Latar Belakang.docx

  • Uploaded by: amellia
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Latar Belakang.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,919
  • Pages: 17
PROPOSAL PENELITIAN HUBUNGAN TINGKAT RESISTENSI BAKTERI Salmonella Tiphy TERHADAP PENGGUNAAN BEBAS ANTIBIOTIK SPEKTRUM LUAS DI SULAWESI TENGGARA

Proposal Hasil Penelitian

Diusulkan Oleh : Rizky Nur Caesaria (K1A1 13 140)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salmonella

Typhi

(S.

Typhi)

adalah

strain

bakteri

yang

menyebabkan terjadinya demam tipoid. Demam tipoid merupakan penyakit infeksi serius serta merupakan penyakit endemis yang serta menjadi masalah kesehatan global (Holt, et al., 1994 dan Anonimous, 2001). Kejadian seluruh dunia berdasarkan laporan WHO (World Health Organization) yaitu setiap tahunnya diperkirakan terdapat 21 juta kasus dengan 1-4% kasus berakhir dengan kematian (WHO, 2008). Laporan terbaru menyatakan bahwa data insiden pasti dari kasus demam tifoid di Negara-negara berkembang belum diketahui, namun diperkirakan sekitar 22 juta kasus terjadi dengan 216.000 kematian setiap tahunnya yang sebagian besar adalah anak usia sekolah dan dewasa muda. Rata-rata kesakitan dari kasus demam tifoid adalah 10-100/100.000 penduduk (WHO, 2013). Demam tipoid dapat terjadi pada semua umur, terbanyak pada usia 3-19 tahun, sekitar 77 tahun dengan puncak tertinggi pada usia l0-l5 tahun (Simanjuntak,l993). Di Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Data Surveilans Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 mengalami peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk (Widodo,2007). Kejadian demam tifoid di Indonesia tahun 2007 sekitar 358-810/100.000 penduduk, 64% penderitanya berusia 3-19 dengan angka kematian 3,1-10,4% (Hatta dan Ratnawati, 2008). Berdasarkan penemuan kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5% (Supari, 2006).

Khusus di wilayah Sulawesi Tenggara angka kejadian demam tifoid bisa dikatakan cukup tinggi, salah satu Puskesmas yang berada di Sulawesi Tenggara mencatat 573 kasus demam tifoid sepanjang tahun 2013. Sedangkan menurut Riskesda tahun 2007 angka kejadian demam tifoid di Sulawesi Tenggara adalah 1,32% yang menunjukkan angka tersebut cenderung tinggi.

Antibiotik merupakan obat utama yang digunakan banyak orang untuk mengobati penyakit infeksi termasuk demam tifoid. Adapun obatobat anti biotik yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah

kloramfenikol,

tiamfenikol,

kotrimoksazol,

ampisilin

dan

amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, serta golongan fluorokuinolon (Widodo, 2009 dan Kazemifar, 2001). Namun, pemakaian antibiotik dapat menyebabkan masalah resistensi dan munculnya efek yang tidak diinginkan pada obat (Juwono, 2004). WHO melaporkan bahwa resistensi telah berkembang di Mexico dan Vietnam sejak awal 1970-an dan hanya dalam beberapa tahun 75% dari kasus telah benar-benar resisten. Penelitian di India tahun 2001 pada pasien demam tifoid, ditemukannya resistensi S.Typhi pada amoksisilin, kloramfenikol, ampisislin, dan kotrimoksazol (Marhamah, 2010). Penggunaan antibiotik yang irasional akan memberikan dampak negatif, salah satunya adalah meningkatnya kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotic (OZkurt Z, 2005). Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotic digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30%. sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Hadi, 2009). Penjualan antibiotik di dunia diperkirakan dua per tiganya dilakukan tanpa ada peresepan. Hasil penelitian dari studi Antimicrobial Resistence in Indonesia (AMRIN study) tahun 2000 – 2004 menunjukan bahwa terapi antibiotik diberikan tanpa indikasi di RSUP Dr Kariadi Semarang sebanyak

