Laporan Modul 3 Kel 3.docx

  • Uploaded by: Pricella Mutiari
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Modul 3 Kel 3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 15,249
  • Pages: 84
LAPORAN TUTORIAL MODUL 2: BATUK DAN SESAK NAPAS PADA ANAK SISTEM RESPIRASI

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 3 1. NUR FAZRIANI MIRSYAH 2. FILOMENA PAULA G. D. 3. IIS AINU RAHMA 4. ANGGRY SUCIALANTIKA 5. ANISA ADAM 6. ASCARINA RAHYUNI 7. ASRI NURUL AFIFAH 8. NANI INDRAYANI 9. NERIL NAZIA 10. NINIS ILMI OCTASARI 11. NURZULIFA 12. PRABOWO SAPUTRA YUWANA 13. PRICELLA MUTIARI H. S.

(K1A1 12 025) (K1A1 13 083) (K1A1 15 055) (K1A1 15 056) (K1A1 15 057) (K1A1 15 059) (K1A1 15 060) (K1A1 15 093) (K1A1 15 094) (K1A1 15 095) (K1A1 15 104) (K1A1 15 105) (K1A1 15 106)

TUTOR: dr. WILLIAM TANYAWAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017

1) Kasus Skenario 1 Seorang anak 3 tahun diantar ibunya ke RS dengan demam yang tinggi, anaknya rewel dan tak pernah tidur sejak semalam. Menurut ibunya dalam 3 bulan terakhir ini sudah berkali-kali ia membawa anaknya ke dokter dengan keluhan beringus dan batuk yang hilang timbul, terutama malam hari dan hampir 1 bulan terakhir ini batuk dan beringus anaknya tidak berhenti yang kadang disertai sesak. Pada saat penimbangan di posyandu bulan lalu BB anaknya 10 kg. Anaknya ini adalah anak ke-3, kedua kakaknya juga sering mengalami keluhan yang sama, hanya saja tidak separah anaknya yang ketiga ini.

2) Kata Kunci a) Anak 3 tahun b) Demam tinggi c) Rewel dan tidak tidur semalaman d) Beringus dan batuk hilang timbul selama 3 bulan terakhir, terutama malam hari e) 1 bulan terakhir batuk dan beringus tidak berhenti disertai sesak f) Berat badan 10 kg g) Anak ke-3 h) Kakak – kakaknya juga mengalami hal yang sama, tetapi tidak separah anak ini

3) Pertanyaan a) Bagaimana anatomi dan histologi sistem pernapasan pada anak ? b) Penyakit apa saja yang memberikan gejala batuk dan sesak pada anak ? c) Bagaimana patomekanisme batuk dan sesak ? d) Bagaimana etiologi dari penyakit yang menyebabkan batuk dan sesak ? e) Bagaimana gambaran klinis yang menyertai batuk dan sesak pada penyakit sistem respiratori anak ? f) Mengapa anak ke-3 ini mengalami gejala yang lebih parah dari kakak – kakaknya ?

2

g) Bagaimana langkah – langkah diagnosis pada anak ? h) Jelaskan diagnosis diferensial ! i) Bagaimana pencegahan dari penyakit respirasi pada anak ?

4) Jawaban a) Bagaimana anatomi dan histologi sistem pernapasan pada anak ? Selama dalam uterus, janin mendapatkan oksigen dari pertukaran gas melalui plasenta. Setelah bayi lahir, pertukaran gas harus melalui paru – paru. Upaya pernafasan pertama seorang bayi berfungsi untuk : i.

Mengeluarkan cairan dalam paru-paru

ii.

Mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama kali. Bayi dan balita memiliki frekuensi bernapas lebih banyak

dibanding orang dewasa. Hal itu disebabkan volume paru paru yang relatif kecil, jalan nafas yang pendek, dan sel-sel tubuh sedang berkembang sehingga membutuhkan banyak oksigen. Orang tua juga memiliki frekuensi napas lebih banyak karena kontraksi otototot dada dan diafragma tidak sebaik saat masih muda, sehingga udara pernapasan lebih sedikit. Frekuensi pernapasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada anak-anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali permenit. Walaupun pada orang dewasa pernapasan frekuensipernapasan lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak dan bayi, akan tetapi KVP pada orang dewasa lebih besar dibanding anak-anak dan bayi. Terdapat perbedaan laring bayi dengan laring orang dewasa, diantaranya adalah1: i. Laring bayi secara relative dan absolute lebih kecil dari pada laring dewasa. ii. Laring bayi terletak lebih tinggi di leher dan akan turun menjadi seperti orang dewasa salama bulan pertama.

