LAPORAN PENDAHULUAN
A.
KONSEP DASAR MEDIS 1. Latar Belakang Stroke merupakan gejala kerusakan atau serangan otak secara mendadak yang disebabkan oleh iskemik maupun hemoragik di otak. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian (Widjaja, 2012). Stroke adalah gangguan fungsional yang terjadi secara mendadak berupa tanda-tanda klinis baik lokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan gangguan peredaran darah ke otak, antara lain peredaran darah sub arakhnoid, peredaran intra serebral dan infark cerebral (Israr 2008). Jumlah penderita stroke terus meningkat setiap tahunnya, bukan hanya menyerang mereka yang berusia tua, tetapi juga orang muda pada usia produktif (Anderson, 2008). Menurut WHO setiap tahun 15 juta orang di seluruh dunia mengalami stroke. Sekitar 5 juta menderita kelumpuhan permanen. Dikawasan Asia Tenggara terdapat 4,4 juta orang mengalami stroke (WHO, 2010). Stroke merupakan penyebab kematian kedua di dunia, sedangkan di amerika serikat stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Kasus stroke meningkat di negara maju seperti Amerika, dimana kegemukan dan junk food telah mewabah. Setiap tahun, hampir 700.000 orang Amerika mengalami stroke, dan stroke mengakibatkan hampir 150.000 kematian. Amerika Serikat mencatat setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke (Kalim, 2011). Di Indonesia, jumlah penderita stroke terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia dan ke empat di dunia, setelah India, Cina, dan Amerika. Berdasarkan data terbaru dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis gejala sebesar 12,1 per mil. Jadi sebanyak
1
57,9% penyakit stroke telah terdiagnosis oleh nakes (Riskesdas 2013). Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), diikuti daerah Istimewa Yogyakarta (16,9%) (RisKesDas, 2013). Menurut (Amir Huda, 2015), Stroke Non Hemoragik mengakibatkan beberapa masalah yang muncul, seperti Gangguan menelan, Nyeri akut, Hambatan mobilitas fisik, Hambatan komunikasi verbal, Defisit perawatan diri, ketidakseimbangan nutrisi, dan salah satunya yang menjadi masalah yang menyebabkan kematian adalah gangguan perfusi jaringan cerebral. Gangguan perfusi jaringan adalah suatu penurunan jumlah oksigen yang mengakibatkan kegagalan untuk memelihara jaringan pada tingkat perifer.
2. Anatomi Dan Fisiologi Otak 1. Anatomi Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi.
2
Gambar. Sel gilia pada otak
Gambar. Pembuluh darah di otak
Gambar. Bagian otak dan fungsi otak 3
2. Fisiologi Vaskularisasi otak darah mengalir ke otak melalui dua arteri karotis dan dua arteri vertebralis Arteri karotis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi pada regio sentral dan lateral hemisfer. Arteri serebri anterior memberikan vaskularisasi pada korteks frontalis, parietalis bagian tengah, korpus kalosum dan nukleus kaudatus. Arteri serebri media memberikan vaskularisasi pada korteks lobus frontalis, parietalis dan temporalis. Stenosis pada arteri karotis Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi arteri basilaris dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang arteri serebri posterior. Arteri vertebralis memberikan vaskularisasi pada batang otak dan medula spinalis atas. Arteri basilaris memberikan vaskularisasi pada pons. Arteri serebri posterior memberikan vaskularisasi pada lobus temporalis, oksipitalis, sebagian kapsula interna, talamus, hipokampus, korpus genikulatum dan mamilaria, pleksus koroid dan batang otak bagian atas. 3. Definisi Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, 2002). Menurut WHO, Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi cerebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat,
4
berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskuler. Serangan otak merupakan istilah kontemporer untuk stroke atau cedera serebrovaskuler yang mengacu kepada gangguan suplai darah otak secara mendadak sebagai akibat dari oklusi pembuluh darah parsial atau total, atau akibat pecahnya pembuluh darah otak (Chang, 2010). Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat emboli dan thrombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. (Arif Muttaqin, 2008). Sedangkan menurut Padila, (2012) Stroke Non Haemoragik adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak terjadi akibat pembentukan trombus di arteri cerebrum atau embolis yang mengalir ke otak dan tempat lain di tubuh. Dari beberapa pengertian stroke diatas, disimpulkan stroke non hemoragik adalah adalah gangguan cerebrovaskular yang disebabakan oleh sumbatnya pembuluh darah akibat penyakit tertentu seperti aterosklerosis, arteritis, trombus dan embolus.