20 – 53% dan antibiotik profilaksis tanpa indikasi sebanyak 43 – 81% (AMRIN, 2004). Dalam penelitian tim AMRIN study juga didapatkan peresepan antibiotik terjadi pada anak dengan prevelansi tinggi yaitu 76%. Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi akibat penggunaan antibiotic tersebut secara bebas tanpa indikasi dan peresepan, menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotic yang juga memerlukan perhatian khusus. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai HUBUNGAN TINGKAT RESISTENSI Salmonella Typhi TERHADAP PENGGUNAAN BEBAS ANTIBIOTIK SPEKTRUM LUAS DI SULAWESI TENGGARA. 1.2 Rumusan Masalah Yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan tingkat resistensi Salmonella Typhi terhadap penggunaan bebas antibiotik spektrum luas di Sulawesi Tenggara? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan tingkat resistensi Salmonella Typhi terhadap penggunaan bebas antibiotic spectrum luas di Sulawesi Tenggara. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui hubungan tingkat resistensi Salmonella Typhi terhadap penggunaan bebas antibiotic spectrum luas di Sulawesi Tenggara secara kuantitatif. 2. Mengetahui hubungan tingkat resistensi Salmonella Typhi terhadap penggunaan bebas antibiotic spectrum luas di Sulawesi Tenggara secara kualitatif. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut: 1. Bidang Pendidikan Dapat digunakan sebagai referensi atau bahan bacaan untuk menambah dan mengembangkan pengetahuan mengenai hubungan

tingkat resistensi Salmonella Typhi terhadap penggunaan bebas antibiotic spectrum luas di Sulawesi Tenggara. 2. Bidang Pelayanan Kesehatan Sebagai sumber data ilmiah untuk mencegah peningkatan resistensi antibiotic terhadap bakteri S.Typhi, dan meningkatkan rasionalitas dalam penggunaan antibiotic tersebut. 3. Bidang Penelitian Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan tingkat resistensi Salmonella Typhi terhadap penggunaan bebas antibiotic spectrum luas di Sulawesi Tenggara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Variabel 3.4.1 Gambaran Umum Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara yang mencakup wilayah daratan (jazirah) dan kepulauan memiliki wilayah seluas kurang lebih 38.140 km2. Sedangkan wilayah perairan (laut) diperkirakan seluas kurang lebih 114.876 km2. Karena wilayah daratan Sultra mempunyai ketinggian umumnya di bawah 1.000 meter dari permukaan laut dan berada di sekitar daerah khatulistiwa maka Provinsi Sulawesi Tenggara beriklim tropis. (Biro Humas Pemprov Sultra, 2009). Secara administratif, Sulawesi Tenggara pada tahun 2012 terdiri atas dua belas wilayah kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Buton, Muna, Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Wakatobi, Bombana, Kolaka Utara, Buton Utara, dan Konawe Utara dengan dua wilayah kota, yaitu Kota Kendari dan Kota Bau-Bau. Kondisi topografi tanah di daerah Provinsi Sulawesi Tenggara umumnya memiliki permukaan yang bergunung-gunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Di antara gunung dan bukit-bukit, terhampar dataran-dataran yang merupakan daerah pertanian dan perkebunan yang subur. Fakta ini membuat Sulawesi Tenggara memiliki keragaman budaya dan adat istiadat dengan karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain, adanya keragaman dalam berbagai aspek tersebut juga akan mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap kesehatan. Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) BPS tahun 2012, jumlah penduduk Sulawesi Tenggara sebesar 2.307.618 jiwa dimana jumlah penduduks daratan lebih besar dibandingkan kepulauan namun kepadatan penduduk wilayah

lebih tinggi dari daratan (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2012). 3.4.2 Salmonella Typhi Klasifikasi bakteri S. typhi adalah sebagai berikut : Kingdom