3

iii. Jaringan laring bayi lebih lunak dari pada laring orang dewasa. iv. Terdapat perbedaan ukuran yang jelas antara ukuran glotis dengan besarnya bayi. v. Mukosa laring bayi bersifat hipersensitif. Hal ini berguna sebagai mekanisme pertahanan terhadap gangguan aliran udara dalam hubungan dengan proses menelan. Anak-anak lebih berisiko terhadap penyumbatan saluran napas karena saluran udara mereka lebih sempit daripada saluran udara orang dewasa. Hal ini selalu merupakan gejala yang penting bila terjadi pada orang dewasa atau anak, sebab sumbatan pernafasan mungkin memerlukan saluran nafas buatan (trakeostomi) atau pemasangan pipa endotrakea. Dalam beberapa kasus penyumbatan saluran pernafasan yang terjadi pada manusia, anak-anak memiliki resiko yang lebih besar mengalami hal ini dari pada orang dewasa. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa bayi dan anak-anak bukanlah orang dewasa yang kecil. Terdapat perbedaan antara struktur anak-anak dan orang dewasa. Perbedaan yang jelas yaitu pada sistem pernapasan, struktur saluran nafas anak-anak berukuran lebih kecil. Karena diameter saluran nafas lebih kecil maka anak-anak lebih sering mengalami sumbatan saluran nafas. Peyumbatan saluran nafas tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya karena adanya benda asing yang tersangkut pada trakea, atau karena adanya infeksi pada pernafasan. Saluran nafas bagian atas pada anak-anak yang lebih pendek dan lebih sempit daripada orang dewasa dan karenanya lebih mungkin menyebabka masalah dengan obstrukif.

4

b) Penyakit apa saja yang memberikan gejala batuk dan sesak pada anak ? 1) Tuberculosis Paru2 Tb adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycrobacterium Tuberculosis. Keluhan yang dirasakan pasien yaitu : demam, batuk, sesak napas, nyeri dada, dan laise. 2) Pneumonia2 Merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus Pnemoniae. Gangguan respirasi pada pnemonia yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, sianosis. 3) Asma2 Adalah penyakit inflamasi kronis sal. Napas yang ditandai oleh mengi/batuk berulang dengan karakteristik : a. Timbul secara episodik b. Cenderung pada malam hari c. Bersifat musiman d. Timbul setelah aktivitas e. Terdapat riwayat asma dan atau atopi lain pada pasien dan atau keluarga 4) Bronkiolitis2 Merupakan penyakit obstruksi akibat inflamasi akut pada bronkioli yang terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun. Gejala awal berupa gejala infeksi virus, yaitu pilek ringan, batuk, dan demam. Satu sampai dua hari setelah gejala awal muncul, akan timbul batuk yang disertai sesak napas.

5

c) Bagaimana patomekanisme batuk dan sesak ? a. Batuk3 Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan

trakeobronkial.

Kemampuan

batuk

merupakan

mekanisme peniting utuk membersihkan saluran napas bagian bawah. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia dan peradangan. Inhalasi asap, debu dan benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering3. Batuk bermula dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga thoraks. Serabut aferen yang terpenting ada pada cabang nervus vagus, yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga rangsang dari telinga melalui cabang Arnold dari n. Vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma. Serabut aferen membawa rangsang ini ke pusat batuk yang terletak di medula oblongata, di dekat pusat pemapasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabutserabut eferen n. Vagus, n. Frenikus, n. Interkostal dan lumbar, n. Trigeminus, n. Fasialis, n. Hipoglosus dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini terdiri dari otot-otot laring, trakea, diafragma, otot-otot interkostal dan lain-lain. Di daerah efektor inilah mekanisme batuk kemudian terjadi3. Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi (literatur lain membagi fase batuk menjadi 4 fase yaitu fase iritasi, inspirasi, kompresi, dan ekspulsi). Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam

6

paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.3 b. Sesak Napas4 Dispneu atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering mengeluhkan napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Sumber penyebab dispnea termasik: 1) Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada; dalam teori tegangan-panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada khusunya, berperan penting dalammembandingkan tegangan dalam otot dengan derajat elastisitanya, dispnea terjadi bila tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai) 2) Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori utang-oksigen) 3) Peningkatan

kerja pernapasan

yang mengakibatkan sangat

meningkatnya rasa sesak napas 4) Ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi. Mekanisme tegangan-panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis dispnea.4

7

d) Bagaimana etiologi dari penyakit yang menyebabkan batuk dan sesak ? Etiologi dari penyakit yang menyebabkan batuk/sesak diantaranya5 : 

Kelainan bawaan/kongenital jantung atau paru-paru



Kelainan pada jalan napas/trakea



Kelainan pembuluh darah



Infeksi Infeksi dapat diakibatkan oleh berbagai virus dan bakteri. Beberapa

virus dan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit penyebab batuk/sesak diantaranya adalah: 1) Virus6 Virus merupakan penyebab infeksi terkecil. Genom virus hanya mengandung satu jenis asam nukleat (RNA atau DNA). Asam nukleat virus terbungkus dalam suatu kulit protein, yang dapat dikelilingi oleh selaput yang mengandung lemak. Klasifikasi virus berdasarkan simtomatologi pada penyakit saluran pernapasan diantaranya : a. Virus influenza => pneumonia b. Virus parainfluenza => Tipe I dan II menyebabkan batuk dan sesak napas, Tipe III menyebabkan infeksi pada saluran napas atas dan pneumonia c. Virus sinsitial => pneumonia dan bronkiolitis d. Adenovirus => faringitis 2) Bakteri7 a. Streptococcus pneumonia => pneumonia b. Haemophilus influenza => meningitis dan infeksi pada saluran napas c. Mycobacterium tuberculosis => Tuberculosis paru

8

Pada penyakit asma, etiologi berupa5 : 

virus / alergen



cuaca dingin



kegiatan jasmani



gastroesofageal refluks



ketidakstabilan emosi

e) Bagaimana gambaran klinis yang menyertai batuk dan sesak pada penyakit sistem respiratori anak ? a. Asma17 

Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobaan



Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat didada dan berdahak



Gejala imbul/ memburuk terutama malam/dini hari



Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu



Respon terhadap pemberian bronkodilator

b. Bronkiolitis18 Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya erjadi setelah kontak dngan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran napas atas yang ringan. Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi.

