Lapsus Vertigo.docx

  • Uploaded by: HendrawanDianAgungWicaksana
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Vertigo.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,687
  • Pages: 12
CENTRAL VERTIGO SYNDROME, A VERTEBROBASILAR STROKE CLINICAL MANIFESTATION IN PEMPHIGUS VULGARIS Case Report

ABSTRACT Background: Pemphigus Vulgaris is an autoimmune, intraepithelial, blistering disease affecting the skin and mucous membranes. Histologically, marked with intraepidermal bullae, produced from achantolysis in suprabasal layer. The management of the disease, the usage of high dose corticosteroid in a long time periode, increases blood fat level, hypertension, hyperglicemia, and obesity. Total cholesterol level and LDL are known as an important risk factor in infarction stroke or hemorrhagic stroke. One of stroke clinical manifestation is Dizziness, which resulted from hemodynamic impairment in brain. It manifests as ‘presyncopal light headedness’, disequillibrium, and vertigo. Vertigo related to hemodynamic impairment in brain, usually was located in vertebrobasilar circulation. Eighty percent from cerebrovascular disease is ischemic stroke and twenty percent involve vertebrobasilar circulation. Aim : To describe a central vertigo case in Pemphigus Vulgaris patient Case Description: 72 year-old female, consulted from Dermato-Venerology Department with chief complain Dizziness, low to moderate intensity, with mild otonomic manifestation, followed with weakness of right extremities, acute onset. Patient was diagnosed Pemphigus Vulgaris since one year ago and has routinely got high dose methyl prednisolone and cyclophosphamide chemotherapy. From examination obtained that she was obese, blood pressure 102/70 mmHg, heart rate 80x/minute, respiratory rate 20x/minute, temperature 36,8o C, and VVS 2. From physical examination was obtained right hemiparese and disequillibrium. Laboratory examination describe a dyslipidemia condition with total cholesterol 215 mg/dl, LDL 175 mg/dl. ASGM and Siriraj stroke score support an infarction stroke. Therapy: aspillet 1x80 mg, flunarizin 1x5 mg, valsartan 1x40 mg, cyclophosphamide injection 500 mg/2 weeks, Mesna injection 100 mg (4 times gifts), ondansetrone injection 1 ampul and diphenhidramin injection 1 ampul (cyclophosphamide premedication), MP injection 125 mg/week, Citirizin 1x10 mg, and Imuran 2x500 mg. After 3 days of treatment, she was discharged with clinical improvement. Conclusion: a Pemphigus Vulgaris patient with vertebrobasilar stroke in this case, shows a clinical improvement after treatment, then patient advised for routine control. Keywords: central vertigo syndrome, vertebrobasilar stroke, pemphigus vulgaris

SINDROMA VERTIGO SENTRAL SEBAGAI MANIFESTASI KLINIS STROKE VERTEBROBASILAR PADA PASIEN PEMFIGUS VULGARIS Laporan Kasus

ABSTRAK Latar Belakang: Pemfigus vulgaris merupakan penyakit bula autoimun yang menyerang kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan bula intraepidermal karena proses akantolisis pada lapisan suprabasal. Penatalaksanaan penyakit ini menggunakan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka waktu lama yang dapat berefek terhadap peningkatan kadar lemak darah, hipertensi, hiperglikemia, dan obesitas. Kadar total kolesterol dan LDL merupakan faktor resiko yang penting untuk terjadinya stroke baik stroke infark maupun perdarahan. Salah satu tampilan klinis dari stroke adalah Dizziness, yang dapat disebabkan karena gangguan peredaran darah otak. Keluhan ini dapat berupa “presyncopal light headedness”, disequilibrium, dan vertigo. Setiap ada vertigo yang dihubungkan dengan gangguan peredaran darah otak maka lokasinya adalah daerah sirkulasi vertebrobasiler. Delapan puluh persen dari penyakit serebrovasculer adalah stroke iskemia, 20 persennya melibatkan sirkulasi vertebrobasiler. Tujuan : Deskripsi kasus sindroma vertigo sentral pada Pasien Pemfigus Vulgaris Deskripsi Kasus: Perempuan 72 tahun, dikonsulkan dari bagian kulit karena keluhan pusing nggliyer, intensitas ringan-sedang, disertai gejala otonom ringan, diikuti kelemahan anggota gerak kanan onset akut. Pasien adalah penderita Pemfigus vulgaris, tegak sejak 1 tahun yang lalu, rutin mendapat terapi methyl prednisolon dosis tinggi dan obat kemoterapi cyclofosfamide. Pada pemeriksaan didapatkan status gizi obesitas, tekanan darah 102/70 mmHg, nadi 80x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu 36,8o C, dan skala VVS 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan hemiparese dextra dan disequilibrium. Hasil pemeriksaan laboratorium menggambarkan kondisi dislipidemia dengan nilai Kolesterol 215 mg/dl, LDL 175 mg/dl. ASGM dan Siriraj stroke score mengarah pada lesi infark. Terapi: aspillet 1x80 mg, flunarizin 1x5 mg, valsartan 1x40 mg, Inj siklofosfamide 500 mg/2 minggu, Inj Mesna 100 mg (4 kali pemberian), Inj ondansetrone 1 ampul dan inj diphenhidramin 1 ampul (premedikasi siklofosfamide), Inj MP 125 mg/minggu, Citirizin 1x10 mg, dan Imuran 2x500 mg. Setelah perawatan 3 hari, pasien pulang dengan perbaikan klinis. Kesimpulan: pasien Pemfigus Vulgaris dengan stroke vertebrobasiler pada kasus ini menunjukkan perbaikan klinis setelah perawatan, selanjutnya pasien disarankan melakukan kontrol rutin. Kata Kunci : sindroma vertigo sentral, stroke vertebrobasiler, pemfigus vulgaris

