Latar-belakang.docx

  • Uploaded by: Afrina Fazira
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Latar-belakang.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,064
  • Pages: 15
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah masalah besar yang mengancam indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. AIDS (aquaired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae (Djoerban dan

Djauzi, 2014). Banyak negara-negara miskin yang sangat

dipengaruhi HIV ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang ditimbulkannya. Bagian terbesar orang yang hidup dengan HIV/AIDS adalah orang dewasa yang berada dalam usia kerja dan hampir separuhnya adalah perempuan, yang akhir-akhir ini terinfeksi lebih cepat dari pada laki-laki(WHO, 2005). WHO melaporkan lebih dari 50% tempat tidur rumah sakit di sub-Sahara Afrika ditempati oleh penderita penyakit yang berkaitan dengan HIV/AIDS, walaupun sebagian besar mereka akhirnya dirawat dirumah.United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan jumlah orang hidup dengan HIV pada tahun 2012 sebanyak 35,3 juta orang. Pada tahun yang sama angka kematian AIDS sebesar 1,6 juta orang dan sebanyak 2,3 juta orang baru terinfeksi HIV di tahun 2012 (Putri Uli Saktina, dkk, 2017).

Indonesia pada tahun 2014 terdapat 501.400 kasus HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS sudah terdapat di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Penderita ditemukan terbanyak pada usia produktif, yaitu 15-29 tahun. Adisasmito (2010) mengungkapkan bahwa wanita usia subur biasanya tertular HIV melalui hubungan heteroseksual. Fakta menunjukkan, Papua tidak lagi menjadi provinsi yang memiliki jumlah kasus HIV/AIDS paling banyak, meski untuk prevalansi per penduduk masih yang tertinggi. Jawa Barat (Jabar) jumlah kasus penderita HIV/AIDS menduduki peringkat pertama. Jabar mencapai 3.213 kasus, disusul DKI Jakarta 2.810 kasus, Jawa Timur 2.753 kasus, kemudian keempat Papua dengan 2.605 kasus (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2016). Faktor resiko terinfeksi HIV menurut data statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011 diantaranya Heteroseksual (34,305), Homo-Biseksual (1,366)

yang

dikenal

dengan

LGBT

(lesbian,

gay,

biseksual

dan

transgender/transeksual), IDU (8,462), transfusi darah (130), transmisi perinatal (1,506), dan tak diketahui (9,536). Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari tiga juta laki-laki di Indonesia yang merupakan pelanggan penjaja seks perempuan (kisaran 2.324.660-3.981.180) (Departemen Kesehatan, 2011). Kasus HIV/AIDS menurut data Statistik kasus HIV Indonesia tahun 2011, kasus HIV di Aceh/NAD berjumlah 162 sedangkan AIDS 193 kasus. HIV/AIDS di Indonesia semakin lama semakin meningkat tiap tahunnya termasuk di Aceh. Sepuluh tahun terakhir sejak 2004 hingga Oktober 2014, HIV/AIDS di Aceh mencapai 303 kasus. Dari jumlah tersebut, 94 penderitanya meninggal dunia. Sedangkan kabupaten/kota tertinggi

terjangkitnya virus tersebut adalah Aceh Utara dengan 33 kasus, disusul Aceh Tamiang 32 kasus, Bireuen dan Banda Aceh masing-masing 27 kasus, dan Lhokseumawe 23 kasus.

Kelompok LGBT merupakan bagian dari kelompok populasi kunci, yang dimaksud dengan populasi kunci merujuk pada kelompok-kelomppok kunci penyebar virus HIV/AIDS. Yang termasuk populasi kunci diantaranya Wanita Pekerja Seks Langsung (WPSL), Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung (WPSTL), Pelanggan WPS (Langsung & tidak langsung), Laki-laki Seks Laki-laki (LSL), Homoseks/LGBT, Pelanggan Napza Suntik (Napasun), Waria, Pelanggan Waria, Laki-laki resiko rendah, dan Perempuan resiko rendah (Ariyanti, 2016).

Estimasi dan proyeksi prevalensi HIV dari modul AEM jumlah ODHA menurut populasi berisiko, dimana jumlah ODHA di populasi Pengguna Alat Suntik (Penasun) mengalami penurunan, Sedangkan peningkatan. Modul AEM juga memberikan estimasi dan proyeksi jumlah infeksi HIV baru menurut populasi berisiko, dimana secara signifikan terjadi peningkatan pada populasi laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki yaitu pada tahun 2011 sebesar 13.074 menjadi 28.640 di tahun 2016 jumlah ODHA terjadi pada populasi lainnya termasuk laki-laki risiko rendah dan wanita risiko rendah.

