Lembaga Pendidikan Komplementer

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lembaga Pendidikan Komplementer as PDF for free.

More details

  • Words: 969
  • Pages: 4
Lembaga pendidikan komplementer Bagikan 02 Mei 2009 jam 15:47 Diunggah melalui Facebook Seluler Mengubah lembaga pendidikan formal sebagaimana yang ada sekarang ini, sekalipun sesungguhnya sangat diperlukan, adalah sangat sulit. Mengubah birokrasi bukan pekerjaan mudah. Diperlukan kesepakatan yang harus dibangun dalam waktu yang lama. Apalagi di masyarakat yang plural seperti ini, perubahan lembaga pendidikan, yang hal itu menyentuh kepentingan dan kebutuhan semua lapisan masyarakat, tidak mudah dilakukan, kalaupun tokh dilakukan memerlukan waktu yang lama, mulai dari tahap menyatukan persepsi terhadap perubahan yang diperlukan itu hingga tingkat teknis operasionalnya.Di tanah air ini seringkali terjadi debat panjang melibatkan kalangan masyarakat luas jika diadakan pembaharuan pendidikan. Lahirnya undang-undang sisdiknas yang lalu, dan akhirakhir ini undang-undang BHP menyita energi yang sedemikian banyak, mulai dari awal hingga undang-undang itu ditetapkan. Bahkan setelah itu pun, masih juga terjadi protes, demo dan upaya-upaya lain secara berkepanjangan agar undang-undang tersebut ditinjau kembali. Fenomena ini menggambarkan bahwa melakukan perubahan, sekalipun diperlukan tidaklah mudah dilakukan.Memang terasa aneh. Masyarakat selalu menuntut dua hal yang kadang kontradiktif yakni kemajuan tetapi tidak boleh melakukan perubahan. Padahal kemajuan hanya bisa diraih jika terjadi perubahan itu. Maju tanpa berubah di mana dan kapan pun tidak akan terlaksana. Kiranya juga sama, bahwa prestasi selalu melewati pintu-pintu tertentu. Tetapi anehnya, kehendak meraih prestasi tidak dibarengi dengan kesediaan memilih jalan menuju pintu prestasi itu. Di kalangan kampus sekalipun, misalnya mereka ingin maju, tetapi dosennya tidak rajin meneliti dan menulis, bahkan bekerja seadanya. Padahal, jalan satu-satunya agar kampusnya maju dan menjadi besar manakala para dosennya rajin meneliti, menulis dan bekerja keras. Karena itulah saya selalu mengatakan, ada fenomena aneh, yakni ingin sesuatu tetapi tidak mau menempuh jalan menuju sesuatu itu.Sudah sekian lama pendidikan di tanah air ini dikatakan belum maju, bahkan masih kalah jika dibandingkan dengan prestasi negara-negara tetangga. Akan tetapi,

anehnya juga tidak pernah ada kemauan mengubah keadaan ini dengan segera. Yang terjadi adalah menunggu dan menunggu. Sudah lama tampak bahwa produk pendidikan yang ada di negeri ini sebagian hanya menambah pengangguran dan kalaupun tokh tertampung di lapangan kerja hanya pada wilayah sederhana, misalnya sebagai buruh kasar, pembantu rumah tangga, TKI atau TKW di luar negeri. Tetapi pemandangan seperti itu juga tidak segera mendapatkan perhatian, lalu timbul keberanian melakukanperubahan secara radikal, misalnya mengubah kurikulum, mendatangkan tenaga ahli, mengirim tenaga guru secara besar-besaran ke negara maju dan seterusnya. Bahkan misalnya, kalau pengiriman tenaga guru ke negara tertentu itu tidak hati-hati, bisa dicurigai dianggap ada maksud-maksud tertentu yang tidak menguntungkan semua pihak.Atas dasar penglihatan seperti itu, terkait peningkatan kualitas pendidikan, adalah bukan menempuh cara mengubah, melainkan melengkapi. Bukan mengganti yang sudah ada tetapi lebih murah dan strategis jika ditempuh dengan cara menyempurnakan. Pengalaman kecil dalam meningkatkan kualitas pendidikan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, adalah menempuh cara itu. Penyelenggaraan pendidikan dengan system sks selama ini, justru menurunkan kualitas hasil yang dicapai. Akan tetapi jika hal ini mau diubah, disesuaikan dengan kondisi obyektif kultur, watak dan perilaku para siswa dan bahkan mahasiswa Indonesia, yang masih perlu dibimbing dan diarahkan secara efektif, maka juga tidak akan mendapatkan respon yang positif. Oleh karena itu, cara yang ditempuh adalah melengkapi system yang sudah ada, yakni dengan melengkapinya dengan lembaga pesantren. Sehingga UIN Maulana Malik Ibrahim Malang adalah merupakan sintesis antara tradisi perguruan tinggi dengan tradisi ma’had. Cara ini ternyata benar, lebih mudah ditempuh daripada melakukan perubahan yang mendasar.Saya melihat bahwa pendidikan di Indonesia sudah sedemikian tampak berwajah terlalu formal dan bahkan terjerumus pada formalitas. Sebagai akibatnya lembaga pendidikan menjadi miskin nuansa, kreativitas, inovasi dan ide-ide pembaharuan yang segar dan justrudiperlukan. Wajah formalitas itu bisa dilihat dalam berbagai hal, misalnya dalam ujian nasional, sertifikasi guru dan dosen, penyetaraan, dan bahkan akan ada program penyetaraan gelar sarjana dengan model tertentu, yang dirumuskan oleh perguruan tinggi ternama. Rasanya sudah luar biasa, di tengah-tengah kemerosotan kualitas pendidikan, masih tega-teganya membikin lagi cara lebih gila lagi, -------sebatas memenuhi tuntutan formalitas,