9

c. Tuberkulosis Paru9 

Gejala respiratorik : batuk lebih dari 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas.



Gejala sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan menurun.

d. Pneumonia9 Gambaran klinis biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat bahkan sampai >40oC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah , sesak napas dan nyeri dada.

f) Mengapa anak ke-3 ini mengalami gejala yang lebih parah dari kakak – kakaknya ? 1) Asma6 Faktor risiko yang terlibat dalam asma dibagi menjadi faktor endogen dan lingkungan. Faktor endogen seperti predisposisi genetic,atopi,hiperespon saluran pernapasan,jenis kelamin dan etnis. Factor lingkungan seperti elergen dalam ruangan,allergen

diluar

ruangan,merokok

pasif,infeksi

pernapasan,sensitizer pekerjaan dan kegemukan. 2) Pneumonia6 Cara terjadiya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman,misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan streptococcus

pnemoniae,melalui

slang

infus

oleh

staphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh pseudomonas aeroginosa dan enterobacter.

10

3) TB paru6 Cara penularan lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman diwilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan

dan berperan sekali atas

peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M.tuberculosis biasanya secara inhalasi,sehingga TB paru merupakan manifestasi klinik yang paling sering disbanding organ lainnya.penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei,khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam. 4) Rhinopharyngitis Hidung dan faring sama-sama merupakan bagian dari saluran napas, sehingga infeksi kuman di hidung dapat menjalar ke faring, begitupun sebaliknya. Suatu keadaan di mana terdapat baik gejala rhinitis maupun faringitis disebut rhinofaringitis. Faktor non-infeksi, yakni pola makan (makanan panas dan berminyak, makanan pedas), kekeringan (kurang minum, demam), daya tahan tubuh menurun (istirahat kurang), termasuk kecenderungan alergi pada orang-orang tertentu (alergi dingin, debu).faktor infeksi yang disebabkan oleh virus maupun bakteri. Dari penyebab-penyabab diatas dapat dikaitkan mengapa kakak dari anak tersebut juga mengalami gejala yang sama.

11

g) Bagaimana langkah – langkah diagnosis pada anak ? 1) Anamnesis8 Anamnesis adalah pengumpulan data,wawasan tentang keluhan penderita, komunikasi antara dokter dan penderita, membangun saling pengertian antaradokter dan penderita. a. Identitas b. Keluhan utama c. Riwayat penyakit dahulu d. Status keadaan pada saat sakit e. Riwayat keluarga f. Riwayat psikososial g. Review sistem 2) Pemeriksaan Fisik8 Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang dilakukan pada penderita dengan atau tanpa memakai alat bantu. a. Inspeksi adalah pemeriksaan tanpa memakai alat bantu cukup dengan melihat perhatikan: 1. Bentuk dan ukuran toraks 2. Permukaan dada 3. Otot pernapasan bantu 4. Iga dan ruang antar jga 5. Fosa yugularis, intra dan supra klavikula 6. Tipe dan frekuensi pernapasan b. Palpasi 1. Posisi mediastinum : trakea, dan uktus cordis 2. Denyutan, getaran, benjolan, edema, krepitasi 3. Nyeri tekan 4. Gesekan pleura Fokal fremitus meningkat pada konsolidasi

12

Fokal fremitus menurun pada atelektasis, efusi pleura, dan pneumotoraks. c. Perkusi 1. Batas jantung 2. Batas paru hati 3. Lebar mediastinum 4. Daerah supra klavikula 5. Batas bawah paru belakang d. Auskultasi Mendengarkan suara napas 1. Vesikuler 

Inspirasi terdengar penuh



Ekspirasi lebih lemah



Inspirasi : ekspirasi = 3;1

2. Bronkovesikuler 

Inspirasi terdengar penuh



Ekspirasi penuh



Tidak ada “silent gap”

3. Bronkial 

Inspirasi dan ekspirasi penuh



“silent gap”

Macam macam suara tambahan: 1. Ronki basah 

Kasar : disaluran pernapasan, karena gelembung udara besar yang pecah ( kesadaran menurun)



yang pecah ( brokoektasis, bronkopneumonia)



Halus : acinus terbuka, terdengar seperti suara gesekan rambut dan jari ( sembab dan paru dini).

13

2. Ronki kering 

Sonorous, nada rendah : obstruksi parsial saluran napas besar



Sibilan (wheez), nada tinggi : obstruksi daluran napas kecil, mencicit biasa pada asma.

3) Pemeriksaan Penunjang8 a. Gambaran Radiologis foto torak (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakan diagnosis. Gambaran radiologi dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronkhogram, pemyempitan brinkogenik, dan intertisial serta gambaran kaviti.

b. Pemeriksan Laboratorium pada pemeriksaan labolatorium dapat peningkatan jumlah leukosit biasanya dari 10.000/µl kadang kadang mencapai 30.000/µl dan pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri serta peningkatan LED.

h) Jelaskan diagnosis diferensial ! 1) Pneumonia9,10 a. Definisi10 Pneumonia adalah keradangan parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan atau tampa disertai infiltrasi dari sel radang kedalam interstitium. Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia).