4. Klasifikasi Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila, (2012) adalah: 1. Transient Ischemic Attack (TIA) TIA adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak sepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu tidak lebih dari 24 jam. 2. Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND) RIND adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak berlangsung lebih dari 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 1-3 minggu. 3. Stroke in Evolution (Progressing Stroke) Stroke in evolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mencapai maksimal dalam beberapa jam sampe bbrpa hari.
5
4. Stroke in Resolution Stroke in resolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan mencapai maksimal dalam beberapa jam sampai bebrapa hari 5. Completed Stroke (infark serebri) Completed stroke adalah defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpa memburuk lagi. Sedangkan secara patogenitas menurut Tarwoto dkk, (2007) Stroke iskemik (Stroke Non Hemoragik) dapat dibagi menjadi: 1. Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena trombosis di arteri karotis interna secara langsung masuk ke arteri serebri media. Permulaan gejala sering terjadi pada waktu tidur, atau sedang istrirahat kemudian berkembang dengan cepat, lambat laun atau secara bertahap sampai mencapai gejala maksimal dalam beberapa jam, kadangkadang dalam beberapa hari (2-3 hari), kesadaran biasanya tidak terganggu dan ada kecendrungan untuk membaik dalam beberapa hari,minggu atau bulan. 2. Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena emboli yang pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala terlihat sangat mendadak berkembang sangat cepat, kesadaran biasanya tidak terganggu, kemungkinan juga disertai emboli pada organ dan ada kecenderungan untuk membaik dalam beberapa hari, minggu atau bulan. 5. Etiologi Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu: 1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher) Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya
6
terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah trombosis. 2. Embolisme cerebral Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik 3. Iskemia. Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah. 6. Patofisiologi Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan pada dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi (Muttaqin, 2008). Infark ischemic cerebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis dan arteriosklerosis.
Aterosklerosis
dapat
menimbulkan
bermacam-macam
manifestasi klinis dengan cara: 1. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah. 2. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus dan perdarahan aterm. 3. Dapat terbentuk thrombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
7
4. Menyebabkan aneurisma yaitu lemahnya dinding pembuluh darah atau menjadi lebih tipis sehingga dapat dengan mudah robek. Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak: 1. Keadaan pembuluh darah. 2. Keadaan darah: Viskositas darah meningkat, hematokrit meningkat, aliran darah ke otak menjadi lebih lambat, anemia berat, oksigenasi ke otak menjadi menurun. 3. Tekanan darah sistemik memegang peranan perfusi otak. Otoregulasi otak yaitu kemampuanintrinsik pembuluh darah otak untuk mengatur agar pembuluh darah otak tetap konstanwalaupun ada perubahan tekanan perfusi otak. 4. Kelainan jantung menyebabkan menurunnya curah jantung dan karena lepasnya embolus sehingga menimbulkan ischemia otak. Suplai darah ke otak dapat berubah pada gangguan fokal (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (Hypoksia karena gangguan paru dan jantung). Arterosklerosis sering/cenderung sebagai faktor penting terhadap otak. Thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik atau darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan oedema dan nekrosis diikuti thrombosis dan hypertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebrovaskuler. Anoksia serebral dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversible dapat anoksia lebih dari 10 menit. Anoksiaserebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi, salah satunya cardiac arrest. 7. Manifestasi Klinis Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) Stroke menyebabkan berbagai deficit neurologik, gejala muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi akibat terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung pada lokasi lesi
8
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Gejala tersebut antara lain: 1. Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala. 2. Parasthesia, paresis, Plegia sebagian badan. 3. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan control volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralysis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. 4. Dysphagia 5. Kehilangan komunikasi 6. Gangguan persepsi 7. Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis 8. Disfungsi Kandung Kemih
Defisit neurologik stroke manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut: No 1
Defisit Neurologi
Manifestasi Klinis
Defisit lapang penglihatan,
Tidak menyadari orang atau
Homonimus,
objek, mengabaikan salah satu
Hemlanopsia,
sisi tubuh, kesulitan menilai
Kehilangan penglihatan perifer, jarak Kesulitan melihat pada Diplopia,
malam hari, tidak menyadari objek atau batas objek. Penglihatan ganda
2
Defisit Motorik
Kelemahan wajah, lengan, dan
Hemiparesis
kaki pada sisi yang sama.
