Laporan Praktikum Kelompok 6.docx

  • Uploaded by: Rohmah Isnaini Ramadhani
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Praktikum Kelompok 6.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 23,632
  • Pages: 144
LAPORAN PRAKTIKUM Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitofarmaka

KELOMPOK: 6 KELAS: D Sukmawansyah

201410410311016

Sakinah Musaad

201510410311138

Meilya Hayyu Saputri

201510410311166

Dima Atsyari Novianti

201510410311182

Ayudya Rizky P.

201510410311196

DOSEN PEMBIMBING: Siti Rofida, S.Si., M.Farm., Apt. Amaliya Dina Anggraeni, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018/2019

KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah laporan praktikum fitofarmaka, mengenai “Pembuatan Ekstrak Rimpang Kaempferia galanga, Penentuan Parameter Mutu Ekstrak Kaempferia galanga, Penetapan Kadar Senyawa Marker Pada Ekstrak Kaempferia galanga, Pembuatan Kapsul Ekstrak Kencur dan Penetapan Kadar Senyawa Marker EPMS dalam Kapsul, dan Penetapan Kadar Senyawa Marker EPMS dalam Sediaan Kapsul”. Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua anggota yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Malang, 17 Desember 2018

Penulis

LAPORAN PRAKTIKUM

PEMBUATAN EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galangal L.) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitofarmaka

KELOMPOK: 6 KELAS: D

Sukmawansyah

201410410311016

Sakinah Musaad

201510410311138

Meilya Hayyu Saputri

201510410311166

Dima Atsyari Novianti

201510410311182

Ayudya Rizky P.

201510410311196

DOSEN PEMBIMBING: Siti Rofida, S.Si., M.Farm., Apt. Amaliya Dina Anggraeni, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018/2019

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir (Badan POM. RI., 2004 ). Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication), profesi kesehatan atau dokter umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat. Untuk itulah dikembangkan Obat Tradisional menjadi fitofarmaka. 1.2 Tujuan 1. Untuk mengetahui proses ekstraksi dengan metode maserasi ultrasonika pada tanaman (Kaempferia galanga). 2. untuk mendapatkan ekstrak kering dari simplisia rimpang kencur (Kaempferia galanga) 1.3 Manfaat Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang proses ekstrasi dengan metode maserasi kinetika pada tanaman kaemferia galanga.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kencur (Kaemferia galanga L) Kencur

(Kaempferia galanga L.) termasuk suku tumbuhan zingeberaceae dan

digolongkan sebagai salah satu jenis temu-temuan yang mempunyai daging buah paling lunak dan tidak berserat. Kencur merupakan temu kecil yang tumbuh subur di daerah dataran rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur (Armando, 2009). Bagian tanaman yang sering digunakan adalah rimpangnya yang mempunyai aroma yang sangat khas dan lembut sehingga mudah membedakannya dengan jenis Zingeberaceae lain. Kencur banyak digunakan dalam berbagai ramuan obat tradisional, seperti: obat batuk, disentri, masuk angin, sakit perut, penambah nafsu makan, dan lain- lain. Kandungan kimia dari rimpangkencur adalah pati, mineral, flavonoid, akaloida, dan minyak atsiri. Minyak atsiri di dalam rimpang kencur banyak digunakan dalam industri kosmetika dan dimanfaatkan sebagai anti jamur ataupun anti bakteri (Anonim, 2009). Kencur merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di Indonesia, termasuk jenis herba berbatang semu pendek, behkan tidak berbatang. Memiliki jumlah daun 2-4 helai dan letaknya saling berlawanan (Afriastini, 2002). Daun kencur berbentuk bulat lebar, tumbuh mendatar diatas permukaan tanah, panjang daun 10-12 cm dengan lebar 8-10 cm berdaging agak tebal, mudah patah, bentuk elips, melebar dan bundar (Backer, 1986). Klasifikasi Kaempferia galanga L di dalam dunia botani adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1

Tanaman (Kaempferia galanga) Klasifikasi Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnolyophyta

Kelas

: Liliopsida

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Genus

: Kaempferia

Spesies

: Kaempferia galanga

A. Kandungan kimia Menurut Hargono (1995) bahwa kandungan senyawa Kaemferia galanga L. yaitu: 1. Daun

: alkaloid,borneol, dan eucaplitol

2. Rimpang

: Tannin,saponin,kalsium oksalat,borneol,kamfen,etilalkohol,minyak atsiri

(2,4%-3,9%) terdiri etil p-metoksisinamat,asamp-metoksisinamat,asam transinamat,pmetoksi stirena Kandungan

semyawa

popanoat,pentadekana,etil sineol,undekanon,isopropil

yang

terdapat

secara

p-metoksisinamat,kandungan sinama,alpha

gurjunene,etil

melimpah lainya sikloheksil

yaitu yaitu

asam 1,8-

asetat,2,4-dietil

asetat,borneol.(Umar et al.,2011) B. Manfaat Kaemferia galanga L. Zingiberaceae telah ditemukan sebagai sumber yang di perlukan sekali untuk agen pencegah kanker sejak tumbuhan dari familia zingiberaceae didemontrasikan kemungkinan efek hambatanya pada pertumbuhan kanker payudara,kanker kolon, kanker paru-paru,kanker perut,kanker serviks. Dilaporkan juga pda skrining ekstrak atau minyak esensial dari sejumlah

anggota family zingeiberaceae yaitu dapat melawan strain bakter,jamur,dan ragi (Tang et al,.2014) 2.2 Ekstraksi Ekstraksi adalah pemisahan zat target dan zat yang tidak berguna dimana teknik pemisahan berdasarkan perbedaan distribusi zat terlarut antara dua pelarut atau lebih yang saling bercampur. Pada umumnya, zat terlarut yang diekstrak bersifat tidak larut atau sedikit larut dalam suatu pelarut tetapi mudah larut dengan pelarut lain (Harbone, 1987). Maserasi adalah pemisahan zat target dengan zat sisa menggunakan prinsip sifat polaritas dimana akan ada pelarut yang sifat polaritasnya sesuai dengan zat target. Keuntungan dari metode ini adalah dapat digunakan secara praktis serta menggunakan alat dan bahan sederhana serta dapat menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak. Selain itu, senyawa dalam simplisia relatif terhindar dari perubahan kimia oleh senyawa-senyawa atau adanya pemanasan (Pratiwi,2009). Ekstraksi adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai dalam standar prosedur ekstraksi (ICS-UNIDO, 2008; Ditjen POM, 2000). Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit sekunder) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah sifat kepolaran, dapat dilihat dari gugus polar senyawa tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut (Ditjen POM, 1992). 2.3 Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan (Depkes RI, 2000). Maserasi merupakan metode yang paling sederhana dalam pemisahan zat, yaitu dengan cara merendam bahan alam yang telah dikeringkan dalam suatu campuran pelarut. Periode maserasi 24 jam memungkinkan pelarut berdifusi melalui obat,melarutkan unsur penyusun dan melepaskan bahan terlarut (Handa, et al., 2008). 2.4 Maserasi Kinetika Salah satu metode maserasi yaitu maserasi kinetik. Penyarian dengan maserasi kinetik diperlukan pengadukan yang berputar dan kontinu (terus menerus). Hal ini untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga tetap terjaga derajat perbedaan konsentrasinya yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Selanjutnya, hasil dari penyarian didiamkan selama waktu tertentu untuk mengendapkan zat yang tidak diperlukan yang ikut terlarut dalam cairan penyari (Depkes RI, 2000;Indrawati & Razimin, 2013). 2.5 Maserasi Ultrasonik Maserasi ultrasonik merupakan prosedur yang melibatkan penggunaan ultrasound dengan frekuensi berkisar antara 20 kHz sampai 2000 kHz, hal ini untuk meningkatkan permeabilitas dinding sel dan menghasilkan kavitasi. Aplikasi metode ini dalam skala besar terbatas karena biaya yang lebih tinggi. Salah satu kelemahan dari prosedur ini adalah efek energi ultrasound yang lebih dari 20 kHz terhadap unsur penyusun tanaman obat yang aktif unsur aktif tanaman obat melalui pembentukan radikal bebas akan mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan pada molekul obat (Handa, et al.,2008).

BAB III PROSEDUR KERJA 3.1 Skema Kerja 1.1.1

Maserasi Ultrasonik

Serbuk rimpang kencur 50g

Maserasi ultrasonik kembali +200ml etanol pada masing2 residu

Masukkan dalam bejana ultrasonik dan getarkan 15 menit

Semua filtrat dipekatkan hingga +/400ml

Masukkan dalam loyang, ratakan

masukkan dalam bejana maserasi (erlemeyer 250ml)

lakukan ulang sebanyak 7 kali

+200ml etanol 96% ke 8masingmasing erlemeyer

Saring dan tampung filtrat

Masukkan dalam bejana ultrasonik dan getarkan 15 menit

Aduk sampai serbuk terbasahi

Saring dan tampung filtrat

Maserasi ultrasonik kembali +200ml etanol pada masingmasing residu

Masukkan dalam bejana ultrasonik dan getarkan 15 menit

Kalibrasi labu rotavapor 400ml

Kumpulkan fltrat semua menjadi satu

Saring dan tampung filtrat

Taburkan hingga rata

Diamkan semalaman (kering)

+5% cab-osil dari ekstrak 20g

Beri label identifikasi

Homogenkan dan simpan pada wadah tertutup (botol selai)

Pada praktikum kali ini, menggunakan rimpang kencur (kaemferia galanga) yang akan diekstraksi dengan pelarut etanol 96%. Serbuk rimpang kencur ditimbang sebanyak 50 g dan dimasukkan kedalam bejana. Tambahkan etanol 96% sebanyak 200 ml, tutup mulut bejana dan lakukan pengadukkan pada kecepatan tertentu selama 15 menit. Kemudian saring dan tampung filtrat, lalu lakukan maserasi ultrasonika kembali dengan menambahakan larutan etalon 96% sebanyak 200 ml dan lakukan pengadukan selama 15 menit. Saring dan tampung filtrat. Ditambahkan larutan etanol 96% sebanyak 200 ml dilakukan pengadukkan selama 15 menit. Saring dan tampung filtrat. Tambahkan larutan etanol sebanyak 200 ml etanol 96 %, kemudian saring dan tampung filtrat. Lakukan kalibrasi labu rotavapor beri tanda pada volume 400ml. Fitltrat yang telah dikumpulkan dipekatkan dengan rotavapor dan pindahkan hasilnya kedalam loyang ratakan. Setelah itu tambahkan cab-o-sil sebanyak 5% sedikit demi sedikit, diamkan semalaman. homogenkan dan simpan pada wadah tertutup dan berikan label identitas pada wadah. 3.2 Alat dan Bahan 

Alat 1. Labu Erlenmeyer. 2. Batang pengaduk. 3.

Rotavapor.

4. Penyaring.



5.

Botol selai.

6.

Pipet Panjang.

7.

Alumunium Foil.

8.

Kertas saring.

9.

Kertas label.

Bahan 1. Serbuk rimpang kencur. 2.

Etanol 96 %.

3.

Cab – o -sil.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan a. Identitas Nama ekstrak

: Ekstrak Galanga Rizhoma

Nama tanaman

: Kaemferia galangal L.

Bagian tanaman

: Rimpang

Nama Indonesia

: Kencur

b. Organoleptis Bentuk

: Serbuk rimpang

Warna

: Kuning pucat

Bau

: Khas aromatic

Rasa

: Pahit, kelat, pedas

4.2 Perhitungan Jumlah serbuk yang ditimbang

: 400 gram

Jumlah hasil ekstrak

: 55,60 gram

Berat Cab-o-sil

: 20 gram

Bobot ekstrak

: 55,60 gram – 20 gram = 35,6 gram

Perhitungan persen randemen ekstrak kencur 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑘𝑒𝑛𝑐𝑢𝑟

% Randemen = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑘𝑒𝑛𝑐𝑢𝑟 × 100% 35,60 𝑔𝑟𝑎𝑚 400 𝑔𝑟𝑎𝑚

× 100%=8,9%

Hasil kelompok lain : Kelompok 1 : 10,59% (perendaman) Kelompok 2 : 9,86% (kinetik) Kelompok 3 : 9,67% (perendaman) Kelompok 4 : 9,63% (kinetik) Kelompok 5 : 8,88% (perendaman) Kelompok 6 : 8,90% (ultrasonik) Kelompok 7 : Kelompok 8 : 9,49% (ultrasonik) Kelompok 9 : 11,63% (perendaman) 4.3 Pembahasan Pada praktikum kali ini kelompok 6 melakukan pembuatan ekstrak rimpang kencur (Kaemferia galangal L.) dengan metode ultrasonik dengan frekuensi getar 45 kHz selama 15 menit, proses ini dilakukan sebanyak tiga kali agar proses ekstraksi zat aktif dapat berlangsung lebih optimal. Pelarut yang digunakan adalah etanol 96% karena lebih seektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol, dan absorbansinya baik. Tahap selanjutnya adalah evaporasi dengan menggunakan rotary vacuum tujuan dilakukannya evaporasi adalah untuk memisahkan zat pelarut dari zat terlarut di dalamnya tanpa pemanasan yang tinggi agar ekstrak menjadi pekat. Setelah itu ekstrak pekat dituangkan ke dalam Loyang lalu ditaburi dengan cab-o-sil 20 gram untuk membantu mempercepat proses pengeringan, dan didiamkan pada suhu kamar hingga ekstrak menjadi kering. Didapatkan sebanyak 55,60 gram, kemudian dihitung persen randemen dan didapatkan hasil 8,90%. Pada farmakope herbal dituliskan bahwa persen randemen dari ekstrak kencur adalah tidak kurang dari 8,3% sehingga hal ini menunjukkan bahwa hasil yang kelompok kami dapatkan cukup baik karena persen randemen kami tidak kurang dari persyaratan dalam farmakope herbal. Jika dibandingkan dengan kelompok lain kelompok kami persen randemennya lebih kecil, hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti suhu, waktu, frekuensi getar, penambahan pelarut, dan penyaringan. Kecilnya persen randemen yang kami

dapatkan kemungkinan karena kurang kuntitatif nya kelompok kami dalam mengukur zat pelarut sehingga zat pelarut kurang maksimal dalam melarutkan zat terlarut (serbuk rimpang kencur), tetapi tidak menutup kemungkinan juga kesalah dalam waktu sonikasi, waktu yang kurang dalam sonikasi dapat menyebabkan kurangnya pengacauan dinding sel sehingga pembebasan kandungan di dalamnya tidak maksimal.

BAB V KESIMPULAN Didapatkan ekstrak rimpang kencur (Kaemferia galangal L.) sebanyak 55,60 gram dan persen randemen sebanyak 8,90% yang masuk dalam persyaratan dalam farmakope herbal Indonesia atau tidak kurang dari 8,3%.

DAFTAR PUSTAKA

Afriastini, J.J., 2002. Bertanam Kencur. Edisi Revisi. Penerbit Penebar Swadaya. hal 1-33. Backer, C. A. R. C. B. Van den Briak, 1986. “Flora of Java”. Vol 2 Walters Noordhoff. N. V. Groningen. P. 33. Ditjen POM, 1992, Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Ditjen POM, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 10-12. Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Handa, S.S., Sukhdev, S.H., Suman, P.S.K., Gennaro, L., and Dev Dutt, R., 2008. Extraction Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. Trieste:International Centre for Science and High Technology. InfoPOM, 2005. Standarisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Salah Satu Tahapan Penting dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. Badan Pengawas Obat dan MAkanan Republik Indonesia, Vol 6, No. 4, Juli 2005. Penyakit. Jakarta: PT Agro Media Pustaka. Sarker SD, Latif Z, & Gray AI. 2006. Natural products isolation. In: Sarker SD, Latif Z, & Gray AI, editors. Natural Products Isolation. 2nd ed. Totowa (New Jersey). Humana Press Inc. hal. 6-10, 18.

LAMPIRAN

LAPORAN PRAKTIKUM

PENENTUAN PARAMETER SPESIFIK DAN NON SPESIFIK EKSTRAK KENCUR (Kaempferia galangal L.) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitofarmaka

KELOMPOK: 6 KELAS: D Sukmawansyah

201410410311016

Sakinah Musaad

201510410311138

Meilya Hayyu Saputri

201510410311166

Dima Atsyari Novianti

201510410311182

Ayudya Rizky P.

201510410311196

DOSEN PEMBIMBING: Siti Rofida, S.Si., M.Farm., Apt. Amaliya Dina Anggraeni, M.Farm., Apt. PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018/2019

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya alam hayati (SDAH) menjadi semakin menarik ketika mendapat pengakuan masyarakat dan dunia sebagai bahan baku obat- obatan tradisional (jamu) (Sukara, 2002). Perkembangan yang cukup pesat ini perlu didukung oleh pembuktian secara ilmiah, terutama mengenai mutu, keamanan, dan kemanfaatan obat tradisional tersebut. Pemakaian obat tradisional untuk pengobatan telah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hasil dan manfaatnya telah dirasakan secara langsung, sehingga penggunaan obat tradisional ini ada kecenderungan semakin meningkat. Hal ini tampak dengan semakin meningkatnya pemakaian jamu dan industri obat tradisional yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Pada saat ini, dorongan kembali ke alam semakin menguasai masyarakat. Pengobatan secara sintetis dirasakan terlalu mahal dengan efek samping yang cukup serius. Meningkatnya pemakaian obat tradisional mengakibatkan peningkatan penggunaan tanaman obat, namun hal ini tidak diimbangi dengan pembudidayaan dan pelestarian plasma nutfahnya. Sampai saat ini, bahan baku obat tradisional masih berasal dari tumbuhan liar atau dari petani kecil. Umumnya tanaman obat belum dibudidayakan dengan baik, sehingga kualitas simplisia yang dihasilkan tidak seragam. Keterbatasan kemampuan para petani dan pengumpul dalam menangani simplisia juga menyebabkan simplisia yang dihasilkan bermutu rendah. Kegiatan yang berkaitan dengan upaya pengembangan tanaman obat meliputi: pemetaan ekonomis flora alami, seleksi dan pembuktian keaslian spesies tanaman, pengumpulan data etnobotanik, percobaan pemuliaan untuk pengembangan varietas dengan hasil tinggi, budi daya tanaman skala menengah, penelitian kimia kandungan bahan aktif, penelitian farmakologi dan toksikologi, pembuatan ekstrak tanaman skala pilot plan, standardisasi ekstrak, formulasi ekstrak ke bentuk sediaan tablet, penelitian toksisitas terhadap formulasi, penelitian analitis produk formulasi (Yuliani, 2001). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 55/Menkes/SK/1/ 2000, obat tradisional yang beredar di Indonesia harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatannya (anonim, 2000), dan Undang-undang kesehatan mengamanatkan bahwa

pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan, untuk digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat (sukara, 2002). Dalam upaya standarisasi ekstrak, maka pentingnya dilakukan uji parameter spesifik dan non spesifik agar memenuhi persyaratan mutu yang diinginkan.

1.2 Tujuan Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui dan menerapkan parameter mutu spesifik dan non spesifik ekstrak kering rimpang kencur (Kaempferia galanga) sesuai standar yang telah ditetapkan

1.3 Manfaat Berdasarkan tujuan di atas maka manfaat yang diperoleh yaitu mahasiswa dapat mengetahui parameter-parameter yang menetukan mutu serta prosedur penentuan mutu ekstrak rimpang kencur ( Kamferia galanga L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standardisasi ekstrak Standardisasi ekstrak adalah penentuan parameter kualitatif dan kuantitatif baik terhadap senyawa aktif maupun senyawa khas lainnya dan sifat kimianya. Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal/simplisia, karenanya sebelum diproses menjadi ekstrak, simplisia/bahan awal yang akan diekstraksi harus pula distandarisasi. Dua faktor yang mempengaruhi mutu simplisia adalah faktor biologi dan kimia. Faktor biologi meliputi beberapa hal, yaitu: 1. Identitas jenis (spesies), jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat dikonfirmasikan sampai informasi genetika sebagai faktor internal untuk validasi jenis. 2. Lokasi tumbuhan asal. Lokasi merupakan faktor eksternal, yaitu lingkungan dimana tumbuhan

bereaksi bisa berupa energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air,

senyawa organik dan anorganik) 3. Periode pemanenan hasil tumbuhan. Pemanenan yang dilakukan tidak pada waktunya bisa mempengaruhi kendungan senyawa. 4. Penyimpanan bahan tumbuhan. Ruang atau wadah yang digunakan untuk menyimpan bisa mempengaruhi mutu senyawa tanaman. 5. Umur tanaman dan bagian yang digunakan. Hal ini sangat menentukan keberadaan senyawa kimia seperti klorofil yang terdapat di daun. Faktor kimia meliputi beberapa hal, yaitu: Faktor internal seperti jenis, komposisi, kualitatif dan kuantitatif serta kadar total rerata senyawa aktif dalam bahan. Faktor eksternal seperti metode ekstraksi, perbandinga ukuran alat ekstraksi, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat dan kandungan pestisida. Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma untuk kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi). Termasuk jaminan (batas-batas)

stabilitas sebagai produk kefarmasian pada umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Standardisasi secara normatif ditujukan untuk memberikan efikasi yang terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan konsumen. Standardisasi obat herbal meliputi dua aspek: 1. Aspek parameter spesifik: berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap senyawa aktif. 2. Aspek parameter non spesifik: berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas misal kadar logam berat, aflatoksin, kadar air dan lain- lain 2.2 Standardisasi Obat Herbal Standardisasi obat herbal merupakan rangkaian proses melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam atau tumbuhan obat herbal (Saifudin et al., 2011). Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur- unsur terkait pradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas- batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Dengan kata lain, pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak yaitu faktor biologi dari bahan asal tumbuhan obat dan faktor kandungan kimia bahan obat tersebut. Standardisasi ekstrak terdiri dari parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik (Depkes RI, 2000). a. Parameter-parameter Standar Ekstrak Parameter - parameter standar ekstrak terdiri dari parameter spesifik dan parameter non spesifik. 1. Parameter Spesifik Ekstrak

Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu. Parameter spesifik ekstrak meliputi: a. Identitas Parameter identitas esktrak meliputi: deskripsi tata nama, nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb) dan nama Indonesia tumbuhan. b. Organoleptis: Parameter organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana se- objektif mungkin. c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/ air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan. Nilai - Nilai minimal atau rentang yang ditetapkan terlebih dahulu (BPOM, 2000). a. Sari larut air, tidak kurang dari 14,2 % (FHI, 2008) b. Sari larut etanol, tidak kurang dari 4,2 % (FHI, 2008) d. Uji kandungan kimia ekstrak  Pola kromatogram Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT, KCKT) (Depkes RI, 2000). Nilai: - Kesamaan pola dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu (BPOM, 2000).  Kadar kandungan kimia tertentu Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan adalah densitometri, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang sesuai. Tujuannya

memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi (Depkes RI, 2000). Nilai: - Minimal atau rentang kadar yang telah ditetapkan (BPOM, 2000).  Kadar Total Golongan Kandungan Kimia Dengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetri, gravimetri atau lainnya dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linieritas. Tujuannya adalah memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis. Nilai: - Minimal atau rentang yang telah ditetapkan (BPOM, 2000). c.