: Bacteria

Filum

: Proteobacteria

Kelas

: Gamma Proteobacteria

Ordo

: Enterobacteriales

Famili

: Enterobacteriaceae

Genus

: Salmonella

Spesies

: S. typhi Berdasarkan morfologinya, S. typhi merupakan bakteri Gram

negatif dan termasuk enterobacteriaceae (bakteri enterik batang gram negatif) yang bersifat fakultatif anaerob atau aerob, tidak berspora dan intraseluler fakultatif (Madjid, 2003). Bakteri ini tidak berkapsul, mempunyai flagela dan tidak membentuk spora, akan mati pada pemanasan 57 ˚C selama beberapa menit. S. typhi memiliki tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium yaitu antigen O (somatik), antigen H (flagela), dan antigen K (selaput) (Widoyono, 2011). Panjang dari bakteri ini sekitar 3-5 μm dengan lebar 1 μm (Madigan et al., 2012). Karena merupakan Gram negatif, maka struktur dinding selnya tipis (10-15 nm) dan berlapis tiga (multi). Komposisi dinding selnya mengandung lipid tinggi (1122%) yang termasuk membran luar (7-8 nm terdiri dari lipid, protein dan lipopolisakarida), peptidoglikan (2-7 nm) berada di lapisan kaku sebelah dalam antara membran dalam dan luar serta jumlahnya sedikit (sekitar 10% berat kering), dan tidak memiliki asam tekoat (Pelczar dan Chan, 2007). Bakteri ini merupakan bakteri patogen yang mempunyai kemampuan transmisi, perlekatan pada sel inang, invasi sel dan jaringan inang, toksigenisitas dan kemampuan menghindari sistem

imun inang, sehingga sekali masuk ke dalam tubuh, bakteri harus menempel atau melekat pada sel inang, biasanya pada sel epitel (Madjid, 2003). Infeksi merupakan suatu proses pembiakan mikroorganisme seperti bakteri di dalam jaringan tubuh makhluk hidup yang tidak terlihat dengan mata telanjang serta dapat menimbulkan cidera seluler lokal (Setiaji, 2009). Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang 96% disebabkan oleh S. typhi, sisanya disebabkan

oleh

S.

paratyphi.

Kuman

masuk

melalui

makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah lalu mencapai jaringan RES untuk bermultiplikasi (hepar, lien, sumsum tulang). Setelah itu kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain, baik intra dan ekstra intestinal (IDAI, 2009). Para klinisi di beberapa negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal, yang ternyata disebabkan oleh strain S. typhi yang telah resisten terhadap antibakteri yang lazim dipergunakan untuk penatalaksanaan demam tifoid (Widoyono, 2011). Kuman ini menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis demam tifoid. Endotoksin tersebut sifatnya pirogenik dan dapat memperbesar reaksi peradangan dimana kuman ini berkembang biak. Selain itu, merupakan stimulator kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel lekosit di jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator-mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia. Karena basil ini bersifat intraseluler maka hamper semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi (KMK, 2006).

Manifestasi klinis demam tifoid tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh. Masa inkubasi penyakit ini adalah 8-14 hari. Bakteri dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu demam. Jika penderita diobati dengan benar, maka bakteri tidak akan ditemukan pada tinja dan urin pada minggu ke-4 (Widoyono, 2011). Gambaran klinis paling sering ditandai dengan demam tinggi yang bertahan, ketidaknyamanan pada perut, malaise dan sakit kepala. Tanda-tanda klinis yang penting pada pasien rawat inap termasuk hepatomegali (41%), toksisitas (33%), splenomegali (20%), obtundation (2%) dan ileus (1%) (Bhutta, 2006). Perdarahan dari saluran pencernaan dan perforasi terjadi pada 1-3% dari pasien yang tidak diobati. Demam tifoid memiliki potensi untuk menyebabkan komplikasi serius. Berdasarkan laporan rumah sakit menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari pasien mungkin memiliki komplikasi. Berbagai komplikasi yang mungkin terjadi : sistem saraf pusat