Hemiplegia
Paralisis wajah, lengan, dan kaki
Ataksia
pada sisi yang sama.
Disatria
Berjalan tidak mantap, tidak
9
Disfagia
mampu menyatukan kaki. Kesulitan
dalam
membentuk
kata Kesulitan dalam menelan. 3
Defisit sensori : Parastesia
Kesemutan
4
Defisit verbal
Tidak mampu membentuk kata
Fasia ekspresif
yang dapat dipahami,
Fasia reseptif
Tidak mampu memahami kata
Afasia global
yang
dibicarakan,
mampu
berbicara tapi tidak masuk akal, Kombinasi afasia reseptif dan ekspresif 5
Defisit kognitif
Kehilangan
memori
jangka
pendek dan panjang, penurunan
lapang
tidak mampu
perhatian,
berkonsentrasi,
dan perubahan penilaian. 6
Defisit Emosional
Kehilangan kontrol diri, labilitas emosional, depresi, menarik diri, takut,
bermusuhan,
dan
perasaan isolasi.
8. Pemeriksaan Diagnostik Menurut Muttaqin, (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah sebagai berikut: 1. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular. 2. Lumbal pungsi: Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carran lumbal menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau
10
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama. 3. CT scan.: Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak. 4. MRI: MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik. 5. USG Doppler: Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis). 6. EEG: Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak. Pemeriksaan Laboratorium: 1) Lumbal pungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama. 2) Pemeriksaan darah rutin. 3) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali. 4) Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
11
9. Penatalaksanaan Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) penatalaksanaan stroke dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Phase Akut: a. Pertahankan fungsi vital seperti: jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi dan sirkulasi. Reperfusi dengan trombolityk atau vasodilation: Nimotop. Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa trombolitik / emobolik. b. Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian dexamethason. c. Mengurangi edema cerebral dengan diuretic d. Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang 2. Post phase akut a. Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodic b. Program fisiotherapi c. Penanganan masalah psikososial 10. Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah: a. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan, konstipasi. b. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas, terjatuh. c. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala. d. Hidrosefalus
12
B. KONSEP DASAR KEPERAWAT 1. Pengkajian Keperawatan Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial. 1. Identitas Klien: Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis. 2. Keluhan utama: Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran. 3. Riwayat penyakit sekarang: Serangan stroke hemorhagik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan konia. 4. Riwayat penyakit dahulu: Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya
13
riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya. 5. Riwayat penyakit keluarga: Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu. 6. Pengkajian psikososiospiritual: Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, rnudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola rata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mernengaruhi keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini
14
dapat memengaruhi stabilitas emosi serta pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah: keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurolcgis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu. 7. Pemeriksaan Fisik: Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhankeluhan dari klien. a. B1 (Breathing): Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mends, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan. b. B2 (Blood): Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg). c. B3 (Brain):
Stroke menyebabkan berbagai
defisit
neurologis,
bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
15
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. d. B4 (Bladder): Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. e. B5 (Bowel) Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi
akibat
penurunan
peristaltik
usus.
Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. f. B6 (Bone): Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
16
8. Pengkajian Tingkat Kesadaran: Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan. 9. Pengkajian Fungsi Serebral: Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer. a. Status Mental: Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan. b.