Kadar simplisia minyak atsiri: tidak kurang dari 2,40 % v/b

d.

Kadar simplisia etil p-metoksisinamat: tidak kurang dari 1,80 % v/b

e.

Kadar ektrak minyak atsiri: tidak kurang dari 7,93 % v/b

f.Kadar ekstrak etil p-metoksisinamat: tidak kurang dari 4,30 % v/b (FHI, 2008). 1. Parameter Non Spesifik Ekstrak Parameter non spesifik ekstrak meliputi (Depkes RI, 2000): a) Susut Pengeringan Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai berat konstan yang dinyatakan dalam persen. Tujuannya adalah untuk memberikan batas maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan (BPOM, 2000). Nilai: - Susut pengeringan simplisia : tidak lebih dari 10 % (FHI, 2008). b) Bobot jenis Parameter bobot jenis adalah massa per satuan volume yang diukur pada suhu kamar tertentu (25C) yang menggunakan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya adalah memberikan batasan tentang besarnya massa persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang, bobot jenis juga terkait dengan kemurnian dari ekstrak dan kontaminasi. Nilai: Minimal atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. c) Kadar air

Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI,2000). Persyaratan berdasarkan Farmakope Herbal adalah kadar air dalam ekstrak tidak lebih dari 10% (FHI, 2008) Nilai: - Maksimal atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (BPOM, 2000). g. Kadar air tidak lebih dari 10 % (FHI, 2008) d) Kadar abu Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik, yang memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya esktrak. Parameter kadar abu ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak. Nilai: - Maksimal atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. h. Kadar abu total simplisia: tidak lebih dari 8,7 % i. Kadar abu tidak larut asam simplisia: tidak lebih dari 2,5 % j. Kadar abu total ekstrak: tidak lebih dari 0,5 % k. Kadar abu tidak larut asam ekstrak: tidak lebih dari 0,2 % e) Sisa pelarut Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut tertentu yang mungkin terdapat dalam ekstrak. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Pengujian sisa pelarut berguna dalam penyimpanan ekstrak dan kelayakan ekstrak untuk formulasi (Putri et al., 2012). Nilai: - Maksimal yang diperbolehkan. Namun dalam hal pelarut berbahaya seperti kloroform nilai harus negatif sesuai deteksi instrumen. Terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. f) Cemaran mikroba Parameter cemaran mikroba adalah penentuan adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa ekstrak

tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan bahaya (toksik) bagi kesehatan. Nilai: - Pemeriksaan kuman boleh positif tetapi harus mempunyai batas serta tidak boleh mengandung bakteri patogen, misalnya Salmonella sp, Escherichia coli, Staphylococcus sp, Stretococcus sp, vibrio cholera, Bacillus sp, Pseudomonas sp, Shigella sp, Priteus sp. l.

ALT

: <106

m.

Angka kapang khamir : <106

n. E. coli

: -/9

o. Salmonella

: -/9

p. P. Aeruginosa

: -/9

q. S. aureus

: -/9

g) Cemaran aflatoksin Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur. Aflatoksin sangat berbahaya karena dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenik (mutagi gen), teratogenik (penghambatan dan pertumbuhan janin) dan karsinogenik (menimbulkan kanker pada jaringan) (Rustian, 1993). Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan bahwa ekstraksi tidak mengandung cemaran jamur melebihi batas yang telah ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan aflatoksin berbahaya bagi kesehatan (BPOM, 2008). Jika ekstrak positif mengandung aflatoksin maka pada media pertumbuhan akan menghasilkan koloni berwarna hijau kekuningan sangat cerah (Saifudin et al., 2011). Nilai: - Menjadi persyaratan tapi tidak harus nol r. AKK: <106 s. Aflatoksin: <20 µg/kg h) Cemaran logam berat Parameter cemaran logam berat adalah penentuan kandungan logam berat dalam suatu ekstrak, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi batas yang telah ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).

Nilai: - Pd

: ≤ 10 mg/kg atau mg/l atau ppm

t. Cd

: ≤ 0,3 mg/kg atau mg/l atau ppm

u. As

: ≤ 5 mg/kg atau mg/l atau ppm

v. Hg

: ≤ 0,5 mg/kg atau mg/l atau ppm

(BPOM, 2014)

2.2 Alat dan Bahan Bahan:

Alat: 



Ektrak kering rimpang kencur





Aquadest



Corong



Kaki tiga



Kloroform



Oven



Bunsen



Etanol 96%



Cawan penguap



Penjepit kayu



Kertas saring



Krus silikat



Analytical

Corong pisah

Desikator

balance

2.3 Prosedur Kerja A. Parameter Spesifik 1. Identitas a. Deskripsi tata nama: 

Nama ekstrak (generik, dagang, paten)



Nama latin tumbuhan (sistematika botani)



Bagian yang digunakan (rimpang, daun, dsb)



Nama Indonesia tumbuhan

b. Senyawa Identitas, senyawa tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. 2. Organoleptik Penggunaan pancaindra mendeskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa: 

Bentuk

: padat, serbuk- kering, kental, cair.



Warna

: kuning, coklat, dll.



Bau

: aromatik, tidak berbau, dll.



Rasa

: pahit, manis, kelat, dll.

B. Parameter Non- Spesifik 1. Susut Pengeringan Cawan penguap di panaskan pada suhu 105C

Dipanaskan dalam oven dengan suhu 105C selama 30 menit

Didinginkan dalam desikator

Didinginkan selama 10 menit dalam desikator

Dimasukkan ke dalam cawan penguap

Ditimbang cawan kosong

Ditimbang ekstrak 1-2 gram

Ditimbang cawan+ ekstrak ad berat konstan

2. Kadar Air

Tekan ON pada tombol alat MC

Ditunggu 5 menit

Wadah tempat ekstrak dibersihkan

Penutup ditutup kembali

Penutup ditutup sampai menunjukkan angka 0,00

Ekstrak dimasukkan sampai rentang 2,6- 2,7 g

Catatan: Toluen P adalah toluen yang sudah dijenuhkan dengan

Dicatat hasil MC

air suling. Sebanyak 200 ml toluen ditambah 5 ml air suling, kemudian dikocok beberapa saat, lalu lapisan air dipisahkan.

3. Senyawa Terlarut dalam Pelarut tertentu a. Kadar senyawa larut air

Ditimbang 5.0 g ekstrak

Dimasukkan kedalam corong pisah

Disaring

Dibiarkan selama  20 jam

Diambil filtrat sebanyak 20 ml

Ditampung dalam cawan penguapan yang sudah ditara

4. Kadar Abu

(+) 100 ml air kloroform LP

Dikocok berkali- kali selama 4 jam

Diuapkan ad kering

Residu dipanaskan pada suhu 105C ad bobot konstan

b. Kadar senyawa larut etanol

Ditimbang 5.0 g ekstrak

Dimasukkan kedalam corong pisah

(+) 100 ml etanol 95%

disaring

Dibiarkan selama ± 2o jam

Dikocok berkali-kali selama 4 jam

Diambil filtrat sebanyak 20 ml

Ditampung dalam cawan penguapan yang sudah ditara

Diuapkan ad kering

Residu dipanaskan pada suhu 105C ad bobot konstan

3. Kadar Abu Total

BAB III HASIL PENGAMATAN  Parameter spesifik 

Identitas



Identitas tata nama o Nama ekstrak = serbuk kering ekstrak kencur o Nama latin tumbuhan = Kaemferia galangal. L o Bagian yang digunakan = rimpang o Nama indonesia tumbuhan = kencur o Senyawa identitas = Etil p-metoksisinamat



Organoleptik o Bentuk = serbuk kering o Warna = cokelat muda (cream) o Bau = khas aromatic o Rasa = pahit



Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

pelarut

Aquadest+kloroform

Cawan kosong (g) Cawan+ekstrak

68,6366 g

Ekstrak (g)

Kadar %

0,5660 g

56,60 %

0,8109 g

81,09 %

68,6365 g 68,6365 g etanol

70,3040 g 70,3040 g 70,3038 g

Perhitungan kadar % 1. Kadar senyawa larut aquadest + kloroform = =

( 𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛+𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘−𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔)𝑥 100 𝑚𝑙 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑥 20 𝑚𝑙 (68,6365 𝑔−68,0705 𝑔)𝑥 100 𝑚𝑙 5,000 𝑔 𝑥 20 𝑚𝑙

𝑥 100%

𝑥 100%

= 56,60%

2. Kadar senyawa larut etanol = =

( 𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛+𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘−𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔)𝑥 100 𝑚𝑙 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑥 20 𝑚𝑙

(70,3039 𝑔−69,4390 𝑔)𝑥 100 𝑚𝑙 5,000 𝑔 𝑥 20 𝑚𝑙

𝑥 100%

𝑥 100%

= 81,09%  Parameter non spesifik o Susut pengeringan Cawan kosong (g)

Cawan + ekstrak (g) Ekstrak (g)

Kadar%

65,0043 g

66,7740 g

11,52%

66,7739 g 66, 7738 g

% kadar = =

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 2,000 𝑔−1,7696 𝑔 2,000 𝑔

𝑥 100%

𝑥 100%

= 11,52% o Kadar air (MC/moisture consent) -

Menit ke 3’ : 3,40%

-

Menit ke 10’ : 5,45%

1, 7696 g

o Kadar abu total Kurs kosong (g)

Pemijaran (kurs+ekstrak)

Berat abu (g)

Kadar (%)

40,9833 g

41,6705 g

0,6872 g

22,91%

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢

% kadar = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑥 100% =

0,8672 𝑔 3,000 𝑔

= 22,91%

𝑥 100%

BAB V PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan parameter mutu ekstrak dari Kaemferia galangal. Parameter yang ditetapkan terdiri dari parameter spesifik dan non spesifik. Parameter tersebut bertujuan untuk menjamin ekstrak tersebut mempunyai nilai parameter tertentu yang baik atau konstan. Pengujian parameter spesifik meliputi identitas ekstrak, organileptis ekstrak dan senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (air dan etanol). Tujuan dilakukan pengyjian identitas esktrak adalah untuk memberikan objektifitas dari nama dan spesifikasi tanaman, sedangkan pengamatan organoleptis ekstrak bertujuan untuk pengenalan awal mendeskripsikan bentuk, warna dan rasa. Pada pengujian parameter mutu spesifik senyawa yang terlarut dalam pelarut tertentu, didapatkan parameter hasil senyawa terlarut air yakni 56,60%, yang dimana hasil tersebut memenuhi persyaratan dari farmakope Herbal yang tidak kurang dari 14,2%. Dan didapatkan presentasi hasil senyawa terlarut etanol yakni 81,90% dimana hasil tersebut juga memenuhi persyaratan farmakope Herbal yakni tidak kurang dari 4,2%. Pada hasil pengujian ini terlihat bahwa ekstrak kencur lebih larut dalam etanol dibandingkan dengan air, dengan kata lain sebagai perkiraa kasar bahwa kandungan senyawa aktif yang bersifat non-polar dan bersifat polar. Tahap pengujian parameter non spesifik meliputi susut pengeringan, kadar air dengan menggunakan MC analyzer dan kadar abu total. Susut pengeringan merupakan salah satu parameter non spesifik yang bertujuan untuk memberikan batasan maksimal rentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Hasil yang didapatkan pada kelompok kami adalah yakni seberat 11,52% dimana hasil ini tidak sesuai dengan standar kadar air yang telah ditetapkan farmakope Herbal yaitu tidak boleh lebih dari 10%. Pengujian selanjutnya yakni pengujian kadar air, yang bertujuan untuk menetapkan residu air setelah proses pengentalan dan pengeringan. Hasil pengujian didapatkan kadar air pada menit ke 3’ = 3,40% dan menit ke 10’= 5,45%. Pada kelompok kami hanya menghitung

mulai dari menit ke 3’ dan menit ke 10’, dan hasil yang diperoleh sesuai dengan standar kadar air yang telah ditentukan oleh farmakope Herbal, tidak boleh lebih dari 10%. Untuk selanjutnya yang terakhir adalah pengujian kadar abu, pada kelompok kami tidak dapat dihitung kadarnya, dikarenakan terjadi kesalahan dalam praktikum sehingga tidak dapat terbentuk abu saat proses pemanasan ekstrak di dalam porselin. Ketidaksesuain hasil yang diperoleh dengan standar yang telah di tetapkan di sebabkan oleh beberapa factor seperti ketidaktelitian praktikan dalam melakukan serangkaian prosedur pengujian tersebut. Berikut di bawah ini, data praktikum dari beberapa kelompok kelompok Senyawa terlarut dalam pelarut

Susut

Kadar air

Kadar abu

Aquadest + kloroform Etanol

pengeringan

(MC) menit ke 10’

1.

38,09%

39,56%

8,56%

7,68%

63,91%

2.

25,99%

48,05%

15,18%

-7,37%

20,7%

3.

50,14%

91,54%

15,61%

6,65%

30,16%

4.

22,52%

49,46%

11,72%

6,75%

56,16%

5.

37,41%

72,02%

15,43%

6,49%

36,58%

6.

56,60%

81,09%

11,52%

5,45%

22,91%

7.

32,65%

60,92%

14,71%

6,68%

35,21%

8.

37,47%

38,76%

14,57%

5,65%

34,77%

9.

28,34%

46,32%

8,86%

7%

25,77%

Dari data kelompok di atas, terlihat bahwa kelompok kami dan kelompok yang lain tidak mendapatkan hasil yang sama, data masing-masing kelompok diketahui ada yang memenuhi persayaratan farmakope Herbal da nada juga pada kelompok lain tidak masuk dalam persyaratan yang telah ditentukan. Perbedaan ini disebabkan karena hasil yang diperoleh dengan standar yang ditetapkan dalam farmakope Herbal bisa disebabkan oleh banyak factor.

Misalnya ketidaktelitian praktikan dalam melakukan serangkaiam prosedur pengujian baik pengujian parameter spesifik maupun parameter non spesifik. Factor –farktor lain yang masih belum diketahui juga menjadi penghambat atau ketidaktepatan hasil pengujian tersebut.

BAB VI KESIMPULAN Pada praktikum kali ini ditetapkan hasil pada uji parameter spesifik dan non spesifik, sebagai berikut: 

Parameter spesifik. -

Identitas, yaitu nama tanaman dalam bahasan Indonesia yaitu kencur

-

Organoleptis, berbentuk serbuk kering, cokelat muda, bau khas, rasa pahit

-

Senyawa terlarut aquadest: 56,60%

-

Senyawa terlarut etanol: 81,09%

Yang dimana senyawa terlarut etanol dan aquadest ini telah memenuhi persyaratan farmakoper Herbal yang telah ditetapkan. Yakni senyawa terlarut aquadest tidak kurang dari 14,2% dan senyawa terlarut etanol tidak kurang dari 4,2% 

Parameter non spesifik. -

Susut pengeringan; 11,52%

-

Kadar air pada menit ke 10’: 5,45%

-

Kadar abu total: -

Dapat disimpulkan bahwa untuk susut pengeringan tidak memenuhi persayatan yang telah ditetapkan, yaitu menurut farmakope Herbal tidak boleh lebih dari 10%, untuk kadar air sudah memenuhi standar kadar air yang ditentukan yakni tidak lebih dari 10% dan kadar abu total tidak dapat diketahui kadarnya karena tidak terbentuk abu pada saat proses pemanasan.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat cetakan pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2, 13, 17, 21, 35 – 36. Ditjen POM, Depkes RI , 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 9-11,16. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2014. Sentra Informasi Keracunan (SIKer) Nasional. http://ik.pom.go.id/v2014/. Diakses 15 September 2015 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Farmakope Herbal Indonesia, 113-115, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Sukara, E. 2002. Sumber daya alam hayati dan pencarian bahan baku obat (bioprospecting). Prosiding simposium nasional II tumbuhan obat dan aromatik. Saifudin, A., Rahayu, A., & Teruna, H. Y., 2011,Standarisasi Bahan Obat Alam, Graha ILmu, Yogyakarta Yuliani, S. 2001. Prospek pengembangan obat tradisional menjadi obat fitofarmaka. J. Litbang Pertanian. 20(3): 103-104

LAMPIRAN Kadar Air

Hasil penimbangan bobot ekstrak pada alat Mattle Toledo

Hasil kadar air di menit ke 3.30

Hasil kadar air di menit ke 10.00

Kadar Senyawa Larut Air

Penimbangan bobot cawan kosong

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-1

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-8

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-9

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-10

Kadar Senyawa Larut Etanol

Penimbangan bobot cawan kosong

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-1

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-9

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-10

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-8

Susut Pengeringan

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-8

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-9

Penimbangan bobot cawan kosong+ ekstrak ke-10

Kadar Abu

 Bobot krus porselen + ekstrak saat pemijaran 41,6705g  Berat abu 0,6872

Penimbangan bobot krus porselen kosong

Pemberian air panas untuk menghilangkan abu

LAPORAN PRAKTIKUM

PENETAPAN KADAR SENYAWA MARKER PADA EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galangal L.) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitofarmaka

KELOMPOK: 6 KELAS: D Sukmawansyah

201410410311016

Sakinah Musaad

201510410311138

Meilya Hayyu Saputri

201510410311166

Dima Atsyari Novianti

201510410311182

Ayudya Rizky P.

201510410311196

DOSEN PEMBIMBING: Siti Rofida, S.Si., M.Farm., Apt. Amaliya Dina Anggraeni, M.Farm., Apt. PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018/2019

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara. Tanaman ini banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional dan sebagai bumbu dalam masakan sehingga para petani banyak yang membudidayakan tanaman kencur sebagai hasil pertanian yang diperdagangkan. Bagian dari kencur yang diperdagangkan adalah buah akar yang ada di dalam tanah yang disebut rimpang kencur atau rizoma (Barus, 2009). Umumnya kencur diproses dengan berbagai macam cara, seperti diambil sarinya, dibuat tepung, bahkan langsung digunakan untuk berbagai keperluan. Hampir seluruh bagian tanaman kencur mengandung minyak atsiri. (Afriastini 1990). Komponen-komponen kimia yang terkandung di dalam bahan organik seperti yang terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan sangat dibutuhkan oleh keperluan hidup manusia, baik komponen senyawa tersebut digunakan untuk keperluan industri maupun untuk bahan obatobatan. Komponen tersebut dapat diperoleh dengan metode ekstraksi dimana ekstraksi merupakan proses pelarutan komponen kimia yang sering digunakan dalam senyawa organik untuk melarutkan senyawa tersebut dengan menggunakan suatu pelarut. Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, ekstraksi dibagi menjadi dua yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair. Pada ekstraksi cair-cair, bahan yang menjadi analit berbentuk cair dengan pemisahannya menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur sehingga terjadi distribusi sampel di antara kedua pelarut terebut. Pendistribusian sampel dalam kedua pelarut tersebut dapat ditentukan dengan perhitungan koefisien distribusi (Voigt,1995). Marker dapat digunakan untuk identifikasi dengan benar dan autentik sumber bahan alam, mencapai kualitas yang konsisten, mengkuantifikasi senyawa farmakologik aktif pada prosuk akhir atau memastikan efikasi produk, marker sangat penting dalam evaluasi jaminan kualitas produk senyawa marker tidak harus memiliki aktivitas farmakologik. Senyawa marker dapat digolongkan mnjadi 4 katagori berdasarkan bioaktivitasnya (Harbone, 1987).