I. LATAR BELAKANG Pemfigus vulgaris merupakan penyakit bula autoimun yang menyerang kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan bula intraepidermal karena proses akantolisis pada lapisan suprabasal. Prevalensi pemfigus vulgaris 1-4 kasus per 100.000, dengan insidens 0,5-4 kasus per 1 juta orang per tahun; kejadian tertinggi di dunia terdapat di Amerika serikat dan Eropa. Dapat terjadi di seluruh kelompok usia, umumnya kelompok usia 50-60 tahun, sama antara pria dan wanita, dan diketahui berhubungan dengan human leucocyte antigen (HLA) DR4 dan DR6.1 Salah satu terapi medikamentosa pada penatalaksanaan penyakit ini adalah kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka waktu lama. Hal ini tentunya meningkatkan resiko efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid. Salah satu efek samping glukokortikoid pada sistem endokrin dan metabolik yaitu peningkatan kadar lemak darah.2 Kadar total kolesterol dan LDL merupakan faktor resiko yang penting untuk terjadinya stroke baik stroke infark maupun perdarahan.3 Sebuah studi menunjukkan bahwa hiperlipidemiia pada pasien dengan terapi glukokortikoid dapat disebabkan oleh efek glukokortikoid yang menekan pelepasan ACTH. Pada studi ini, pemberian ACTH 3 minggu pada 9 pasien hiperlipidemia dengan penyakit ginjal yang mendapatkan terapi glukokortikoid, mengalami penurunan kadar trigliserida, kolesterol total, dan LDL serum 2050% dan didapatkan peningkatan kadar HDL serum sebanyak 10-25%. Disamping itu penggunaan glukokortikoid oral diketahui memiliki dampak sistemik cukup besar; termasuk hipertensi, hiperglikemia, dan obesitas2 yang merupakan faktor resiko terjadinya stroke. Salah satu tampilan klinis dari stroke adalah Dizziness, yang dapat disebabkan karena gangguan peredaran darah otak. Keluhan ini dapat berupa “presyncopal light headedness”, disequilibrium, dan vertigo. Setiap vertigo yang dihubungkan dengan gangguan peredaran darah otak maka lokasinya adalah daerah sirkulasi vertebrobasiler. Delapan puluh persen penyakit serebrovasculer adalah stroke iskemia, 20 persennya melibatkan sirkulasi vertebrobasiler. Empat puluh tiga persen TIA vertebrobasiler menunjukkan gejala vertigo.4 II. LAPORAN KASUS Perempuan 72 tahun dikonsulkan dari bagian Kulit dengan keluhan pusing nggliyer, dirasakan sejak 5 hari sebelum masuk RS dengan intensitas ringan-sedang, kumat-kumatan, kadang disertai mual dan keringat dingin. Keluhan diikuti kelemahan ringan di anggota gerak sisi kanan sehingga agak tidak seimbang saat berjalan. Disangkal keluhan bicara pelo, perot, gangguan pendengaran/telinga berdenging, kesemutan sesisi, gangguan daya ingat, gangguan BAB/BAK. Pasien adalah penderita Pemfigus vulgaris, tegak sejak 1 tahun yang lalu, rutin mendapat terapi methyl prednisolon dosis tinggi dan obat kemoterapi cyclofosfamide. Didapatkan riwayat keluhan serupa dengan tipe yang sama 8 bulan yang lalu dan didapatkan tekanan darah tinggi, dengan tekanan darah sistole 140. Disangkal adanya riwayat stroke, kencing manis, hipercholesterolemia, trauma kepala, tumor/benjolan, infeksi telinga. Saat dikonsulkan pasien tampak sakit ringan dengan kesadaran compos mentis. Didapatkan status gizi obesitas (BB 70 kg, TB 150 cm, BMI 31,11). Tekanan darah 102/70 mmHg, nadi 80x/menit, laju pernafasan 20x/menit, suhu 36,8o C, dan skala VVS 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan anggota gerak kanan dengan kekuatan 4+, peningkatan refleks fisiologis di empat ekstremitas, dan didapatkan refleks patologis positif di kedua ekstremitas atas. Pemeriksaan Nn cranialis, tonus, dan trofi otot dalam batas normal. Dari pemeriksaan khusus vertigo didapatkan tandem gait jatuh ke kanan, romberg dipertajam (mata tertutup) pasien jatuh ke kanan.