Fungsi Intelektual: Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
c. Kemampuan Bahasa: Penurunan
kemampuan
bahasa
tergantung
daerah
lesi
yang
memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan
17
berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya. d. Lobus Frontal: Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustrasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah klien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan, frustrasi, dendam, dan kurang kerja sama. e. Hemisfer Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh, penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Pada stroke hemifer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustrasi. 10. Pengkajian Saraf Kranial Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-XII. a. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman. b. Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
18
terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. c. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, padasatu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit. d. Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus. e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat. f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. g. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut. h. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius i. Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal. 11. Pengkajian Sistem Motorik: Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari otak. 12. Pengkajian Sistem Sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara mata dan korteks visual. Menurut Doenges (2012) data dasar pengkajian pada pasien NHS yaitu: 1. Aktivitas/ istirahat Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia) Tanda:
19
gangguan tonus otot, hemiplagia, dan terjadi kelemahan umum, gangguan pengelihatan, gangguan tingkat kesadaran. 2. Sirkulasi Gejala: adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural, Tanda: hipertensi arterial, nadi bisa bervariasi karena pengaruh jantung, disaritmia, perubahan EKG. 3. Integritas ego Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri. 4. Eliminasi Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria, distensi abdomen, bising usus negatif. 5. Makanan/ cairan Gejala: nafsu makan hilang, mual selama fase akut (peningkatan TIK), kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, dan tenggorok, disfagia, ada riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah. Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringeal). 6.
Neurosensori
Gejala:
sinkope/
pusing,
sakit
kepala,
kelemahan/
kesemutan/ kebas, sisi yang terkena terlihat seperti mati/ lumpuh, pengelihatan menurun, pengelihatan ganda, atau gangguan yang lain, gangguan pengecapan. Tanda: status mental/ kesadaran; biasanya terjadi koma pada tahap awal haemorhagic, pada wajah terjadi paralisis atau parese (ipsilateral), afasia, kehilangan kemampuan untuk mengenali / menghayati masuknya rangsang visual, apraksia. 7.
Nyeri/ kenyamanan Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbedabeda Tanda: tingkah laku yang stabil, gelisah, ketegangan pada otot.
8. Pernapasan Gejala: merokok Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan napas. 9. Kemanan Tanda: motorik/ sensorik akan masalah dengan pengelihatan, perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan), kesulitan untuk melihat objek dari sisi kiri (pada stroke kanan), kesulitan menelan, tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi secara mandiri. 10. Interaksi
sosial
Tanda:
masalah
berkomunikasi.
20
bicara,
ketidakmampuan
untuk
11. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran darah ke otak terhambat 2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak. 3. Defisit perawatan diri: makan, mandi, berpakaian, toileting berhubungan kerusakan neurovaskuler. 4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler 5. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi fisik 6. Resiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran. 7. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran
21
12. PERENCANAAN KEPERAWAN
No 1.
Diagnosa Keperawatan Ketidakefektifan jaringan
Tujuan
Perfusi Setelah
Intervensi
dilakukan
tindakan Monitorang neurologis
serebral keperawatan diharapkan suplai aliran
berhubungan dengan aliran darah keotak lancar dengan kriteria darah ke otak terhambat.
hasil:
1) Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi dan bentuk pupil 2) Monitor tingkat kesadaran klien
1. Nyeri kepala/vertigo berkurang 3) Monitir tanda-tanda vital sampai de-ngan hilang
4) Monitor keluhan nyeri kepala, mual, muntah
2. Berfungsinya saraf dengan baik
5) Monitor respon klien terhadap pengobatan
3. Tanda-tanda vital stabil
6) Hindari aktivitas jika TIK meningkat 7) Observasi kondisi fisik klien
Terapi oksigen 1) Bersihkan jalan nafas dari secret 2) Pertahankan jalan nafas tetap efektif 3) Berikan oksigen sesuai intruksi
22
4) Monitor aliran oksigen, kanul oksigen dan sistem humidifier 5) Beri
penjelasan
kepada
klien
tentang
pentingnya pemberian oksigen 6) Observasi tanda-tanda hipo-ventilasi\ 7) Monitor respon klien terhadap pemberian oksigen 8) Anjurkan klien untuk tetap memakai oksigen selama aktifitas dan tidur 2
Gangguan komunikasi verbal Setelah berhubungan
dengan keperawatan,
penurunan sirkulasi ke otak
dilakukan
tindakan
diharapkan
1.
