Laporan Praktikum Farmol.docx

  • Uploaded by: Audry Putriani
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Praktikum Farmol.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,153
  • Pages: 15
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR “Pengaruh Cara Pemberian Obat terhadap Respon Obat” Oleh: Kelompok 2 Shafa Ratna Aulia P

(P17335118004)

Nabila Putri

(P17335118042)

Audry Putriani

(P17335118072)

Abdul Gani M

(P17335118057) Tingkat : 1B Tanggal Praktikum: 27 Februari 2019 Tanggal Pengumpulan Laporan : 11 Maret 2019

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PROGRAM STUDI D-III FARMASI BANDUNG 2019

I.

Tujuan 1. Mampu melakukan teknik pemberian obat secara oral, intra muscular, intra peritoneal, dan intravena. 2. Mampu memahami hubungan pemberian obat dengan onset time. 3. Mampu memahami hubungan obat dengan durasi kerja.

II.

Dasar Teori Rute pemberian obat ( Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzung. B. G, 2001). Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut: a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang di absorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke

seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedangkan efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat (Anief, 2002).

Pemberian secara oral Pemberian oral melalui oral (mulut) adalah cara yang paling lazim, karena sangat praktis, mudah, aman, dan nyaman bagian pasien. Berbagai bentuk obat dapat di berikan secara oral baik dalam bentuk tablet, sirup, kapsul atau puyer. Untuk membantu absorpsi, maka pemberian obat per oral dapat di sertai dengan pemberian setengah gelas air atau cairan yang lain. Cara per oral ini dapat diinaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya yang disebut dengan metabolisme lintas pertama (first pass metabolism). Onset time yang lambat membuat cara itu tidak dapat digunakan dalam keadaan darurat. Obat yang diberikan per oral biasanya membutuhkan waktu 30-45 menit sebelum di absorpsi dan efek puncaknya di capai setelah 1 sampai 11⁄2 jam. Pemberian secara intramuskular Suntik intramuskular (IM) memungkinkan absorpsi obat yang lebih cepat daripada rute subkutan karena pembuluh darah lebih banyak terdapat di otot. Bahaya kerusakan jaringan berkurang ketika obat memasuki otot yang dalam tetapi bila tidak berhati-hati ada resiko menginjeksi obat langsung ke pembuluh darah (vena). Dengan injeksi di dalam otot, obat

yang terlarut memerlukan waktu 10-40 menit, bila obat seringkali digunakan larutan dakam minyak atau suspensi. Untuk menghindari obat yang salah masuk pada jaringan subkutan maka jarum di atur dalam posisi tegak lurus 90°C. Pemberian secara intravena Intravena (IV) (tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of action” cepat, efisien, bioavailibilitas 100%, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi jika diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t 1⁄2 ) pendek (Joenoes, 2002). Pemberian obat volume kecil (<5 mL) dapat dilakukan langsung (bolus) pada pembuluh darah vena, larutan volume kecil sebaiknya isotonis dan isohidris. Pemberian secara intraperitoneal Rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi yang sangat luas sehingga obat dapat masuk sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak dilakukan di laboratorium tetapi jarang digunakan di klinik karena adanya bahaya infeksi dan perlengketan peritoneum. Mekanisme absorpsi obat dengan cara ini adalah obat yang diinjeksikan pada rongga perut tanpa terkena usus atau terkena hati. Di dalam rongga perut ini obat akan langsung di absorpsi pada sirkulasi portal dan akan di metabolisme di dalam hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik.

III.

Cara Kerja a.

Alat dan Bahan 1. Spuit injeksi dan jarum (1-2 mL) 2. Sonde 3. Sarung tangan 4. Stopwatch 5. Wadah tempat pengamatan (platform) 6. Restrainer 7. Obat Diphenhidramin

8. Hewan uji: Mencit

b.

Cara kerja 1) Masing-masing kelompok mendapat 5 mencit, tandai dan timbang masing-masing mencit 2) Masing-masing kelompok mengerjakan percobaan oral, intramuscular, intraperitoneal, dan intravena. 3) Hitung dosis dan volume obat yang akan diberikan 4) Obat diberikan pada hewan coba dengan rute pemberian yang berbeda-beda. 5) Amati efek pemberian obat denga cara mengamati ptosis, gerakan bolak-balik pada platform, dan righting reflex.

IV.

