Laporan Presentasi Kasus Disentri.docx

  • Uploaded by: Nuraisah Septiarini
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Presentasi Kasus Disentri.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,591
  • Pages: 23
LAPORAN PRESENTASI KASUS DISENTRI AMOEBA

Oleh: dr. Nuraisah Septiarini

Pembimbing: dr. Arshita Auliana, SpPD

RUMAH SAKIT UMUM HAJI JAKARTA PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA FEBRUARI 2019

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah kasus ini yang berjudul “Disentri Amoeba”. Makalah presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam program Internsip di RS Haji Jakarta. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada : 1. dr. Arshita, SpPD selaku pembimbing presentasi kasus ini. 2. dr. Fuad Supriyadi selaku pembimbing innternsip 3. Rekan-rekan sejawat internsip saya Penulis menyadari dalam pembuatan makalah presentasi kasus ini terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah presentasi kasus ini sangat penulis harapkan. Demikian, semoga makalah presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam bidang gastrointestinal dan bidang kesehatan.

Jakarta,

Februari 2019

Penyusun

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... 2 DAFTAR ISI ................................................................................................. 3 BAB I ILUSTRASI KASUS ........................................................................ 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. .9 BAB III ANALISIS KASUS ........................................................................ 21 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 22

3

BAB I ILUSTRASI KASUS

a. Identitas Nama

: Nn. TD

No. RM

: 50480

Usia

: 21 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Alamat

: Jl. Nirbaya Raya

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Mahasiswa

Kebangsaan

: Indonesia

b. Anamnesis Keluhan Utama BAB Berdarah

Riwayat Penyakit Sekarang BAB Berdarah sejak 4 hari SMRS. BAB cair, berwarna merah hitam dan tidak menetes, BAB sebanyak 3x, berlendir, berbau, dan berampas. Setiap kali BAB, pasien tidak ingat seberapa banyak jumlahnya. Keluhan disertai dengan mual, muntah lebih dari 5x berisi makanan (pasien tidak ingat berapa banyak muntahannya) dan nyeri perut hebat saat BAB. Keluhan demam disangkal. Keluhan ambeien disangkal. Pasien sudah berobat ke klinik dan diberi obat paracetamol, hyoscine butlbromide, diaform, oralit, dan vitamin B6 namun keluhan tidak membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu 2 minggu SMRS pasien mengalami BAB berdarah selama seminggu, namun keluhan tersebut hilang. BAB berdarah muncul kembali seminggu kemudian. Tidak ada riwayat alergi. Penggunaan jangka panjang obat dan jamu-jamuan disangkal. Riwayat operasi dan rawat inap disangkal. Pasien jarang menderita batuk-pilek berulang, sakit tenggorokan berulang, diare, sakit ketika BAK, riwayat BAK keluar batu atau berpasir disangkal. Riwayat sakit paru, batuk lama maupun sakit kuning disangkal. 4

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama dengan pasien. Riwayat orangtua memiliki penyakit darah tinggi, kencing manis, asma maupun alergi disangkal.

Riwayat Sosial Pasien adalah seorang mahasiswa di suatu PTN di pulau Jawa. Kebersihan makan pasien kurang terjaga.

c. Pemeriksaan Fisik Kesadaran : Compos mentis Appearance : tampak sakit ringan Antropometri

Berat = 46 Kg; Tinggi badan = 155 cm; IMT 19,14 Kesan: Normoweight

Tekanan darah

110/70 mmHg

Nadi

78 kali/menit, isi cukup, reguler

Nafas

20 kali/menit, reguler

Suhu

37,1 oC diukur di axila

Kepala

Mata

Tidak ada deformitas, rambut hitam, persebaran merata dan tidak mudah dicabut. Palpebra edema -/-. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Telinga: normotia, nyeri tekan tragus (-), MAE lapang, membran timpani intak, serumen minimal, sekret (-)

THT

Hidung: deformitas (-), cavum nasi lapang, konka inferior eutrofi, sekret (-) Tenggorok: mukosa mulut tidak kering, tonsil T1/T1, arkus faring simetris, faring tidak hiperemis, PND (-)

Leher

Trakea di tengah,pembesaran kelenjar getah bening(-)

5

I : Tidak tampak deformitas, Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis; P : Ekspansi dada simetris saat dinamis. Fremitus kiri

Paru

dan kanan simetris; P : sonor dikedua lapang paru; A : vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/I : Iktus cordis tidak terlihat P: Ictus cordis teraba pada sela iga 4 pada garis

Jantung

midklavikula kiri A : bunyi jantung I-II normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada bising usus normal, supel, nyeri tekan umbilikus (+),

Abdomen

nyeri tekan iliaca dextra (+), hati dan limpa tidak teraba, turgor kulit normal.