14

b. Etiologi10 Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa.9 Bakteri penyebab pneumonia yaitu kelompok gram positif seperti Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan gram negatif Hemophylus influenza, dan P.Aerugiosa. Etiologi pneumonia berbeda-beda pada berbagai tipe dari pneumonia, dan hl ini berdampak pada obat yang akan diberikan.8 c. Faktor Resiko8 Faktor-faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat pneumonia yaitu : 

bayi dibawah umur dua bulan,



tingkat sosioekonomi rendah,



gizi kurang,



polusi udara,



tingkat pendidikan ibu rendah,



padatnya tempat tinggal,



imunisasi yang tidak memadai.

d. Gejala10 Pneumonia

ditandai

dengan

adanya

gejala-gejala

sebagai berikut : 

demam,



batuk disertai dahak,



suara serak,



sesak napas,



nyeri dada.

15

e. Diagnosis10 

Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas, dan nyeri dada.



Pemeriksaan fisik Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusiparu pekak, pada auskultasi dapat terdengar suara napas (bronkovesikuler) sampai bronkial, dapat disertai ronki basah halus.



Pemeriksaan Penunjang i.

Gambaran radiologis Foto

toraks

(PA/lateral)

merupakan

pemeriksaaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air bronkhogram (air space

disease)

pneumoniae,

misalnya

oleh

bronkopneumoniae

streptococcus (segmental

disease) oleh antara lain staphylococcus, virus, dan mikoplasma ii.

Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan jumah lekosit biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitung jenis lekosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, dan kultur darah. Analisis gas darah dilakukan

16

untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen. f. Penatalaksanaan10 Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik yang mempunyai spectrum luas seperti ampisilin atau dapat diberikan obat golongan penisilin. Pengobatan diteruskan sampai anak bebas demam selama 4-5 hari. Anak yang sesak nafasnya memerlukan pemberian cairan intravena dan oksigen. g. Komplikasi10 Komplikasi secara umum yang dapat terjadi pada penderita Pneumonia yaitu: 

Efusi pleura



Empiema



Abses paru



Pneumotoraks



Gagal napas



Sepsis

2) Rhinopharyngitis11 a. Definisi11 Rhinopharyngitis adalah suatu peradangan akut atau kronis dari selaput lendir di hidung dan tenggorokan. Hal ini memberikan medan yang menguntungkan bagi pengembangan peradangan dan infeksi mikroba.

17

b. Epidemiologi11 Beberapa studi menunjukkan kejadian rhinopharyngitis yang agak tinggi pada anak usia sekolah TK dan SD. Rata-rata 3-8 pilek per tahun diamati pada kelompok usia ini, dengan kejadian lebih tinggi pada anak-anak yang menghadiri tempat penitipan anak dan prasekolah. Karena banyak virus agen yang terlibat dan banyak serotipe beberapa virus, seorang anak muda yang memiliki pilek baru setiap bulan selama musim dingin yang tidak biasa. Dewasa dan remaja biasanya memiliki 2-4 pilek per tahun. Peningkatan dalam insiden selama bulan-bulan musim dingin diamati di seluruh dunia. c. Gejala Klinis11 Gejala klinis yang dapat dilihat adalah bersin-bersin, hidung tersumbat, ingus hidung, hiperemi faring, rasa gatal pada hidung dan tenggorok, kelelahan, panas badan dan hilang nafsu makan. d. Diagnosis11 Diagnosis didasarkan pada penyebab dan durasi gejala. Harus dilakukan anamnesa yang lengkap dan pemeriksaan dengan rinoskopi anterior. Biasanya bisa dilihat mukosa hiperemi. Gejala-gejala harus diperhatikan. e. Penatalaksaan11 Perawatan termasuk langkah-langkah untuk membantu gejala

dan

menjaga

tubuh

sekuat

mungkin

untuk

meminimalkan risiko komplikasi berkembang. 

Rehat secukupnya



Cairan



Dingin-dan-obat flu

18



Aspirin - tetapi tidak untuk bayi, anak-anak atau remaja karena risiko Reye's syndrome.



Acetaminophen



Dekongestan



Antihistamin



Inhalasi uap

f. Preventasi11 Pencegahan terbaik untuk mencegah virus ialah tidak berdekatan dengan orang yang terinfeksi, dan tempat-tempat dimana individu yang terinfeksi berada. Mencuci tangan secara teratur dianjurkan untuk mengurangi penularan virus flu dan patogen lain melalui kontak langsung. Virus dapat disebar dari tangan. 40% dari orang dewasa dengan pilek rhinovirus, dan jumlah virus disebar dari tangan juga umumnya lebih besar dari yang ditemukan dalam batuk dan bersin. Cuci tangan dapat mengurangi jumlah virus pada kulit. 

Mencuci tangan dengan sabun biasa dan air dianjurkan. Tindakan menggosok tangan dengan sabun biasa, pembilasan,

dan

pengeringan

secara

fisik

menghilangkan partikel virus dari tangan. 

Pembersih tangan berbasis alkohol sangat sedikit memberikan perlindungan terhadap infeksi pernafasan atas, terutama di kalangan anak-anak.