Pemeriksaan nistagmus, dismetria, dan disdiadokokinesia, maupun Fukuda tidak didapatkan kelainan. Pasien diassess dengan sindroma vertigo sentral cum hemiparese dextra onset akut et causa suspect vascular (stroke infark) pada pasien dengan Pemfigus Vulgaris. Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dan evaluasi pengobatan antara lain pemeriksaan laboratorium, yang menggambarkan kondisi dislipidemia dengan nilai Kolesterol 215 mg/dl, LDL 175 mg/dl, dan Trigliserida 136 mg/dl. Hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan kadar Leukosit darah 12,12 x103/uL, lain-lain dalam batas normal. Demikian pula dengan hasil pemeriksaan elektrolit dan kimia darah. Pemeriksaan tambahan lainnya didapatkan hasil berupa defisit neurologis ringan dengan nilai NIHSS 2 dari poin total 42, ADL 0, IADL 0, Indeks Barthel 100. Skoring ASGM didapatkan suatu kriteria stroke infark dengan tidak didapatkannya penurunan kesadaran, nyeri kepala, maupun tanda Babinski. Siriraj stroke score juga mengarah pada suatu stroke infark dengan poin -4. III. PEMBAHASAN Pada laporan ini dideskripsikan suatu kasus stroke infark pada pasien Pemfigus Vulgaris dengan klinis berupa sindroma vertigo sentral cum hemiparese dextra onset akut. Kemungkinan letak lesi berada di area vascularisasi dari sistem vertebrobasiler. Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi non farmakologis berupa head up 30o, diet rendah garam dan rendah lemak, serta terapi farmakologi menggunakan Infus NaCl 0,9% 16 tpm, aspillet 1x80 mg, flunarizin 1x5 mg, valsartan 1x40 mg. Terapi lain terkait Pemfigus Vulgaris dari TS Kulit berupa Inj siklofosfamide 500 mg/2 minggu, Inj Mesna 100 mg (4 kali pemberian), Inj ondansetrone 1 ampul (premedikasi siklofosfamide), Inj diphenhidramin 1 ampul (premedikasi siklofosfamide), Inj MP 125 mg/minggu, Citirizin 1x10 mg, dan Imuran 2x500 mg. TINJAUAN PUSTAKA A. VERTIGO Vertigo merupakan suatu ilusi gerakan, biasanya berupa sensasi berputar yang akan meningkat dengan perubahan posisi kepala. Penyebab vertigo terbanyak adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV), neuritis akut atau labirintitis, Meniere’s disease, migraine serta reaksi ansietas. Cukup banyak penyebab vertigo baik vertigo tipe perifer, sentral atau tipe campuran. Sifat vertigo ini hampir mirip satu dengan yang lainnya sehingga memerlukan pengamatan yang teliti dan anamnesis yang lengkap agar diagnosis dapat ditegakkan dan terapi dapat dipilih secara tepat. Sampai saat ini, masih banyak pendapat para ahli mengenai gold standard dalam penegakan diagnosis vertigo. Beberapa referensi menyatakan bahwa anamnesis dan beratnya keluhan dapat dijadikan parameter. Bed side examination dapat mengarahkan diagnosis tipe vertigo, apakah vertigo tipe sentral, perifer atau vertigo tipe campuran.4 Definisi vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan gangguan alat keseimbangan tubuh. Dizziness lebih mencerminkan keluhan rasa gerakan yang umum, tidak spesifik, rasa goyah, kepala ringan dan perasaan yang sulit dilukiskan oleh penderita sendiri. Giddiness berarti dizziness atau vertigo yang berlangsung singkat.5 Pada referensi yang lain disebut jika giddiness adalah vertigo yang berlangsung sangat singkat sedangkan dizziness adalah rasa pusing yang tidak spesifik, misalnya rasa goyah (unsteable, unsteadiness), rasa disorientasi ruangan yang dapat dirasakan berbalikan (turning) atau berputar (whirling).4