(3-55%),

sistem hepatobilier (1-26%), sistem

kardiovaskular (1-5%), sistem paru (1-6%), tulang dan sendi (kurang dari 1%), dan sistem hematologi (jarang) (Huang, 2005). Perforasi usus yang menyebabkan peritonitis dan kematian tetap dilaporkan, meskipun hal ini jarang terjadi. Mirip dengan penyakit enterik dan diare lainnya, demam tifoid ada terutama pada populasi dengan akses tidak memadai terhadap air bersih dan sanitasi dasar yang buruk. Kontrol tifoid secara efektif memerlukan pendekatan komprehensif

yang

menggabungkan tindakan segera, seperti konfirmasi diagnostik yang akurat dan cepat dari infeksi, tepat waktu dalam pengobatan antibiotik, serta solusi jangka panjang yang berkelanjutan seperti menyediakan akses ke layanan air dan sanitasi dasar yang aman. Intervensi lain, seperti pengolahan air rumah tangga, memastikan bahwa makanan ditangani dengan baik, mencuci tangan dengan sabun, dan buang air besar pada jamban mengecilkan mungkin juga

langkah-langkah pengendalian yang efektif (Clasen, 2006 dan 2010). 3.4.3 Antibakteri 3.4.3.1. Pengertian Antibakteri Antibakteri adalah agent kimia yang mampu menginaktivasi bakteri. Inaktivasi bakteri dapat berupa penghambatan pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau bahkan bersifat membunuh bakteri (bakterisid) (Brooks, 2005). Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar

antibakterinya

ditingkatkan

melebihi

KHM

(Ganiswarna, 2007). 3.4.3.2. Cara Kerja Antibakteri Berikut merupakan mekanisme kerja antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri : 1. Menghambat metabolisme sel bakteri. Antibakteri bersaing dengan asam amino benzoat untuk kebutuhan hidup bakteri. Apabila menang bersaing dengan asam amino benzoat untuk keikutsertaan dalam pembuatan asam folat, maka terbentuk analog asam folat yang nonfungsional. Akibatnya, kehidupan bakteri akan terganggu. 2. Merusak dinding sel. Antibakteri menghambat reaksi pertama dan terakhir dalam proses sintesis dinding sel. Kerusakan dinding sel bakteri misalnya karena pemberian

enzim

lisozim

atau

hambatan

pembentukannya yang disebabkan oleh zat antibakteri sehingga tekanan osmotik dalam sel bakteri akan

menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada bakteri yang berbeda dapat menyebabkan sel menjadi lisis. 3. Mengganggu

permeabilitas

membran

Fungsi

sel.

sel

dengan

membran

sel

merusak adalah

mempertahankan bahan-bahan dalam sel serta mengatur aliran keluar masuknya bahan lain. Adanya kerusakan pada membran ini mengakibatkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri (protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain) sehingga dapat mengganggu kelangsungan hidup sel bakteri. 4. Menghambat sintesis protein. Sel bakteri harus mensintesis berbagai protein untuk kehidupannya. Sintesis protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri ribosom terdiri atas dua sub unit (berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30 S dan 50 S). Untuk berfungsi pada sintesis protein, keduanya komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70 S. 5. Menghambat sintesis asam nukleat. Gangguan pada pembentukan atau fungsi-fungsi DNA, RNA dan protein dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel, karena zat-zat tersebut memegang peranan penting dalam proses kehidupan normal sel (Pelczar dan Chan 2007). 3.4.3.3. Penggunaan Antibakteri Yang Tepat Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spectrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan

penggunaan antibiotik lini pertama. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved antibiotics). Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited). Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotic,hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman

penyebab

infeksi,

profil

farmakokinetik

dan

farmakodinamik antibiotic, melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat, Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman, 3.4.3.4. Resistensi Antibakteri Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011): 1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi. 2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik. 3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri. 4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.