berupa penyetaraan pendidikan sarjana dengan syarat yang sangat minim. Belum lagi, gejala perkuliahan sabtu minggu, atau kuliah klas jauh yang diselenggarakan dari kota ke kota, sebatas memberikan gelar sarjana, ------tidak tanggung-tanggung S2, kepada orang-orang yang membutuhkannya.Sekali lagi, mengubah atau bahkan mengembalikan system pada jalan yang benar juga tidak mudah. Padahal membiarkan keadaan juga akan beresiko tinggi dan membahayakan generasi. Karena pendidikan selalu menyangkut kehidupan generasi muda masa depan. Memikirkan pendidikan saat ini, saya teringat pendidikan yang dijalankan oleh masyarakat pedesaan pada tahun 1950 an sampai tahun 1970 an. Masyarakat muslim pedesaan ketika itu, sekalipun putra-putrinya sudah masuk sekolah formal, yakni Sekolah Dasar (SD), maka pada sore harinya, dikirim ke lembaga pendidikan madrasah diniyah. Di desa-desa ketika itu, banyak lembaga pendidikan yang bersifatkomplementer, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang diprakarsai oleh masyarakat untuk melengkapi kekurangan yang ada di sekolahformal. Dengan lembaga pendidikan yang bersifat pelengkap itu, maka para siswa berhasil memiliki bekal yang lebih sempurna, yaitu ilmu-ilmu umum yang diperoleh dari lembaga pendidikan formal, yakni SD dan sekaligus pengetahuan agama secara cukup, yang diperoleh dari madrasah diniyah.Berangkat dari pengalaman itu, saya melihat bahwa lembaga pendidikan formal saat ini masih belum berhasil memenuhi kebutuhan para lulusannya. Mereka kadangkala, bukan saja belum siap memasuki lapangan kerja, ------sebagaimana yang diinginkan, bahkan juga belum siap memasuki kehidupan nyata. Formalitas pendidikan itu, di antaranya melahirkasn pengangguran massal. Mengatasi hal tersebut, dan sekaligus menyesuaikan dengan tuntutan zaman sekarang, maka mendesak segera dikembangkan pendidikan yang bersifat komplementer. Cara ini juga sekaligus sebagai upaya menghindari debat yang tidak perlu, tatkala melakukan inovasi pendidikan. Bentuknya, misalnya berupa pendidikan entrepeneourship, dan bagi siapa pun boleh menyelenggarakan asalkan serius dan bertanggung jawab.Pendidikan seperti ini, sifatnya sama dengan pendidikan diniyah sebagaimana dikemukakan dalam contoh di muka.Kiranya, upayaupaya mengatasi berbagai persoalan pendidikan, bagaimana pun harus dilakukan secara terus menerus tanpa henti, baik yang bersifat mendasar atau sebatas menyempurnakan yang sudah ada. Pendidikan entrepeneourship misalnya, kiranya bisa dijadikan sebagai komplemen terhadap lembaga pendidikan formal yang sudah ada, untuk

mengatasi sebagian problem pendidikan, agar kita ke depan tidak dipandang menjadi penyebab terjadinya penderitaan generasi mendatang. Wallahu a’lam.

Related Documents


More Documents from "eni setyarini"