Sodium

berair

telah

ditemukan

untuk

andal

menghilangkan virus dingin di kulit manusia g. Komplikasi11 Walaupun jinak pada prinsipnya, dapat timbul komplikasi dengan faring menyediakan tempat masuknya agen infeksius. Dalam banyak kasus sistem kekebalan tubuh, ditambah dengan 19

pengobatan lokal dasar, cukup untuk mencegah infeksi berkembang. Bagaimanapun, jika tidak ada apa-apa yang dilakukan, infeksi sekunder dapat menetap di dalam atau infeksi dapat menyebar ke ruang THT karena alasan sederhana bahwa telinga, hidung dan tenggorokan adalah semua saling berhubungan: 

Sinusitis, terutama pada orang dewasa, merupakan komplikasi klasik, dengan terkait panas badan, rasa sakit dan sakit kepala.



Infeksi telinga pada anak-anak, akut, sakit atau febris. Pada

orang

dewasa,

otitis

serosa

menyebabkan

inflamasi dan menghasilkan sensasi dari telinga tersumbat. 

Laringitis juga komplikasi infeksi dan mempengaruhi saluran

udara

yang

berhubungan

dengan

rhinopharyngitis. Ia dapat menyebabkan modifikasi atau kehilangan suara atau masalah pernapasan, terutama pada

anak-anak.

Ini

adalah

akibat

penyebaran

peradangan yang disebabkan oleh virus. Jaringan membengkak dan bisa menyebabkan sesak napas. 

Akhirnya, dan yang paling serius, adalah bronkitis akut atau kronis, komplikasi yang dapat timbul dari semua infeksi virus atau bakteri. Setelah sistem kekebalan tubuh anak telah mencapai kematangan, sekitar usia 3, insiden rhinopharyngitis cenderung berkurang.

h. Prognosis11 Umumnya ringan dan membatasi diri.

20

3) Asma Bronkial a. Definisi12 Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak. GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. b. Etiologi12 Sampai saat ini etiologi dari Asma belum diketahui. Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan. 1. Faktor Genetik12 i.

Atopi/Alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

ii.

Hiperaktivitas Bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

iii.

Jenis Kelamin

21

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. iv.

Ras/etnik

v.

Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi

fungsi

saluran

napas

dan

meningkatkan

kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 2. Faktor Lingkungan12 i.

Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

ii.

Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor Lain12 i.

Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

ii.

Alergen

obat-obatan

tertentu

Contoh:

penisilin,

sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. iii.

Bahan yang mengiritasi contoh parfum household spray, dan lain-lain.

iv.

Ekspresi emosi berlebih

22

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan

emosi

perlu

diberi

nasihat

untuk

menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati. v.

Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

vi.

Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

vii.

Exercise- induced Asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga sar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

viii.

Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

ix.

Status ekonomi.

23

c. Epidemiologi13 Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama (Supriyatno, 2005). Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000 (PDPI,2003). Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita Asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien Asma mencapai 400 juta.13 d. Patofisiologi12 Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase

24

sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.12 Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-

25

sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.12 e. Klasifikasi14 Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat. Berbeda dengan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang, dan asma persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma anak kejadian episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitas). Dasar pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas diluar serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang (Tabel 1).

26

Table 1. klasifikasi derajat asma pada anak14 f. Gejala Klinis15 Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani

dan pengukuran faal paru terutama

27

reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.15 Riwayat penyakit / gejala : Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan , gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak, gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari, diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu, respons terhadap pemberian bronkodilator. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit : Riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi / atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan pengobatan.15 Gejala

asma

bervariasi

sepanjang

hari

sehingga

pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi

dan

penggunaan otot bantu napas.15

28

g. Pemeriksaan Penunjang14 1. Spirometer14 Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. 2. Peak Flow Meter/PFM14 Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan

obyektif

(spirometer/FEV1

atau

PFM).

Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. 3. X-ray dada/thorax14 Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. 4. Pemeriksaan IgE14 Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent

29

test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). 5. Petanda Inflamasi14 Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma.

Biopsi

endobronkial

dan

transbronkial

dapat

menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset. 6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB14 Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.14

30

h. Tatalaksana Tujuan Tatalaksana Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah: 1) Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain dan berolahraga. 2) Sesedikit mungkin angka absensi sekolah. 3) Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari. 4) Uji fungsi paru normal, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF. 5) Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak ada serangan. 6) Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang

mempengaruhi tumbuh

kembang anak.

Tatalaksana

tentang

penghindaran

terhadap

pencetus

memegang peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada

suatu

faktor

pencetus

yang

menyebabkan

terjadinya

rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik. Tatalaksana medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar yaitu tatalaksana saat serangan dan tatalaksana jangka panjang. Pada saat serangan pemberian beta-2 agonis pada awal serangan dapat mengurangi gejala dengan cepat. Bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid sistemik pada serangan sedang dan berat.14

31

Tatalaksana Jangka Panjang14 Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada asma episodik sering dan persisten, sedangkan pada asma episodik jarang tidak diperlukan. Proses inflamasi kronis yang terjadi pada asma bersamaan dengan proses remodelling yang ditandai

dengan

disfungsi

epitel.