1.2 Tujuan Berdasarkan dari latar belakang, maka didapatkan tujuan sebagai berikut: 1. Mahasiswa mampu melakukan penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak Kaempferia galanga L 1.3 Manfaat Berdasarkan dari latar belakang dan tujuan, maka didapatkan manfaat sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat mengetahui melakukan penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak Kaempferia galanga L.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN TANAMAN 2.1.1 TAKSONOMI Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Liliopsoda

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Subfamili

: Zingiberoideae

Genus

: Kaempferia

Spesies

: K. Galanga

(sumber : wikipedia.com)

2.1.2 Penyebaran dan Etnobotani Kencur (Kaempferia galanga L.) sudah sejak lama dikenal dan ditanam di Indonesia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah Asia Tropika. Sebagian kalangan menduga bahwa asal usul kencur adalah dari kawasan Indo-Malaysia. Tetapi literatur lainnya memastikan bahwa asal tanaman kencur adalah dari India (Rukmana, 2013). Daerah penyebaran kencur meluas ke kawasan Asia Tenggara dan China. Dalam perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa famili Zingiberaceae ini meliputi 47 genera dan 1400 spesies yang tersebar luas di daerah tropika dan subtropika. Di antara sejumlah genera dan spesies tersebut, terdapat 13-17 jenis temu-temuan yang dipakai dalam obat tradisional. Kencur termasuk salah satu tanaman temu-temuan yang banyak digunakan sebagai bahan obat tradisional (Rukmana, 2013). 2.1.3 Deskripsi Tanaman (Kaempferia galanga L.) Kencur termasuk ke dalam terna kecil yang siklus hidupnya semusim atau beberapa musim. Akar kencur merupakan akar tinggal yang bercabang halus dan menempel pada umbi akar yang disebut rimpang. Rimpang kencur sebagian lagi terletak diatas tanah. Bentuk rimpang umumnya bulat, bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya coklat-ekuningan dan berbau harum. Tanaman kencur memiliki batang semu yang sangat pendek, terbentuk dari pelepah-pelepah daun yang saling menutupi. Daun kencur tumbuh tunggal, melebardan

mendatar hampir rata dengan permukaan tanah. Jumlah daun variasi antara 8-10 helai dan tumbuh secara berlawanan satu sma lain. Bentuk daun elip melebar sampai bundar, ukuran panjang daun 7-12 cm dan lebarnya 3-6 cm, serta berdaging agak tebal. Bunga kencur keluar dalam bentuk buliran setengah duduk dari ujung tanaman di sela-sela daun. Warna bunganya putih, unguhingga lembayung dan tiap tangkai bunga berjumlah 4-12 kuntum bunga. Buah kencur termasuk buah kotak beruang 3 dengan bakal buah yang letaknya tenggelam, tetapi sulit sekali menghasilkan biji (Rukmana, 2013). 2.1.4 Kandungan Kimia dan Manfaat kencur Menurut Hargono (1995), terdapat beberapa kandungan dari senyawa Kaempferia galanga L. yaitu: a. Daun: alkaloid, borneol, eucaliptol b. Rimpang: tanin, saponin, kalsium oksalat, borneol, kamfen, sineol, etil alkohol, minyak atsiri (2,4%-3,9%) terdiri dari asam transinamat, n-pentadekana, etil p-metoksisinamat, asam pmetoksisinamat, p-metoksi stirena, p-asam kumarat. Kandungan senyawa metabolit sekunder dari rimpang kaempferia galanga L., yaitu menunjukan adanya senyawa etil trans-sinamat dan etil p-metoksisinamat aktif sebagai nematisida, etil p-metoksisinamat, etil sinamat dan 3-carene, 2-propionic acid aktif sebagai penolak nyamuk dan larvisida, etil sinamat sebagai vasorelaksan, etil p-metoksisinamat sebagai antineoplastik, antimikroba, antiinflamasi, dan luteolin dan apigenin ssebagai antioksidan (Umar et al.,2011). Secara empiris Kaempferia galanga L. telah diketahui memiliki efek antiinflamasi. Kandungan utama kencur adalah etil-P-metoksisinamat (31,77%) yang didalam tubuh mengalami hidrolisis menjadi senyawa aktif biologis asam P- metoksisinamat (APMS) senyawa ini bekerja dengan menghambat enzim siklooknigenase, sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS) seringakali dapat menyebabkan iritasi saluran cerna salah satu upaya untuk menghindari efek samping tersebut, dikembangkan penggunaan obat secara topika OAINS topikal yang telah beredar antara lain natrium diklofenak dosis 1% sementara dosis APMS untuk penggunaan topikal belum diketahui (Soeratri et al, 2014).

2.2 Sediaan Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (BPOM RI, 2010). Simplisia banyak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut, seperti serat, karbohidrat, protein, dan lainlain. Untuk memisahkan senyawa aktif tersebut maka perlu dilakukan proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan kegiatan atau proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut (Agoes, 2007). 2.3 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat didalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi, perlokasi, dan sokhletasi. Adapun metode penyaringan yang digunakan tergantung dari wujud dan kansungan bahan yang akan disaring selain itu pemilihan metode penyaringan disesuaikan dengan kepentingan untuk memperoleh kandungan kimia yang diinginkan (Harbone. J. B, 1996). Adapun macam – macam metode ekstraksi : a. Ekstraksi Cara Dingin Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa yang dimaksud rusak karena pemanasanan. Jenis ekstraksi dingin adalah maserasi dan perkolasi. a) Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. b) Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan jalan melewatkan pelarut yang

sesuai

secara

lambat

pada

simplisia

dalam

suatu

percolator

(Hargono,1986). b.

Ekstraksi Cara Panas Metoda ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses penyarian dibandingkan cara dingin. Metodanya adalah refluks, ekstraksi dengan alat soxhlet dan infusa. a) Refluks: metode ini digunakan apabila dalam sintesis tersebut menggunakan pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan

pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai. b) Sokletasi: adalah suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang-ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan akan terisolasi. Sokletasi digunakan pada pelarut organik tertentu (Hargono,1986). c. Metode Destilasi Uap Air Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal (Hargono,1986). 2.4 Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan pengulangan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur (ruang kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat zat yang berkhasiat yang tahan terhadap pemanasan (Depkes RI, 2000). Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Maserasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati yang direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut non-polar) selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan dalam buku referensi kefarmasian. Metode ini memiliki keuntungan yaitu cara pengerjaannya yang lebih mudah, alat-alat yang digunakan sederhana, dan cocok untuk bahan yang tidak tahan pemanasan (Hargono, 1986). Menurut Hargono dkk. (1986), ada beberapa variasi metode maserasi, antara lain digesti, maserasi melalui pengadukan kontinyu, remaserasi, maserasi melingkar, dan maserasi melingkar bertingkat. a. Digesti merupakan maserasi menggunakan pemanasan lemah (40-50°C). b. Maserasi pengadukan kontinyu merupakan maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus, misalnya menggunakan shaker, sehingga dapat mengurangi waktu hingga menjadi 6-24 jam. c. Remaserasi merupakan maserasi yang dilakukan beberapa kali. Maserasi melingkar merupakan maserasi yang cairan pengekstrak selalu bergerak dan menyebar.

d. Maserasi melingkar bertingkat merupakan maserasi yang bertujuan untuk mendapatkan pengekstrakan yang sempurna. Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti. Lama maserasi pada umumnya adalah 4-10 hari. Menurut Voigt (1995), maserasi akan lebih efektif jika dilakukan proses pengadukan secara berkala karena keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Melalui usaha ini diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat masuk ke dalam cairan pengekstrak. Kelemahan metode maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyarian kurang sempurna. Secara tekhnologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarigan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000). 2.5 EPMS (etil para-metoksi sinamat) Kencur (Kaempferia galangal L.) secara empiris telah diketahui memiliki efek antiinflamasi.

Kandungan

utama

kencur

adalah

etil p-metoksisinamat (EPMS) yang

merupakan senyawa ester turunan dari p-metoksisinamat yang di dalam tubuh mengalami hidrolisis menjadi senyawa aktif biologis, asam p-metoksisinamat (APMS), senyawa ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Selain itu, EPMS termasuk kelompok fenolik alam dari golongan fenil propanoid yang bermanfaat sebagai tabir surya, senyawa ini memperlihatkan aktifitas serapan maksimum 308nm (daerah UV-B) dan bersifat sebagai UV filter sehingga Etil p-metoksisinamat mempunyai perlindungan yang baik terhadap sinar matahari yang dapat memantulkan dan menghamburkan radiasi sinar UV terutama UV-B (290-320 nm) (Soeratri et al, 2014). 2.6 Senyawa Marker Berdasarkan natural health Produck Directorate (NHPD) Senyawa marker meruakan konstituent that accurs naturally in the material and that is selected for special attention (e.g for identification and standarization purposes) by a researcher or manufacture. Marker mempunyai 2 tujuan utama yaitu sebagai penanda farmakoogis dan analisis.

Marker dapat digunakan untuk identifikasi dengan benar dan autentik sumber bahan alam, mencapai kualitas yang konsisten, mengkuantifikasi senyawa farmakologik aktif pada prosuk akhir atau memastikan efikasi produk, marker sangat penting dalam evaluasi jaminan kualitas produk senyawa marker tidak harus memiliki aktivitas farmakologik. Senyawa marker dapat digolongkan mnjadi 4 katagori berdasarkan bioaktivitasnya (Harbone, 1987). a. Zat aktif Merupakan senyawa kimia dengan aktivitas klinik yang dietahui contohnya: ephedrin pada epedra sinensis (Harbone, 1987). b. Marker aktif Merupakan senyawa kimia yang mempunya efek farmakologi tetapi belum tentu mempuyai efek klinik (Harbone, 1987). c. Marker analisis Merupakan senyawa kimia yang dipilih untuk determinasi, kuantitatif tetapi belum tentu mempunyai aktivitas biologi dan efikasi klinik (Harbone, 1987). d. Marker negatif Merupakan senyawa aktif dengan zat aktif toksik atau allergik. Kencur merupakan tanaman tropis yang terkandung senyawa etil-p-metoksisinamat sebagai komponen utama dan terkandung pula senyawa lain seperti etil sinamat dan p-metoksisinamat, kadar etil-pmetoksisinamat dalam kencur cukup tinggi tergantung spesiesnya dengan bias sampai 10% (Harbone, 1987). 2.7 Uji Kandungan Kimia Ekstrak Prinsip : ekstrak ditimbang, diekstraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Prosedur : Laruran uji : ekstrak ditimbang dan diekstraksi berturut turut dengan pelarut hexane, etilasetat, etanol dan air. Cara ekstraksi dapat dilakukan dengan pengocokan 15 menitatau dengan getaran ultrasonik atau dengan pemanasan kemudian disaring untuk mendapatkan larutan uji.

Kromatografi lapis tipis (KLT) : umumnya dibuat kromatogram pada lempeng silika gela dengan berbagai jenis fase gerak sesuai dengan golongan kandungan kimia sebagai sasaran analisis. Eavluasi dapat dilakukan dengan dokumentasi foto hasil pewarnaan lempeng kromatografi dengan pereaksi yang sesuai atau dengan meliah TLC-Scanner. Perekamkan dapat dilakukan secra absorbsi-refleksi pada panjang gelombang 254 nm, 365 nm, dan 415 nm atau pada panjangn gelombang lain yang spesifik untuk suatu komponen yang telah diketahui. 2.8 Kadar total golongan kandungan kimia Prinsip : dengan penerapan metode spektofotometri, tritimetri, volumetri, gravimetri atau lainnya, dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas liniaritas. Prosedur : 1. Penetapan kadar minya atsiri Timbang secukupnya sejumlah ekstrak hingga diperkirakan dapat mengahasilkan 1 ml-3 ml minyat atsiri. Masukkan ekstrak yang telah ditimbang kedalam labu. Hubungkan dengan bagian pendingin dan penampung berskala (rantai kesuluran alat destilasi). Didihkan isi labu dengan pemanasan yang sesuai untuk menjaga agar pendidihan tidak terlalu kuat atau minya atsiri terdestilasi sempurna dan tidak bertambah lagi dalam bagian penampung berskala. Catat volume minyak atsiri yang dihasilkan dan hitung perbandingan inyak atsiri yang tertampung dengan jumlah ekstrak yang ditimbang. 2. Penetapan kadar steroid Larutan baku: rimbang seksama 1 mg sitosterol, larutkan dalam etanol P bertingkat sehingga diperoleh kadar 5, 10, dan 20 mikrogram/mililiter Larutan uji: timbang seksama 1 g ekstrak, larutkan dalam 20 ml etanol dalam labu takar. Ulangi sampai 3 kali dengan cara yang sama. Kedlam 2 labu yang masing masing berisi larutan uji dan larutan baku kedalam labu ketiga berisi 20.0 ml etanol P sebagai blanko. Tambahkan 2.0 ml larutan yang dibuat dengan melarutkan 50 mg tetrazolium biru P dalam 10 ml metanol P dan campur. Kemudian dalam tiap labu tambhakan 2.0 ml campuran etanol P dan tetrametil amonium hisroksida LP (9:1) Campur dan biarkan dlam gelap

selama 90 menit. Ukur segera serapan larutan yang diperoleh dari larutan uji dan larutan baku pada panjang gelombang lebih kurang 525 nm. 3. Penetapan kadar tanin Lebih kurang 2 g ekstrak yang ditimbang seksama dipanaskan dengan 50 ml air mendidih diatas penangas air selama 30 menit sambil diaduk. Diamkan selama beberapa menit, endapkan, saring dapat menggunkan kapas kedalam labu takar 250 ml. Larutkan kembali residu dengan air mendidih, kemudian saring kembali ke tempat yang sama. Ulangi penyarian bebrapa kali hingga bila direaksikan dengan besi (III) amonium sulfat tidak menunjukkan adanya tanin. Dinginkan cairan dan tambahkan air secukupnya hingga 250 ml. Pipet 25 ml larutan kedalam labu 1000 ml, tambhkan 750 ml air dan 25 ml asam indigo sulfonat LP, titrasi dengan kalium permanganat 0,1 N hingga larutan berwarna kuning emas. 1 ml kalium permanganat 0.1 N setara dengan 0.004157 g tanin. Asam indigo sulfonat LP: larutkan 1 g indigo karmin P dalam 25 ml asam sulfat P, tambahkan 24 ml asam sulfatlagi dan encerkan dengan air secukupnya hingga 1000 ml. 4. Penetapan kadae flavonoid Hidrolisis : timbang ekstrak yang setara dengan 200 mg simplisia dan masukkan kedalam labu alas bulat. Tambahkan sistem hidrolisis, yaitu 1.0 ml laruran 0.5% b/v heksametilentetramina, 20.0 ml aseton dan 2.0 ml larutan 25% HCL dalam air. Lakukan hidrolisis dengan pemanasan sapai emndidih (gunakan pendingin air/reflux) selama 30 menit. Cmapuran hasil hidrolisis ditambah 20 ml aseton untuk didihkan kembali sebentar, lakukan 2x dan filtrat dikumpulkan semua kedalam labu ukur. Setelah labu ukur dingin, maka volume ditetapkan sampai tepat 100.o ml. Kocok ad homogen. 20 ml filtrat hidrolisa dimasukkan corong pisah dan tambahkan 20 ml H2O, selanjutnya lakukan ekstraksi kocok, pertama dengan 15 ml eteilasetat. Kemudian 2x dengan 10 ml etilasetat dan kumpulkan fraksi etilasetat kedlaam labu ukur 50.0 ml akhirnya tambahkan etilasetat sampai tepat 50.0 ml. Untuk replikasi spektofometri lakukan prosedur ini 3-4 kali. Uji spektofotometri : masukkan 10 ml lakukan fraksi etilasetat (hidrolisa) kedalam labu ukur 25.0 ml tambahkan 1 ml laruran 2 g AgCl3 dalam 100 ml larutan asam asetat glacial 5 % v/v (dalam metanol) secukupnya sampai tepat 25.5 ml. Hasil eraksi siap diukur pada spektrofotometer

setetlah

maksimum.perhitungan

30

menit

berikutnya

kadar menggunakan

pada

panjang

gelombang

bahan standar glikosida flavonoid

(hiperoksida, rutin, hisperidin), gunakan kurva baku dan nilai kadar terhitung sebagai bahan standart tersebut. Kalai menggunakan hiperoksida dapat langsung diukur dengan rumus: kadar total flavonoid = [(Aº x 1.25) berat sampel] 5. Penetapan kadar alkaloid Timabnga seksama 1 g ekstrak, masukkan dalam corong pisah 125 ml pertama, kemudian tambhkan 200 ml larutan asam sulfat P (1 dalam 350) dan kosok kuat selama 5 menit. Tambhka 20 ml eter P, kosok hati- hati, saring lapisan asam kedalam corong pisah kedua. Kaoco lapisan eter dua kali, tiap klai dengan 10 ml larutan asam sulfat P (1 dalam 350), saring tiap lapisan asam kedalam corong pisah 125 ml kedua dan buang lapisan eter. Pada ekstrak tambhakan 10 ml natrium hidroksida LP dan 20 ml eter P, kocok hati-hati, pindahkan lapisan air kedalam corong pisah 125 ml ketiga berisi 50 ml eter P. Kocok corong pisah ketiga hati-hat, buang lapisan air, cuci dengan 20 ml air, buang lapisan air. Ekstraksi kedua lapisan eter maisng masing dnegn 20, 20 dan 5 ml larutan asam sulfat P (1 dalam 70). Lakukan ekstraksi dengan corong pisah ketiga lebih dahulu, stelah itu corong pisah kedua. Campurkan ekstrak asam dalam labu ukur 50.0 ml encerkan dengan asam sampai tanda. Kalukan hal yang sama terhadap 25 mg alkaloid pembanding yang tersedia. Encerkan maisng maisng 5.0 ml larutan uji dan lrutan pembanding dengan larutan asam sulfat P (1 dalam 70) hingga 100.0 ml dan tetapkan serapan tiap larutan pada panjang gelombang tertentu menggunakan larutan asam sulfat P (1 dalam 70) sebagai balnko. 6. Penetapan antrakinon Timbang 0.1 g ekstrak, kocok dengan 10 ml air panas selama 5 menit, saring dalam keadaan panas, dinginkan filtrak dan ekstraksi dengan 10 ml benzana. Pisahkan lapisan benzena. Tambahkan pada lapisan air 10 ml larutan ferri klorida 5% dan 5 ml asam klorida. Panaskan campuran pada penangas air selama 10 menit dalam tabung refluks dinginkan dan ekstraksi dengan 10 ml benzena. Uapkan cairan hingga habis pada cawan porselen dengan pemanasan lemah. Larutkan residu dalam 5 ml larutan kalium hidroksida 5 % dalam metanol. Ukur serapan pada 515 nm. Hitung kadar total antrakinon glikosida berdasarkan kurva baku antrakinon pembanding.

2.9 Kromatografi Fingerprint Kromatografi fingerprint merupakan suatu teknik kromatografi yang membandingkan persamaan dan perbedaan komponen-komponen kimia yang ada dalam ekstrak tanaman dan produknya. Metode ekstraksi dan persiapan sampel merupakan tahap yang penting ingerprint obat herbal yang berguna untuk efisiensi evaluasi sebagai kontrol kualitas (Liang et al., 2004) Metode fingerprint dilakukan dengan melakukan analisis kromatogram dari suatu spesies tanaman yang aktif secara farmakologis atau hanya melakukan intensitas puncakpuncak kromatogram dari minimal tiga daerah penghasil spesies tanaman obat tanpa memperhatikan aspek farmakologis yang ditunjukkan untuk kontrol kualitas saja. Beberapa metode yang sudah diaplikasikan untuk mengetahui komposisi suatu obat herbal dengan fingerprint yaitu GC-MS, LC-MS, KLT, CE-MS, dll. Metode-metode tersebut mempunyai keuntungan yaitu sensitivitas deteksi untuk hampir semua senyawa kimia yang mudah menguap. Selain itu, selektivitas tinggi kapiler kolom memungkinkan pemisahan senawa volatile secara stimultan dalam waktu yang relatif singkat. Kekurangannya yaitu kurang baik untuk analisis sampel senyawa polar dannon-volatile. Sehingga sampel bisa menguap dan dideteksi dengan GC-MS (Halkes et al., 2004). Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis adalah yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi karena hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif singkat, jumlah cuplikan yang diperlukan sedikit, selain itu kebutuhan ruang minimum serta penanganannya sederhana. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupaka metode pemisahan fitokimia dan teknik yang paling cocok untuk analisis. Metode ini hanya memerlukan waktu yang sedikit untuk analisis dan jumlah cuplikan yang sedikit. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir yang disebut fase diam, ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan pada bercak atau pita. Selain itu, plat atau laposan diletakkan dalam bejana pengembang yang berisi larutan pengembang (fase gerak), pemisahan terjadi selama perembatan kapoler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditempatkan atau didtekesi dengan pereaksi deteksi. (Stahl, 1985)

Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis lebih baik dikerjakan dengan pereaksi lokasi kimia dan reaksi warna. Tetapi lazimnya untuk identifkasi menggunakan lampu UV 254nm dan 366nm dan bercak dihitung harga Rf-nya. Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,99 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. Hrf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka -0-100 (Stahl, 1985). Sedangkan pereaksi semprot atau penampak bercak digunakan pada deteksi senyawa tertentu. Misalnya dalam tanaman yang banyak mengandung flavonoid menggunakan AlC𝑙3 dan minyak atsiri menggunakan vanillin asam sulfat (Markham, 1988). Penggunaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yaitu: (Gandjar dan Rohman, 2007) a. Analisis kualitatif Kromatogarfi Lapis Tipis (KLT) dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Paramter pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan untuk idetifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama diukur pada kondisi kromatografi lapis tipis yang sama dengan 3 sistem eluen yang berbeda (Gandjar dan Rohman, 2007) b. Analisis kuantitatif ada 2 cara yang digunakan untuk analisis kuantitafif dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pertama, bercak diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometri. Cara kedua adalah dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa yangterdapat dalam bercak tersebut dengan metode analisis yang lain. Misalkan dengan metode spektrofotometri. Analisis kuantitafif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan Kromatografi lapis Tipis (KLT) biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng KLT atau secara in situ. Densitometer dapat bekerja secara serapan atau fluoresensi. Kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya monokromator untuk memilih panjang gelombang yang cocok, sisem untuk memfokuskan sinar pada lempeng pengganda foton, dan rekorder (Gandjar dan Rohman, 2007) 2.10 Penetapan Kadar dengan Densitometri Densitometri merupakan metode penetapan kadar suatu senyawa pada lepeng kromatografi menggunakan instrumen TLC-scanner. Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur serapan analit (cahaya yang diukur dapat berupa cahaya yang dipantulkan atau yang

diteruskan), pemadaman fluoresensi untuk lapisan yang mengandung bahan berfluoresensi analit atau hasl reaksi analit (Gandjar dkk., 2007) Penetapan kadar dengan menggunakan kombinasi KLT dan Densitometer (KLT Densitometri) cukup ekonomis karena menggunakan fase gerak yang sedikit, waktu yang relatif singkat dan dapat dilakukan penetapan kadar beberapa sampel scara stimultan. Apabila dibandingkan dengan KCKT maka metode KLT tidak ada batasan fase gerak yang harus digunakan, sampel yag berupa suspensi atau keruh dapat langsung ditetapkan kadarnya, lebih cepat dan ekonomis serta memungkinkan penetapan kadar secara stimultan (Yuangsoi dkk., 2008) 2.11