Genitalia

Dalam batas normal

Ekstremitas

Akral hangat, CRT <2 detik, edema -/-

Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin (19/01/2019) Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Hb

11,4 g/dl

12 – 114

Ht

33 %

3 – 43

Leukosit

8,97 ribu/ul

5 – 10

Trombosit

162 ribu/ul

150 – 400

FECES

LENGKAP Hasil

Nilai Rujukan

19/1/2019 Warna

Kuning

Konsistensi

Cair

Lendir

+

-

Darah

-

-

6

Pus

-

-

Leukosit

++

Eritrosit

+

Epitel

+

Amilum

-

Lemak

-

Serat tumbuhan

Ditemukan

Telur cacing

Tidak ditemukan

Tidak ditemukan

Amoeba

Ditemukan

Tidak ditemukan

Jamur

+

-

Darah samar

+

-

-

s.d. +1

-

s.d. +1

-

-

d. Diagnosis Disentri Amoeba

e. Penatalaksaan Rencana Diagnosis: Feses Berkala Terapi: 1. Non-medikamentosa Edukasi: Edukasi mengenai penyakit dan kekambuhan yang terjadi Edukasi kemungkinan adanya efek samping pengobatan Memberikan motivasi kepada pasien dan orangtua Diet: Diet lunak

2. Medikamentosa:  IVFD RL 20 tpm  Ranitin injeksi 2x1 ampul  Ondansentron injeksi 2x4 mg prn  Metronidazol 3x500 mg iv  New Diatab 3x2 setiap setelah BAB 7

f. Prognosis  Ad vitam

: Bonam

 Ad fungsionam

: Bonam

 Ad sanasionam

: Dubia ad bonam

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron (usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus).1 Penyakit infeksi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan protozoa. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dikenal sebagai disentri basiler yang disebabkan oleh bakteri shigella, sedangkan infeksi yang disebab-kan oleh protozoa dikenal sebagai disentri amuba. Adapun yang dimaksud dengan penyakit infeksi saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare adalah buang air besar dengan tinja yang berbentuk cair atau lunak dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam.2,3 Penyebab diare yang terpenting dan tersering adalah Shigella, khusus-nya S. flexneri dan S. Dysenteriae, dan Entamoeba histolytica (E. histolytica). Disentri amuba adalah penyakit infeksi saluran pencernaan akibat tertelannya kista E. histolytica yang merupakan mikroorganisme an-aerob bersel tunggal dan bersifat pathogen.2 Sebagai salah satu penyebab diare, E. histolytica pertama kali ditemukan oleh Losch pada tahun 1875 dari tinja seorang penderita diare di Leningrad, Rusia. Pada saat otopsi, Losch menemukan E. histolytica bentuk trofozoit dalam usus besar, namun Losch tidak mengetahui hubungan kausal antara parasit ini dengan kelainan ulkus usus tersebut.2,3,4 Tahun 1890, Sir William Osler melaporkan untuk pertama kali adanya kasus amebiasis di Amerika Utara pada tinja seorang pasien. Pada tahun 1893 Quiche dan Roos menemukan E. histolytica bentuk kista. 4,5 Selanjutnya pada tahun 1903 oleh Schaudinn spesies tersebut diberi nama E. histolytica yang dapat dibedakan dengan Entamoeba coli (E. coli). Dari hasil eksperimen Walker dan Sellards di Filipina pada tahun 1913, diketahui bahwa E.histolytica

merupakan parasit

komensal yang ada di dalam usus besar. Dobell pada tahun 1925 menemukan siklus hidup E.histolytica. Imperato (1981) melakukan penelitian mendalam terhadap E. histolytica dan dapat membedakannya dari E. coli, dalam hal morfologi dan patogenesisnya.2,3

