Laporan Pendahuluan Gbs Icu Rssa.docx

  • Uploaded by: ni putu devi indriyani
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Pendahuluan Gbs Icu Rssa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,443
  • Pages: 19
LAPORAN PENDAHULUAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) Untuk memenuhi tugas keperawatan kegawatdaruratan dan keperawatan kritis

OLEH : NI PUTU DEVI INDRIYANI NIM. 1401470023

KEMENTRIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN MALANG JURUSAN KEPERAWATAN PRODI PROGRAM PROFESI NERS PROGRAM PROFESI 2019

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS), ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. Y DENGAN KASUS GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) dan RESUME KEPERAWATAN DI RUANG ICU RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Kegawatdaruratan dan Kritis Di Ruang Icu RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh : Ni Putu Devi Indriyani P17211186022 Telah diperiksa dan disetujui pada : Hari

:

Tanggal

:

Mahasiswa

(Ni Putu Devi Indriyani) NIM. P17211186022

Preseptor Akademik

(

Preseptor Lahan

)

(

)

LAPORAN PENDAHULUAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) A. DEFINISI Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002). Guillain Barre Syndrome ialah sindrom yang mempunyai banyak sinonim antara lain polyneuritis akut pasca infeksi, polyneuritis akut toksik polyneuritis febril, poliradikulopati, dan acute ascending paralysis yang sering ditemukan pada bagian penyakit saraf yang dicirikan dengan kelumpuhan otot ekstremitas yang akutt dan progresif, dan biasanya muncul sesudah infeksi. (Harsono, 1996). Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah terjadinya suatu masalah pada system saraf yang menyebabkan kelemahan otot, kehilangan reflex, dan kebas pada lengan, tungkai, wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses autoimun.

(http://xa.yimg.com

/Guillaine+Barre+Sindrome.pdf) Guillain-Barre

Syndrome

adalah

penyakit

autoimun

yang

menimbulkan peradangan dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer. Kerusakan saraf ini dianggap sebagai hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal terhadap mielin sistem saraf perifer. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh. (http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal//SINDROGUILLAINBARRE.pdf) Jadi, GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri.

B. ETIOLOGI Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhirakhir ini terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan immunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut. Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS .

C. KLASIFIKASI Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sebagai berikut : a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi. b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN) Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe

demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun. c. Miller Fisher Syndrome Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan. d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP) CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal e. Acute pandysautonomia Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil. D. MANIFESTASI KLINIS a. Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. b. Gejala Klinis 1) Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadangkadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan

dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadangkadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otototot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. 2) Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 3) Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus. 4) Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5) Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita. 6) Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang. E. PATOFISIOLOGI Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin. Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya

akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer. F. PATHWAY (terlampir) G. PEMERIKSAAN PENUNJANG -

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.

-

Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 12 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).

-

Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan

potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna. -

Pemeriksaan LCS Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain

(1961)

disebut

sebagai

disosiasi

albumin

sitologis.

Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation). -

Pemeriksaan MRI Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB. a. Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. b. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium

awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy. H. PENATALAKSANAAN Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Japardi, 2002). a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002) 1) Pengaturan jalan napas Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu

dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit. 2) Pemantauan EKG dan tekanan darah Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (shortacting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3. 3) Plasmaparesis Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma. 4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.

5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini. b. Perawatan umum 1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur. 2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. 3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, 4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis. 5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. 6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati. 7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik. c. Pengobatan 1) Kortikosteroid Seperti : azathioprine, cyclophosphamid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. 2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis) Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned

LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic disease (TED) hose). 3) Pengobatan imunosupresan: a) Imunoglobulin IV Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan. b) Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP). I. KOMPLIKASI Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif.

Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat. Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain sebagai berikut: -

Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik

-

Aspirasi

-

Paralisis otot persisten

-

Hipo ataupun hipertensi

-

Tromboemboli, pneumonia, ulkus

-

Aritmia jantung

-

Retensi urin

-

Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas

-

Nefropati, pada penderita anak

-

Ileus

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS) A. Pengkajian 1.

Keluhan utama Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya kelemahan, baik kelemahan fisik secara umum ataupun lokalis seperti kelemahan otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pernapasan.

2.

Riwayat kesehatan sekarang Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang dapat mengarah kepada aspirasi.Selain itu, kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah, kelainan dari fungsi kardiovaskuler yang dapat menyebabkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang dapat mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.

3.

Riwayat kesehatan dahulu Penyakit lain yang pernah dialami klien yang memungkinkan hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Selain itu obat-obatan yang dikonsumsi klien juga dikaji seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik).

4.

Psiko-sosio-spiritual Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh persepsi yang jelas tentang status emosi, kognitif, dan perilaku klien.Mekanisme koping klien juga penting dikaji untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat, dan apakah klien dapat mendiskusikan masalah kesehatan saat ini. Apakah klien merasa cemas dan timbul ketakutan akan kecacatan, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan timbul pandangan terhadap dirinya yang salah.Selain itu, perlu juga dikaji dampak perawatan terhadap status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.

5.

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus pemeriksaan pada B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien. -

B1 (Breathing) Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, takipnue (karena infeksi pernapasan), bradipnue (karena melemahnya otot-otot pernapasan). Terdapat bunyi napas tambahan seperti ronkhi akibat akumulasi secret dari infeksi saluran napas.

-

B2 (Blood) Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien) yang berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

-

B3 (Brain) a.

Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya yaitu komposmentis.Tetapi dapat pula terjadi penurunan kesadaran, dan penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan. b.

Fungsi serebri

Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu bagaimana penampilan klien dan tingkah lakunya, gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta aktivitas motorik klien dimana pada tahap lanjut dapat disertai penurunan tingkat kesadaran. Biasanya status mental klien mengalami perubahan. c.

Pemeriksaan saraf kranial

- Saraf I : Biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman normal. - Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. - Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis ocular - Saraf V : terdapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah

- Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral - Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi - Saraf IX dan X : terdapat paralisis pada otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral - Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius, kemampuan mobilisasi leher baik - Saraf XII : lidah asimetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal. d.

Sistem motorik

Kekuatan otot menurun, pada klien GBS tahap lanjut dapat terjadi perubahan control keseimbangan

dan koordinasi. Klien mengalami

kelemahan motorick secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik. e.

Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respon normal. f.

Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, TIK, dan dystonia g.

Sistem sensorik

Gejala yang ditemukan yaitu parestesia dan kelemahan otot kaki, dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu. -

B4 (Bladder) Pemeriksaan

pada

sistem

kandung

kemih

biasanya

didapatkan

berkurangnya volume haluaran urine -

B5 (Bowel) Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah akibat peningkatan asam lambung. Anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan terjadinya penurunan pemenuhan nutrisi

-

B6 (Bone) Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum.

B. Diagnosa Keperawatan : 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan neurologis 2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan denan mukus yang berlebihan 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan 4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot 5. Resiko jatuh/cidera berhubungan dengan neuropati

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J. (2010). Buku saku diagnosis keperawatan edisi 13. Jakarta: EGC. Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC. Muttaqin, A. (2009). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2009). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC. Smeltzer, S. C. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah vol 3. Jakarta: EGC. Wilkinson, J. M. (2007). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC. Widagdo, W., Suharyanto, T., & Aryanti, S. (2010). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta: TIM

Related Documents


More Documents from "Dana Saputra"