang berbeda. Kadang ia hadir seperti dugaan, tetapi sering pula hadir secara tak terduga; kadang ia muncul seperti yang dibayangkan, tapi sering pula muncul tidak seperti yang dibayangkan;kadang ia tampak dalam keberaturan, tetapi sering juga dalam ketidakberaturan; kadang ia refleksi dari rasionalitas, tapi sering pula refleksi dari irrasionalitas. Realitas ibarat sebuah peta geografi yang dinamis, yang tampil dalam kekayaan kontur, permukaan, dataran, retakan atau keping-keping; yang unsurnya selalu berganti, berubah, berpindah atau bertransformasi. Geografi realitas seperti itu adalah geografi yang seakan-akan tanpa gaya gravitasi, tanpa tiang penyangga, dan tanpa bobot, yang menciptakan sebuah dunia yang mengapung (floating world). Ketika dua atau beberapa orang saling berinteraksi secara virtual lewat media tertentu, misalnya lewat teleconfrence atau mailinglist group internet, yang tercipta bukanlah sebuah realitas sosial dengan keterpenuhan lingkungannya, melainkan posrealitas, yaitu realitas sosial dalam wujud media, yang menghubungkan komponen-komponen sosial dalam sebuah relasi jarak jauh. Saat ini lingkungan sebagaimana yang difahami sebagai bagian dari realitas, dapat dibangun bersamaan dengan realitas itu sendiri. Lingkungan dalam konteks apapun, beserta kelengkapan realitasnya telah melebihi apa yang disebut realitas itu sendiri disegala ranah.
7
8
Yasraf Amir Piliang. Postrealitas; Realitas kebudayaan dalam era postmetafisika. Jalasutra. 2004. Dr. Jumaah Amin. Method pemikiran Hassan Al-Banna. “Antara tetap dan berubah”. Siri Tarbiyah. 3 rajab 1419 H.
5 Realitas saat ini merambahi kehidupan sosial manusia dengan keselurahan potensinya untuk melakukan simulasi 9 , manipulasi, proyeksi dan intevensi dalam kehidupan itu sendiri. Realitas yang saat ini ada mungkin saja dibangun atas simulasi-simulasi realitas sebelumnya, hingga ia berada jauh didepan realitas itu sendiri. Industri komunikasi, sebaran media elektronik dan perambahan media informasi yang sampai pada dataran terendah kehidupan manusia telah membentuk realitas itu sendiri. Seseorang dalam kamar berukuran tidak lebih dari 20 meter persegi sanggup berinteraksi dengan ribuan manuisa diluar ruangan. Bahkan stabilitas realitas ekonomi berpengaruh seperti Wall Street dibeberapa kalangan diyakini dikendalikan oleh beberapa pemilik saham dari kamar tidurnya. Gambaran realitas pada abad ini jelas sudah berbeda dengan realitas pada abad-abad sebelumnya. Daya jelajah realitas, setelah ia mengarungi berabad-abad lebih kehidupan manusia, telah membentuk rencana besar realitas selanjutnya bagi manusia. Jejaringnya menembus batasan geografis manapun, menelusup jauh kedalam kehidupan perekonomian, bahkan kemampuan manipulasinya mengakibatkan manusia berkemampuan meninggalkan entitas ruhiah-nya sebagai makhluk Tuhan. Manusia hidup bersamanya, akankah manusia hidup didalamnya. Life in;tindakan “Sejarawan besar Arnold Toynbee, mengatakan bahwa “Anda bisa saja merangkum sejarah masyarakat dan intiusi di dalamnya dalam empat kata: “Nothing fails like succes” (tak ada sesuatu yang gagal seperti keberhasilan). Dengan kata lain, bila Anda menghadapi tantangan dan tanggapan Anda setara dengan tantangannya, itu disebut sukses atau keberhasilan. Tetapi begitu Anda memiliki tantangan baru, tanggapan yang lama, yang dulu membawa ke keberhasilan, tidak akan jalan. Itulah sebabnya dia disebit kegagalan”. 10 Tanpa bermaksud melakukan pendekatan dikotomi-konfrontatif antara masa lalu dan masa depan, apa yang disampaikan Stephen R. Covey patut untuk dicerna sebagai gagasan baru dalam melakukan tindakan-personal maupun komunal. Dalam hal ini tindakan komunal Pelajar Islam Indonesia dalam menyikapi realitas. apa yang telah dialami dan dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia bagi perubahan, pada dasarnya sebuah kontribusi besar bagi perjalanan sejarah makro bangsa ini, atau setidaknya bagi eksistensinya. Namun, realitas, seperti telah digambarkan sebelumnya, memberikan gambaran yang berubah tentang hal kehidupan yang dihadapi oleh Pelajar Islam Indonesia. Era konfrontatif dengan pemerintah adalah masa lalu, era dikotomi pelajar santri dan pelajar sekolahan telah usang, era ke-emas-an Pelajar Islam Indonesia telah berakhir. Mati sudah realitas yang menjadikan Pelajar Islam Indonesia sebagai satu-satunya organisasi pelajar yang memiliki militansi dan dedikasi tinggi yang memiliki kemampuan pengaruh kepada pelajar. Sebab dalam realitas ke-kini-an pelajar dapat bersosialisasi dengan apapun yang memiliki kemampuan mempengaruhinya, betapapun apapun itu tidak nyata.