9

EPIDEMIOLOGI Prevalensi amebiasis sangat bervariasi, diperkirakan 10 persen populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host dan reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.4,6 Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2007 menunjukkan prevalens nasional diare (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan responden) adalah 9%. Ada 14 provinsi yang prevalensinya di atas prevalens nasional, tertinggi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (18,9%) dan terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (4,2%). Distribusi berdasarkan kelompok umur, prevalens diare tertinggi terdapat pada Balita sebesar 16,7%. Prevalens diare 13% lebih banyak terdapat di daerah perdesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan. Dalam hal mortalitas, penyebab kematian karena diare dengan proporsi kematian untuk seluruh kelompok umur sebesar 3,5%, berada dalam urutan 13 dari 22 penyebab kematian baik penyakit menular atau pun penyakit tidak menular.6 Jika dikelompokkan berdasarkan kelompok penyakit menular maka proporsi kematian karena diare adalah sebesar 13,2% yang berada pada urutan ke 4 dari 10 penyebab kematian. Penyebab kematian karena diare tertinggi pada kelompok usia 29 hari - 11 bulan (31,4%) dan usia 1-4 tahun (25,2%). Selama tahun 2008 dilaporkan telah terjadi KLB diare pada 15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 8.443 orang, meninggal 209 orang (Case Fatality Rate/CFR = 2,48%). Dari data-data tersebut di atas; tampak bahwa diare, baik yang disebabkan oleh virus, bakteri dan protozoa; masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang perlu penanganan dan kajian dari berbagai aspek. Penyebab kesakitan dan kematian akibat diare di lndonesia tidak dapat diketahui secara spesifik apakah disebabkan oleh virus, bakteri atau protozoa. Hal ini dikarenakan, sebagian besar diagnosis yang dilakukan oleh tenaga medis tidak berbasiskan hasil pemeriksaan laboratorium tetapi hanya berdasarkan diagnosis klinis. Diketahuinya dengan pasti prevalens penyebab diare oleh protozoa adalah dari hasil penelitian atau hasil pemeriksaan laboratorium para penderita rawat inap di rumah sakit.6

10

Disentri amuba dapat ditemukan di seluruh dunia, bersifat kosmopolit dengan insiden vervariasi antara 3-10%, umumnya terdapat di wilayah tropis dan sub-tropis dengan tingkat sosio-ekonomi rendah dan hygiene-sanitasi yang buruk. Namun di daerah dengan iklim dingin dan kondisi sanitasi yang buruk, tingginya angka kejadian penyakit setara dengan di daerah tropis. Insiden tertinggi disentri amuba ditemukan pada kelompok usia 10-25 tahun. Amebiasis jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan terutama di bawah usia 2 tahun. Pada usia di bawah 5 tahun kasus disentri umumnya disebabkan oleh shigella (disentri basiler). Di negara beriklim tropis banyak didapatkan strain patogen dibandingkan dengan negara maju yang beriklim sub tropis, kemungkinan timbulnya kejadian ini dikarenakan faktor diet rendah protein di samping perbedaan strain amuba.6

ETIOLOGI E. histolytica dapat dibedakan dengan Entamoeba hartmanni (E. hartmanni) dan E. coli yang non-patogen. Perbedaan antara E. histolytica dengan E. hartmanni dan E. coli adalah pada ukuran kistanya. Kista E. histolytica lebih kecil dibandingkan dengan kista E. coli, tapi lebih besar dibandingkan dengan kista E. hartmanni. Selain itu, secara morfologis antara E. histolytica dan Entamoeba dispar (E. dispar) temyata sama, namun dengan pemeriksaan teknik molekuler terlihat perbedaannya pada aspek imunologis dan pola iso-enzimnya. Kista E. dispar hidup secara komensal pada usus besar manusia sehat tanpa menimbulkan gejala (termasuk pada penderita HIV/AIDS) sedangkan E. histolytica bersifat patogen. Dari aspek banyaknya orang yang terinfeksi, diperkirakan sekitar 500 juta orang terinfeksi E. dispar jika diagnostik didasarkan atas teknik pemeriksaan molekuler.6 Dalam pH asam, kista E. histolytica tidak berkembang, namun jika dalam suasana pH basa kista aktif berkembang menjadi 4 stadium trofozoit metakistik dan kemudian berkembang lebih lanjut menjadi trofozoit di dalam usus besar. Infeksi oleh protozoa ada dalam 2 bentuk yaitu bentuk kista yang infektif dan bentuk lain yang lebih rapuh, berupa trofozoit yang patogen.6 Dalam siklus hidupnya E. histolytica memiliki stadium yang berbentuk trofozoitprakista-kista-metakista. Trofozoit berukuran diameter 10-60 um, ditemukan di bagian bawah usus halus, namun lebih sering berada di kolon dan rektum yang melekat pada bagian mukosa. Trofozoit yang ditemukan pada tinja encer penderita disentri berukuran lebih besar dibandingkan dengan trofozoit yang ditemukan pada tinja padat penderita yang asimptomatik. 11