Vertigo bukan suatu gejala pusing saja, tetapi merupakan suatu kumpulan gejala atau satu sindroma yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah), dan pusing. Vertigo perlu dipahami karena merupakan keluhan nomer 3 paling sering dikemukakan oleh penderita yang datang ke praktek umum, bahkan pada orang tua sekitar 75 tahun, 50% datang ke dokter dengan keluhan pusing. Kekhawatiran terhadap jatuh atau datangnya serangan vertigo mendadak membuat orang tua usia lanjut menderita ketakutan dan mengurung diri di kamar.6 Keluhan vertigo harus benar-benar dicermati pada saat anamnesis karena sering kali dikacaukan dengan nyeri kepala atau keluhan lain yang bersifat psikologis. Vertigo akan timbul bila terdapat ketidak sesuaian dalam informasi yang oleh susunan aferen disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting adalah susunan vestibuler yang secara terus menerus menyampaikan impuls ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan adalah susunan optik dan propioseptik yang melibatkan jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N III, IV, dan VI, susunan vestibuloretikularis dan vestibulospinalis.4 Jaringan saraf yang terlibat dalam proses timbulnya vertigo adalah: 1. Reseptor alat keseimbangan tubuh. Berperan dalam mengubah rangsang menjadi bioelektrokimia. Terdiri dari reseptor mekanis di vestibulum, reseptor cahaya di retina dan reseptor mekanis/propioseptik di kulit, otot dan sendi. 2. Saraf aferen. Berperan dalam proses transmisi. Terdiri dari saraf vestibularis, saraf optikus dan saraf spino-vestibulo-serebelaris. 3. Pusat keseimbangan. Berperan dalam modulasi, komparasi, koordinasi dan persepsi. Terletak pada inti vestibularis, serebelum, korteks serebri, hipothalamus, inti okulomotorius dan formatio retikularis.5 Gangguan pada sistem vertebrobasiler sering menyebabkan vertigo terutama pada orangtua. Vertigo ini muncul secara tiba-tiba, dan berlangsung beberapa menit disertai mual muntah. Sebanyak 48% pasien dengan TIA vertebrobasiler vertigonya selalu disertai simptom iskemia daerah yang didarahi oleh arteri-arteri pada sirkulasi posterior. Gejala visual sering pula ditemukan. Bila gejala vertigo tidak diikuti oleh gejala-gejala lain, diperkirakan penyebabnya bukan insufisiensi vertebrobasiler. Frekwensi, insidensi, dan prevalensi sindrom vertebrobasiler bervariasi, tergantung pada area spesifik dan sindroma yang terlibat. Sekitar 80-85% dari semua stroke adalah iskemia, dan 20% dari lesi yang terkait dengan stroke iskemia terjadi di dalam sistem vertebrobasiler. Untuk stroke perdarahan, meski hampir semua perdarahan terjadi di area putamen dan thalamus, sekitar 7% dari semua stroke hemorrhagik melibatkan serebellum dalam area nukleus dentatum, dan sekitar 6% dari lesi hemorrhagik melibatkan pons.4 Penyakit iskemia vertebrobasiler memiliki spektrum sindroma klinis yang luas, mulai dari subklinis hingga infark batang otak yang mematikan. Sebagian besar penelitian melaporkan mortalitas pasien dengan oklusi arteri basilar pada angka yang lebih dari 75-80%. Sebagian besar individu yang selamat dari oklusi arteri basiler mengalami disabilitas yang berat dan persisten.4 Pada pasien didapatkan gejala klinis berupa pusing nggliyer intensitas sedang yang terjadi secara mendadak. Keluhan juga diikuti oleh kelemahan ringan di anggota gerak kanan sehingga pasien merasa tidak seimbang saat berjalan.

B. PEMFIGUS VULGARIS Pemfigus vulgaris merupakan penyakit bula autoimun yang menyerang kulit, membran mukosa maupun keduanya. Secara histologi, penyakit ini ditandai dengan bula intraepidermal karena proses akantolisis pada lapisan suprabasal.7 Penyakit ini dimediasi oleh autoantibodi yang tersirkulasi dalam plasma yang menyerang sel keratinosit permukaan kulit. Merupakan penyakit yang berpotensi mengancam nyawa dan mempunyai tingkat mortalitas 5-15%. Lesi primer dari pemfigus vulgaris berupa bula yang berisi cairan bening yang tumbuh dari permukaan kulit yang sehat atau dengan dasar kemerahan.8 Pemfigus dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus. Pada pemfigus vulgaris, bulla muncul dari lapisan suprabasal epidermis, sedangkan pada pemfigus foliaceus, bulla muncul pada lapisan granulosum.7 Prevalensi pemfigus vulgaris 1-4 kasus per 100.000, dengan insidens 0,5-4 kasus per 1 juta orang per tahun; kejadian tertinggi di dunia terdapat di Amerika serikat dan Eropa. Dapat terjadi di seluruh kelompok usia, umumnya pada kelompok usia 50-60 tahun, sama antara pria dan wanita, dan diketahui berhubungan dengan human leucocyte antigen (HLA) DR4 dan DR6.1 Penyebab pemfigus vulgaris adalah antibodi yang menyerang desmoglein 1 dan desmoglein 3. Jika yang diserang hanya desmoglein 3, maka lesi mukosa yang dominan terkena. Desmoglein merupakan protein yang berperan dalam adhesi sel terutama di epidermis dan membran mukosa. Antibodi tersebut merupakan subkelas IgG1 dan IgG4, tetapi yang patogenik adalah IgG4, dapat menyebabkan proses akantolisis tanpa adanya sel komplemen atau sel inflamasi.1 Tatalaksana harus segera dilaksanakan segera setelah diagnosis meskipun lesi hanya sedikit, karena lesi akan cepat meluas dan jika tidak ditatalaksana dengan baik prognosisnya buruk. Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi dalam 3 fase yaitu fase kontrol, fase konsolidasi, dan fase maintenance. Fase kontrol adalah fase penyakit dapat dikontrol, terbukti dengan tidak terbentuknya lesi baru dan penyembuhan lesi yang sudah ada. Direkomendasikan kortikosteroid dosis tinggi, umumnya prednison 100-150 mg/hari secara sistemik, alternatif adalah dexamethason 100 mg/hari. Dosis harus di tappering off segera setelah lesi terkontrol. Selama terapi kortikosteroid dosis tinggi harus dipantau resiko diabetes, infeksi, hipertensi, gangguan jantung, dan paru.1 Obat-obatan imunosupresi, seperti azatriopine, mycophenolate mefetil, methotrexate, dan cyclophosphamide, dikombinasi dengan kortikosteroid dosis rendah dapat mengurangi efek samping kortikosteroid. Azathrioprine merupakan terapi ajuvan yang sering digunakan karena relatif murah dan aman dikombinasikan dengan kortikosteroid dosis tinggi.1 Plasmafaresis dapat dikombinasi dengan obat-obatan imunosupresi, dilakukan tiga kali seminggu dengan mengganti 2 L plasma setiap plasmapharesis. Plasmafaresis tanpa kombinasi obat imunosupresi dapat menyebabkan rebound pembentukan antibodi. Plasmafaresis memiliki resiko infeksi, saat ini banyak digantikan dengan IVIG. Fase konsolidasi adalah fase terapi untuk mengontrol penyakit hingga sebagian besar (80%) lesi kulit sembuh, fase ini dimulai saat berlangsung penyembuhan kulit hingga sebagian besar lesi kulit telah sembuh. Lama fase ini hanya beberapa minggu, jika penyembuhan lambat dosis terapi kortikosteroid ataupun terapi adjuvan imunosupresan perlu ditingkatkan.1 Fase maintenance adalah fase pengobatan dengan dosis terendah dapat mencegah munculnya lesi kulit baru, fase ini dimulai saat sebagian besar lesi telah sembuh dan tidak tampak lagi lesi baru. Pada fase ini dosis ortikosteroid diturunkan secara bertahap, sekitar seperempat dosis setiap satu hingga 2 minggu. Penurunan yang terlalu cepat beresiko memunculkan lesi kulit baru, penurunan yang terlalu lambat meningkatkan resiko efek samping kortikosteroid. Pada fase ini obat-