Pengamatan 1. Oral Volume pemberian = 0,17 mL/20 gram mencit Berat mencit = 27 gram 27

Volume pemberian untuk mencit 27 gram = 20 x 0,17 = 0,23 mL Efek Ptosis Gerak bolakbalik Melihat kebawah Righting reflex

5’ 0

10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’ 0 0 1 2 1 1 1 1 2 0 2

0

0

0

0

0

1

0

0

2

0

5

0

0

2

3

0

1

1

3

2

12

1

28

13

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

G R A F I K P E N G A R U H P E M B E R I AN O B AT SECARA ORAL Ptosis

Melihat kebawah

Gerakan bolak- balik melewati garis

30

FREKUENSI

25 20 15 10 5 0 5'

10'

15'

20'

25'

30'

35'

40'

45'

50'

55'

60'

WAKTU

2. Intraperitoneal Volume pemberian = 0,17 mL/20 gram mencit Berat mencit = 29 gram 29

Volume pemberian untuk mencit 29 gram = 20 x 0,17 = 0,25 mL Efek Ptosis Melihat kebawah Gerakan bolak- balik melewati garis Righting Refleks

5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’ 0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

21

43

34

34

2

0

3

4

5

2

6

54

5

13

13

12

6

0

2

7

3

7

9

8

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

G R A F I K P E N G A R U H P E M B E R I AN O B AT S E C A R A I N T R A P E RI TO NE A L Ptosis

Melihat kebawah

Gerakan bolak- balik melewati garis

60

FREKUENSI

50 40 30 20 10 0 5'

10'

15'

20'

25'

30'

35'

40'

45'

50'

55'

60'

WAKTU

3. Intra Muskular Volume pemberian = 0,17 mL/20 gram mencit Berat mencit = 22 gram 22

Volume pemberian untuk mencit 22 gram = 20 x 0,03 = 0,033 mL Efek Mengantuk Gerakan bolak-balik flatform Menengok ke bawah Righting refleks

5 2

10 2

15 3

20 4

25 4

30 1

35 1

40 3

45 2

50 2

55 1

60 2

7

12

11

10

-

1

2

-

-

5

2

-

9

12

8

10

7

1

2

-

6

-

4

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

G R A F I K P E N G A R U H P E M B E R I AN O B AT SECARA INTRAMUSCULAR Ptosis

Melihat kebawah

Gerakan bolak- balik melewati garis

14 12

FREKUENSI

10 8 6 4 2 0 5'

10'

15'

20'

25'

30'

35'

40'

45'

50'

55'

60'

WAKTU

4. Intra Vena Volume pemberian = 0,17 mL/20 gram mencit Berat mencit = 18 gram 18

Volume pemberian untuk mencit 18 gram = 20 x 0,17 = 0,15 mL Efek Ptosis Melihat kebawah

5 0 10 0

10

15

20

25

30

35

40

45

50

55

60

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

0

43

18

20

21

22

25

16

0

1

0

1

Bolak-balik

13

2

8

12

13

9

9

6

1

2

0

0

Righting Reflex

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

G R A F I K P E N G A R U H P E M B E R I AN O B AT S E C A R A I N T R AV E NA Ptosis

Melihat kebawah

Gerakan bolak- balik melewati garis

120

FREKUENSI

100 80 60 40 20 0 5'

10'

15'

20'

25'

30'

35'

40'

45'

50'

55'

60'

WAKTU

V.

Pembahasan Praktikum ini mempelajari tentang pengaruh rute pemberian obat terhadap

absorbsi obat dalam tubuh. Pada dasarnya rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat tersebut di absorpsi. Pada praktikum ini praktikan menggunakan hewan uji, yaitu mencit. Mencit dipilih karena mencit adalah hewan yang memiliki metabolisme dalam tubuhnya berlangsung dengan cepat sehingga cocok digunakan sebagai objek pengamatan. Pemberian obat pada hewan uji dilakukan dengan empat rute, yaitu oral, intra muskular (im), intra peritonial (ip), dan intravena (iv). Pada rute pemberian obat Diphenhidramin HCl secara oral, Diphenhidramin HCl meruapakan obat antihistamin yang dapat menyebabkan kantuk. Mencit yang digunakan seberat 27 gram. Volume pemberian yang digunakan adalah 0,23 mL/27 gram bobot mencit. Obat diberikan dengan menggunakan sonde. Memegang mencit dengan menjepit bagian tekuk menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, dan ekornya dijepit diantara jari manis dan kelingking. Sebelum memasukan sonde oral, posisi kepala dan keadaan mulut harus diperhatikan. Sonde oral yang telah diisi oleh diphenhidramin HCl dimasukan perlahan ke dalam mulut mencit, dekat ke langitlangit kemudian luncurkan ke esophagus dan keluarkan larutan dari sonde oral. Pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian obat yang umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya sehingga waktu onset yang