klien
3.
mengekspresikan
23
Dengarkan setiap ucapan klien dengan penuh
Gunakan kata-kata sederhana dan pendek dalam komunikasi dengan klien
b. Dapat mengerti dan memahami
c. Dapat
membantu
perhatian
a. Dapat menjawab pertanyaan yang
pesan-pesan melalui gambar
untuk
klien 2.
diajukan perawat
keluarga
memahami/memahamkan informasi dari/ke
mampu untuk berkomunikasi lagi dengan kriteria hasil:
Libatkan
4.
Dorong klien untuk mengulang kata-kata
5.
Berikan arahan / perintah yang sederhana
perasaannya
secara
verbal
maupun nonverbal
setiap interaksi dengan klien 6.
Programkan speech-language teraphy
7.
Lakukan speech-language teraphy setiap interaksi dengan klien
3
Defisit
perawatan
diri; Setelah
mandi, berpakaian, makan,
dilakukan
tindakan
keperawatan, diharapkan kebutuhan mandiri
klien
terpenuhi,
dengan
kriteria hasil: a. Klien
dapat
dapat
makan
dengan
mandi
de-ngan
bantuan
orang
mandi,
berpakaian
dan
3. Berikan bantuan pada klien hingga klien
4. Berikan
dukungan
pada
aktivitas
klien normal
toileting
bantuan alat
24
dengan
untuk sesuai
kemampuannya 5. Libatkan
keluarga
dalam
kebutuhan perawatan diri klien
lain/mandiri dapat
makan,
menunjukkan
c. Klien dapat memakai pakaian
d. Klien
dalam
sepenuhnya bisa mandiri
bantuan orang lain
dengan
2. Pantau kebutuhan klien untuk alat-alat bantu
toileting
bantuan orang lain / mandiri b. Klien
1. Kaji kamampuan klien untuk perawatan diri
pemenuhan
4
Kerusakan berhubungan
mobilitas
fisik Setelah
dilakukan
tindakan
selama,
diharapkan
dengan keperawatan
kerusakan neurovas-kuler
klien dapat melakukan pergerakan
1
aktif pada sisi ekstrimitas yang sehat 2
fisik dengan kriteria hasil:
toleransi nyeri 3
footdrop berpartisipasi
4
5
hilangnya
fungsi
Motivasi klien untuk melakukan latihan sendi seperti yang disarankan
b. Pasien mampu menggunakan sisi
tubuh yang tidak sakit untuk
Ajarkan ambulasi sesuai dengan tahapan dan kemampuan klien
c. Pasien mencapai keseimbangan
saat duduk
Topang ekstrimitas dengan bantal untuk mencegah atau mangurangi bengkak
dalam
program latihan
kompensasi
Ajarkan rentang gerak pasif pada sisi ekstrimitas yang parese / plegi dalam
a. Tidak terjadi kontraktur otot dan
b. Pasien
Ajarkan klien untuk latihan rentang gerak
6
Libatkan keluarga untuk membantu klien latihan sendi
pada sisi yang parese/plegi 5
Resiko kerusakan integritas Setelah kulit b.d immobilisasi fisik
dilakukan
tindakan 1. Beri penjelasan pada klien tentang: resiko
perawatan selama, diharapkan pasien
adanya luka tekan, tanda dan gejala luka tekan,
mampu mengetahui dan mengontrol
tindakan pencegahan agar tidak terjadi luka tekan)
25
resiko dengan kriteria hasil:
2. Berikan masase sederhana
a. Klien mampu menge-nali tanda
dan gejala adanya resiko luka
mampu
berpartisi-pasi
dalam pencegahan resiko luka tekan (masase sederhana, alih ba-ring,
4. Gunakan lotion, minyak atau bedak untuk pelican
tekan b. Klien
3. Ciptakan lingkungan yang nyaman
manajemen
manajemen tekanan).