obat imunosupresi perlu dibatasi kerena mempunyai efek samping infertilitas dan meningkatkan resiko kanker.1 C. EFEK GLUKOKORTIKOID PADA METABOLISME LEMAK Kortikosteroid/adrenokortikoid merupakan hormon yang berfungsi mengontrol sistem imunitas, pembentukan tulang, metabolisme, dan berperan sebagai respon terhadap stress. Hormon ini dibagi menjadi 2 yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid sudah lama dikenal karena efek kataboliknya, memecah persediaan energi tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme saat stress. Glukokortikoid dapat merangsang glikogenolisis (katalisa glikogen menjadi glukosa) dan glikoneogenolisis (katalisa lemak/protein menjadi glukosa) sehingga kadar gula darah meningkat dan pembentukan glikogen di dalam hati dan jaringan menurun. Jika efek glukokortikoid meningkat maka akan menyebabkan gangguan distribusi lemak, sebagian lemak di bagian tubuh berkurang dan sebagian akan menumpuk pada bagian muka (moonface), tengkuk (buffalo hump), perut dan lengan.9 Efek lain dari glukokortikoid terhadap tubuh yaitu akumulasi lemak dalam jaringan adiposa. Glukokortikoid meningkatkan NPY dan menstimulasi peningkatan nafsu makan terutama makanan tinggi lemak, makanan manis, yang berdampak meningkatnya kadar kilomikron dalam sirkulasi. Glukokortikoid juga meningkatkan terjadinya pembentukan lemak di hati sehingga VLDL disekresi. Glukokortikoid juga menstimulasi peningkatan LPL sehingga terjadi hidrolisis trigliserida yang disimpan di VLDL dan kilomikron sehingga terjadi peningkatan asam lemak bebas, peningkatan lipogenesis dan sekresi VLDL dari liver dan meningkatnya aktivitas LPL.9 Glukokortikoid sistemik seringkali digunakan untuk pengobatan beragam jenis penyakit termasuk penyakit yang mengenai jaringan ikat seperti penyakit bulla dan banyak lagi penyakit kulit lainnya. Pasien dengan kelainan ini diberikan terapi berupa penggunaan glukokortikoid jangka panjang, sehingga pasien tersebut beresiko terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh glukokortikoid. Salah satu efek samping glukokortikoid pada sistem endokrin dan metabolik yaitu peningkatan kadar lemak darah. Meskipun mekanisme terjadinya hiperlipidemia ini belum jelas, sebuah studi menunjukkan bahwa hiperlipidemia pada pasien dengan terapi glukokortikoid dapat disebabkan oleh efek glukokortikoid yang menekan pelepasan ACTH. Pada studi ini, pemberian ACTH selama 3 minggu pada 9 pasien hiperlipidemia dengan penyakit ginjal yang mendapatkan terapi glukokortikoid, mengalami penurunan kadar trigliserida, kolesterol total, dan LDL dalam serum sebanyak 20-50% dan didapatkan peningkatan kadar HDL serum sebanyak 10-25%.2 Disamping itu penggunaan glukokortikoid oral diketahui memiliki dampak sistemik cukup besar; termasuk hipertensi, hiperglikemia, dan obesitas yang tentunya akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung iskemik dan gagal jantung. Pada suatu studi populasi dengan metode case-control, 50656 pasien dengan penyakit jantung iskemik, stroke iskemik atau gangguan peredaran darah otak sepintas, atau gagal jantung, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pemberian glucocortikoid dan resiko gagal jantung (OR 2.66, 95% CI 2.46-2.87) dan sedikit peningkatan resiko penyakit jantung iskemik (OR 1.2, 95% CI 1.11-1.29), tetapi tidak ada hubungan dengan stroke iskemia atau gangguan peredaran darah otak sepintas. Hubungan tersebut lebih kuat untuk penggunaan glukokortikoid saat ini dibandingkan penggunaan glukokortikoid yang telah lalu.2 Obat-obatan yang termasuk dalam golongan kortikosteroid di antaranya dexamethason, methyl prednisolon, dan prednison. Penggunaannya baik jangka panjang ataupun jangka pendek mempunyai efek terhadap metabolisme glukosa dan lemak. Kadar total kolesterol dan LDL