9
Secara khusus Baudrillad menyebut simulasi sebagai sesuatu yang menduplikasi sesuatu yang lainnya sebagai model rujukannya, tetapi menduplikasi dirinya sendiri (Simulation, Semiotext(e), New York, 1981). Sedangkan Umberto Eco dalam Travel in Hyper-reality, menggunakan istilah-istilah copy, replica, replication, imitation, likeness dan reproduction untuk menindaklanjuti apa yang dihasilkan oleh sebuah simulasi 10 Stephen R. Covey. The 8th Habit. Melampaui efektifitas, menggapai keagungan. Halaman 26 dan 27.
6 Pelajar Islam Indonesia telah dan akan berusaha semaksimal mungkin mengamati budaya populer dengan keseluruhan ‘ekstasi’ gaya hidup pelajar, menjadikan kesemuanya basis tindakan, namun masih berujung pada tindakan-tindakan yang bersifat sporadis dan radikal. 11 Radikalisme selanjutnya oleh Kleden akan mudah mendapat penganut, karena itu muncul harapan bahwa banyak soal akan segera teratasi kalau akar permasalahan dibereskan. Kesulitannya ialah bahwa akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin menjalin. Perihal tindakan Pelajar Islam Indonesia bagi realitas, saya fikir memang seperti itu adanya. Di akhir kesempatan berbagi ini, saya hanya berkeinginanan menegaskan kepada Advanced Leadership Training untuk segera hidup tidak sekedar bersama realitas, namun juga hidup didalam realitas. Pen-indera-an Pelajar Islam Indonesia terhadap realitas, ialah sebuah proses yang tertinggal jauh saat realitas itu sendiri ternyata telah jauh bergerak meninggalkan rigisitas maknanya. Menjaga jarak antara kepentingan ideologis dan realitas yang terjadi saat ini bukanlah tindakan yang tepat untuk melakukan perubahan. Saya fikir apa yang dilakukan oleh teman-teman peserta LIT, berdemonstrasi menentang peperangan yang jauh terjadi bermil-mil jaraknya dengan kontekstualitas yang berbeda dengan apa yang terjadi dengan kondisi berdimensi ke-indonesia-an merupakan bentuk tindakan hidup bersama realitas, belum lagi hidup dalam realitas. Saya fikir aksi demonstrasi teman-teman peserta LIT lebih berdasarkan oleh kepentingan ideologis daripada kepentingan penyikapan terhadap realitas. Itupun sekedar dugaan. Untuk hidup dalam realitas-lingkungan memerlukan upaya yang mungkin sulit untuk dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia, yaitu, menjaga jarak dengan kepentingan ideologinya sebagai basis utama paradigma komunal. John Gardner berkata demikian “kebanyakan organisasi yang sakit-sakitan telah mengembangkan kekuatan fungsional terhadap berbagai kekurangan mereka sendiri. Mereka tidak menderita karena tidak dapat memecahkan masalah mereka, melainkan mereka tidak dapat melihat masalah mereka sendiri.” 12 Bukankah demikian kisahnya organisasi dengan basis paradigma ideologi?. Wallahu a’lam bishawab.
11
Ignas Kleden. Krisis dan radikalisme pelipur lara. Kata "akar" dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan radix dalam bahasa Latin. Jadi, usaha politis dan intelektual untuk menemukan akar persoalan bolehlah dinamakan radikalisme. 12 Ibid. Stephen R. Covey. Halaman 31