Perhitungan Regresi Analisis regresi adalah suatu metode analisis data yang menggambarkan hubungan

finansial antara variabel respon dengan satu atau beberapa variabel prediktor. Misalkan X adalah variabel presdiktor dan Y adalah variabel respon untuk n data pengamatan berpasangan, maka hubungan antara variabel prediktor dan variabel respon tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: 𝑦𝑖 = 𝑓(𝑥𝑖 ) + 𝜀𝑖 ; i = 1,2,3,.....,n Dengan 𝜀𝑖 adalah galat yang diasumsikan independen, menyebar normal, dan variasi konstan. 𝑓(𝑥𝑖 ) disebut sebagai fungsi regresi atau kurva regresi (Hardle, 1994). 2.12

Standar Deviasi dan Koefisien Variasi

2.12.1 Standar Deviasi Stamdar deviasi merupakan ukuran sebaran yang paling banyak digunakan. Apabila penyebaran sangat besar terhadap nilai rata-rata, maka nilai σx akan besar, akan tetapi jika penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka nilai σx akan kecil pula. Deviasi standar dapat dihitung dengan rumus sebagai berkut (Soewarno, 1995) :

σx =

√∑𝑛 𝑖=1(𝑋𝑖 −𝑋 (𝑛−1

2.12.2 Koefisien Variasi Koefisien variasi (variation coefficient) adalah nilai perbandingan antara standar deviasi dengan nilai rata-rata dari suatu distribusi. Koefisien variasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Soewarno, 1995) : σx

Cv=𝑅𝑟

BAB III PROSEDUR KERJA 3.1. Alat dan Bahan 1. Alat: 

TLC



Lempeng KLT ukuran 20cm x 30cm



Labu ukur 5 ml



Labu ukur 10 ml



Pipet mikro



Cawan timbang



Vial tertutup (bilas dengan etanol lalu keringkan sebantar dalam oven sebelum dipakai



Gelas ukur 100 ml



Batang pengaduk

2. Bahan: 

Ekstrak kencur dalam etanol 96%



Standar etil para metoksisinamat (EPMS)

3.2. Pembuatan Eluen (fase gerak) Eluen yang digunakan : n-Heksana – Etil Asetat – Asam Formiat (90:10:1). Buatlah eluen sebanyak 101 ml masukkan kedalam chamber. Homogenkan didalam chamber dengan cara digoyang goyang. Apabila volume eluen terlalu banyak, maka kurangi. Jangan sampai totolan awal pada pelat KLT tercelup didalam eluen. Buatlah eluen sebanyak 101 ml dengan perbandingan n-Heksana – Etil

Asetat – Asam Formiat (90:10:1).

Homogenkan dalam chamber dengan cara digoyang goyang

3.3. Pembuatan Larutan Baku 3.3.1. Pembuatan Larutan induk Ditimbang standar EPMS dengan seksama sebanyak 250,0 mg, ditambah dengan 20 ml etanol 96% diultrasonik selama 5 menit kemudian ditambah etanol 96% sampai tepan 50,0 ml. Diperoleh larutan induk 1 denagan konsentrasi 5000 ppm. (LI 1). Ditimbang standar EPMS dengan seksama sebanyak 250,0 mg

ditambah dengan 20 ml etanol 96% diultrasonik selama 5 menit

ditambah etanol 96% sampai tepan 50,0 ml. Diperoleh larutan induk 1 denagan konsentrasi 5000 ppm. (LI 1).

Dipipet 4.0 ml larutan induk I, dimasukkan kedalam labu ukur 10.0 ml ditambah etanol 96% sampai garis tanda, kosok homogen. Dipeoleh larutan induk 2 dengan konsentrasi 2000 ppm (LI 2) Dipipet 4.0 ml larutan induk I, dimasukkan dalam labu ukur 10.0 ml

ditambah etanol 96% sampai garis tanda, kosok homogen. Dipeoleh larutan induk 2 dengan konsentrasi 2000 ppm (LI 2)

3.3.2. Pembuatan Baku Kerja Larutan

Konsentrasi Baku induk atau baku Jumah yang digunakan

Baku

kerja yang diambil

Baku 1

200 ppm

5.0 ml baku 3

Ditambah etanol ad 10.0 ml

Baku 2

300 ppm

5.0 ml baku 5

Ditambah etanol ad 10.0 ml

Baku 3

400 ppm

5.0 ml baku 6

Ditambah etanol ad 10.0 ml

Baku 4

500 ppm

5.0 ml LI 1

Ditambah etanol ad 10.0 ml

Baku 5

600 ppm

3.0 ml LI 2

Ditambah etanol ad 10.0 ml

Baku 6

800 ppm

4.0 ml LI 2

Ditambah etanol ad 10.0 ml

3.4 Preparasi Sampel 3.4.1. Sampel untuk penetapan kadar EPMS dalam ekstrak kering Ditimbang sampel sebanyak 20,0 mg masing masing sebanyak 3 kali, ditambah pelarut masing masing 2 ml, diultrasonik selama 5 menit, ditambah etanol 96% sampai 5,0 ml, diultrasonik selama 10 menit. Kemudian disaring dan ditampung filtratnya. Ditimbang sampel sebanyak 20,0 mg masing masing sebanyak 3 kali

ditambah pelarut masing masing 2 ml

diultrasonik selama 5 menit, ditambah etanol 96% sampai 5,0 ml

diultrasonik selama 10 menit. Kemudian disaring dan ditampung filtratnya. 3.4.2. Sampel untuk penentuan recorveri Ditimbang sampel sebanyak 20.0 mg masing masing sebanyak 3 kali, ditambah pelarut masing masing 2 ml, diultrasonik selama 5 menit, ditambah standar EPMS 500 ppm sebanyak 1,0 ml kemudian ditambah pelarut sampai 5,0 ml diultrasonik selama 10 menit. Kemudian disaring dan ditampung filtratnya.

Ditimbang sampel sebanyak 20,0 mg masing masing sebanyak 3 kali

ditambah pelarut masing masing 2 ml diultrasonik selama 5 menit, ditambah standar EPMS 500 ppm sebanyak 1,0 ml

ditambah pelarut sampai 5,0 ml diultrasonik selama 10 menit. Kemudian disaring dan ditampung filtratnya.

3.4.3 penotolan sampel dan setandar pada plat KLT Ditotolkan sampel dan sampel untuk recovery sebanyak 2 mikroliter, sedangkan standar EPMS sebanyak 2 mikroliter pada KLT 0.5 cm

1.5 cm

3.5 cara kerja analisis dengan Thin Layer Chromatography (TLC) Scaner 3.5.1 penetuan panjang gelombang maksimum Plat KLT yang sudah di scan pada panjang gelombang 254 dan 365 nm, kemudian discan panjang gelombag 200-400 nm. Dari sini dapat dikehtaui pada panjang gelombang berapa EPMS memebrikan absorban maksimum. Panjang gelombang maksimum tersebut yang akan digunakan untuk pangukuran. Plat KLT yang sudah di scan pada panjang gelombang 254 dan 365 nm kemudian discan panjang gelombag 200-400 nm. Dari sini dapat dikehtaui pada panjang gelombang berapa EPMS memebrikan absorban maksimum

3.5.2 penetuan linieritas Linieritas ditentukan dari larutan standar EPMS pada lempeng KLT, kemudian dianalisis dengan KLT densitometer pada panjang gelombang maksimum. Dihitung berapa regresi linier antara kadar dan luas area noda. 3.5.3 Penetuan preparasi Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing masing 2 mikroliter dan larutan standar EPMS masing- masing 2 mikroliter pada plat KLT. Plate ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT- densitometer pada panjang gelombang maksimum. Sehingga dapat dihitung berapa standar deviasi (SD) dan koefesien variasinya (KV). ditotolkan sampel masing masing 2 mikroliter larutan standar EPMS masing- masing 2 mikroliter pada plat KLT. Plate ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT- densitometer pada panjang gelombang maksimum. Sehingga dapat dihitung berapa standar deviasi (SD) dan koefesien variasinya (KV).

3.5.4. Penentuan Akurasi Untuk menentukan persen rekoveri, ditotolkan sampel recovery maisng maisng 2 mikroliter dan larutan tandar EPMS masing masing 2 mikroliter pada pelat KLT. Pelat ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisi menggunakan KLT-Dnsitometer pada panjang gelombang maksimum. % rekoveri =

𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑏𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎

=

𝑐𝑡 𝑐𝑝+𝑐𝑠𝑡

𝑥 100%

Dimana : Ct = kadar EPMS yang diperoleh Cp = kadar EPMS dalam sampel Cst = kadar standar EPMS yang ditambahkan Hasil yang diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan koefesien variasinya (KV).

PERHITUNGAN 

Penentuan Standar EPMS Ditimbang 50,0 mg dalam 100,0 ml ± 10% (0,0450-0,0550) Kadar Standar EPMS 50,0𝑚𝑔 100𝑚𝑙

x 1000 = 500 ppm~500 mg/ml

𝐸𝑃𝑀𝑆 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 = (9,3622 − 9,3122) = 0,0550g -50,0 mg 

Pembuatan Larutan Baku Larutan Baku Induk 1 Rentang penimbangan larutan baku induk 250 mg ± 10% ( 225-275) Ditimbang 249,8mg dalam 50,0ml Kadar =

249,8𝑚𝑔 50,0𝑚𝑙

𝑥1000 = 4996𝑝𝑝𝑚

Larutan Baku Induk 2 V1 . N1 = V2 . N2 4,0 ml . 4996 ppm= 10,0 ml . N2 N2

= 1998,4 ppm

Larutan Baku Kerja BK1 = VI . N1= V2 . N2 5,0ml . 399,7ppm = 10,0ml . N2 N2

= 199,9 ppm

BK2 = VI . N1= V2 . N2 5,0ml . 599,5ppm = 10,0ml . N2 N2

= 299,8 ppm

BK3 = VI . N1= V2 . N2 5,0ml . 799,4ppm = 10,0ml . N2 N2

= 399,7 ppm

BK4 = VI . N1= V2 . N2 5,0ml . 499,6ppm = 10,0ml . N2 N2

= 499,6 ppm

BK5 = VI . N1= V2 . N2 3,0ml . 1998,4ppm = 10,0ml . N2 N2

= 599,5 ppm

BK6 = VI . N1= V2 . N2 4,0ml . 1998,4ppm = 10,0ml . N2 N2 

= 799,4 ppm

Penimbangan sampel untuk penetapan kadar EPMS dalam ekstrak kering Penimbangan sampel 20,0 mg ± 10% ( 18mg – 23mg) a. Penimbangan Sampel 1 Botol timbang + isi

= 12,7731 g

Botol timbang kosong

= 12,7515 g

Berat zat

= 0,0216 g (21,6mg)

b. Penimbangan Sampel 2 Botol timbang + isi

= 14,4108 g

Botol timbang kosong

= 14,4108 g

Berat zat

=

0,020 g ( 20,0mg)

c. Penimbangan Sampel 3 Botol timbang + isi

= 12,7725 g

Botol timbang kosong

= 12,7525 g

Berat zat

= 0,0200 g (20,0 mg)

Penimbangan Recovery 20,0 mg ± 10% (18mg – 22mg) a.

b.

c.

Penimbangan Recovery 1 Botol timbang + isi

= 14,4099 g

Botol timbang kosong

= 14,3896 g

Berat zat

= 0,0203 g (20,3mg)

Penimbangan Recovery 2 Botol timbang + isi

= 14,4095 g

Botol timbang kosong

= 14,3892 g

Berat zat

= 0,0203 g (20,3mg)

Penimbangan Recovery 3





Botol timbang + isi

= 12,7722 g

Botol timbang kosong

= 12,7513 g

Berat zat

= 0,0209 g (20,9mg)

Luas Area BK 1

2557,1 AU

Sampel 1

7986,1 AU

BK 2

7984,3 AU

Sampel 2

7117,7 AU

BK 3

9078,9 AU

Sampel 3

7087,3 AU

BK 4

10283,8 AU

Recovery 1

8318,2 AU

BK 5

11249,1 AU

Recovery 2

8203,3 AU

BK 6

13739,0 AU

Recovery 3

8463,4 AU

Persamaan Regresi Kadar Baku Kerja (x) dan Luas Area (y) Baku Kerja

Konsentrasi (x)

Luas Area (y)

1

199,9 ppm

2557,1 AU

2

299,8 ppm

7984,3 AU

3

399,7 ppm

9078,9 AU

4

499,6 ppm

10283,8 AU

5

599,5 ppm

11249,1 AU

6

799,4 ppm

13739,0 AU

Kadar Sampel dan Recovery Sampel 1 y = bx + a 7986,1 AU = 16,3185x + 1539,11 X

= 395,07 ppm

Sampel 2 y = bx + a 7117,7 AU = 16,3185x + 1539,11 X

= 341,86 ppm

Sampel 3 y = bx + a 7087,3 AU = 16,3185x + 1539,11 X

= 339,99 ppm

Recovery 1 y = bx + a 8318,2 AU = 16,3185x + 1539,11 X

= 415,42 ppm

Recovery 2 y = bx + a 8203,3 AU = 16,3185x + 1539,11 X

= 408,38 ppm

Recovery 3 y = bx + a 8463,4 AU = 16,3185x + 1539,11 X 

= 424,32 ppm

Kadar Sebelum Pengenceran 3𝑚𝑙

S1→ 1𝑚𝑙 𝑥395,07 𝑝𝑝𝑚 = 1185,21 𝑝𝑝𝑚 3𝑚𝑙

S2→ 1𝑚𝑙 𝑥341,86 𝑝𝑝𝑚 = 1025,58 𝑝𝑝𝑚 3𝑚𝑙

S3→ 1𝑚𝑙 𝑥339,99 𝑝𝑝𝑚 = 1019,97 𝑝𝑝𝑚 3𝑚𝑙

R1→ 1𝑚𝑙 𝑥415,42 𝑝𝑝𝑚 = 1246,26 𝑝𝑝𝑚 3𝑚𝑙

R2→ 1𝑚𝑙 𝑥408,38 𝑝𝑝𝑚 = 1225,14 𝑝𝑝𝑚 3𝑚𝑙

R3→ 1𝑚𝑙 𝑥424,32 𝑝𝑝𝑚 = 1272,96 𝑝𝑝𝑚 

Kadar Dalam 5ml S1→

1185,21

S2→

1025,58

S3→

1019,97

1000 1000

R1→

1000 1246,26 1000

𝑥5𝑚𝑙 = 5,93 𝑚𝑔 𝑥5𝑚𝑙 = 5,13 𝑚𝑔 𝑥5𝑚𝑙 = 5,10 𝑚𝑔 𝑥5𝑚𝑙 = 6,23 𝑚𝑔



R2→

1225,14

R3→

1272,96

1000 1000

𝑥5𝑚𝑙 = 6,13 𝑚𝑔 𝑥5𝑚𝑙 = 6,37 𝑚𝑔

Kadar EPMS (%) 5,93𝑚𝑔

S1→ 21,7𝑚𝑔 𝑥100 = 27,32% 5,13𝑚𝑔

S2→ 21,7𝑚𝑔 𝑥100 = 24,78% S3→

5,10𝑚𝑔 21,7𝑚𝑔

𝑥100 = 24,17%

X = 25,42% SD = 1,36 Kv =



𝑠𝑑 𝑥

=

1,36 25,42%

𝑥100 = 5,37

Perhitungan % Recovery R1→ R2→ R3→

6,23𝑚𝑔 (

25,42 𝑥 20,3𝑚𝑔)+0,500 100

(

25,42 𝑥 20,3𝑚𝑔)+0,500 100

6,13𝑚𝑔

6,37𝑚𝑔 25,42 ( 𝑥 20,9𝑚𝑔)+0,500 100

𝑥100 = 110,07% 𝑥100 = 108,30% 𝑥100 = 109,57%

X = 109,32% SD =0,75 Kv =

𝑠𝑑 𝑥

=

𝑜,75 109,32%

𝑥100 = 0,68

BAB V

PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak kencur (Kaempferia galanga L) yaitu EPMS dengan metode KLT Densitometri sebagai metode kuantitatif untuk menetapkan kadar EPMS dalam ekstrak. Densitometri merupakan metode analisis instrumental yang didasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak pada KLT. Pada KLT terdapat 12 totolan yaitu larutan baku kerja (BK1, BK2, BK3, BK4, BK5 dan BK6), larutan sampel (S1, S2, S3) serta larutan recovery (R1, R2, R3). Plat KLT kemudian dieluasi dengan eluen n-heksan : etilasetat : asam format (90 : 10 : 1). Yang mana hasilnya digunakan untuk menetapkan kadar EPMS pada ekstrak kencur yang kelompok kami buat sebelumnya. Setelah itu dilakukan pembacaan luas area noda menggunakan densitometer hasilnya dilakukan perhitungan untuk menentukan kurva baku y= 16,3185x + 15,3911 dengan koefisien kolerasi r = 0,9309. Dari persamaan tersebut dilakukan penetapan kadar EPMS dalam sampel maka setiap sampel diperoleh kadar yaitu S1= 27,32%, S2= 24,78%, S3= 24,17% dengan rata-rata persentase kadar 25,42%. Kadar EPMS menurut teoritis yang terkandung 25%-35%. Maka dari itu hasil dari kelompok kami memasuki rentang. Untuk menentukan presisi diperoleh dari data EPMS dalam sampel dengan nilai standar devisiasi yakni 1,36, sedangkan standar presisi yakni ≤ 2. Adapun nilai koefisien variasi yang didapat 5,37% dan standart KV menurut FI V yakni ≤ 5%. Hal ini menunjukkan bahwa data homogen, sehingga kualitas data memiliki presisi yang baik. Sedangkan KV tidak memenuhi syarat dapat disebabkan pada saat penimbangan mungkin tidak seragam bobotnya, walaupun bobot peimbangan masuk rentang tetapi hal tersebut berpengaruh pada data penelitian. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat dari sebuah peralihan dilakukan penetapan persen recovery. Hasil yang kami dapat R1= 110,07%, R2= 108,30%, R3= 109,57%, dengan rata-rata 109,32%. Sedangkan persen recovery menurut Frmakope Indonesia 95%-105%, sedangakn menurut BPOM 98,02%. Hal ini menunjukkan tingkat keakuratan tidak memenuhi syarat. Hal ini kemungkinan kurangnya keakurasian dalam preparasi larutan.

DAFTAR PUSTAKA Agoes, Goeswin. 2007. Teknologi Bahan Alam. Bandung : Penerbit ITB. Barus, R. 2009. Amidasi p-metoksisinamat yang diisolasi dari kencur (Kaempferia galanga L.) [tesis]. Sumatera Utara, program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Badan POM RI. 2010. Acuan Sediaan Herbal, Volume V, Edisi I, 112-117. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia: Jakarta. Cronquist, A. 1981. An Intergrated System of Clasification of Flowering Plants. New York: Columbia University Press. Departemen Kesehatan RI, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat Harbone, J.B. 1996. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Bandung: penerbit ITB. Hargono, Djoko. dkk, 1986, Sediaan Galenik. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Hargono, Djoko dkk. 1995. Materia Medika Indonesia jilid I, Dirjen POM, Jakarta. Kemenkes RI, 2009. Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama. Keputusan Menteri kesehatan Indonesia : Jakarta. Muhlisah F. 1999. Temu-temuan dan Empon – empon, Budidaya dan Manfaatnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Soeratri , W. dan Tutik, P. 2014. Penambahan asam glikolat terhadap efektifitas sediaan tabir surya kombinasi anti UV-A dan anti UV-B dalam basis gel. Majalah Farmasi Airlangga. Umar, M. I., Mohammad, Z. B. A., Amirin, S., Rabia, A., & Muhammad, A. I. 2011. Phytochemistry and medicinal properties of Kaempferia Galanga L. (zingiberaceae) extracts. African Journal of Pharmacy and Pharmacology, 5, 14, 1638-1647. Voigt, R.. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani N. S.. UGM Press: Yogyakarta. Gandjar, I. G. & Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, 323-346, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 15, Penerbit ITB, Bandung.

Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi, diterjemahkan

oleh

Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, 3-17, ITB, Bandung. Yuangsoi, B., Jintasataporn,O., Areechon, N and Tabthipwon, P., 2008, Validated densitometric analysis for determination of carotenoids in fancy carp carpio) serum and the application for pharmacokinetic

TLC(Cyprinus

parameter

assessment,

Songklanakarin J. Soewarno, 1995,”Hidrologi Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data”, Penerbit

Nova,

Bandung. Hardle, W. 1994. Applied Nonparametric Regression. Cambridge University Press, York.