merupakan faktor resiko yang penting untuk terjadinya stroke baik stroke infark maupun perdarahan.3 Sejak tegak Pemfigus Vulgaris, pasien mendapat terapi kortikosteoid dosis tinggi yang menyebabkan obesitas dan hipercholesterolemia pada pasien, yang merupakan faktor resiko terjadinya stroke, disamping faktor usia. D.

STROKE ISKEMIK Stroke adalah gangguan fungsional otak bersifat mendadak, baik berupa gangguan klinis fokal maupun global akibat gangguan fungsi otak yang berlangsung lebih dari 24 jam dan tidak ada penyebab lain selain vascular. Tidak termasuk disini gangguan peredaran darah sepintas, tumor otak, infeksi, atau sekunder akibat trauma.10 Prevalensi stroke di Amerika Serikat meliputi 69 stroke iskemik, 13% stroke perdarahan intraserebral, 6% perdarahan subarachnoid, dan 12% sisanya memiliki tipe yang tidak jelas.11 Prevalensi stroke iskemik di RSUP Dr Sardjito Jogjakarta pada tahun 2009 sebesar 70% dan stroke perdarahan 30%.12 Patogenesis stroke iskemik berbeda, tergantung letak sumbatan dan besar kecilnya pembuluh darah yang tersumbat, gejala klinis yang didapatkan sangat bervariasi. Begitu pula dengan stroke perdarahan, tergantung banyaknya volume darah, letak perdarahan, juga tergantung dari pembuluh darah otak mana yang pecah. Secara umum meliputi: 1. Hemidefisit sensoris 2. Hemidefisit motoris 3. Paresis nervus cranialis VII dan XII unilateral 4. Gangguan bahasa (afasia) 5. Gangguan fungsi luhur 6. Penurunan kesadaran 7. Dizziness 8. Hemianopsia Stroke iskemik adalah stroke yang muncul akibat proses trombosis atau emboli yang mengenai satu atau lebih pembuluh darah di otak dan menyebabkan oklusi aliran darah. Oklusi ini nantinya menyebabkan aliran darah menurun atau hilang sama sekali diikuti dengan perubahan fungsional, biokimia, dan struktural yang menyebabkan kematian sel neuron yang irreversible.10,13,14 Aliran darah ke otak pada keadaan normal berkisar 50mL/100 gr jaringan otak/menit. Aliran darah yang turun hingga 18mL/100 gr jaringan otak/menit masih reversible karena struktur sel masih baik walaupun aktivitas listrik neuron terhenti.15 Penurunan aliran darah yang terus berlanjut akan menyebabkan kematian jaringan otak (infark). Prinsipnya, infark serebri ditimbulkan karena iskemik otak yang lama dan parah dengan perubahan fungsi dan struktur otak yang irreversibe.16 Faktor Resiko Stroke Faktor resiko stroke antara lain: 1. Usia. Merupakan faktor resiko yang tak dapat dimodifikasi. Usia rata-rata stroke dari 28 RS di Indonesia adalah 58,8 tahun ± 13,3 tahun, dengan rentang usia 18-95 tahun. 2. Jenis kelamin. Studi Framingham menunjukkan angka kejadian stroke pada pria rata-rata 2,5 kali lebih sering daripada wanita, sedangkan di Indonesia wanita lebih sering daripada pria (53,8% vs 46,2%).