Dengan

dasar

tersebut

penanganan asma lebih ditujukan pada kedua proses tersebut. Yang masih dalam perdebatan adalah apakah proses inflamasi itu berjalan bersamaan dengan proses remodelling (secara paralel) ataukah setelah proses inflamasi kronis baru terjadi proses remodelling (secara sekuensial). Teori terakhir yang dikemukakan Holgate.

menjelaskan proses remodelling justru terjadi secara

parallel dengan proses inflamasi, bukannya sekuensial yang selama ini dikenal, tetapi teori tersebut masih mendapat tantangan. Dengan pengertian bahwa inflamasi sudah terjadi pada saat ditegakkan diagnosis asma, maka peran kortikosteroid menjadi sangat penting, karena sampai saat ini kortikosteroid adalah antiinflamasi yang paling kuat. Pemberian kortikosteroid yang lama pada anak merupakan perdebatan yang cukup lama. Para ahli sepakat bahwa pemberian kortikosteroid secara sistemik dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan anak sehingga harus berhati-hati dan bila memungkinkan dihindari. Berdasarkan hal tersebut, pemberian secara topikal menjadi pilihan utama. Pemberian kortikosteroid secara topikal (dalam hal ini secara inhalasi) dalam waktu lama (jangka panjang) dengan dosis dan cara yang tepat tidak menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak.14 Penggunaan

kortikosteroid

inhalasi

telah

dibuktikan

keuntungan dan keamanannya selama digunakan dengan cara yang benar. Pemberian yang salah, baik dosis maupun cara pemberian, justru akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak dan efek samping lainnya seperti moon face, hipertensi, perawakan

32

pendek, dan sebagainya. Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 mg, sedangkan pada anak < 1 tahun 100-200 mg) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8 minggu) apabila keadaan asmanya stabil. Pemberian dosis tersebut mempunyai efektifitas yang baik pada asma yang membutuhkan obat pengendali. Selain itu efek samping yang dikuatirkan yaitu gangguan pertumbuhan tidak terjadi dengan kortikosteroid dosis rendah. Bila gejala asma sudah stabil dosis dapat diturunkan secara perlahan sampai akhirnya tidak menggunakan obat lagi. Dikatakan asma stabil apabila tidak ditemukan/minimal gejala asmanya. Penderita dapat tidur dengan baik, aktivitas tidak terganggu, dan kualitas

hidup

cukup

baik.

Apabila

dengan

pemberian

kortikosteroid dosis rendah hasilnya belum memuaskan, dapat dikombinasi dengan long acting beta-2 agonist (LABA) atau dengan

theophylline

slow

release

(TSR),

atau

dengan

antileukotrien, atau meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium (setara dengan budesonide 200-400 μg). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak mempunyai efek samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang diberikan < 400 μg dan dengan cara yang benar. Pada anak dianjurkan tidak melebihi 800 μg, karena dengan penambahan dosis kortikosteroid tersebut

tidak

akan

menambah

manfaatnya,

tetapi

justru

meningkatkan efek sampingnya. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi (setara dengan flutikason propionat 1000 ug) selama minimal 6 bulan tidak memberikan gangguan terhadap reduksi metabolisme tulang dan bone-age pada penderita asma anak, namun hal itu masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Pemberian kortikosteroid baik secara sendiri maupun bersamasama dengan obat pengendali lainnya dapat meningkatkan fungsi paru (arus puncak ekspirasi, PEFR), mengurangi gejala asma

33

khususnya gangguan tidur malam hari, dan aktivitas sehari-hari. Penggunaan LABA cukup menjanjikan, karena selain efek bronkodilator dengan lama kerja yang lama (long acting), LABA juga mempunyai efek lain yang masih dalam perdebatan yaitu antiinflamasi.14 Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Pouwel,20 yang menambahkan LABA pada pemberian kortikosteroid. Pene-litian di atas mendapatkan hasil yang cukup menggembirakan yaitu dengan penambahan LABA, dosis kortikosteroid dapat diturunkan. Kerjasama keduanya bersifat saling mendukung. Pemberian kortikosteroid dapat meningkatkan reseptor beta-2- agonis yang justru diperlukan pada tatalaksana asma, sedangkan pemberian LABA akan menurunkan dosis kortikosteroid yang secara langsung mengurangi efek samping terhadap tumbuh kembang anak.14 Sebagaimana dijelaskan di atas, pemberian kortikosteroid bersama dengan LABA sangat menguntungkan. Pada saat ini telah dipasarkan di Indonesia dalam bentuk satu sediaan yaitu fluticasonsalmeterol,

dan

budesonidformoterol.

Pemberian

kombinasi

fluticason-salmeterol maupun budesonid-formoterol mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan pemberian kortikosteroid dosis ganda (double dose) secara sendiri. Pada penelitian tersebut setelah pemberian kombinasi steroid dan LABA selama 12 minggu terdapat pengaruh terhadap uji fungsi paru yaitu peningkatan PEF (arus puncak ekspirasi), pengurangan gejala asma, penurunan penggunaan obat serangan asma. Kombinasi antara kortikosteroid dan LABA telah terbukti aman selama dosis dan penggunaannya benar.14 Selain efek di atas, kombinasi formoterol-budesonide mempunyai efek sebagai reliever yaitu apabila terjadi serangan asma maka dosis dapat ditingkatkan sedangkan bila serangan telah

34

teratasi dosis diturunkan kembali. Pemberian short acting beta-2 agonist (SABA) pada saat serangan tetap lebih baik dibandingkan LABA karena onset yang cukup cepat. Tidak perlu dikuatirkan akan efek samping terhadap peningkatan dosis kortikosteroidnya pada saat serangan karena saat ini telah banyak digunakan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi sebagai terapi ajuvan pada serangan asma selain beta-2

agonis. Dengan demikian

penggabungan di atas mempunyai keuntungan ganda yaitu selain sebagai controller, dapat digunakan sebagai reliever dalam keadaan darurat.14 Dalam melakukan pemilihan kombinasi kortikosteroid dan LABA, selain mempertimbangkan efektivitasnya, juga harus dilihat bentuk sediaan yang ada. Di Indonesia bentuk atau kemasan yang ada adalah dry powder inhaler (DPI) yaitu berisi budesonideformoterol, dan bentuk metered dose inhaler (MDI) yang berisi fluticasone-salmeterol.