5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel. Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik (μg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten. 2.2 Kerangka Konsep Salmonella Typhi   

Antigen O Antigen H Antigen Kapsul (Vi)

Penggunaan antibiotic spectrum luas    

Amoksisilin Ampisilin Kloramfenikol kotrimoksazol

Metode observasional dan cross sectional

Keterangan :

= variabel bebas = variabel terikat

2.3 Kerangka Teori

Penggunaan antibiotic spectrum luas secara bebas    

Infeksi bakteri S.Typhi

Tanpa peresepan Tidak sesuai indikasi Cara pemakaian Waktu pemakaian Mempengaruhi bakteri S.Typhi

Bakteri S.Typhi resistensi terhadap antibiotik

Sulit diobati menggunakan antibiotic bila terjadi infeksi berulang

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan Cross Sectional yaitu pengamatan terhadap hubungan resistensi bakteri Salmonella Typhi terhadap pengunnaa bebas antibiotic spectrum luas di Sulawesi Tenggara 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2.1. Waktu Penelitian Penelitian ini di lakukan pada bulan Juni 2015 sampai dengan bulan September 2015 3.2.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Bahteramas dan Perpustakaan Fakultas Kedokteran Halu Oleo Kendari. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.4.1 Populasi Penelitian Populasi adalah keseluruhan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2010). Populasi pada penelitian ini adalah keseluruhan pasien RSUD Bahteramas yang didiagnosis dengan demam tifoid. 3.4.2 Sampel Penelitian Penentuan ukuran sampel menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh roscoe (1982) yang dikutip oleh Sugiyono (2011:74) dimana ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah 30 sampai dengan 500. Berdasarkan pendapat tersebut, maka ditetapkan sebanyak 50 orang sebagai responden dalam penelitian

ini dalam hal ini pasien RSUD Bahteramas yang terdiagnosis dengan demam tifoid. Metode

pengambilan

sampel

yang digunakan

pada

penelitian ini adalah metode simple random sampling, dimana sampel ditarik secara acak sebanyak 50 orang dari populasi yang telah ditentukan yaitu pasien RSUD Bahteramas yang didiagnosis dengan demam tifoid. 3.4 Kerangka Penelitian

3.5 Instrumen Penelitian Pada penelitian ini digunakan data klinis dari pasien yang didiagnosis dengan demam tifoid di RSUD Bahteramas pada bulan Juni – September 2015 yang diterapi menggunakan antibiotic spectrum luas. Alat-alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: a. Catatan Klinis pasien demam tifoid b.

Program analisis data

c. Data penggunaan antibiotic spectrum luas di Sulawesi Tenggara d. Data sensitivitas bakteri S.Typhi terhadap antibiotic spectrum luas 3.6 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menggunakan info yang tersedia, yaitu pengumpulan data yang dilakukan berdasarkan sumber-sumber atau teori-teori yang tersedia, dan berdasarkan penelitian sebelumnya yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. 2. Observasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati sampel yang telah ditentukan sebelumnya. 3. Wawancara, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian secara langsung kepada subjek/objek penelitian. 3.7 Variabel, Definisi Operasional, dan Indikator Penelitian

3.7.1. Variable Penelitian variabel bebas dalam penelitian ini adalah penggunaan bebas antibiotic spectrum luas di Sulawesi Tenggara sedangkan variabel terikatnya adalah resistensi bakteri Salmonella Typhi terhadap antibiotic. 3.7.2. Definisi Operasional Yang menjadi definisi operasional dari penelitian ini adalah sebgai berikut. 1. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotik adalah

kemampuan

bakteri

untuk

Resistensi

menetralisir

dan

melemahkan daya kerja antibiotic. 2. Antibakteri adalah agent kimia yang mampu menginaktivasi bakteri. Inaktivasi bakteri dapat berupa penghambatan pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau bahkan bersifat membunuh bakteri (bakterisid) 3.8 Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Editing, yaitu menyususn data-data yang diperlukan yang bersumber dari catatan klinis pasien RSUD Bahteramas yang didiagnosis dengan demam tifoid. 2. Analisis, yaitu mengungkapkan data secara objektif yang terjadi dilapangan sesuai dengan variabel yang diteliti. 3. Kuantitatif, yaitu pengolahan data dalam bentuk angka dan diolah menggunakan program statistic.

Related Documents

Latar Belakang
May 2020 45
Latar Belakang.docx
November 2019 17
Latar Belakang.docx
December 2019 29
Latar-belakang.docx
December 2019 20
Latar Belakang.docx
April 2020 14
Latar Belakang.docx
June 2020 9

More Documents from "Shumi Umi"