3. Hipertensi adalah faktor resiko utama stroke. Hipertensi sistolik maupun diastolik memiliki resiko yang sama pada kejadian stroke. Sedangkan tekanan darah borderline memiliki kecenderungan penyakit jantung koroner. 4. Fibrilasi atrium dan penyakit katup jantung. Peningkatan resiko kejadian stroke sebesar 5.6 kali pada orang dengan fibrilasi atrium sesuai hasil studi Framingham. 5. Diabetes melitus. Komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati pada diabetes melitus meningkatkan kemungkinan terjadinya aterosklerosis pada arteri koroner, femoralis, dan serebral. Studi Framingham menunjukkan peningkatan kejadian stroke pada orang dengan diabetes melitus dibandingkan yang memiliki kadar gula normal. 6. Hematokrit, fibrinogen, dan polisitemia, dari studi Framingham menunjukkan hubungan tingginya kadar hematokrit dan kejadian infark serebri. Interaksi antara tingginya kadar hematokrit dan fibrinogen akan menyempitkan penetrasi arteri kecil dan meningkatkan stenosis arteri serebral. 7. Hiperkolesterolemia. Hubungan antara kadar serum lipid dan aterosklerosis arteri karotis dibuktikan dengan pemeriksaan ultrasonografi, terbukti adanya penebalan arteri karotis ekstrakranial dan intrakranial yang merupakan indikator aterosklerosis. 8. Obesitas Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu tampilan klinis dari stroke adalah Dizziness, yang dapat disebabkan karena gangguan peredaran darah otak. Ada 3 kategori pusing yang sering muncul sehubungan dengan gangguan tersebut meliputi presyncopal light headedness atau sensasi mau roboh, disequilibrium atau perasaan tidak seimbang saat jalan/berdiri, dan vertigo. Setiap ada vertigo yang dihubungkan dengan gangguan peredaran darah otak maka lokasinya adalah daerah sirkulasi vertebrobasiler. Delapan puluh persen dari penyakit serebrovasculer adalah stroke iskemia, 20 persennya melibatkan sirkulasi vertebrobasiler.4 Gejala klinis insufisiensi vertebrobasiler dapat dilihat secara klinis. TIA sirkulasi posterior muncul secara khas seperti vertigo dan dizziness. Gejala-gejala tersebut muncul secara tiba-tiba tanpa ada faktor presipitasi dan berakhir pula secara tiba-tiba tanpa gejala sisa. Sindrom stroke akut yang berasal dari sirkulasi posterior dapat dikenal dengan gejala-gejala yang spesifik. Harus ditelusuri faktor-faktor resiko atherosklerosis, DM, hiperlipidemia, dan sindrom hiperkoagulasi.4 Pada TIA vertebrobasiler dapat muncul vertigo pada 43% pasien, ataksia 60%, diplopia 39%, disartria 27%, dan keluhan visual 27%. Klasifikasi berdasarkan letak iskemianya, terdapat keluhan pandangan kabur, pening, dan hilang keseimbangan bila mengenai arteri vertebralis ekstrakranial. Adapun bila mengenai arteri basilaris muncul gejala 2 macam atau lebih dari gejala-gejala : hilang keseimbangan, penglihatan ganda, kelemahan anggota badan (unilateral atau bilateral), bicara pelo, disfagia. Gejala yang tidak khas bisa pula muncul seperti kesadaran menurun, drop attack, kebutaan pandangan terbalik, mual, muntah, tremor, tinitus, pseudobulbarpalsy.4 Untuk membantu penegakan diagnosis, disamping pemeriksaan klinis, diperlukan pemeriksaan penunjang berupa Imaging arteri :4 a. Metode non invasif Ekokardiografi, untuk mengidentifikasi trombosis mural dan mendeteksi cacat katup jantung. USG Doppler, dapat mengetahui terjadinya obstruksi arteri vertebralis.

Transcranial Doppler (TCD), memeriksa arteri vertebralis bagian intrakranial, kurang baik untuk memeriksa arteri basilaris (sensitifitas 72%, spesifisitas 94% pada pasien dengan penyakit arteri basiler). Magnetic Resonance Angiography (MRA), untuk mendeteksi kelainan arteri-arteri besar pada leher dan sirkulasi willisi. b. Angiografi Tujuan paling penting tindakan ini untuk menentukan tipe lesi vascular dan mekanisme stroke. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah imaging otak, baik dengan CT scan atau MRI. pemeriksaan CT scan memiliki sensitivitas lebih dari 95% jika digunakan untuk mengidentifikasi perdarahan intra atau ekstra-aksial dalam 24 jam pertama setelah onset. MRI lebih sensitif daripada CT scan dalam mengidentifikasi gambaran iskemia. MRI memiliki sensitifitas 97% dan spesifisitas 98% ketika digunakan untuk menngidentifikasi oklusi vertebrobasiler.4 Penegakan diagnosis pada pasien ini hanya berdasarkan klinis, belum dilakukan pemeriksaan penunjang seperti CT scan sentrasi cerebellum dan atau MRI. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan imaging lanjutan di samping pemerikssaan glukosa darah dan profil lipid untuk melihat faktor resiko. Pemeriksaan CT scan merupakan gold standar untuk membedakan adanya perdarahan atau tidak. Hal ini penting untuk pemberian antiplatelet segera mungkin begitu tidak ada tanda-tanda perdarahan. E. PENATALAKSANAAN Prinsip tata laksana stroke pada fase akut meliputi : 1. Membantu proses restorasi dan plastisitas otak. Tahap ini menargetkan mempertahankan wilayah oligemia iskemik penumbra dengan cara membatasi durasi kejadian iskemik dan derajat keparahan cedera iskemik (proteksi neuronal). Mencegah kondisi hipertermi, hipotermi, hipertensi, hiperglikemia, hipoglikemia, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi, gangguan elektrolit, dan kejang, serta mencegah timbulnya stroke berulang dengan pemberian antiplatelet (aspirin, clopidogrel, dsb) atau antikoagulan (heparin, warfarin, rTPA) (apabila faktor yang mendasari adalah sebab koagulopati). 2. Mengendalikan faktor risiko. Mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan mengembalikan ke level normal. Sebagai contoh, pasien dengan hipertensi, target pengendalian tekanan darah setelah lewat fase akut stroke hingga dibawah 140/90 mmHg, sedangkan bila pasien sebelumnya menderita hipertensi dan diabetes melitus maka dipertahankan dibawah 135/85mmHg. 3. Mencegah komplikasi Komplikasi yang kerap terjadi pada pasien dengan stroke yang harus tirah baring adalah pneumonia, dekubitus, infeksi saluran kemih. Pasien mutlak harus dilakukan tindakan fisioterapi. Pada fase akut pasien belum dapat berpartisipasi penuh pada program terapi aktif, untuk itu dilakukan latihan ROM (range of motion) setiap hari dan posisioning yang tepat untuk mencegah pemendekan dan kontraktur sendi. Terapi aktif dapat dilakukan perlahan-lahan (isometrik, isotonik, isokinetik). Pasien tetap dimonitor untuk kemungkinan tidak stabilnya hemodinamik dan aritmia jantung, intensitas latihan juga harus dimonitor, karena otot yang terlalu keras berlatih justru akan membuat kelemahan semakin progresif.