Bagi penderita disentri, dalam sitoplasma yang ada pada stadium trofozoit dapat terlihat sel darah merah, sehingga hal ini menjadikan suatu gambaran khas dalam mendiagnosis E.hiisto lytica. Di dalam usus trofozoit membelah diri secara a-sexual, masuk ke dalam mukosa usus besar. Di dalam dinding usus besar tersebut trofozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan organ lain. Hati merupakan organ yang kerap diserang selain usus, sehingga menyebabkan kerusakan hati dikarenakan trofozoit memakan sel parenkhim hati. Trofozoit dalam saluran pencernaan akan melakukan pemadatan dan berubah bentuk menjadi pra-kista yang berbentuk bulat.3,6 Bentuk kista bersifat non-patogen tetapidapat berubah menjadi infektif bagi manusia. Hewan mamalia lain seperti anjing dan kucing dapat juga terinfeksi. Kista dihasilkan jika kondisi sekitamya tidak memungkinkan untuk kehidupan trofozoit. Inti kista dapat membelah menjadi empat dengan ukuran berkisar 10-20 um, kondisi ini terjadi jika bentuk kista menjadi matang (metakista). Kista dikeluarkan bersama tinja. Selama dalam saluran pencernaan, dalam suasana asam tidak terjadi perkembangan, namun dalam pH basa atau netral, kista menjadi aktif, berkembang menjadi 4 stadium trofozoit metakistik dan selanjutnya menjadi trofozoit di dalam usus besar. Adanya dinding kista, menyebabkan bentuk kista dapat bertahan terhadap adanya pengaruh lingkungan yang buruk yang berada di luar tubuh manusia. Stadium kista sangat tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk dan tetap bertahan di tanah selama 8 hari pada suhu 28--34°C, 40 hari pada suhu 2--6°C, dan 60 hari pada suhu O° C.3,6 Kista sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu namun dapat dihancurkan dalam asam asetat 5-10% dan iodine 200 ppm. Sedangkan dalam air dapat bertahan sampai 1 bulan dan dalam tinja kering sampai 12 hari. Selain itu kista dapat dihilangkan dengan filtrasi pasir atau dimatikan dengan direbus, filtrasi dilakukan dengan menggunakan tanah yang mengandung diatomaceaus. Dalam keadaan an-aerob, E. histolytica tumbuh optimal dan memperbanyak diri. Jika menginvasi dinding usus, trofozoit mencapai ukuran yang paling besar dan sering ditemukan adanya sel darah merah. Trofozoit mampu menghancurkan sel darah merah ketika terjadi kontak Galur yang patogen biasanya menelan jumlah sel darah merah lebih banyak dan mempunyai gambaran elektroforetik isoenzim berbeda dari strain yang non-patogen.. Pra-kista akan terbentuk ketika keadaan metabolik menjadi tidak cocok sehingga dimulai lagi awal dari siklus hidup.3,6

12

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai peran.2 Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum terminalis.2

GEJALA KLINIS Carrier (Cyst Passer) Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus.2,5 Disentri amoeba ringan Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.5 Disentri amoeba sedang 13

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan.2,5

14

Disentri amoeba berat Keluhan dan gejala klinis lebih berat lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C-40,50C) disertai mual dan anemia.5 Disentri amoeba kronik Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna.6

PEMERIKSAAN PENUNJANG 

Pemeriksaan tinja Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang diperlukan pemeriksaan berulangulang, minimal 3 kali seminggu dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan.7 Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badanbadan kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan larutan eterformalin kista akan mengendap.7 Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja 15

berdarah, akan tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin.7 

Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal.7



Foto rontgen kolon Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma.7



Pemeriksaan uji serologi Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis.7

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding untuk diare berdarah adalah : 

Disentri amuba Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak ada/jarang. Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas. Tinja biasanya besar, terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya tercampur lendir. Lokasi tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang mengenai ileum. Ulkus yang ditimbulkan dengan gaung yang khas seperti botol.7



Disentri basiler Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia, tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecil-kecil, banyak, tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja berbentuk dilapisi lendir. 16

Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat juga menyerang ileum. Biasanya daerah yang terserang akan mengalami hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir akan menebal.7 