Model matematika dari epidemi HIV di Indonesia (Asian Epidemic Model, 2012) menunjukkan terjadi peningkatan kasus pada kelompok LSL dan wanita umum sedangkan di Papua dan Papua Barat terjadi peningkatan kasus pada populasi umum. LGBT adalah jargon yang dipakai untuk gerakan emansipasi di kalangan non-heteroseksual untuk menunjukkan gabungan dari kalangan minoritas dalam hal seksualitas. LGBT di Indonesia disahkan oleh Mahkamah

Institusi pada tanggal 14 Desember 2017. LGBT dapat menjadi risiko yang sangat besar untuk terjadinya penyakit menular seksual termasuk salah satunya HIV/AIDS. Kebijakan pengendalian HIV-AIDS mengacu pada kebijakan global Getting To Zeros, yaitu: 1. Menurunkan hingga meniadakan infeksi baru HIV;3 2. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS; 3. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA; Beberapa strategi Pemerintah terkait dengan Program Pengendalian HIVAIDS dan IMS, yaitu: 1.

Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat, penawaran tes HIV perlu dilakukan kepada semua pasien yang datang ke layanan kesehatan baik rawat jalan atau rawat inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali. b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan pada ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien IMS, pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS, waria, LSL dan penasun. c. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi epidemi di daerahnya dan melakukan intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring dan evaluasi serta surveilans berkala.

d. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan (FASKES) pemerintah sesuai status epidemi dari tiap kabupaten/kota e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih, maka bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ke tingkat puskemas g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV. h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui layanan IMS dan PTRM 2.

Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta perawatan kronis a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis tetap (KD Fixed Dose Combination-FDC), di dalam satu tablet mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari pada jam yang sama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan tidak lupa menelan obat. b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan apapun stadium klinisnya pada: kelompok populasi kunci, yaitu: pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna napza suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain.

kelompok populasi kunci, yaitu: pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna napza suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain semua orang yang terinfeksi HIV di daerah dengan epidemi meluas a.

Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian kondom konsisten melalui kondom sebagai bagian dari paket pengobatan.

b.

Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV

c.

Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk early infant diagnosis (EID), hingga ke layanan sekunder terdekat untuk meningkatkan jumlah ODHA yang masuk dan tetap dalam perawatan dan pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui sistem rujukan pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.

3.

Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan mentoring klinis yang dilakukan oleh rumah sakit atau FKTP.

4.

Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya terkait layanan tes dan pengobatan HIV-AIDS. Berdasarkan data tersebut, kami berinisiatif untuk menekan angka kejadian

HIV/AIDS akibat perilaku seks termasuk LGBT di Aceh Utara melalui suatu program yaitu “Nikah Massal? Why Not!”.

1.2

Tujuan Program

1.2.1 Tujuan umum Program Nikah Massal? Why Not! ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan menurunkan angka kejadian HIV di Aceh Utara. 1.2.2 Tujuan khusus 1.

Menurunkan angka kejadian HIV akibat perilaku seksual

2.

Menurunkan kasus LGBT

3.

Meningkatkan taraf kesehatan masyarakat yang lebih baik

BAB 2 PROGRAM INOVATIF DALAM KESEHATAN MASYARAKAT 2.1

Nama program

Nama program inovatif yang ingin diusulkan adalah Nikah Massal? Why Not!. 2.2

Deskripsi Program Nikah Massal? Why Not! adalah program yang inovatif untuk

menekan angka kejadian HIV/AIDS akibat perilaku seksual termasuk LGBT di Aceh Utara. Program ini memfasilitasi pasangan-pasangan yang ingin menikah dan hidup sejahtera dengan menjalani pemeriksaan Voluntary Counselling Therapy (VCT) terlebih dahulu untuk menekan dan mengendalikan penderita HIV/AIDS di Aceh Utara. Program ini bekerja sama dengan Puskesmas Geudong, Kantor Urusan Agama (KUA) Aceh Utara, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Lhokseumawe, Kementrian Agama Kota Lhokseumawe, dan Hotel Lido Graha Lhokseumawe. Pada program ini, peserta yang ingin ikut serta wajib mengikuti beberapa persyaratan seperti: 1. Kedua mempelai/salah satunya memiliki KTP Aceh Utara (Berdomisili Aceh Utara) 2. Sudah punya pasangan dan bukan pasangan Nikah Siri 3. Bersedia melakukan pemeriksaan Voluntary Counselling Therapy (VCT) di Puskesmas Dewantara 4. Melengkapi semua persyaratan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) 5. Bersedia untuk setia dengan pasangan

Peserta yang mengikuti program ini akan mendapatkan beberapa fasilitas adalah sebagai berikut: 1. Mahar (seperangkat Alat Salat) 2. Biaya Nikah 3. Resepsi dan seserahan 4. Bingkisan Pengantin 5. Diarak keliling sebagai Syiar 6. Bulan Madu di Hotel Berbintang 7. Hiburan: Nasyid 8. Pelayanan Kehamilan dan Persalinan Pertama Gratis di Puskesmas Dewantara 9. Kursus Calon Pengantin Program ini sangat menekan pada persyaratan setelah menikah yaitu saling setia dengan pasangan dan tidak boleh memiliki hubungan di luar nikah baik lawan jenis maupun sesama jenis. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka dapat dikenakan denda mengembalikan dana 2 kali lipat dari fasilitas yang telah diberikan. Dana dari denda akan digunakan untuk biaya tambahan program selanjutnya. 2.3

Sasaran Sasaran program ini adalah pasangan heteroseksual yang berdomisili aceh

utara yang sudah memiliki KTP dan sudah direstui untuk menikah oleh kedua belah pihak.