F. PROGNOSIS Prognosis insufisiensi vertebrobasiler tergantung pada tanda neurologis, adanya kelainan arteri, lokasi dan perluasan infark, dan mekanisme iskemia. Emboli kardiak, kelainan arteri basilaris, dan kelainan banyak teritori intrakranial meningkatkan resiko hasil tidak memandang usia pasien dan faktor resiko yang mendasari. Penyakit oklusif arteri basilaris membawa resiko kecacatan dan kematian yang tinggi, serta identifikasi lesi harus secepat mungkin.4

IV. KESIMPULAN Kasus stroke vertebrobasiler dengan manifestasi klinis sindroma vertigo sentral pada pasien Pemfigus Vulgaris yang mendapatkan terapi kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka waktu lama. Pada pemeriksaan didapatkan status gizi obesitas, tekanan darah 102/70 mmHg, nadi 80x/menit, laju pernafasan 20x/menit, suhu 36,8o C, dan skala VVS 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan hemiparese dextra dan disequilibrium. Hasil pemeriksaan laboratorium menggambarkan kondisi dislipidemia dengan nilai Kolesterol 215 mg/dl, LDL 175 mg/dl. ASGM dan siriraj stroke score mengarah pada lesi infark. Setelah mendapatkan terapi Aspillet 1x80 mg dan Flunarizin 1x5 mg pasien menunjukkan perbaikan klinis. Pasien dipulangkan setelah perawatan hari ketiga. Selanjutnya pasien disarankan untuk kontrol rutin di Poliklinik Saraf dan Kulit RSUP dr. Sardjito.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2. 3.

4. 5. 6. 7. 8.

9. 10. 11.

12. 13. 14. 15. 16.

Bystryn J., Rudolph J. Pemphigus. Lancet. 2005;366(9479):61-73. Moghadam S, Werth VP. Prevention and Treatment of Systemic Glucocorticoid Side Effects. Int J Dermatol. 2010;49(3):239-248. Grace Mary, K.J. Jacob, Arya Vijay Kumar et al. Role of Dyslipidemia in Stroke and Comparison of Lipid Profile in ischemic and Hemorrhagic Stroke- a case control study. International Journal of Advances in Medicine. 2016;3(3):694-698. Sutarni S, Malueka RG, dan Gofir A. Bunga Rampai Vertigo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2015. Perdossi. Vertigo Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi. Jansen Pharmaceuticals. 2000. Greenberg, M.S. Handbook of Neurosurgery, 5th, Thieme, New York. 2001. William V. Pemfigus Vulgaris : Diagnosis dan Tatalaksana. 2016;CDK-247/Vol. 43(12):905-908. Zeina, Bassam. Pemphigus Vulgaris Treatment&Management. Medscape Dermatology. Accessed on September 28th, 2017 at http://www.emedicine.medscape.com/article/1064187treatment#d6.htm Peckett, Ashley J., David C. Wright, Michael C. Riddell. The Effects of Glucocorticoids on Adipose Tissue Lipid Metabolism. Metabolism Journal. 2011;60:1500-1510. Jauch, Edward C. Ischemic Stroke. Medscape Emergency Medicine. Accessed on September 28th, 2017 at http://www.emedicine.medscape.com/article/1916852-overview#a1.htm Wolfe, C., et al., 2002. Incidence and Case Fatality Rates of Stroke Subtypes in A Multiethnic Population: The South London Stroke Register. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry 72:211-216. Setyopranoto, I. Oedem Otak pada Pasien Stroke Iskemik Akut. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2012. Adam R.D. Principles of Neurology. 7th ed. 2001. Mc Graw Hill Inc. Singapore. Bandera E.,Botteri M., Minelli C., et al. Cerebral Blood Flow Threshold of Ischemic Penumbra and Infark Core in Acute Ischemic Stroke. Stroke. 2006;37:1334-1339. Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated, 4th edition. Churchill Livingstone : United Kingdom. 2004. Gofir, A. Klasifikasi Stroke dan Jenis Patologi Stroke. Dalam Manajemen Stroke Evidence Based Medicine. 2009. Pustaka Cendikia Press, Yogyakarta.

Related Documents

Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33
Lapsus Paraparese.docx
November 2019 41
Lapsus Tulunagung.doc
December 2019 42
Lapsus Neneng.docx
November 2019 43
Lapsus Oklusi.docx
June 2020 25

More Documents from "Hyder"