Kombinasi

budesonide-formoterol

mempunyai onset yang lebih cepat dibandingkan dengan fluticason-salmeterol,

sedangkan

flutikasone-salmeterol

mempunyai harga yang lebih murah dan mengurangi perawatan di rumah sakit. Pada anak sangat dianjurkan menggunakan spacer (alat

antara)

apabila

menggunakan

MDI,

karena

dapat

meningkatkan deposit obat di paru, mengurangi koordinasi saat menyemprot dan menghirup, serta mengurangi efek samping kandidiasis mulut. Penggunaan DPI harus benar yaitu dengan menghisap secara cepat dan dalam, sehingga penggunaannya harus pada anak yang lebih besar (umumnya di atas 5 tahun). Penggunaan sodium kromoglikat, nodokromil, dan beta-2 agonis long-acting sebagai contoller (pengendali) telah banyak dilaporkan. Penggunaan obat beta-2 agonis long-acting biasanya digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid inhalasi sebagai pengendali. Saat ini

35

penggunaan kromoglikat dan nedokromil untuk tatalaksana jangka panjang tidak digunakan lagi, karena selain efek antiinflamasinya kurang kuat, juga tidak tersedianya obat tersebut.14 Selain pengobatan di atas, ada obat lain yang digunakan pada asma yaitu golongan antileukotrien seperti montelukas dan zafirlukas. Penggunaan obat antileukotrien jenis zafirlukas masih terbatas pada anak usia >6 tahun, sedangkan jenis montelukas sudah digunakan pada anak di atas 2 tahun. PNAA membuat pedoman tentang tatacara dan langkahlangkah untuk penggunaan obat controller. Setelah ditentukan klasifikasi asma sebagai asma episodic sering atau asma persisten, maka penggunaan controller sudah harus dijalankan. Pertama berikan kortikosteroid dosis rendah. Evaluasi gejala klinis sampai 6-8 minggu. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya stabil, maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap yang pada akhirnya dapat dihentikan tanpa kortikosteroid. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil yaitu masih sering terjadi serangan, maka harus menggunakan tahap kedua yaitu berupa kortikosteroid dosis rendah ditambahkan LABA, atau dengan penambahan TSR, atau dengan penambahan antileukotrien, atau dosis kortikosteroid dinaikkan menjadi double dose. Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan stabilitas asma. Apabila asma stabil dalam waktu 68 minggu, maka pengobatan dapat diturunkan secara bertahap sampai pada kortikosteroid dosis rendah yang pada akhirnya dapat tanpa obat-obat controller. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil, maka tatalaksana meningkat pada tahap ketiga yaitu meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium ditambah LABA, atau TSR, atau antileukotrien, atau ditingkatkan dosis kortikosteroidnya menjadi dosis tinggi. Apabila dengan dosis ini asmanya stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka diturunkan secara bertahap ke tahap dua, ke satu dan akhirnya

36

tanpa controller. Apabila dengan cara tersebut di atas asmanya belum stabil, maka penggunaan kortikosteroid secara oral boleh digunakan. Penggunaan kortikosteroid oral (sistemik) harus merupakan langkah terakhir tatalaksana asma pada anak. Selain penggunaan obat controller, usaha pencegahan terhadap faktor pencetus harus tetap dilakukan.14 Mengenai penggunaan obat antihistamin sebagai obat controller pada asma anak tidak dianjurkan karena mempunyai efek seperti atropin (atropine like effect) yang justru merugikan penderita. Antihistamin dapat diberikan pada tatalaksana asma jangka panjang apabila penderita menderita asma disertai rinitis alergika kronis. Tanpa penyakit penyerta rinitis alergika, PNAA tidak menganjurkan pemberian antihistamin pada tatalaksana jangka panjang. Penggunaan antihistamin generasi

terbaru

(misalnya setirizin dan ketotifen) sebagai pencegahan terhadap asma dapat diberikan pada anak yang mempunyai risiko asma yang kuat yaitu riwayat asma pada keluarga dan adanya dermatitis atopi pada penderita. Pemberian obat ini masih kontroversi, meskipun ada yang berpendapat akan mempunyai efek yang cukup baik bila digunakan selama 18 bulan.14 i. Prognosis16 Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan mengi tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan. Peningkatan IgE serum dan uji kulit yang positif khususnya terhadap tungau debu rumah pada bayi, dapat memperkirakan mengi persisten pada masa anak. Adanya dermatitis atopik merupakan prediktor terjadinya asma berat.