didapat cukup lama (Setiawati, A. dan F.D Suyatna, 2004). Berdasarkan hasil pengamatan, obat Diphenhidramin HCl yang diberikan secara oral dari menit awal sampai menit ke-15 mencit terlihat bereaksi karena sangat kurangnya beraktivitas dan sangat diam. Pada menit ke-25 mata mencit sudah mulai agak sayu namun, pada menit ke-45 mencit banyak beraktivitas dan pada menit ke-50 obat yang diberikan bereaksi kembali menjadi kurang beraktivitas. Pada menit ke-60 terjadinya peningkatan aktivitas kembali. Hasil pengamatan yang didapat kurang sesuai dengan litelatur. Seharusnya waktu onset yang didapat cukup lama karena rute pemberian secara oral mengalami fase absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan menghasilkan efek, namun pada praktikum kali ini menit pertama mencit sudah bereaksi dan pada menit akhir mencit terjadi peningkatan aktivitas. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain, mencit mengalami stress karena terlalu sering dipegang dan karena kurang kondusifnya ruangan pada saat praktikum. Sehingga didapatkan hasil yang kurang sesuai dengan literatur. Pada rute pemberian obat Diphenhidramin HCl secara i.p (intraperitoneal), Diphenhidramin merupakan obat antihistamin yang dapat menyebabkan kantuk. Mencit yang digunakan seberat 29 gram. Dosis yang digunakan adalah 0,25 mL/ 29 gram bobot mencit. Obat diberikan dengan cara disuntikan dengan sudut sekitar 10° pada daerah bagian abdomen yang sedikit menepi. Pemberian obat dengan cara i.p jarang digunakan pada manusia dikarenakan rentan terkena infeksi dan adhesi yang terlalu besar. Pemberian obat secara i.p memiliki keuntungan obat yang diabsorbsi cepat, karena obat disuntikan ada rongga peritoneum yang mempunyai permukaan absorbsi yang luas sehingga obat dapat dapat masuk kedalam sistemik secara cepat (Munaf, 2004). Berdasarkan hasil praktikum obat Diphenhidramin HCl yang diberikan secara i.p pada menit-menit awal hingga menit ke 20 mencit masih terlihat masih banyak beraktivitas. Tetapi pada menit ke 25 mencit muali menunjukan penurunan aktivitas. Dan obat yang diberikan bereaksi terhadap mencit sepenuhnya pada menit ke 30. Pada menit ke 60 mencit mulai menunjukan peningkatan aktivitas kembali. Hasil praktikum yang didapat kurang sesuai dengan literatur. Pada praktikum rute pemberian oral lebih memiliki kerja yang lebih cepat dibandingkan i.p. Hal ini

disebabkan beberapa faktor antara lain, kurang kondusifnya ruangan pada saat praktikum. Sehingga didapatkan hasil yang kurang seusai dengan literatur yang ada. Pengujian yang berkaitan dengan manusia harus diuji dahulu dengan hewan coba. Hal ini dilakukan agar dapat memberi gambaran secara ilmiah respon yang mungkin terjadi pada manusia. Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit. Hewan coba yang lebih baik adalah hewan percobaan yang berjenis kelamin jantan. Hal ini dikarenakan hewan jantan tidak memiliki siklus menstruasi seperti hewan betina. Perbedaan hormon saat menstruasi pada hewan betina

dapat

mempengaruhi

efek

obat

pada

hewan

coba.