nutrisi,
5. Lakukan masase secara teratur 6. Anjurkan klien untuk rileks selama masase 7. Jangan masase pada area kemerahan utk menghindari kerusakan kapiler 8. Evaluasi respon klien terhadap masase 9. Lakukan alih baring 10. Ubah posisi klien setiap 30 menit- 2 jam 11. Pertahankan tempat tidur sedatar mungkin untuk mengurangi kekuatan geseran 12. Batasi posisi semi fowler hanya 30 menit 13. Observasi area yang tertekan (telinga, mata kaki, sakrum, skrotum, siku, ischium, skapula) 14. Berikan manajemen nutrisi 15. Kolaborasi dengan ahli gizi 16. Monitor intake nutrisi
26
17. Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat untuk memelihara ke-seimbangan nitrogen positif 18. Berikan manajemen tekanan 19. Monitor kulit adanya kemerahan dan pecahpecah 20. Beri pelembab pada kulit yang kering dan pecah-pecah 21. Jaga sprei dalam keadaan bersih dan kering 22. Monitor aktivitas dan mobilitas klien 23. Beri bedak atau kamper spritus pada area yang tertekan 6
Resiko berhubungan
Aspirasi Setelah
dilakukan
tindakan Aspiration Control Management:
dengan perawatan, diharapkan tidak terjadi
penurunan tingkat kesadaran
aspirasi pada pasien dengan kriteria hasil:
a. Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dankemampuan menelan b. Pelihara jalan nafas
a. Dapat bernafas dengan mudah
frekuensi pernafasan normal
27
c. Lakukan saction bila diperlukan d. Haluskan makanan yang akan diberikan
b. Mampu
menelan,mengunyah
e. Haluskan obat sebelum pemberian
tanpa terjadi aspirasi 7
Resiko Injuri berhubungan Setelah
dilakukan
tindakan Risk Control Injury
dengan penurunan tingkat perawatan, diharapkan tidak terjadi kesadaran
trauma pada pasien dengan kriteria hasil:
1. Menyediakan lingkungan yang aman bagi pasien 2. Memberikan
a. Bebas dari cedera
informasi
mengenai
cara
mencegah cedera
b. Mampu menjelaskan factor resiko 3. Memberikan penerangan yang cukup dari lingkungan dan cara untuk 4. menganjurkan keluarga untuk selalu menemani mencegah cedera
pasien
c. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada 8
Pola
nafas
tidak
berhubungan penurunan kesadaran
efektif Setelah
dilakukan
tindakan Respiratori Status Management
dengan perawatan, diharapkan pola nafas pasien efektif dengan kriteria hasil: a. Menujukkan jalan nafas paten (tidak merasa tercekik, irama
28
1. Pertahankan jalan nafas yang paten 2. Observasi tanda-tanda hipoventilasi 3. Berikan terapi O2 4. Dengarkan adanya kelainan suara tambahan
nafas normal, frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambaha b. Tanda-tanda vital dalam batas normal
29
5. Monitor vital sign
DAFTAR PUSTAKA Amir Huda N Nardi Kusuma. (2015). NANDA NIC NOC 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis. Jilid 3. diterjemahkan oleh, Yogyakarta. Anderson. (2008). Konsep Keperawatan Dasar, Jakarta: EGC Chang, Ester . 2010 . Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC. Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika. Israr. (2008). Stroke. Karya Tulis Ilmiah.Fakultas Kedokteran Universitas Riau. RSU. Arifin Achmad Pekanbaru. Kalim. (2012). Mengenal Jenis-Jenis Stroke. Medicastro.com/Strokke+mengenal +jenis-jenis+stroke.php. Diakses tanggal 02 Januari 2019 Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Price, A. Sylvia. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Santosa Riset
Kesehatan Dasar (RisKesDas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI tahun 2013. http://www.depkes.go.id/resource /general/hasil%20Riskesdas%202013.pdf. Diakses tanggal 05 Januari 2019
Smeltzer, dkk. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta: EGC Tarwoto, 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem Persyarafan . Jakarta: Sagung Seto. Widjaja. (2012). Customer Relationship Managemen. Jakarta: Harvarindo
30