2.4

Target Target dari program ini adalah Menurunkan dan mengendalikan angka

kejadian HIV/AIDS akibat perilaku seksual dan LGBT sebesar 10% di Aceh Utara pada 50 pasangan dalam waktu 2 tahun di Aceh Utara.

2.5

Output Output dari program ini adalah menekan dan mengendalikan angka kejadian

LGBT dan HIV/AIDS di Aceh Utara sehingga masyarakat hidup sehat dan sejahtera dengan pasangan heteroseksual.

2.6

Indikator kesehatan Ada 24 indikator kesehatan yang digunakan dalam IPKM dengan nilai

korelasi UHH yang tertinggi. Indikator kesehatan tersebut adalah prevalensi balita gizi buruk dan kurang, prevalensi balita sangat pendek dan pendek, prevalensi balita sangat kurus dan kurus, prevalensi balita gemuk, prevalensi diare, prevalensi pnemonia, prevalensi hipertensi, prevalensi gangguan mental, prevalensi asma, prevalensi penyakit gigi dan mulut, prevalensi disabilitas, prevalensi cedera, prevalensi penyakit sendi, prevalensi ISPA, proporsi perilaku cuci tangan, proporsi merokok tiap hari, akses air bersih, akses sanitasi, cakupan persalinan oleh nakes, cakupan pemeriksaan neonatal-1, cakupan imunisasi lengkap, cakupan penimbangan balita, ratio Dokter/Puskesmas, dan ratio bidan/desa.

2.7

Monitoring dan Evaluasi

2.7.1 Monitoring Monitoring adalah pengawasan kegiatan secara rutin dan menilai pencapaian program terhadap target melalui pengumpulan data mengenai input, proses dan luaran secara reguler dan terus-menerus yang dapat menghasilkan indikatorindikator perkembangan dan pencapaian suatu kegiatan program/proyek terhadap tujuan yang ditetapkan. Program ini akan di monitoring oleh pihak puskesmas dan KUA dalam 6 bulan sekali dengan melibatkan lurah dan masyarakat setempat. 2.7.2 Evaluasi Evaluasi adalah suatu proses untuk membuat penilaian secara sistematik mengenai suatu kebijakan, program, proyek, atau kegiatan berdasarkan informasi dan hasil analisis dibandingkan terhadap relevansi, keefektifan biaya, dan keberhasilannya untuk keperluan pemangku kepentingan. Dalam evaluasi program ini puskesmas melakukan surveilans tentang angka kejadian HIV/AIDS di Aceh Utara dalam setiap 2 tahun setelah acara nikah massal. Program ini berhasil jika angka kejadian HIV/AIDS di Aceh Utara menurun.

BAB 3 PENUTUP Program Menikah Massal? Why Not! ini diharapkan setiap pasangan mampu setia dalam menjalin hubungan agar faktor resiko HIV/AIDS yang salah satunya adalah perilaku seksual termasuk LGBT dapat dihindari sehingga dapat menurunkan angka kejadian HIV/AIDS di Aceh Utara. Kegiatan analisis, sosialisasi, aksi program, dan monitoring evaluasi kiranya dapat dijadikan role program dalam melakukan program ini sehingga sasaran tepat dan output dapat tercapai dengan baik sesuai dengan indikator dan tujuan dari program tersebut.

REFERENSI Adisasmito, W. 2010. Sistem Kesehatan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Akibat Perilaku Berisiko Tertular pada Siswa SLTP. Makara Kesehatan. Vol.13, No.2: 63-68. Aryanti, DN. 2016. Fenomena Globalisasi Terhadap Perkembangan Gerakan LGBT di Indonesia (2011-2016). JOM FISIP. Vol. 5, No. 1: 1-10. Djoerban, Z., Djauizi, S. 2014. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, AW., simadibrata K, M., Setiyohadi, B., Syam, AF (Ed.): Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi VI, pp:549-558.

InternaPublising, Jakarta

Pusat. Jambak, N., Febrina, W., Wahyuni A. 2016. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku Pasien HIV/AIDS. Jurnal Human Care. Vol.1, No.2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi Program Pengendalian HIV dan AIDS. Jakarta. Nurachmah, E., Mustikasari. 2009. Faktor Pencegahan HIV/AIDS. USAID (2014). Being LGBT in Asia: Indonesia Country Report Bangkok. Being Lgbt In Asia: Indonesia country Report A Participatory Review and Analysis ofthe L egal and Social Environment forLesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT) Persons and Civil Society.

World Healh Organization. 2005. Pedoman Bersama ILO/WHO Tentang Pelayangan Kesehatan dan HIV/AIDS. Jakarta: Kantor Perburuhan International. Zeth, AHM., Asdie, AH., Mukti, AG., Mansonden, J. 2010. Perilaku dan Risiko Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 13, No. 4: 201-219.

More Documents from "Afrina Fazira"

Doc3.docx
December 2019 19
Bab 1 Lapkas.docx
November 2019 24
Bab 3 Tinjauan Pustaka.docx
November 2019 23
Malaysia.docx
November 2019 13