Sebelum menguji suatu sediaan hewan percobaan, pada praktikum ini menggunakan diphenhydramine dalam bentuk cairan pada penanganan hewan percobaan. Dalam pelaksanaannya, praktikan sebaiknya melakukan pendekatan terlebih dahulu terhadap hewan percobaan. Tujuannya yaitu agar hewan percobaan yang digunakan dapat lebih tenang sehingga mudah dipegang dan tidak stress. Hewan percobaan yang sering dipakai dalam percobaan adalah mencit dan tikus, tetapi dalam praktikum ini hanya menggunakan mencit, karena selain mudah didapat, harga ekonomis, dan sistem maupun organ yang ada didalam tubuhnya hampir mirip dengan struktur organ yang ada di dalam tubuh manusia. Sehingga hewan tersebut digunakan untuk uji praklinis sebelum nantinya akan dilakukan pelaksanaan uji klinis langsung terhadap manusia. Pada pemberian rute obat pada hewan uji, dilakukan teknik penyuntikan. Penyuntikan hewan percobaan digunakan sebagai cara yang efektif untuk pemberian obat kepada hewan percobaan. Keuntungan pemberian obat secara suntikan adalah efek yang ditimbulkan lebih cepat

dan

teratur

dibandingkan

dengan

pemberian

peroral.

Pemberian obat secara intramuscular adalah pemberian obat/cairan dengan cara dimasukkan langsung kedalam otot (muskulus). Pemberian obat dengan cara ini dilakukan pada bagian tubuh yang berotot besar, agar tidak ada kemungkinan untuk menusuk saraf, misalnya pada bokong dan kaki bagian atas (paha) atau pada lengan bagian atas. Praktikum menimbang berat mencit dengan bobot 22 gram, kemudian menghitung volume dosis dipenhydramine sebanyak 0,033 ml. Pertama praktikum memegang mencit dengan menjepit bagian tekuk menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, ekornya dijepit diantara jari manis dan kelingking. Kedua,

memposisikan hewan dalam keadaan terbalik dan menarik kaki belakang agar paha posterior terlihat. Ketiga, membersihkan bagian tubuh mencit yang akan disuntik dengan tissu alkohol 70%. Keempat, menyuntikkan pada sekitar glutes maximus dengan kemiringan suntik tidak lebih dari 40°. Terakhir mencit diamati. Pengamatan yang dilakukan adalah tiap 5 menit kami mengamati aktivitas mencit mulai dari mengantuk, menghitung aktivitas bolak balik pada garis yang terdapat pada platform, menengok kebawah platform dan righting refleks selama 60 menit. Hasil pengamatan yang saya amati ketika mencit sering mengantuk yaitu pada menit ke 20 dan 25 menit sebanyak 4 kali, hal ini terlihat pada keadaan mata mencit yang perlahan yang mulai menutup mata dan tidak ada pergerakan, menunjukkan efek obat mulai bekerja dan paling sedikit terlihat mengantuk pada menit ke 30, 35 dan 55 menit, kemungkinan karena terganggu nya mencit karena kegaduhan ruangan praktikum. Kedua, pengamatan yang dilakukan mencit ketika gerakan bolak balik melewati garis flatform, gerakan paling banyak pada menit ke 10 sebanyak 12 kali dan sama sekali tidak melakukan pergerakan pada menit ke 25, 45 dan 60 menit. Ketiga, pengamatan pada mencit menengok kebawah terbanyak adalah pada menit ke 10 dan sama sekali tidak menengok kebawah pada menit ke 50 dan 60, hal itu dikarenakan suasana yang tidak terlalu bising dalam ruangan praktikum. Keempat, mencit yang saya amati tidak mengalami righting refleks, kemungkinan karena dosis yang kurang maksimal masuk seluruhnya atau karena cairan obat yang mengendap sehingga dosis yang diinginkan kurang efektif terhadap efek righting refleks yang ditimbulkan. Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar dalam darah diperoleh secara cepat , tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan penderita. Keuntungannya yaitu efeknya timbul lebih cepat, dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah, sangat berguna dalam keadaan darurat (Ganiswarna, 2001). Hewan uji diberikan obat melalui rute intravena, yaitu dengan menyuntikkan obat melalui ekor hewan uji (mencit) dan pada ekornya akan terlihat Vena Lateralis yang akan mudah di lihat. Dengan rute intravena ini, obat akan cepat diabsorpsi dan memiliki bioavailabilitas 100%. Kerugian dari rute intravena ini, yaitu perlunya prosedur steril, sakit, dapat terjadi iritasi di tempat injeksi, resiko