Eschericiae coli o Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC) Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel usus sehingga menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat (secara klinis dikenal sebagai kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri basiller, ulserasi atau perdarahan dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas edem mukosa dan submukosa. Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus, dan diare cair atau darah.7 o Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC) Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri atau dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari menjadi berdarah (kolitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis yang membedakan adalah terjadinya demam yang merupakan manifestasi yang tidak lazim. Beberapa infeksi disertai dengan sindrom hemolitik uremik.7

DIAGNOSIS Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan

tetapi

ditemukannya

amoeba

bukan

berarti

meyingkirkan

kemungkinan penyakit lain karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh karena itu, apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja.7 Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan neoplasma. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses.7 17

KOMPLIKASI Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun ringan. Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi : Komplikasi intestinal6,7 Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak pembuluh darah. Perforasi usus. Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba. Ameboma. Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus. Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan operasi segera. Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma. Komplikasi ekstraintestinal6,7 Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang paling sering terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini abses hati kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai dengan aliran darah vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses berisi nanah kental yang steril, tidak berbau, berwarna kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat berwarna kuning kehijauan karena bercampur dengan cairan empedu.

18

Abses pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kurang lebih 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Abses paru juga dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat pula terjadi hiliran (fistel) hepatobronkhial sehingga penderita batuk-batuk dengan sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati. Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi. Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus. TATALAKSANA7 Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali perhari selama 20 hari. Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari. Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari. Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari. PROGNOSIS Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama pada kasus tanpa komplikasi. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak ameba.7

19

Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah; bentuk dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk flexneri mempunyai angka kematian yang rendah.7

PENCEGAHAN

Kondisi higiene perorangan dan sanitasi lingkungan merupakan faktor utama pencegahan disentri amuba. Selain itu faktor perilaku dari individu dalam menjalani pola hidup bersih dan sehat merupakan hal penting dalam menghindari infeksi amebiasis intestinal. Pada prinsipnya pencegahan penyebaran infeksi amebiasis adalah terputusnya rantai penularan dari sumber infeksi (tinja) ke manusia. Ada dua aspek utama pencegahan yaitu dari aspek higiene perorangan dan sanitasi lingkungan. Higiene perorangan lebih terfokus dalam hal perilaku individu dalam upaya memutus rantai penularan. Sedangkan sanitasi lingkungan focus pencegahan terletak dalam hal rekayasa lingkungan dalam mengisolir sumber infeksi.4,6 Pencegahan terhadap aspek hygiene perorangan adalah:4,6 1. Mencuci tangan dengan sabun setelah kelua dari kamar kecil dan sebelum menjamah makanan. 2. Mengkonsumsi air minum yang sudah dimasak (mendidih). Jika minum air yangtidak dimasak, dalam hal ini air minum kemasan hendaknya diperhatikan tutup botol atau gelas yang masih tertutup rapi dan tersegel dengan baik. 3. Tidak memakan sayuran, ikan dan daging mentah atau setengah matang. 4. Mencuci sayuran dengan bersih sebelum dimasak. 5. Mencuci dengan bersih buah-buahan yang akan dikonsumsi. 6. Selalu menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan secara teratur dan menggunting kuku. 7. Mencuci alat makan (piring, sendok, garpu) dan alat minum (gelas, cangkir) dengan menggunakan sabun dan dikeringkan dengan udara. Jika menggunakan kain lap, hendaknya menggunakan kain lap yang bersih dan kering. 8. Mencuci dengan bersih alat makan-minum bayi/anak-anak dan merendam dalam air mendidih sebelum digunakan.