New

LAMPIRAN PENIMBANGAN SENYAWA SAMPEL DAN RECOVERY 

Sampel 2

 

Sampel 3 Sampel 4



Sampel 5



Sampel 6

PREPARASI SAMPEL

Setelah di timbang tambahkan pelarut 2 ml etanol kedalam masing-masing labu ukur

Di ad kan sampai 5 ml dengan etanol

Diultrasonik selama 5 menit

Disaring dan ditampung filtratnya

PENGENCERAN SAMPEL

Diambil 1 ml larutan sampel masukkan ke dalam vial

Ditambahkan masing-masing etanol sebanyak 2 ml

Tutup vial dengan karet penutup dan dilapisi lagi dengan Al. foil

PREPARASI RECOVERY

Setelah di timbang tambahkan pelarut 2 ml etanol kedalam masing-masing labu ukur

Diultrasonik selama 5 menit

Di tambahkan stardart EPMS 1,0 ml

Di ad kan sampai 5 ml dengan etanol

Disaring dan ditampung filtratnya

PENGENCERAN RECOVERY

Diambil 1 ml larutan sampel masukkan ke dalam vial

Tutup vial dengan karet penutup dan dilapisi lagi dengan Al. foil

Ditambahkan masing-masing etanol sebanyak 2 ml

PENOTOLAN SAMPEL, RECOVERY DAN STANDAR PADA KLT

Ditotolkan larutan standar EPMS, larutan sampel dan larutan recovery masing-masing 5 µl

Dieluasi menggunakan perbandingan eluen n-heksana: etil asetat: asam format (90:10:1 tetes)

LAPORAN PRAKTIKUM

PEMBUATAN KAPSUL EKSTRAK KENCUR (Kaempferia galangal L.) DAN KESERAGAMAN BOBOT Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitofarmaka

KELOMPOK: 6 KELAS: D Sukmawansyah 201410410311016 Sakinah Musaad

201510410311138

Meilya Hayyu Saputri

201510410311166

Dima Atsyari Novianti

201510410311182

Ayudya Rizky P.

201510410311196

DOSEN PEMBIMBING: Siti Rofida, S.Si., M.Farm., Apt. Amaliya Dina Anggraeni, M.Farm., Apt. PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018/2019

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamaan dan khasiat secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir (BPOM RI., 2005). Uji klinik fitofarmaka merupakan pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan segala penyakit. Prioritas pemilihan fitofarmaka yaitu berdasar pada bahan bakunya relatif mudah diperoleh, pola penyakit di Indonesia, perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar, memiliki resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita, dan merupakan satu-satunya alternatif pengobatan (MenKes RI, 1992). Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara. Tanaman ini banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional dan sebagai bumbu dalam masakan sehingga para petani banyak yang membudidayakan tanaman kencur sebagai hasil pertanian yang diperdagangkan. Bagian dari kencur yang diperdagangkan adalah buah akar yang ada di dalam tanah yang disebut rimpang kencur atau rizoma (Barus, 2009). Komponen-komponen kimia yang terkandung di dalam bahan organik seperti yang terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan sangat dibutuhkan oleh keperluan hidup manusia, baik komponen senyawa tersebut digunakan untuk keperluan industri maupun untuk bahan obatobatan. Komponen tersebut dapat diperoleh dengan metode ekstraksi dimana ekstraksi merupakan proses pelarutan komponen kimia yang sering digunakan dalam senyawa organik untuk melarutkan senyawa tersebut dengan menggunakan suatu pelarut. Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, ekstraksi dibagi menjadi dua yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair. Pada ekstraksi cair-cair, bahan yang menjadi analit berbentuk cair dengan pemisahannya menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur

sehingga terjadi distribusi sampel di antara kedua pelarut terebut. Pendistribusian sampel dalam kedua pelarut tersebut dapat ditentukan dengan perhitungan koefisien distribusi (Voigt, 1995). Marker dapat digunakan untuk identifikasi dengan benar dan autentik sumber bahan alam, mencapai kualitas yang konsisten, mengkuantifikasi senyawa farmakologikaktif pada produk akhir atau memastikan efikasi produk, marker sangat penting dalam evaluasi jaminan kualitas produk senyawa marker tidak harus memiliki aktivitas farmakologik. Senyawa marker dapat di golongkan menjadi 4 kategori berdasarkan bioaktivitasnya (Harbone, 1987). Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumunya terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai (Depkes RI, 1995). 1.2

Tujuan Berdasarkan dari latar belakang, maka tujuan dari praktikum kali ini adalah mahasiswa mampu membuat kapsul dari ekstrak kencur sesuai bobot yang ditentukan dan menetapkan kadar senyawa marker dari setiap kapsul.

1.3

Manfaat Berdasarkan dari latar belakang dan tujuan, maka manfaat dari praktikum kali ini adalah mahasiswa dapat mengetahui cara pembuatan kapsul dari ekstrak kencur sesuai bobot yang ditentukan dan menetapkan kadar senyawa marker dari setiap kapsul.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Tinjauan tentang Fitofarmaka Menurut

Menteri

Kesehatan

Indonesia

Nomor

760/MENKES/PER/IX.1992

fitofarmaka adalah sediaan obat dan obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku. Ada beberapa rancangan tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka, yaitu: 1. Tahap Seleksi Tahap seleksi merupakan pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala prioritas yaitu jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama, jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasarkan pengalaman pemakaian empiris sebelumnya. 2. Tahap Biological Screening Yaitu untuk menyaring keberadaan efek farmkaologi calon fitofarmaka yang mengarah kepada khasiat teraupetik (pra klinik in vivo), keberadaan efek keracunan akut (single dose), spektrum toksisitas jika aa dan sistem orga yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan tersebut (pra klinik in vivo). 3. Tahap Pengujian Toksisitas Merupakan persyaratan formal keamanan obat untuk pemakaian pada manusia. Spektrum toksikologi yang peru mendapat perhatian khusus adalah kemungkinan adanya efek toksik pada sistem organ-organ vital seperti kardiovaskular, susunan saraf gastroiniestinaple, pernafasan dan lain-lain. 4. Tahap Pengembangan Sediaan (Formulasi) Untuk mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan dan estetika untuk pemakaian pada manusia. 5. Tahap Uji Klinik pada Manusia Terdapat 4 fase pada uji klinik yaitu: 

Fase 1 : dilakukan pada suka relawan sehat



Fase 2 : dilakukan pada kelompok pasien terbatas



Fase 3 : dilakukan pada pasien dengan jumlah yang lebih besar dari fase 2



Fase 4 : post marketing survailance utnuk melihat kemungkinan efek samping yang tidak terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1 sampai 3

Sediaan fitofarmaka dipilih berdasarkan pertimbangan khasiat, keamanan, dan mutu yang tinggi, juga berdasarkan pertimbangan estetika. Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 761/Menkes/SK/IX1992 yaitu adanya 2 kelompok bentuk sediaan fitofarmaka seperti kelompok sediaan oral dan kelompok sediaan topikal. Termasuk dalam kelompok sediaan oral adalah serbuk, rajangan, kapsul (ekstrak), tablet (ekstrak), pil (ekstrak), sirup dan sediaan terdispersi. 2.2

Tanaman Kencur

2.2.1 Klasifikasi Tanaman Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Liliopsoda

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Subfamili

: Zingiberoideae

Genus

: Kaempferia

Spesies

: K. Galanga

(sumber : wikipedia.com)

2.2.2 Penyebaran dan Etnobotani Kencur (Kaempferia galanga L.) sudah sejak lama dikenal dan ditanam di Indonesia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah Asia Tropika. Sebagian kalangan menduga bahwa asal usul kencur adalah dari kawasan Indo-Malaysia. Tetapi literatur lainnya memastikan bahwa asal tanaman kencur adalah dari India (Rukmana, 2013). Daerah penyebaran kencur meluas ke kawasan Asia Tenggara dan China. Dalam perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa famili Zingiberaceae ini meliputi 47 genera dan 1400 spesies yang tersebar luas di daerah tropika dan subtropika. Di antara sejumlah genera

dan spesies tersebut, terdapat 13-17 jenis temu-temuan yang dipakai dalam obat tradisional. Kencur termasuk salah satu tanaman temu-temuan yang banyak digunakan sebagai bahan obat tradisional (Rukmana, 2013). 2.2.3 Deskripsi Tanaman (Kaempferia galanga L.) Kencur termasuk ke dalam terna kecil yang siklus hidupnya semusim atau beberapa musim. Akar kencur merupakan akar tinggal yang bercabang halus dan menempel pada umbi akar yang disebut rimpang. Rimpang kencur sebagian lagi terletak diatas tanah. Bentuk rimpang umumnya bulat, bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya coklat-ekuningan dan berbau harum. Tanaman kencur memiliki batang semu yang sangat pendek, terbentuk dari pelepah-pelepah daun yang saling menutupi. Daun kencur tumbuh tunggal, melebardan mendatar hampir rata dengan permukaan tanah. Jumlah daun variasi antara 8-10 helai dan tumbuh secara berlawanan satu sma lain. Bentuk daun elip melebar sampai bundar, ukuran panjang daun 7-12 cm dan lebarnya 3-6 cm, serta berdaging agak tebal. Bunga kencur keluar dalam bentuk buliran setengah duduk dari ujung tanaman di sela-sela daun. Warna bunganya putih, unguhingga lembayung dan tiap tangkai bunga berjumlah 4-12 kuntum bunga. Buah kencur termasuk buah kotak beruang 3 dengan bakal buah yang letaknya tenggelam, tetapi sulit sekali menghasilkan biji (Rukmana, 2013). 2.2.4 Kandungan Kimia dan Manfaat kencur Menurut Hargono (1995), terdapat beberapa kandungan dari senyawa Kaempferia galanga L. yaitu: c. Daun: alkaloid, borneol, eucaliptol d. Rimpang: tanin, saponin, kalsium oksalat, borneol, kamfen, sineol, etil alkohol, minyak atsiri (2,4%-3,9%) terdiri dari asam transinamat, n-pentadekana, etil p-metoksisinamat, asam p-metoksisinamat, p-metoksi stirena, p-asam kumarat. Kandungan senyawa metabolit sekunder dari rimpang kaempferia galanga L., yaitu menunjukan adanya senyawa etil trans-sinamat dan etil p-metoksisinamat aktif sebagai nematisida, etil p-metoksisinamat, etil sinamat dan 3-carene, 2-propionic acid aktif sebagai penolak nyamuk dan larvisida, etil sinamat sebagai vasorelaksan, etil p-metoksisinamat sebagai antineoplastik, antimikroba, antiinflamasi, dan luteolin dan apigenin ssebagai antioksidan (Umar et al., 2011).

Secara empiris Kaempferia galanga L. telah diketahui memiliki efek antiinflamasi. Kandungan utama kencur adalah etil-P-metoksisinamat (31,77%) yang didalam tubuh mengalami hidrolisis menjadi senyawa aktif biologis asam P- metoksisinamat (APMS) senyawa ini bekerja dengan menghambat enzim siklooknigenase, sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS) seringakali dapat menyebabkan iritasi saluran cerna salah satu upaya untuk menghindari efek samping tersebut, dikembangkan penggunaan obat secara topika OAINS topikal yang telah beredar antara lain natrium diklofenak dosis 1% sementara dosis APMS untuk penggunaan topikal belum diketahui (Soeratri et al, 2014). 2.3.1 Sediaan Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (BPOM RI, 2010). Simplisia banyak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut, seperti serat, karbohidrat, protein, dan lainlain. Untuk memisahkan senyawa aktif tersebut maka perlu dilakukan proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan kegiatan atau proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut (Agoes, 2007). 2.3.2 EPMS (Etil para-metoksi sinamat) Kencur (Kaempferia galangal L.) secara empiris telah diketahui memiliki efek antiinflamasi. Kandungan utama kencur adalah etil p-metoksisinamat (EPMS) yang merupakan senyawa ester turunan dari p-metoksisinamat yang di dalam tubuh mengalami hidrolisis menjadi senyawa aktif biologis, asam p-metoksisinamat (APMS), senyawa ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Selain itu, EPMS termasuk kelompok fenolik alam dari golongan fenil propanoid yang bermanfaat sebagai tabir surya, senyawa ini memperlihatkan aktifitas serapan maksimum 308nm (daerah UV-B) dan bersifat sebagai UV filter sehingga Etil p-metoksisinamat mempunyai perlindungan yang baik terhadap sinar matahari yang dapat memantulkan dan menghamburkan radiasi sinar UV terutama UV-B (290-320 nm) (Soeratri et al, 2014)..

2.5

Tinjauan tentang Senyawa Marker Senyawa marker (penanda) adalah suatu senyawa yang terdapat pada dalam bahan alam dan diseleksi untuk keperluan khusus (contoh untuk tujuan identifikasi atau standarisasi) melalui penelitian. Syarat senyawa dapat ditetapkan sebagai penanda apabila bersifat khas, mempunyai struktur kimia yang jelas, dapat diukur kadarnya dengan metode analisis yang biasa digunakan, bersifat stabil, tersedia dan dapat diisolasi (Purnomo, 2008). Marker dapat digunakan untuk identifikasi dengan benar dan autentik sumber bahan alam, mencapai kualitas yang konsisten, mengkuantifikasi senyawa farmakologik aktif pada prosuk akhir atau memastikan efikasi produk, marker sangat penting dalam evaluasi jaminan kualitas produk senyawa marker tidak harus memiliki aktivitas farmakologik. Senyawa marker dapat digolongkan mnjadi 4 katagori berdasarkan bioaktivitasnya (Harbone, 1987). e. Zat aktif Merupakan senyawa kimia dengan aktivitas klinik yang dietahui contohnya: ephedrin pada epedra sinensis (Harbone, 1987). f. Marker aktif Merupakan senyawa kimia yang mempunya efek farmakologi tetapi belum tentu mempuyai efek klinik (Harbone, 1987). g. Marker analisis Merupakan senyawa kimia yang dipilih untuk determinasi, kuantitatif tetapi belum tentu mempunyai aktivitas biologi dan efikasi klinik (Harbone, 1987). h. Marker negatif Merupakan senyawa aktif dengan zat aktif toksik atau allergik. Kencur merupakan tanaman tropis yang terkandung senyawa etil-p-metoksisinamat sebagai komponen utama dan terkandung pula senyawa lain seperti etil sinamat dan p-metoksisinamat, kadar etil-pmetoksisinamat dalam kencur cukup tinggi tergantung spesiesnya dengan bias sampai 10% (Harbone, 1987). Idealnya senyawa penanda merupakan senyawa aktif yang bertanggung jawab terhadap efek farmakologi yang ditimbulkan oleh penggunaan herbal yang bersangkutan. Namun demikian, senyawa khas yang bukan senyawa aktif dapat pula ditetapkan sebagai penanda (Wahyuono dkk, 2006).

Senyawa penanda merupakan konstituen kimia dari herba yang telah ditetapkan strukturnya yang dugunakan untuk tujuan kontrol kualitas. Senyawa penanda digunakan konstituen kimia yang bertanggung jawab terhadap efek teraupetik dari tanaman yang bersangkutan belum diketahui (Anonim, 2007). 2.6

Tinjauan tentang Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumunya terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai (Depkes RI, 1995). Kapsul dapat didefiniskan sebagai bentuk sediaan padar, dimana satu macam obat atau lebih dan atau bahan inert lainnya yang dimasukkan kedalam cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air. Pada umumnya cangkang kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa kapsul gelatin lunak atau keras (Ansel, 2005).  Macam-macam kapsul: 1. Hard Capsule (cangkang kapsul keras) Kapsul cangkang keras teridiri dari atas wadah dan tutup yang dibuat dari campuran gelatin, gula dan air, jernih tidak berwarna dan pada dasarnya tidak mempunyai rasa. Biasanya cangkang ini diisi dengan bahan padat atau serbuk, butiran atau granul. Ukuran kapsul mulai dari yang besar sampai yang kecil yaitu 000, 00, 1, 2, 3, 4, dan 5. 2. Soft Capsule (cangkang kapsul lunak) Kapsul gelatin lunak dibuat dari gelatin dimana gliserin atau alkohol polivalen dan sorbitol ditambahkan supaya gelatin bersifat elastis seperti plastik. Kapsul-kapsul ini mungkin bentuknya membujur seperti elips atau seperti bola dapat digunakan untuk diisi cairan, suspensi, bahan terbentuk pasta atau serbuk kering (Ansel, 1989).  Kapsul harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (Farmakope Indonesia edisi III 1979): 1. Untuk kelompok kapsul yang berisi bahan padat 

Timbang 20 kapsul sekaligus, kemudian timbang lagi satu per satu dan catat bobotnya



Keluarkan semua isi kapsul, timbang seluruh bagian cangkang kapsul



Hitung bobot isi tiap kapsul dan hitung bobot rata-rata isi tiap kapsul



Kapsul ini memenuhi syarat menurut Farmakope Indonesia III dalam persen bobot rata-rata tiap isi kapsul tidak boleh lebih dari yang ditetapkan dalam kolom A dan untuk setiap 2 kapsul terhadap bobot rata-rata ditetapkan dalam kolom B. Seperti dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Bobot rata-rata tiap kapsul

Perbedaan bobot isi kapsul (%) A

B

≤ 120 mg

10

20

≥ 120 mg

7,5

15

2. Untuk kelompok kapsul yang berisi bahan cair atau setengah padat/pasta/salep 

Timbang 10 kapsul sekaligus, kemudiaan timbang lagi satu per satu



Keluarkan semua isi kapsul, cuci cangkang kapsul dnegan eter, buang cairan cucian dan biarkan hingga tidak berbau eter lagi.



Timbang seluruh bagian cangkang kapsul



Hitung bobot isi kapsul dan bobot rata-rata isi tiap kapsul



Kapsul ini memenuhi syarat Farmakope Indonesia jika perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata tiap isi kapsul tidak lebih dari 7,5%

2.7

Bahan Tambahan

1. Cab-O-Sil Cab-O-Sil (Aerosol) Sinonim

Aerosil; cao-os-sil M-%P; colloidal silica fumed

silica;

fumed

silicon

hochdisperses; silicum dioxid Struktur formula

SiO2 (BM= 60.08)

dioxide;

Fungsi

Adsorbant;

anticacking

agent;

emulsion

stabilizier; glidant; suspending agent; tablet disintergrant Penggunaan Cab-O-Sil

- Aerosol= 0,5-2,0% - Emulsion stabilizier= 1,0-5,0% - Glidant= 0,1-1,0% - Suspending dan thickening agent= 2,010,0%

Sifat fisika kimia

pH: 3,5-4,0, ukuran partikel: 7-16 nm

Kelarutan

Praktis tidak larut dalam pelarut organik, air, dan larut asam kecuali hydrofluoric acid. Larut dalam larutan alkali hidroksida panas. Membentukdispersi koloidal dalam air. (HPE Ed. 6., 2009. Hal. 185)

2. Avicel Avicel Sinonim

Avicel pH; cellets; celax; cellulose gel; hellulosum microcristallium; celphere; ceolus KG; crystalline cellulose; emcocel; fibrocel; parmacel; tabulose; vivapur.

Struktur Formula

(C6H10O5) (BM=36.000)

Fungsi

Adsorbent; suspending agent; tablet dan capsule diluent; tablet disintegrant

pH

5,0-7,5

Titik Lebur

260-270°C

Distribusi Ukuran

20-200 mikro meter

Kelarutan

Mudah larut dalam 5% w/v larutan NaOH, praktis tidak larut dalam air, asam terlarut, dan sebagian besar pelarut organik

Kompatibilitas

Avicel inkompatible dengan agen oksidator kuat (HPE Ed. 6., 2009. Hal. 129)

BAB III PROSEDUR KERJA 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat - Timbangan analitik - Mortir dan stamper - Sudip - Cangkang kapsul

3.1.2 Bahan - EPMS (Ekstrak Kencur) - Cab-O-Sil - Avicel 3.2 Prosedur Dibuat 20 kapsul dari bahan aktif ekstrak kencur dengan komposisi senyawa marker EPMS sebanyak 15 mg/kapsul. Bahan tambahan yang digunakan yaitu campuran Cab-O-Sil dan Avicel pada perbandingan 3:1.  Cara Pembuatan 1. Hitung dan timbang berat ekstrak yang dibutuhkan. 2. Timbang hasil akhir campuran sebelum dimasukkan ke dalam kapsul (hitung berapa % kesalahan dibandingkan dengan berat teoritis). 3. Timbang masing-masing berat kapsul (hitung berapa % kesalahan dibandingkan dengan berat kapsul yang direncanakan). 4. Masukkan kembali ke dalam cangkang kapsul simpan dalam wadah tertutp rapat dan beri etiket. 5. Buat kesimpulan terhadap keseragaman bobot sediaan kapsul ekstrak kencur (berdasarkan Farmakope Indonesia)

 Bagan Alir

Hitung dan timbang berat ekstrak yang dibutuhkan.

Timbang hasil akhir campuran sebelum dimasukkan ke dalam kapsul (hitung

berapa % kesalahan dibandingkan dengan berat teoritis).

Timbang masing-masing berat kapsul (hitung berapa % kesalahan dibandingkan dengan berat kapsul yang direncanakan).

Masukkan kembali ke dalam cangkang kapsul simpan dalam wadah tertutp rapat dan beri etiket.