terjadi kadar obat yang tinggi jika diberikan terlalu cepat. Pemberiaan obat dengan rute ini dilakukan dengan cara menyuntikan pada vena ekor hewan mencit. Setelah itu obat Diphenhidramin diambil dengan menggunakan spuit injeksi 1 mL dan jarum 1-2 mL. Untuk rute pemberian intravena menurut buku Pharmacodynamics Guides de Travaux Practiques karangan M. Boucard yaitu 0,5 mL untuk mencit dengan bobot 20 gram. Oleh karena itu, mencit ditandai terlebih dahulu ditandai pada ekornya dan ditimbang, kemudian dihitung batas maksimum pemberian obat intravena. Jumlah obat Diphenhidramin yang diambil sesuai dengan perhitungan berat mencit dikalikan dengan konsentrasi obat dan diperoleh sejumlah 0,15 mL/18 kg BB mencit. Setelah mengetahui batas maksimal dari pemberian obat intravena untuk mencit, obat Diphenhidramin dimasukkan ke dalam suntikan sampai tidak ada gelembung. Karena adanya gelembung udara yang masuk pada vena dapat menyebabkan emboli yang merusak vena dan mengganggu system kardiovaskular yang dapat berakibat kematian. Lalu bagian ekor yang akan disuntik dibersihkan terlebih dahulu menggunakan kapas alkohol, setelah itu obat Diphenhidramin disuntikan pada mencit melalui pembuluh darah yang terdapat di ekor mencit tersebut. Reaksi mencit saat obat Diphenhidramin telah masuk seluruhnya saat disuntikkan intravena, mencit tersebut menjadi tremor. Hal ini dapat disebabkan karena efek dari pemberian obat melalui rute intra vena yang begitu cepat dalam peredaran darah. Berdasarkan hasil pengamatan, obat Diphenhidramin HCl yang diberikan secara oral dari menit awal sampai menit ke-40 mencit menengok ke bawah secara terus menerus, meskipun seiring bertambahnya waktu, aktivitas mencit menengok ke bawah. semakin berkurang. Pada menit ke-55 mata mencit sudah mulai agak sayu. Namun karena kurang kondusifnya kondisi dalam ruangan hal tersebut dapat mempengaruhi mencit tersebut. Pada menit awal sampai menit ke-50 mencit masih beraktivitas bolak-balik papan, meskipun seiring bertambahnya waktu, aktivitas bolak-balik dari mencit semakin berkurang. Aktivitas mencit yang semakin berkurang seiring bertambahnya waktu, hal ini dapat disebabkan obat Diphenhidramin sudah mulai bekerja sehingga menimbulkan efek ptosis, gerakan bolak-balik mencit yang semakin berkurang, dan aktivitas menengok ke bawah

berkurang juga. Diphenhidramin memiliki sifat antiemetic, antitusif, hipnotis, dan antiparkinson. Diphenhidramin telah digunakan kembali untuk digunakan dalam banyak bantuan tidur tanpa resep dan obat batuk-pilek yang telah dipasarkan untuk penggunaan malam hari. Diphenhidramin juga telah terbukti terlibat dalam sejumlah system neurotransmitter yang mempengaruhi perilaku termasuk dopamine, norepinefrin, serotonin, asetilkolin, dan opioid. efek dari obat Diphenhidramin terhadap mencit menjadi ptosis karena sifat dari obat Diphenhidramin ini dapat digunakan dalam obat bantuan tidur.

VI.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian obat melalui rute per oral memiliki efek yang lebih lambat dibandingkan dengan rute intraperitoneal, intramuscular, dan intravena. 2. Kondisi ruangan yang urang kondusif dapat mempengaruhi hasil pengamatan terhadap mencit. 3. Onset of action dari intravena lebih cepat dibanding dengan rute pemberian obat lainnya. 4. Pemberian obat secara per oral menyebabkan mula kerja obat menjadi lambat karena obat di metabolism pada lintas pertamanya melalui organorgan tertentu.

VII.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, dkk. 2013. Penuntun Praktikum Perkembangan Hewan. Makassar : Jurusan Biologi FMIPA UNM. Anief, M. 2002. Perjalanan dan Nasib Obat dalam tubuh. Yogyakarta: UGM Press.

Ganiswarna, S. 2001. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Joenoes, Z. N.. 2002. Ars Prescibendi. Surabaya: UNAIR Press. Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Selemba Medika. Munaf, Sjamsuir. 2004. Pengantar Farmakologi. In: Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Setiawati, A. dan F.D. Suyatna. 2004. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: FKUI

Related Documents


More Documents from "Khairunnisa"

Spo Peralatan.docx
June 2020 14
Kartu-peserta
October 2019 30
Bab Iii,3.docx
October 2019 24