20

9. Bagi para pengusaha makanan (restoran, katering) menerapkan aturan yang ketat dalam penerimaan terhadap calon penjamah makanan (food handler) yang akan bekerja dengan mensyaratkan pemeriksaan tinja terhadap kemungkinan adanya carrier atau penderita asimptomatik pada para calon penjamah makanan. Selama para penjamah makanan tersebut bekerja, minimal 6 bulan sekali dilakukan pemeriksaan tinja. 10. Membuang kotoran, air kotor dan sampah organik secara baik dengan tidak membuangnya secara sembarangan. 11. Segera berobat ke petugas kesehatan jika frekuensi buang air meningkat, sakit pada bagian abdomen dan kondisi tinja encer, berlendir dan terdapat darah. Sebelum berobat atau minum obat, minum cairan elektrolit guna mencegah timbulnya kekurangan cairan tubuh. Pencegahan terhadap aspek sanitasi lingkungan adalah:4,6 o Pembuangan kotoran manusia yang memenuhi syarat. Prinsip pembuangan kotoran manusia yang memenuhi syarat adalah tinja yang dibuang terisolir dengan baik sehingga tidak dihinggapi serangga (lalat, kecoak lipas), tidak mengeluarkan bau, dan tidak mencemari sumber air. o Menggunakan air minum dari sumber air bersih yang sanitair (air ledeng, pompa sumur dangkal atau dalam, penampungan air hujan). o Menghindari pemupukan tanaman dengan kotoran manusia dan hewan. Jika menggunakan pupuk kandang dan kompos, pastikan bahwa kondisi pupuk kandang atau kompos tersebut benar-benar kering. o Menutup dengan baik makanan dan minuman dari kemungkinan kontaminasi serangga (lalat, kecoak), hewan pengerat (tikus), hewan peliharaan (anjing, kucing) dan debu.

21

BAB III ANALISA KASUS Pasien seorang perempuan, belum menikah, berusia 21 tahun, datang dengan keluhan diare berdarah. Dari keluhan utama ini dapat dipikirkan diagnosis infeksi, tumor, maupun hemorrhoid, namun mengingat suianya yang masih 21 tahun maka diagnosis banding umor dapat disingkirkan. Hasil anamnesis selanjutnya adalah terdapat lendir pada diare pasien, nyeri perut, dan tidak didapatkan adanya riwayat hemorrhoid ataupun darah yang menetes saat BAB. Selain itu pasien juga tidak menjaga higienitas makanannya. Dengan ini dapat disimpulkan sementara bahwa diare berdarah ini disebabkan oleh infeksi, namun belum diketahui apakah infeksi ini disebabkan oleh Shigella, E.coli, atau protozoa. Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda vital yang normal, konjungtiva tidak anemis, dan nyeri perut pada regio abdomen umbilikus dan iliaca dextra. Kemudian dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk melihat apakah telah terjadi anemia dan leukositosis atau tidak dan pemeriksaan feses lengkap. Pada hasil pemeriksaan darah, terdapat anemia dengan Hb pasien 11, namun tidak dilakukan trnasfusi darah karena klinis pasien masih baik dan tidak terdapat indikasi transfusi darah. Hasil leukosit normal. Lalu dilakukan tatalaksana di IGD yaitu pemberian IVFD RL 250 cc loading dengan 30 tpm. Pada saat pasien di rawat inap, pasien diberikan obat simptomatik yaitu ranitidin, new diatab, ondansetron, dan antibiotik ciprofloxacin. Setelah satu hari dirawat inap, hasil pemeriksaan feses lengkap sudah keluar dan terdapat amoeba pada hasil tersebut. Pasien kemudian diberikan metronidazol 3x500 mg IV, klinis membaik, sudah tidak terdapat diare, dan kemudian pasien direncanakan pulang dan diberi edukasi bahwa keluhan seperti ini akan berulang jika pasien tidak menjaga higienitas makananya karena sumber penularan disentri amoeba adalah fekal oral. Pasien disarankan untuk kontrol sekitar seminggu pasca rawat inap untuk melihat apakah keluhan sudah tidak ada dan untuk melihat apakah terapat kompikasi atau tidak.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999 . "Buku Ajar Diare". Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2. Umar

Zein.

"Diare

Akut

Infeksius

Pada

Dewasa".

http://library.usu.ac.id/downloadlfklpenyakit.dalam.pdf. e-USU Repository.2004. 3. Garcia, Lynne S & David A. Bruckner. "Diagnostik Parasitologi Kedokteran". Alih Bahasa: Dr. Robby Makimian, MS. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996. Jakarta. 4. Rasmaliah. "Epidemiologi Amoebiasis dan Upaya Pencegahannya". FKM USU. http://library.usu.ac.ididownloadlfklpenyakit.dalam.pdf. e-USU Repository. 2003. 5. Lacasse, Alexandre. "Amebiasis". Medscape CME. 2009. University of Tennessee, Memphis. 6. Andasayari L. dan Anogital. Kajian Epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan yang Disebabkan oleh Amoeba di Indonesia. Media Litbang Kesehatan Volume 21 Nomor 1 Tahun 2011. 7. Mardani, AZ. Cited at https://www.pdfcoke.com/doc/21393467/Referat-Disentri

23

Related Documents


More Documents from "Adam Aljabar"