Buat kesimpulan terhadap keseragaman bobot sediaan kapsul ekstrak kencur (berdasarkan Farmakope Indonesia)

BAB IV HASIL 

Perhitungan Pengambilan Bahan o 100 mg/kapsul  100 mg/kapsul x 100 kapsul = 10.000 mg ~ 10,00 gram 6 mg/kapsul  6 mg/kapsul x 100 kapsul = 600 mg ~ 0,60 gram o Total Eksipien  10.000 mg – 600 mg = 9.400 mg ~ 9,40 gram 100 %

o Ekstrak  7,39% x 600 mg = 8.119,08 mg ~ 8,12 gram o Eksipien  10.000 mg – 8.119,08 mg = 1.880,92 mg ~ 1,88 gram 1

o Cab-o-sil  4 x 1.880,92 mg = 470, 23 mg ~ 0,47 gram 3

o Avicel  4 x 1.880,92 mg = 1.410,69 mg ~ 1,41 gram 

Pengambilan Bahan No.

Nama Bahan

Bobot Teoritis

Bobot Penimbangan

1

Ekstrak Kencur

8,1191 gram

8,12 gram

2

Cab-o-sil

0,4702 gram

0,47 gram

3

Avicel

1,4107 gram

1,41 gram

10,0000 gram

10,00 gram

Jumlah Total



Keseragaman Bobot

a) Bobot kapsul + isi

: 0,219 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,121 g Isi b) Bobot kapsul + isi

c) Bobot kapsul + isi

0,093 𝑔

x 100

= 5,35%

: 0,098 g : 0,218 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,125 g Isi

0,093 𝑔−0,098 𝑔

0,093 𝑔−0,093 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 0%

: 0,093 g : 0,225 g

% Penyimpangan 

0,093 𝑔−0,098 𝑔 0,093 𝑔

x 100

Bobot kapsul kosong : 0,125 g Isi d) Bobot kapsul + isi

= 5,35%

: 0,098 g : 0,219 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,130 g Isi e) Bobot kapsul + isi

f) Bobot kapsul + isi

g) Bobot kapsul + isi

: 0,217 g

% Penyimpangan 

h) Bobot kapsul + isi

i) Bobot kapsul + isi

: 0,215 g

% Penyimpangan 

j) Bobot kapsul + isi

k) Bobot kapsul + isi

: 0,211 g

% Penyimpangan 

l) Bobot kapsul + isi

0,093 𝑔

x 100

0,093 𝑔−0,091 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 2,15%

: 0,091 g : 0,222 g

% Penyimpangan 

0,093 𝑔−0,093 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 0%

: 0,093 g : 0,216 g

% Penyimpangan 

0,093 𝑔−0,089 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 4,30%

: 0,089 g : 0,217 g

% Penyimpangan 

0,093 𝑔−0,093 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 0%

: 0,093 g : 0,216 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,121 g Isi

0,093 𝑔−0,094 𝑔

: 0,094 g

Bobot kapsul kosong : 0,124 g Isi

x 100

= 1,08%

Bobot kapsul kosong : 0,127 g Isi

0,093 𝑔

: 0,087 g

Bobot kapsul kosong : 0,129 g Isi

0,093 𝑔−0,087 𝑔

= 6,45%

Bobot kapsul kosong : 0,120 g Isi

x 100

: 0,089 g

Bobot kapsul kosong : 0,121 g Isi

0,093 𝑔

= 4,30%

Bobot kapsul kosong : 0,130 g Isi

0,093 𝑔−0,089 𝑔

0,093 𝑔−0,095 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 2,15%

: 0,095 g : 0,211 g

Bobot kapsul kosong : 0,120 g

% Penyimpangan 

0,093 𝑔−0,091 𝑔 0,093 𝑔

= 2,15%

x 100

Isi

: 0,091 g

m) Bobot kapsul + isi

: 0,224 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,127 g Isi

0,093 𝑔

x 100

= 4,30%

: 0,097 g

n) Bobot kapsul + isi

: 0,217 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,119 g Isi

0,093 𝑔−0,098 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 5,35%

: 0,098 g

o) Bobot kapsul + isi

: 0,216 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,128 g Isi

0,093 𝑔−0,095 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 2,15%

: 0,095 g

p) Bobot kapsul + isi

: 0,225 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,127 g Isi

0,093 𝑔−0,098 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 5,35%

: 0,098 g

q) Bobot kapsul + isi

: 0,217 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,125 g Isi

0,093 𝑔−0,092 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 1,08%

: 0,092 g

r) Bobot kapsul + isi

: 0,217 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,126 g Isi

0,093 𝑔−0,091 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 2,15%

: 0,091 g

s) Bobot kapsul + isi

: 0,210 g

% Penyimpangan 

Bobot kapsul kosong : 0,120 g Isi

0,093 𝑔−0,090 𝑔 0,093 𝑔

x 100

= 3,20%

: 0,090 g

t) Bobot kapsul + isi

: 0,219 g

Bobot kapsul kosong : 0,130 g Isi Rata-rata 

0,093 𝑔−0,097 𝑔

: 0,089 g 1,861 𝑔 20

= 0,093 g ~ 93 mg

% Penyimpangan 

0,093 𝑔−0,089 𝑔 0,093 𝑔

= 4,30%

x 100



TABEL KESERAGAMAN BOBOT

No.

Kapsul + Isi

Kapsul Kosong

Isi

% Penyimpangan

1

0,219 g

0,121 g

0,098 g

5,35%

2

0,218 g

0,125 g

0,093 g

0%

3

0,225 g

0,127 g

0,098 g

5,35%

4

0,219 g

0,130 g

0,089 g

4,30%

5

0,217 g

0,130 g

0,087 g

6,45%

6

0,215 g

0,121 g

0,094 g

1,08%

7

0,211 g

0,120 g

0,091 g

2,15%

8

0,222 g

0,129 g

0,093 g

0%

9

0,216 g

0,127 g

0,089 g

4,30%

10

0,217 g

0,124 g

0,093 g

0%

11

0,216 g

0,121 g

0,095 g

2,15%

12

0,211 g

0,120 g

0,091 g

2,15%

13

0,224 g

0,127 g

0,097 g

4,30%

14

0,217 g

0,119 g

0,098 g

5,35%

15

0,216 g

0,128 g

0,095 g

2,15%

16

0,225 g

0,127 g

0,098 g

5,35%

17

0,217 g

0,125 g

0,092 g

1,08%

18

0,217 g

0,126 g

0,091 g

2,15%

19

0,210 g

0,120 g

0,090 g

3,20%

20

0,219 g

0,130 g

0,089 g

4,30%

Jumlah

1,861 g

Rata-rata

0,093 g

BAB V PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan uji keseragaman bobot pada kapsul ekstrak kencur. Pada pembuatan kapsul ditambahkan eksipien avicel sebanyak 1,41 gram dan cab-o-sil sebanyak 0,47 gram. Sedangkan ekstrak kencur yang ditimbang sebanyak 8,12 gram. Dalam setiap kapsul seharusnya dengan kadar EPMS sebesar 15 mg/kapsul, tetapi pada kelompok kami hanya dibuat 6 mg/kapsul dikarenakan hasil rata-rata kadar EPMS awalnya tidak sesuai dengan dengan teoritis, hasil yang kami dapatkan sangat kecil yaitu 7,39%. Kapsul akan dibuat sebanyak 100 kapsul dengan bobot 200 mg/kapsul, tetapi dikarenakan kadar EPMS kelompok kami sangat kecil maka dari itu dibuat 100 mg/kapsul. Hasil kelompok kami tidak sesuai dengan yang ditentukan, kemungkinan terjadi kesalahan pada saat prosedur pengerjaan penetapan kadar EPMS tidak kuantitatif atau pada saat penotolan terjadi kesalahan. Pada awal pembuatan ditimbang seluruh bahan (ekstrak, avicel, cab-o-sil) kemudian dicampur ketiganya didalam mortar ad homogen. Dimasukkan avicel terlebih dahulu lalu ditambahkan ekstrak dan yang terakhir ditambahkan cab-o-sil karena cab-o-sil bersifat voluminous. Setelah homogen, campuran bahan obat ditimbang keseluruhan untuk menghitung % kesalahan. % kesalahan yang didapat adalah 0,2%. Secara teoritis % kesalahan <1% dan <5% artinya bobot keseluruhan bahan memenuhi persyaratan. Selanjutnya bahan dibagi menjadi dua bagian sama banyak. Dan setiap bagian dibagi menjadi lima secara visual, kemudian dari lima dibagi menjadi 50 bagian secara visual. Setelah dibagi dimasukkan kedalam masing-masing kapsul sebanyak 100 kapsul. Untuk 20 kapsul dilakukan keseragaman bobot yang mana untuk bobot rata-rata 93 mg. Perbedaan bobot isi kapsul menurut kolom A kurang lebih 10% dan pada kolom B kurang lebih 20% (PerMenKes No. 12 Tahun 2014). Hasil yang didapat pada kelompok kami tidak ada satu kapsul pun yang tidak memenuhi persyaratan, karena tidak ada % penyimpangan/keslahan yang lebih dari 10% pada kolom A dan 20% pada kolom B. Kemudian untuk rata-rata bobot diperoleh 0,093 gram (93 mg). Hal ini menunjukkan bahwa setiap bobot isi kapsul memenuhi persyaratan dari

PerMenKes No. 12 Tahun 2014 yaitu pada kolom A 10% (0,0837 gram – 0,1023 gram) dan kolom B 20% (0,0744 gram – 0,1116 gram).

BAB VI KESIMPULAN Dari 20 kapsul tidak terdapat kapsul yang tidak memenuhi persyaratan dan dari ratarata bobot kapsul diperoleh 93 mg (0,0930 gram) yang menunjukkan bahwa bobot isi kapsul memenuhi persyaratan dalam PerMenKes No. 12 Tahun 2014 yakni kolom A (0,0837 gram – 0,1027 gram) dan kolom B 20% (0,0744 gram – 0,1116 gram).

DAFTAR PUSTAKA Agoes, A. 2010. Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Salemba Medika Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi. edisi 5, Departemen Farmakologi Terapeutik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. UI Press. Jakarta Ansel, H.C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Penerjemah Farida Ibrahim. Penerbit: UI. Jakarta. Barus, R. 2009. Amidasi p-metoksisinamat yang Diisolaso dari Kencur (Kaempferia galanga L) [Tesis], Sumatera Utara, Program Pascasarjana USU. Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Depkes, RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Depkes RI, Jakarta. Ditjen POM, Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung Permenkes RI No. 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang Fitofarmaka. Purnomo, A.D., 2008, Analisis Makroskopik, Mikroskopik, dan Penentuan Senyawa Identitas

dari

Simplisia

Herba

Purwoceng,

Skripsi,

Fakultas

Farmasi

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rowe, R.C. et Al. (2009). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed, The Pharmaceutical Press, London. Rukmana,R. 1994. Kencur. Kanikus: Yogyakarta Soeratri , W. dan Tutik, P. 2014. Penambahan asam glikolat terhadap efektifitas sediaan tabir surya kombinasi anti UV-A dan anti UV-B dalam basis gel. Majalah Farmasi Airlangga.

Umar, M. I., Mohammad, Z. B. A., Amirin, S., Rabia, A., & Muhammad, A. I. 2011. Phytochemistry and medicinal properties of Kaempferia Galanga L. (zingiberaceae) extracts. African Journal of Pharmacy and Pharmacology, 5, 14, 1638-1647. Voigt, R.. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani N. S.. UGM Press: Yogyakarta. Winarto, W.P. 2007. Tanaman Obat Indonesia Untuk Pengobatan Herbal. Jakarta: Karyasari Herba Media.

LAMPIRAN A. Pengambilan dan Penimbangan Bahan

Ditimbang ekstrak sebanyak 8,12 gram di timbangan analitik

Ditimbang Avicel sebanyak 1,41 gram di timbangan analitik

B. Pencampuran Bahan

Proses homogenasi seluruh bahan ad homogen

Bobot seluruh bahan setelah di campur dan digerus ad homogen sebesar 9,98 gram

Ditimbang cab-o-sil sebanyak 0,47 gram di timbangan analitik

C. Proses Memasukkan Bahan kedalam Kapsul

Setelah ditimbang semua bahan, lalu dibagi dua bagian dan ditimbang lagi menjadi 4,98 dan 5,00 gram

Setelah dibagi menjadi 2 bagian, setiap 1 bagian dibagi secara visual menjadi 5 dan dibagi lagi menjadi 10

Proses pemasukkan bahan obat kedalam kapsul yang sudah disediakan

D. Keseragaman Bobot Diambil 20 kapsul secara acak dari 100 kapsul, lalu ditimbang kapsul + isi, kapsul kosong, dan bobot/isinya. Jangan lupa hitung % kesalahan serta cocokkan dengan teori keseragaman bobot kapsul yang ada di literatur/buku

LAPORAN PRAKTIKUM

PENETAPAN KADAR SENYAWA MARKER EPMS DALAM SEDIAAN KAPSUL Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitofarmaka

KELOMPOK: 6 KELAS: D Sukmawansyah

201410410311016

Sakinah Musaad

201510410311138

Meilya Hayyu Saputri

201510410311166

Dima Atsyari Novianti

201510410311182

Ayudya Rizky P.

201510410311196

DOSEN PEMBIMBING: Siti Rofida, S.Si., M.Farm., Apt. Amaliya Dina Anggraeni, M.Farm., Apt. PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018/2019

BAB I PENDAHULUAN 1. TUJUAN UMUM Mahasiswa mampu melakukan pembuatan kapsul ekstrak kencur dan penetapan kadar senyawa marker dalam kapsul 2. PRINSIP TEORI A. Klasifikasi Tumbuhan (USDA) Kingdom

: Plantae

Subkingdom

: Traecheobionta

Super Divisi

: Spermatophyta

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Liliopsida

Sub Kelas

: Commelinidae

Ordo

: Zingiberales

Famili

: Zingiberaceae

Genus

: Kaempferia

Spesies

: Kaempferia galanga Linn.

B. Deskripsi Tanaman Kempferia merupakan genus herbal yang memiliki anggota lebih dari 50 spesies asli dari Asia Timur tropis yang masuk dalam famili Zingiberaceae. Kaempferia merupakan rizoma herbal yang berukuran kecil yang biasanya berbentuk akar tuberous aromatik yang tebal dan rizoma yang pendek (Tang et al., 2014). Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu dari lima jenis tumbuhan yang dikembangkan sebagai tanaman obat asli Indonesia.kencur merupakan tanaman obat yang bernilai ekonomis cukup tinggi sehingga banyak dibudidayakan. Bagian rimpangnya

digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisioanl, bumbu dapur, bahan makanan, maupun penyengar minuman lainnya (Rostiana et al., 2003). a. Kandungan Kimia Menurut Hargono (1995), bahwa kandungan senyawa Kaempferia galanga L. yaitu: 1. Daun: alkaloid, borneol, dan eucaliptol. 2. Rimpang: tanin, saponin, kalsium oksalat, borneol, kamfen, sineol, etil alkohol, minyak atsiri (2,4%- 3,9%) terdiri etil p-metoksisinamate, asam p-metoksinamat, asam transinamat, p-metoksi stirena, p-asam kumarat, n-pentadekana. Kandungan senyawa yang terdapat secara melimpah yaitu asam popanoat, pentadekana, etil p-metoksisinamat. Kandungan lainnya yaitu 1,8-sineol, undekanon, isopropil sinama, disikloheksilpropandinitril, dipenten dioksida, 9-hidroksi, 2-nonanon, 2,7-oktadien- 1il asetat, etil sikloheksil asetat, cis 11-tetradesenil asetat, 2-heptadekanon, 4-metilnisopulegon, champidin, trans-trans-okta-2,4-dietil asetat, 10-undesil-1-ol, 7-dimetoksikumarin, delta3carene, alfa pinen, champhene, borneol, cymene, alpha gurjunene, germacrenes, cadinenes, caryophyllenes, luteolin, dan apigenin (Umar et al., 2011). C. Manfaat Kaempferia galanga L Zingebraceae telah ditemukan sebagai sumber yang diperlukan sekali untuk agen pencegah kanker sejak tumbuhan dari famili Zingeberaceae didemonstrasikan kemungkinan efek hambatnya pada pertumbuhan kanker payudara (MCF-7), kanker kolon (HT- 29 dan Col2), kanker paru- paru (A549), kanker perut (SNU- 638), dan kanker servic (CaSki). Dilaporkan juga pada skrining ekstrak atau minyak esensial dari sejumlah anggota famili Zingiberaceae yaitu dapat melawan strain bakteri, jamur, dan ragi (Tang et al.,2014). Kebanyakan rizoma ginger banyak yang bisa dimakan yang telah lama digunakan sebagai bahan untuk pengobatan tradisional selama berabad- abad tetapi ridak sepenuhnya telah dilakukan indentifikasi terhadap aktivitas bioaktifnya (Tang et al.,2014). Ekstrak dari Kaempfreia galanga L. memiliki aktivitas antiinflamasi, analgesik, nematasida, penolak nyamuk, larvisida, vasorelaksan, sedatif, antineoplastik, antimikroba,

antioksidan, antialergidan penyembuh luka (Umar et al., 2011). Etil p- metoksisinamat dan etil sinamat ditemukan sebagai senyawa vital yang berperan dalam kebanyakan sifat farmakologi. Efek aktinosiseptik dari ekstrak Kaempferia galanga L. sebanding dengan aspirin, mengingat efek nematisida Kaempferia galanga L. bahkan lebih poten dari pada Carbofuran dan Nametan (Umar et al., 2011). D. EPMS (etil para-metoksi sinamat) Kencur (Kaempferia galangal L.) secara empiris telah diketahui memiliki efek antiinflamasi. Kandungan utama kencur adalah etil p-metoksisinamat (EPMS) yang merupakan senyawa ester turunan dari p-metoksisinamat yang di dalam tubuh mengalami hidrolisis menjadi senyawa aktif biologis, asam p-metoksisinamat (APMS), senyawa ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Selain itu, EPMS termasuk kelompok fenolik alam dari golongan fenil propanoid yang bermanfaat sebagai tabir surya, senyawa ini memperlihatkan aktifitas serapan maksimum 308nm (daerah UV-B) dan bersifat sebagai UV filter sehingga Etil p-metoksisinamat mempunyai perlindungan yang baik terhadap sinar matahari yang dapat memantulkan dan menghamburkan radiasi sinar UV terutama UV-B (290-320 nm) (Soeratri et al, 2014). a.

Senyawa Marker Berdasarkan natural health Produck Directorate (NHPD) Senyawa marker meruakan

konstituent that accurs naturally in the material and that is selected for special attention (e.g for identification and standarization purposes) by a researcher or manufacture. Marker mempunyai 2 tujuan utama yaitu sebagai penanda farmakoogis dan analisis. Marker dapat digunakan untuk identifikasi dengan benar dan autentik sumber bahan alam, mencapai kualitas yang konsisten, mengkuantifikasi senyawa farmakologik aktif pada prosuk akhir atau memastikan efikasi produk, marker sangat penting dalam evaluasi jaminan kualitas produk senyawa marker tidak harus memiliki aktivitas farmakologik. Senyawa marker dapat digolongkan mnjadi 4 katagori berdasarkan bioaktivitasnya (Harbone, 1987). i.

Zat aktif

Merupakan senyawa kimia dengan aktivitas klinik yang dietahui contohnya: ephedrin pada epedra sinensis (Harbone, 1987). j.

Marker aktif

Merupakan senyawa kimia yang mempunya efek farmakologi tetapi belum tentu mempuyai efek klinik (Harbone, 1987). k.

Marker analisis

Merupakan senyawa kimia yang dipilih untuk determinasi, kuantitatif tetapi belum tentu mempunyai aktivitas biologi dan efikasi klinik (Harbone, 1987). l.

Marker negatif

Merupakan senyawa aktif dengan zat aktif toksik atau allergik. Kencur merupakan tanaman tropis yang terkandung senyawa etil-p-metoksisinamat sebagai komponen utama dan terkandung pula senyawa lain seperti etil sinamat dan p-metoksisinamat, kadar etil-pmetoksisinamat dalam kencur cukup tinggi tergantung spesiesnya dengan bias sampai 10% (Harbone, 1987).  Klasifikasi Senyawa Marker Menurut Songlin et al. a) Komponen Teraupetik Komponen teraupetik diketahui memiliki efek terapi langsung dari obat herbal. Senyawa tersebut dapat digunakan sebagai senyawa marker untuk pengujian kualitatif dan kuantitatif (Songlin et al.,2008). b) Komponen Bioaktif Komponen bioaktif secara structural kimia berbeda dengan obat herbal. Saat komponen tunggal tidak mempunyai efek terapi langsung, kombinasi dari bioaktivitas keduanya memberikan efek terapi (Songlin et al.,2008). c) Komponen Sinergis Komponen sinergis tidak berperan pada efek terapi ataupun bioaktivitas secara langsung. Namun, meraka bekerja secara sinergis untuk menguatakan bioaktivitas dari komponen lain untuk meningkatkan efek terapi obat herbal (Songlin et al.,2008).

d) Komponen Identitas Untuk dapat berperan dalam efek terapi, komponen identitas haruslah bahan yang spesifik atau unik dari obat herbal (Songlin et al.,2008). e) Komponen major Komponen major merupakan senyawa yang memiliki kandungan terbesar dalam tanaman. Kelompok bukan komponen identitas dan meiliki bioaktivitas yang belum diketahui pasti. Komponen major digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif dari obat herbal khususnya untuk evaluasi stabilitas dan diferensiasi (Songlin et al.,2008). f) Komponen Korelatif Komponen korelatif merupakan komponen yang memiliki kedekatan hubungan dengan yang lainnya. Contohnya saja dapat menjadi precursor produk atau metabolit dari suatu reaksi kimia atau enzimatis. Komponen korelatif dapat digunakan sebagai senyawa marker untuk menguji kualitas obat tradisional yang berasal dari lokasi berbeda dan pada waktu penyimpanan yang berbeda pula (Songlin et al.,2008). g) Komponen Toksik Senyawa yang menunjukkan sifat alergi dan toksik (Songlin et al.,2008). h) Komponen Umum Komponen umum merupakan senyawa yang umum terdapat dalam tanaman. Komponen umum diidentifikasi dengan fingerprint untuk quality control (Songlin et al.,2008). b.

Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik pemisahan campuran dengan

menggunakan suatu plat fase diam yang nantinya fase diam tersebut akan secara seragam tersebar di atas permukaan plat tersebut yang kemudian fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh gaya kapiler pada pengembangan menaik (ascending) atau karena gaya gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Silika gel merupakan fase diam yang sering digunakan untuk KLT. Zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk kromatografi senyawa netral, asam, dan basa. Selain fase diam, terdapat fase gerak yang merupakan salah satu bagian penting dalam analisis pemisahan senyawa menggunakan KLT karena polaritas dari fase gerak dapat menentukan pemisahan (Stahl, 1985; Sudjadi, 2007). Beberapa penjerap fase diam yang digunakan pada KLT (Gandjar dan Rohman,2007) Mekanisme

Mekanisme sorpsi

Penggunaan

Silica gel

adsorpsi

Asam amino, hidrokarbon, vitamin, alkaloid

Silicayangdimodifikasi Partisi termodifikasi

Senyawa-senyawa non polar

dengan hidrokarbon Serbuk selulosa

Asam amino, nukleotida, karbohidrat

Alumina

adsorpsi

Hidrokarbon, ion logam, pewarna makanan, alkaloid

Kieselguhr

(tanah partisi

Gula, asam-asam lemak

diatomae) Selulosa penukar ion

Pertukaran ion

Asam nukleat, nukleotida, halide dan ion-ion logam

Gel sephadex

Eksklusi

Polimer, protein, kompleks logam

Β-siklodekstrin

Interaksiadsorpsi

Campuran enansiomer

stereospesifik Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal hanya dapat diperoleh jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil mungkin dan sesempit mungkin. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 µL. Jika volume sampel yang akan ditotolkan > 2,0 µL maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan. Penjenuhan bejana kromatografi dapat dilakukan

dengan cara melapisi dinding bagian dalam bejana dengan kertas saring. Bagian bawah kertas saring tersebut harus tercelup dalam cairan pengembang. Tepi bagian bawah lempeng lapis tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus di bawah lempeng yang sudah terisi totolan sampel. Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sedikit mungkin (akan tetapi harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan). Jika fase gerak telah mencapai ujung kertas saring, maka dapat dikatakan fase gerak telah jenuh. Selama proses elusi, bejana kromatografi harus ditutup rapat, misalkan dengan alumininum foil (Ditjen BPOM, 2000; Sudjadi, 2007). E. Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tapi dapat juga terbuat dari pati atau bagian lain yang sesuai. Ukuran cangkang kapsul keras bervariasi, dari nomor paling kecil (5) sampai nomor paling besar (000) (Anonim, 1995). Kapsul terbagi atas kapsul cangkang keras (capsulae durae, hard capsule) dan kapsul cangkang lunak (capsulae molles). Cangkang kapsul dibuat dari Gelatin dengan atau tanpa zat tambahan lain. Cangkang dapat pula dibuat dari Metilsselulosa atau bahan lain yang cocok. Capsulae Gelatinosae operculatae atau kapsul keras. dibuat dari campuran gelatin, gula, dan air dan merupakan cangkang kapsul yang bening tak bewarna dan tak berasa. Kapsul lunak merupakan satu kesatuan berbentuk bulat atau silindris (pearl) atau bulat telur (globula) yang dibuat dari gelatin (kadang disebut dengan gel lunak) atau bahan lain yang sesuai. Biasanya lebih tebal dari pada cangkang kapsul keras dan dapat diplastisasi dengan penambahan senyawa poliol, seperti sorbitol atau gliserin. (Anief, 2007)  Macam-macam kapsul: 1) Capsulae Gelatinosae opercultae (kapsul keras). Kapsul keras terdiri dari wadah dan tutup. Cangkang kapsul keras

dibuat

dari campuran Gelatin, gula dan air dan merupakan cangkang kapsul yang bening tak berwarna dan tak berasa. Ukuran kapsul keras menurut besarnya dapat diberi nomor urut dari besar ke kecil sebagai berikut : no. 000; 00; 0; 1; 2; 3. Kapsul harus disimpan pada tempat yang tidak lembab dan sebaiknya disimpan di wadah yang diberi zat pengering. Kapsul dapat diberi warna

macam-macam agar menarik dan dapat dibedakan dengan kapsul yang mengandung obat lain. Kapsul keras sering digunakan di apotik dalam pelayanan campuran obat yang ditulis dokter (Anief, 2007). 2) Soft capsule atau kapsul lunak Merupakan kapsul tertutup dan berisi obat yang pembuatan dan pengisian obatnya dilakukan dengan alat khusus. Cangkang kapsul lunak dibuat dari Gelatin ditambah Gliserin atau alkohol polihidris seperti Sorbitol untuk melunakan gelatinnya. Kapsul ini biasanya mengandung air 6 – 13%, diisi dengan bahan cairan bukan air seperti polietilglikol (PEG) berbobot molekul rendah, atau juga dapat diisi dengan bahan padat , serbuk atau zat padat kering. Kapsul cangkang lunak memiliki bermacam-macam bentuk dan biasanya dapat dipakai untuk rute oral, vaginal, rektal atau topikal. Kapsul lunak dapat pula diberi warna macam-macam (Anief, 2007)  Ada tiga cara pengisian kapsul, yaitu dengan: 1) Tangan Cara ini merupakan cara yang paling sederhana arena menggunakan tangan tanpa bantuan alat lain. Cara ini sering digunakan di apotek. Bila melakukan pengisian dengan cara ini, sebaiknya menggunakan sarung tangan untuk mencegah alergi yang mungkin timbul karena tidak tahan terhadap obat tersebut. Untuk memasukkan obat kedalam kapsul, dapat dilakukan dengan cara membagi serrbuk sesuai dengan jumlah kapsul yang diminta. 2) Alat bukan mesin Alat yang dimaksud disini adalah alat yang menggunakan tangan manusia. Dengan alat ini, akan didapatkan kapsul yang lebih seragam dan penkerjaannya yang dapat lebih cepat. 3) Alat mesin Untuk memproduksi kapsul secara besar-besaran dan menjaga keseragaman kapsul, perlu digunakan alat otomatis mulai dari membuka, mengisi, dan menutup kapsul (Syamsuni, 2006).  Persyaratan kapsul menurut FI edisi III 1979 yaitu: a) Untuk kelompok kapsul yang berisi bahan padat 

Timbang 20 kapsul sekaligus, kemudian timbang lagi satu-per satu dan catat bobotnya.



Keluarkan semua isi kapsul, tmbang seluruh bagian cangkang kapsul



Hitung bobot isi tiap kapsul dan hitung bobot rata-rata isi tiap kapsul



Kapsul ini memnuhi syarat FI jika perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata tiap isi kapsul tidak boleh lebih dai yang ditetapkan dalam kolom A dan untuk setiap 2 kapsul terhadap bobot rata-rata ditetapkan dalam kolom B. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel.

Bobot rata-rata tiap kapsul

Perbedaan bobot isi kapsul (%) A

B

≤ 120 mg

10

20

≥ 120 mg

7,5

15

b) Untuk kelompok kapsul yang berisi bahan cair atau setengah padat/pasta/salep 

Timbang 1- kapsul sekaligus, kemudian timbang lagi satu per satu



Keluarkan semua isi kapsul, cuci cangkang kapsul dengan eter, buang cairan cucian dan biarkan hingga tidak berbau eter lagi



Timbang seluruh bagian cangkang kapsul



Hitung bobot isi kapsul dan bobot rata-rata isi tiap kapsul



Kapsul ini memenuhi syarat FI jika perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata tiap isi kapsul tidak lebih dari 7,5%

 Persyaratan kapsul menurut Kepala BPOM Nomor 12 Tahun 2014 Dari 20 Tablet/kaplet/tablet hisap/Pastiles/Tablet Efervesen, tidak lebih dari 2 Tablet yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari pada harga yang ditetapkan dalam kolom A dan tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom B, yang tertera pada daftar berikut: Tabel 1.2 % Penyimpangan Menurut Kepala BPOM Nomor 12 Tahun 2014

Penyimpangan Terhadap Bobot Rata-Rata Bobot Rata-Rata

A

B

25 mg atau kurang

15%

30%

26 mg sampai 150 mg

10%

20%

151 mg sampai 300 mg

7,5%

15%

Lebih dari 300 mg

5%

10%

F. Penetapan Kadar Dengan Metode Densitometer Densitometri merupakan metode analisis instrumental yang didasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak pada kromatografi lapis tipis. Densitometri dimaksudkan untuk analisis kuantitatif analit dengan kadar kecil, yang sebelumnya dilakukan pemisahan dengan kromatografi lapis tipis (Rohman, 2009). Thin

Layer

Chromatography

Scanner

yang

lebih

dikenal

dengan

nama

spektrofotodensitometer semakin banyak dan luas digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif. Instrumen spektrofotodensitometer terdiri dari sumber cahaya dalam rentang panjang gelombang 200-800 nm yaitu lampu deuterium (rentang spektra 200-400 nm), lampu tungsten (rentang spektra 400-800 nm), celah (slit), monokromator untuk memilih panjang gelombang yang sesuai, sistem untuk memfokuskan sinar pada plat, filter fluoresensi, pengganda foton (photomultiplier) dan recorder (Schmutz, 1980; Deinstrop, 2007; Gandjar dan Rohman, 2007).

Gambar 6. Skema Instrumen Spektrofotodensitometer (Sherma dan Fried, 1994) Keterangan: L (Light); SL (Slit); MC (Monochromator); PM (Photomultiplier); FF (Filter Fluorescens); P (Plat); SCS (System for Circular Scanning) Prinsip

kerja

spektrofotodensitometri

berdasarkan

interaksi

antara

radiasi

elektromagnetik sinar UV-vis dengan analit yang merupakan noda pada plat. Radiasi elektomagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit. Radiasi elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa fluoresensi dan fosforesensi (Sherma dan Fried, 1994). Spektrofotodensitometer akan mendeteksi masing-masing track penotolan dan masing-masing track dan ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Semakin tinggi bentuk kromatogram, maka konsentrasi analit dalam sampel semakin banyak. Kromatogram ini akan menunjukkan nilai Area Under Curve (AUC) dan nilai Rf dari tiap senyawa yang terkandung dalam noda. Penentuan kadar menggunakan alat densitometer dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu senyawa standar dielusi bersama dalam satu plat, kemudian AUC sampel dibandingkan dengan harga AUC senyawa standar. Cara lainnya dapat dilakukan dengan membuat kurva standar hubungan antara konsentrasi standar dengan AUC. Kurva standar diperoleh dengan membuat totolan larutan standar pada plat KLT dengan bermacam-macam konsentrasi. Bercak yang diperoleh dicari nilai AUC- nya dan dari kurva standar akan diperoleh persamaan garis lurus y = a + bx di mana x adalah kadar zat yang ditotolkan dan y adalah AUC (Supardjan, 1987).  Menurut Gritter et al. (1991) dalam penggunaan densitometer ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara lain: 1. Sinar yang masuk tidak perlu tepat paralel, namun sudut datang sinar harus dipertahankan konstan. 2. Monokromatoritas dari sinar sangat penting, untuk menjaga keseragaman absorbsi dari sampel pada panjang gelombang yang digunakan. 3. Celah sinar datang harus kecil, sesuai dengan range daerah absorbsi. Ketidakseimbangan bentuk noda memiliki efek yang besar bila dilakukan pengukuran dengan model refleksi bila dibandingkan dengan model

transmisi. G. Validasi Metode Analisis Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). Validasi metode menurut United State Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akandianalisis (Gandjar dan Rohman,2009). Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter- parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisi, karenanya suatu metodeharus divalidasi, ketika: 

Metode baru dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu.



Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karenamunculnya suatu problem yang mengarahkan bahwa metode baku tersebut harusdirevisi



Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah berubah seiringdengan berjalannya waktu.



Metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda dikerjakan oleh analis yang berbeda atau dikerjakan dengan alat yang berbeda.



Untuk mendemonstrasikan kesetaraan antar 2 metode seperti antara metode barudan metode baku (Gandjar dan Rohman, 2009).

Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis diuraikan dan didefinisikan sebagaimana cara penentuannya. 1. Akurasi (accuracy) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Akurasi hasil analis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai Akurasi yang tinggi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut

yang baik, pengontrolan suhu, dan

pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur (Harmita, 2004). Akurasi ditentukan dengan

dua

cara

yaitu

metode

simulasi

(spiked-placeborecovery)

atau

metode

penambahan baku (standardadditionmethod). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni (senyawa pembanding kimia CRM atau SRM) ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang diharapkan). Dalam kedua metode tersebut, persen peroleh kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. % Perolehan kembali dapat ditentukan dengan cara membuat sampel placebo (eksepien obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit dengan konsentrasitertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi (Harmita, 2004). Tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo karena matriksnya tidak diketahui seperti obat-obatan paten, atau karena analitnya berupa suatu senyawa endogen misalnya metabolit sekunder pada kultur kalus, maka dapat dipakai metode adisi (Harmita, 2004). Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen ditemukan. Kriteria Akurasi sangat tergantung kepada konsentrasi analit dalam matriks sampel dan pada keseksamaan metode (RSD).

Sedangkan kadar analit dalam metode penambahan baku dapat dihitung sebagai berikut: 𝐶=𝑠 (

𝑅1 ) 𝑅2 − 𝑅1

C

= kadar analit dalam sampel

S

= kadar analit yang ditambahkan pada sampel

R1

= respon yang diberikan sampel

R2

= respon yang diberikan campuran sampel dengan tambahan analit

(Harmita, 2004).

Perhitungan perolehan kembali dapat juga ditetapkan dengan rumus sebagai berikut:

(Harmita, 2004). Persen perolehan kembali seharusnya tidak melebihi nilai presisi RSD. Rentang kesalahan yang diijinkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Syarat recovery: 98 – 102 % (Harmita, 2004). 2. Keseksamaan (precision) Adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang

pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogeny (Harmita, 2004). Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Presisi dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Sesuai dengan ICH, presisi harus dilakukan pada 3 tingkatan yang berbeda yaitu: a.

Keterulangan yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang sama

(berulang) baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya. b. Presisi antara yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang berbeda, baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya. c. Ketertiruan merujuk pada hasil-hasil dari laboratorium yang lain. Pengujian presisi pada saat awal validasi metode seringkali hanya menggunakan 2 parameter pertama yaitu keterulangan dan presisi antara. Reprodusibilitas biasanya dilakukan ketika akan melakukan uji banding antar laboratorium (Gandjar dan rohman, 2009). Menurut Harmita (2009), keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Keterulangan dinilai melalui pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah dari batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. Sedangkan yang dimaksud dengan ketertiruan adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan

dalam

laboratorium-laboratorium

yang

berbeda menggunakan

peralatan,

pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula. Analis dilakukan terhadap sampel-sampel yang diduga identik yang dicuplik dari batch yang sama. Ketertiruan dapat juga dilakukan dalam laboratorium yang sama dengan menggunakan peralatan, pereaksi, dan analis yang berbeda. Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel, dan kondisi laboratorium. Dari penelitian dijumpai bahwa koefisien variasi meningkat dengan menurunnya kadar analit yang dianalisis. Ditemukan bahwa koefisien variasi meningkat seiring dengan menurunnya konsentrasi analit. Pada kadar 1% atau lebih, standar deviasi relatif antara laboratorium adalah sekitar 2,5% ada pada satu per seribu adalah 5%. Pada kadar satu per sejuta (ppm) RSDnya adalah 16%,

dan pada kadar part per bilion (ppb) adalah 32%. Pada metode yang sangat kritis, secara umum diterima bahwa RSD harus lebih dari 2% (Harmita, 2004).  Keseksamaan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: -

Hasil Analisis

-

Simpangan baku relatif atau koefisien variasi (KV) 𝑲𝑽 =

𝑺𝑫 x 𝟏𝟎𝟎 𝒙

Percobaan keseksamaan dilakukan terhadap paling sedikit enam replika sampel yang diambil dari campuran sampel dengan matriks yang homogen. Sebaiknya keseksamaan ditentukan terhadap sampel sebenarnya yaitu berupa campuran dengan bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) untuk melihat pengaruh matriks pembawa terhadap keseksamaan ini. Demikian juga harus disiapkan sampel untuk menganalisis pengaruh pengotor dan hasil degradasi terhadap keseksamaan ini (Harmita, 2004).

3. Selektivitas (Spesifisitas) Adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degreeof bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, hasil

urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan (Harmita, 2004). Selektivitas metode ditentukan dengan membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya atau pembawa plasebo dengan hasil analisis sampel tanpa penambahan bahan-bahan tadi. Penyimpangan hasil jika ada merupakan selisih dari hasil uji keduanya (Harmita, 2004). Jika cemaran dan hasil urai tidak dapat diidentifikasi atau tidak dapat diperoleh, maka selektivitas dapat ditunjukkan dengan cara menganalisis sampel yang mengandung cemaran atau hasil uji urai dengan metode yang hendak diuji lalu dibandingkan dengan metode lain untuk

pengujian

kemurnian

seperti

kromatografi,

analisis

kelarutan

fase,

dan

DifferentialScanningCalorimetry. Derajat kesesuaian kedua hasil analisis tersebut merupakan ukuran selektivitas. Pada metode analisis yang melibatkan kromatografi, selektivitas ditentukan melalui perhitungan daya resolusinya (Rs) (Harmita, 2004). ICH membagi spesifisitas dalam 2 kategori, yakni uji identifikasi dan uji kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikasi, spesifisitas ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang mempunyai struktur molekul hamper sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifisitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan (sebagaimana dalam kromatografi).

Senyawa-senyawa tersebut

biasanya

adalah komponen

utama

atau

komponen aktif dan atau suatu pengotor. Jika dalam suatu uji terdapat suatu pengotor (impurities) maka metode uji harus tidak terpengaruh dengan adanya pengotor ini (Gandjar dan Rohman, 2009). Penentuan spesifisitas metode dapat diperoleh dengan 2 jalan. Yang pertama (dan yang paling diharapkan), adalah dengan melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa-senyawa lain (resolusi senyawa yang dituju ≥ 2). Cara kedua untuk memperoleh spesifisitas adalah dengan menggunakan detektor selektif, terutama untuk senyawa-senyawa yang terelusi secara bersama-sama. Sebagai contoh, detektor elektrokimia atau detektor fluoresen hanya akan mendeteksi senyawa tertentu, sementara senyawa lainnya tidak terdeteksi. Penggunaan detektor UV pada panjang gelombang yang spesifik juga merupakan cara yang efektif untuk melakukan pengukuran selektifitas (Gandjar dan Rohman, 2009).

4.

Linearitas dan Rentang Linearitas Adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung

atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima (Harmita, 2004). Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Perlakuan matematik dalam pengujian linearitas adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil antarahasil analisis terhadap

konsentrasi

analit.

Dalam beberapa kasus,

untuk

memperoleh hubungan

proporsional antara hasil pengukuran dengan konsentrasi analit, data yang diperoleh diolah melalui transformasi matematik dulu sebelum dibuat analisis regresinya (Harmita, 2004). Dalam praktek, digunakan satu seri larutan yang berbeda konsentrasinya antara 50150% kadar analit dalam sampel. Di dalam pustaka, sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0-200%. Jumlah sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya delapan buah sampel blanko. Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linier Y = a + bX. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau –1 bergantung pada arah garis. Sedangkan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan. Parameter lain yang harus dihitung adalah simpangan baku residual (Sy).

(Harmita, 2004).

5.

Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi

yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004). Parameter tersebut perlu dievaluasi agar data yang diperoleh masuk dalam kemampuan alat tersebut untuk mendeteksi, sehingga hasil yang diperoleh mendekati harga yang sebenarnya dan apabila diulang akan memberikan hasil yang sama Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blangko dan formula di bawah ini dapat digunakan untuk perhitungan (Harmita, 2004).

Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi) k = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi Sb = simpangan baku respon analitik dari blangko Sl = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a+bx) (Harmita, 2004). Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x.)

6.

Selektivitas (Spesifisitas) Selektivitas atau spesifisitas merupakan kemampuan suatu metode yang hanya

mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpanan metode terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, produk degradasi, senyawa sejenis, dan senyawa asing lain, kemudiandibandingkan dengan hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan yang ditambahkan tersebut (Harmita, 2004). Selektivitas pada metode kromatografi ditnjukkan melalui nilai resolusi (Harmita, 2004). Dalam teknik pemisahan, daya pisah (resolusi) antara analit yang dituju dengan pengganggu lainnya harus >1,5 (Swartz and Krull, 1997). 7.

Kisaran (Range) Menurut ICH, kisaran suatu prosedur analisis adalah interval antara konsentrasi

(jumlah) analit pada level atas dan pada level bawah dalam suatu sampel, yang mana dapat ditunjukkan bahwa prosedur analisis mempunyai level akurasi, presisi, dan liniearitas yang sesuai.

BAB III ALAT DAN BAHAN A. Bahan 1. Kapsul Kaempferia galangan L 2. Standar Etil para metoksi sinamat (EPMS)

B. Alat 1. TLC 2. Lempeng KLT ukuran 20 cm x 10 cm 3. Labu ukur 5 mL 4. Labu ukur 10 mL 5. Pipet mikro (soccorex) 6. Cawan timbang 7. Vial tertutup (bilas dengan etanol lalu keringkan sebentar dalam oven sebelum dipakai) 8. Gelas ukur 100 ml 9. Batang pengaduk

PROSEDUR KERJA 1) Penetapan Kadar EPMS dalam Kapsul A. Pembuatan Eluen Eluen yang digunakan adalah n-heksana: etil asetat: asam formiat (90:10:1). Buatlah eluen sebanyak 101 mL. Masukkan ke dalam chamber. Homogenkan di dalam chamber dengan cara digoyang-goyang. Apabila volume eluen terlalu banyak, maka dikurangi. Jangan sampai totolan awal pada lempeng KLT tercelup di dalam eluen. B. Pembuatan Larutan Baku Induk

Ditimbang standar EPMS dengan seksama sebanyak 50.0 mg, ditambah dengan 5 mL etanol 96%, diultrasonik selama 5 menit kemudian ditambah dengan etanol 96% sampai tepat 10,0 ml. Diperoleh larutan induk 1 dengan konsentrasi 5000 ppm (LI 1). Dipipet 4.0 ml larutan induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10.0 ml. Ditambah etanol 96 % sampai garis tanda, kocok homogen. Diperoleh larutan induk 2 dengan konsentrasi 2000 ppm (LI 2). C. Pembuatan Larutan Baku Kerja Larutan

Konsentrasi

Baku

Baku induk atau baku kerja yang diambil

Jumlah yang digunakan

Baku 1

200 ppm

5.0 mL Baku 3

Ditambah etanol ad 10.0 mL

Baku 2

300 ppm

5.0 mL Baku 5

Ditambah etanol ad 10.0 mL

Baku 3

400 ppm

5.0 mL Baku 6

Ditambah etanol ad 10.0 mL

Baku 4

500 ppm

5.0 mL LI 1

Ditambah etanol ad 50.0 mL

Baku 5

600 ppm

3.0 mL LI 2

Ditambah etanol ad 10.0 mL

Baku 6

800 ppm

4.0 mL LI 2

Ditambah etanol ad 10.0 mL

D. Preparasi Sampel (sediaan kapsul ekstrak kecur) 

Sampel untuk penetapan kadar sampel 1). Diambil secara acak 3 buah kapsul sediaan kapsul ekstrak kencur 2). Dikeluarkan isi dari masing-masing cangkang, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur ukuran 10,0 mL. 3). Masing-masing ditambah pelarut masing-masing sebanyak 5 ml, diultrasonik selama 5 menit, ditambah etanol 96% sampai 10,0 ml, diultrasonik selama 10 menit. Kemudian, disaring filtrate ditampung. (beri identitas sampel) 4). Hasil no.3 dipipet sebanyak 1,0 mL, dimasukkan ke dalam vial bersih dan kering. 5). Hasil no. 4 ditambah etanol 96% sebanyak 2,0 mL, diultrasonik selama 5 menit.



Sampel untuk Penentuan Recovery 1). Diambil secara acak 3 buah kapsul sediaan kapsul ekstrak kencur 2). Dikeluarkan isi dari masing-masing cangkang, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur ukuran 10,0 mL. 3). Masing-masing ditambah pelarut masing-masing sebanyak 5 ml, diultrasonik selama 5 menit 4). Perlakuan no.3 ditambah standard EPMS 500 ppm sebanyak 1,0 mL. 5). Ditambah etanol 96% sampai 10,0 mL, diultrasonik selama 10 menit. Kemudian disaring, filtrak ditampung. (beri identitas sampel) 6). Hasil no.3 dipipet sebanyak 1,0 mL, dimasukkan ke dalam vial bersih dan kering. 7). Hasil no. 4 ditambah etanol 96% sebanyak 3,0 mL, diultrasonik selama 5 menit.



Penotolan sampel dan Standar pada Plat KLT Ditotolkan sampel dan sampel untuk recovery sebanyak 2 𝜇L, sedangkan standar EPMS sebanyak 2 𝜇L pada plat KLT

E. Cara Kerja Analisis dengan Thin Layer Chromatography (TLC) Scaner 

Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Plat KLT yang sudah discan pada panjang gelombang 254 dan 365 nm, kemudian discan panjang gelombang 200-400 nm. Dari sini dapat diketahui pada panjang gelombang berapa EPMS memberikan absorban maksimum. Panjang gelombang maksimum tersebut yang akan digunakan untuk pengukuran.



Penentuan Linieritas Linieritas ditentukan dari larutan standar EPMS pada lempeng KLT, kemudian dianalisis dengan KLT- densitometer pada panjang gelombang maksimum. dihitung berapa regresi linier antara kadar dan luas area noda.



Penentuan Presisi Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing-masing 2 𝜇Ldan larutan standar EPMS masing-masing 2 𝜇L pada plat KLT. Plat ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT densitometer pada panjang gelombang maksimum. Sehingga dapat dihitung berapa standar deviasi (SD) dan koevisien variasinya (KV).



Penentuan Akurasi Untuk menentukan persen recovery, ditotolkan sampel recovery masingmasing 2 𝜇L (lihat preparasi sampel untuk recovery) dan larutan standar EPMS masing-masing 2 𝜇L pada plat KLT. Plat ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang gelombang maksimum. % 𝑅𝑒𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑦 =

𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝐶𝑡 = × 100% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎 𝐶𝑝 + 𝐶𝑠𝑡

Dimana : Ct

= Kadar EPMS yang diperoleh

Cp

= Kadar EPMS dalam sampel

Cst

= Kadar standar EPMS yang ditambahkan

Hasil yang diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan koevisien variasinya (KV).

SKEMA KERJA

 Pembuatan larutan baku induk

 Pembuatan larutan baku kerja

 Pembuatan sampel untuk penetapan kadar sampel

 Pembuatan sampel untuk penentuan recovery

 Penotolan sampel dan standart pada plat KLT

PERHITUNGAN



Perhitungan konsentrasi Baku Induk BI I =

250,0 mg 50 ml

𝑥 1000 𝑚𝑙

= 5000 ppm

BI 2 = V1 𝑥 NI = V2 𝑥 N2 = 4.0 ml 𝑥 5000 ppm = 10.0 ml 𝑥 N2 N2 = 2000 ppm 

Perhitungan Konsentrasi Naku Kerja BK 1 = V 1 𝑥 N 1 = V 2 𝑥 N 2 = 5.0 ml 𝑥 400 ppm = 10.0 ml 𝑥 N 2 N 2 = 200 ppm BK 2 = V 1 𝑥 N 1 = V 2 𝑥 N 2 = 5.0 ml 𝑥 600 ppm = 10.0 ml 𝑥 N 2 N 2 = 300 ppm BK 3 = V 1 𝑥 N 1 = V 2 𝑥 N 2 = 5.0 ml 𝑥 800 ppm = 10.0 ml 𝑥 N 2 N 2 = 400 ppm BK 4 = V 1 𝑥 N 1 = V 2 𝑥 N 2 = 5.0 ml 𝑥 5000 ppm = 10.0 ml 𝑥 N 2 N 2 = 500 ppm BK 5 = V 1 𝑥 N 1 = V 2 𝑥 N 2 = 3.0 ml 𝑥 2000 ppm = 10.0 ml 𝑥 N 2 N 2 = 600 ppm BK 6 = V 1 𝑥 N 1 = V 2 𝑥 N 2 = 4.0 ml 𝑥 2000 ppm = 10.0 ml 𝑥 N 2 N 2 = 800 ppm



Penimbangan sampel untuk penetapan kadar EPMS dalam ekstrak kering Penimbangan Sampel d. Penimbangan Sampel 1 Botol timbang + isi

= 12.8393 g

Botol timbang kosong

= 12.7470 g

Berat zat

= 0,0923 g (92.3mg)

e. Penimbangan Sampel 2 Botol timbang + isi

= 12.8485 g

Botol timbang kosong

= 12.7494 g

Berat zat

=

0,0991 g (99.1mg)

f. Penimbangan Sampel 3 Botol timbang + isi

= 12,8382 g

Botol timbang kosong

= 12,7466 g

Berat zat

= 0,0916 g (91.6 mg)

Penimbangan Recovery d.

e.

f.

Penimbangan Recovery 1 Botol timbang + isi

= 14,4835 g

Botol timbang kosong

= 14,3978 g

Berat zat

= 0,0957 g (95.7mg)

Penimbangan Recovery 2 Botol timbang + isi

= 14,4748 g

Botol timbang kosong

= 14,3879 g

Berat zat

= 0,0908 g (90.8mg)

Penimbangan Recovery 3 Botol timbang + isi

= 14.4825 g

Botol timbang kosong

= 12,3878 g

Berat zat

= 0,0947 g (94.7mg)



Luas Area



BK 1

3196.6 AU

Sampel 1

7535.8 AU

BK 2

4828.6 AU

Sampel 2

7734.2 AU

BK 3

5884.0 AU

Sampel 3

7519.9 AU

BK 4

6705.9 AU

Recovery 1

6760.6 AU

BK 5

7628.3 AU

Recovery 2

6758.6 AU

BK 6

8710.9 AU

Recovery 3

6321.9 AU

Persamaan Regresi Kadar Baku Kerja (x) dan Luas Area (y) a. Regresi

Baku Kerja

Konsentrasi (x)

Luas Area (y)

1

200 ppm

3196.6 AU

2

300 ppm

4828.6 AU

3

400 ppm

5884.0 AU

4

500 ppm

6705.9 AU

5

600 ppm

7628.3 AU

6

800 ppm

8710.9 AU

A

= 1969.43

B

= 8.9778

r

= 0.9798 persamaan regresi y = bx + a

= 8.9778x + 1969.43

b. Kadar Sampel dan Recovery Sampel 1 y = bx + a 7535.8 AU = 8.9778x + 1969.43 X

= 620.02 ppm

Sampel 2 y = bx + a 7734.2 AU = 8.9778x + 1969.43 X

= 642.12 ppm

Sampel 3 y = bx + a 7519.9 AU = 8.9778x + 1969.43 X

= 61825 ppm

Recovery 1 y = bx + a 6760.6 AU = 8.9778x + 1969.43 X

= 533.67 ppm

Recovery 2 y = bx + a 6758.6 AU = 8.9778x + 1969.43 X

= 533.45 ppm

Recovery 3 y = bx + a 6321.9 AU = 8.9778x + 1969.43 X 

= 484.81 ppm

Konsentrasi sampel dan recoveri Larutan

Luas

area Konsentrasi

(AU)

(ppm)

Sampel 1

7535.8

620.02

Sampel 2

7734.2

642.12

Sampel 3

7519.9

618.25

Recovery 1

6760.6

533.67



Recovery 2

6758.6

533.45

Recovery 3

6321.9

484.81

Perhitungan kadar sebelum pengenceran larutan sampel dan recovery Sampel 1 = Sampel 2 = Sampel 3 =

3ml 1ml 3ml 1ml 3ml 1ml

Recovery 1 = Recovery 2 = Recovery 3 =



x 642.12 ppm = 1926.36 ppm x 618.25 ppm = 1854.75 ppm

4ml 1ml 4ml 1ml 4ml 1ml

x 533.67 ppm = 2134.68 ppm x 533.45 ppm = 2133.80 ppm x 484.81 ppm = 1939.24 ppm

Perhitungan kadar EPMS dalam 10 mL Sampel 1 = Sampel 2 = Sampel 3 =

1860.06 ppm 1000 ml 1926.36 ppm 1000 ml 1854.75 ppm

Recovery 1 = Recovery 2 = Recovery 3 =



x 620.02 ppm = 1860.06 ppm

1000 ml

𝑥 10 𝑚𝑙 = 18.6006 mg 𝑥 10 𝑚𝑙 = 19.2636 mg 𝑥 10 𝑚𝑙 = 18.5475 mg

2134.68 ppm 1000 ml 2133.80 ppm 1000 ml 1939.24 ppm 1000 ml

𝑥 10 𝑚𝑙 = 21.3468 mg 𝑥 10 𝑚𝑙 = 21.3380 mg 𝑥 10 𝑚𝑙 = 19.3924 mg

Perhitungan % kadar EPMS dalam kapsul 

Sampel kapsul 1 =



92.30 mg

𝑥 100 % = 20.15 %

Sampel kapsul 2 =



18.6006 mg

19.2636 mg 99.10 mg

𝑥 100 % = 19.44 %

Sampel kapsul 3

=

18.5475 mg 91.60 mg

𝑥 100 % = 20.25 %

 Kadar rata-rata EPMS dalam kapsul =

20.15 %+19.44 %+20.25% 3

= 19.95%

 Standar deviasi (SD) = 0.44  Koefisien variasi =



SD X

0.44

𝑥 100 % = 19.95 𝑥 100 % = 2.21 %

Penetapan % recoveri  Perhitungan % recovery kadar diperoleh (Ct) (𝐸𝑃𝑀𝑆 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙 (𝐶𝑝)+ 𝐸𝑃𝑀𝑆 𝑑𝑖𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛(𝐶𝑠𝑡))

𝑥 100%

21.3468 mg

Recovery 1 = (15 mg + 0.496 mg) 𝑥 100% = 137.76 % 16.0035 mg

Recovery 2 = (15 mg + 0.496 mg) 𝑥 100% = 137.67 % 14.5443 mg

Recovery 3 = ( 15 mg + 0.496 mg) 𝑥 100% = 125.14 %

 Kadar rata-rata % recovery

=

 SD

= 6.44

 KV

=



SD X

137.76%+137.67%+125.14% 3

= 132.20 %

6.44

𝑥 100 % = 132.20 𝑥 100 % = 4.87 %

Perhitungan % kesalahan atau penyimpangan kadar EPMS dalam kapsul Sampel 1 = Sampel 2 = Sampel 3 =

18.6006𝑚𝑔−21.00𝑚𝑔 21.00𝑚𝑔 19.2636𝑚𝑔−21.00𝑚𝑔 21.00𝑚𝑔 18.5475𝑚𝑔−21.00𝑚𝑔

Recovery 1 = Recovery 2 = Recovery 3 =

21.00𝑚𝑔

𝑥 100 = 11.43% 𝑥 100 = 8.27% 𝑥 100 = 11.68%

21.3468𝑚𝑔− 21.00𝑚𝑔 21.00𝑚𝑔 21.3380𝑚𝑔−21.00𝑚𝑔 21.00𝑚𝑔 19.3924𝑚𝑔−21.00𝑚𝑔 21.00𝑚𝑔

𝑥 100 = 1.65% 𝑥 100 = 1.61% 𝑥 100 = 7.65%

Rata-rata % penyimpangan kadar sampel = 10.46%

Rata-rata % penyimpangan kadar recovery = 3.64% Rata-rata total

= 7.05%

Kadar awal EPMS

= 7.39%

3.44x ~3.5x (6mg X 3.5x = 21mg)

Kadar setelah direvisi EPMS

= 25.42%

BAB V PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini bertujuan untuk menentukan kadar EPMS dalam kapsul ekstrak rimpang kamferia galanga L dan dapat mengetahui apakah kapsul yang telah dibuat telah memenuhi keseragaman bobot dan kadar atau tidak. Penentuan kadar EPMS dalam kapsul ini menggunakan metode KLT Densitometri yang menggunakan instrumen TLC Scanner. Pada penentuan kadar kali ini digunakan larutan baku kerja dan sampel serta sampel recovery yang di totolkan pda plat KLT sesuai dengan urutan pola kemudian dieluasi. Setelah dieluasi, dilakukan pembacaan luas area noda menggunakan densitometer. Hasil pembacaan tersebut dilakukan perhitungan untuk menentukan kurva baku sehingga diperoleh persamaan y=8.9778x+1969.43 dengan koefisien korelasi r=0.9798. Kadar rata-rata EPMS dalam kapsul yang kami peroleh 19.95 %, menurut teoritis kadar EPMS 25%-35%. Hasil kelompok kami tidak memenuhi persyaratan hal ini dapat disebabkan karena pada saat melakukan pengenceran terdapat kesalahan sehingga berpengaruh pada tahap penentuan kadar EPMS. Untuk menentukan presisi diperoleh dari data EPMS dalam sampel dengan nilai standart deviasi yakni 0.44, sedangkan standart penentuan presisi dalam teori yakni ≤2%. Adapun nilai koefisien variasi yang di dapat 2.21%, dan standart koefien variasi menurut FI yakni ≤5%. Hal ini menunjukkan bahwa data homogen, sehingga kualitas data memiliki presisi yang baik. Sedangkan untuk rata-rata % recovery adalah sebesar 132.20 %, sedangan % recovery menurut FI yakni 95%-105% dan BPOM 98%-102%. Hal ini menunjukkan tingkat keakuratan tidak memenuhi persyaratan yang mungkin dikarenakan kurangnya keakuratan dalam preparasi larutan pada saat memipet, melarutkan atau saat pengenceran. Untuk nilai standart deviasi diperoleh hasil 6.44, sedangkan standart penentuan presisi dalam teori yakni ≤2%. Adapun nilai koefisien variasi yang di dapat 4.87%, dan standart koefien variasi menurut FI yakni ≤5%. Hal ini menunjukkan bahwa data tidak homogen, namun kualitas data memiliki presisi yang baik. Kapsul yang dibuat masih belum memenuhi persyaratan. hal ini dapat dilihat dari % penyimpangan yang telah dilakukan dan memiliki nilai 11.43% ; 8.27% ; 11.68%. Hal ini disebabkan oleh homogenitas ekstark dalam serbuk yang tidak merata sehingga homogenitas

tersebut tidak dapat menunjukkan kadar yg tinggi untuk mencapai kadar EPMS yang telah direncanakan. Pembuatan kapsul kali ini merujuk dari segala praktikum sebelumnya terkait sampel yang telah dibuat sebelumnya. Homogenitas kadar EPMS dalam serbuk sangat rendah yang dipengaruhi sejak pembuatan ekstrak kering. Bahan pembantu cab- o sil yang seharusnya dapat membantu mengeringkan dan juga menghomogenkan ekstrak ternyata tidak mampu menghomogenkan ekstrak secara sempurna dikarenakan penghomogenan/penggerusan kurang tepat dan dilakukan pada kondisi ekstrak masih lembab sehingga terdapat gumpalan-gumpalan yang berasal dari kadar ekstrak yang terkandung.Proses perlakuan pada saat pengenceran juga berpengaruh terhadap homogenitas EPMS karena berpengaruh terhadap kadar yang terlarut dan terhomogenkan.

BAB VI KESIMPULAN 6𝑚𝑔



Kadar tata-rata EPMS dalam kapsul = 19.95 % (100𝑚𝑔 𝑥100 = 6%) , melebihi dari kadar yang seharusnya.



Rata-rata % recovery = 132.20 % (persyaratan 98-102%) , akurasi yang kurang bagus.



Nilai SD dan KV sampel : -

SD = 0.44 (persyaratan ≤2%), masuk dalam persyaratan

-

KV = 2.20 % (persyaratan ≤5%), masuk dalam persyaratan





Nilai SD dan KV recovery : -

SD = 6.44

-

KV = 4.87 % Rata-rata % penyimpangan kadar sampel = 10.46%

Rata-rata % penyimpangan kadar recovery = 3.64% Kadar EPMS dalam kapsul BELUM memenuhi persyaratan yang telah ditentukan syarat 95%-105% = tidak memenuhi syarat

DAFTAR PUSTAKA Anief, 2000, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek, Cetakan ke sembilan, 169, 210-211, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anief M., 2007, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Ditjen POM, Depkes RI , 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 9-11,16. Gandjar, I. G. & Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, 323-346, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Gritter , R.J, Bobbic, J.N., dan Schwarting, A.E., 1991, Pengantar Kromatografi , diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Edisi II, hal 107, ITB Press Bandung. Harmita. 2004. Petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 1(3):117-135. Lisdawati , Sumali, W., Cesilia, S., 2007, Isolasi dan Elusidasi Struktur Senyawa Lignan dan Asam Lemak dari Ekstrak Daging Buah Phaleria Macrocarp”. Buletin Penelitian Kesehatan, 35(3): 115 – 124. Perry, R.H. and Green, D.W., 1984, Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, 6 the edition, McGraw Hill Book Company, Singapore Permenkes RI No. 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang Fitofarmaka. Purnomo, A.D., 2008, Analisis Makroskopik, Mikroskopik, dan Penentuan Senyawa Identitas dari Simplisia Herba Purwoceng, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rohman, A., 2009, Kromatografi untuk Analisis Obat, 11-15, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Soeratri W., T. Erawati, D. Rahmatika, N. Rosita. 2014. Penentuan Dosis Asam P Metoksisinamat(APMS) Sebagai Antiinflamasi Topikal dan Studi Penetrasi APMS Melalui Kulit TikusDengan dan Tanpa Stratum Korneum. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia.Vol. 1. No. 1. Sudjadi, 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 27;220-255;353-362. Syamsuni, H. A. (2006). Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

LAMPIRAN

Penimbangan Sampel 1

Penimbangan Sampel 2

Penimbangan Sampel 3

Penimbangan Recovery 1

Penimbangan Recovery 2

Penimbangan Recovery 3

Preparasi sampel dan recovery

Sampel dan recovery dilakukan ultrasonik

Sampel dan recovery disaring dan filtrat ditampung

Hasil pengenceran sampel dan recovery

Plat dimasukkan ke chamber

Ditotolkan sesuai urutan pada plat KLT dan dieluasi

Setelah dimasukkan ke dalam chamber

Hasil data KLT yang telah di densitometri

Related Documents


More Documents from "Indira Rahmadhany"