37

j. Komplikasi12 Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah: 1. Pneumothoraks Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas. 2. Pneumomediastinum Pneumomediastinum dari bahasa Yunani Pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada. 3. Aspergilosis Aspergilosis

merupakan

penyakit

pernapasan

yang

disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp. 4. Gagal napas Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam selsel tubuh 5. Bronkhitis Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang

38

kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu. Batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.12 k. Prevensi dan Intervensi Dini16 Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama semua dokter (anak) dalam menangani anak asma. Dewasa ini belum ada data yang cukup untuk dapat memperkirakan anak mana yang akan berlanjut asmanya atau akan menghilang. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI, penghindaran makanan berpotensi alergen, dengan atau tanpa pengurangan pajanan dengan tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah mengurangi alergi makanan dan khususnya dermatitis atopik pada bayi. Manfaatnya untuk prevalens asma jangka panjang masih dalam penelitian.2 Tindakan dini pada asma anak berdasarkan pendapat bahwa keterlambatan

pemberian

obat

pengendali

akan

berakibat

penyempitan jalan napas yang ireversibel.16

4) Tuberkulosis Paru a. Definisi19 Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. b. Epidemiologi20

39

Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negaranegara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi . Sekurangkurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak. Diperkirakan

banyak

anak

menderita

TB

tidak

mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak. Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

c. Faktor Resiko Faktor usia

Balita, Pubertas

40

Faktor obat

Steroid sistemik jangka panjang,

Sitostatika Faktor nutrisi

Gizi buruk

Faktor penyakit

Morbili, Varisela, HIV AIDS,

Malignansi d. Cara penularan19 

Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.



Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.



Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.



Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17% e. Patogenesis20 Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada

sebagian

kasus

lainnya,

tidak

seluruhnya

dapat

dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB

41

yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB

bervariasi

selama

2−12

minggu,

biasanya

berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat

42

diketahui

dengan

adanya

hipersensitivitas

terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi

43

dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

44

manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.

Bentuk

penyebaran

yang

jarang

terjadi

adalah

protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

f. Gejala

f.1. Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik. 2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain. 3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting(tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

45

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive). 5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. 6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

f.2. Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut: 1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens. 2. Tuberkulosis otak dan selaput otak: • Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena. • Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang. 3. Tuberkulosis sistem skeletal: • Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus). • Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah panggul. • Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas. • Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis). 4. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge). 5. Tuberkulosis mata: • Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis). • Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

46

6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

g. Diagnosis21 Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. g.1. Pemeriksaan penunjang21 Pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan denganmengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-PagiSewaktu (SPS): • S(sewaktu):Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

47

• P(Pagi):Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugasdi UPK. • S(sewaktu):Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. -

Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB.

-

Pemeriksaan

histopatologi

(PA/Patologi

Anatomi)

yang dapat

memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB. -

Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif ) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB.

-

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut: 

Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)



Konsolidasi segmental/lobar

48



Efusi pleura



Milier



Atelektasis



Kavitas



Kalsifikasi dengan infiltrat



Tuberkuloma

g.2. Cara Mendapatkan sampel pada Anak21

1. Berdahak. Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama

bagi

anak

yang

mampu

mengeluarkan

dahak.

Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun. 2. Bilas lambung. Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3. Induksi Sputum. Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan

pelatihan

dan

peralatan

yang

memadai

untuk

melaksanakan metode ini. g.3. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring21

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan 49

lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini

membantu

tenaga

kesehatan

agar

tidak

terlewat

dalam

mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut: • Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3. •

Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.



Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

50

Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB di fasyankes

Parameter

0

1

2

3

sk or

Kontak TB

Tidak

-

jelas

Laporan

BTA (+)

keluarga, BTA (-) / BTA tidak jelas/ tidak tahu

Uji

Negati -

tuberkulin

f

-

Positif

(≥10

mm atau ≥5 mm

(Mantoux)

pada imunokompro mais)

Berat Badan

/

keadaan

BB/TB<90

Klinis

% atau

gizi buruk

BB/U<80% atau

gizi

BB/TB<7 0% atau BB/U<60 %

Demam

-

≥2 minggu

-

51

yang tidak diketahui penyebabn ya Batuk

-

≥3 minggu

-

≥1

-

kronik Pembesara n

cm, -

kelenjar

lebih dari 1

limfe kolli,

KGB, tidak

aksila,

nyeri

inguinal Pembengka

-

Ada

kan tulang /

pembengka

sendi

kan

-

panggul, lutut,

dan

falang Foto toraks

Norm al

Gambaran

-

/ sugestif

kelain

(mendukun

an

g) TB

tidak jelas Skor total

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:

1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas 2. Gibbus, koksitis

52

3. Tanda bahaya: Kejang, kaku kuduk, penurunan kesadaran, egawatan lain, misalnya sesak napas

Catatan:

Parameter Sistem Skoring: 

Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.



Penentuan status gizi:

— -

Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).

— -

Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000 (lihat lampiran).

-

Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.



Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas



Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.

Penegakan Diagnosis 

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, 53

pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional. 

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)



Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak



Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut



Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.



Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak



Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB



Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.



Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah 54

perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

h. Klasifikasi dan definisi kasus TB anak

Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak: •

Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB Anak



Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah pasien TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.

• Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.

Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut: • Lokasi atau organ tubuh yang terkena: a.

Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b.

Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,

55

saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru. Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru • Riwayat pengobatan sebelumnya: a.

Baru Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaanbakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.

b.

Pengobatan ulang Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

• Berat dan ringannya penyakit a.

TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll

b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV. • Status HIVPemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan sebagai: a. HIV positif b. HIV negatif c. HIV tidak diketahui d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif.

56

Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan. • Resistensi ObatPengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. Tuberculosis terhadap OAT terdiri dari: a. Monoresistanceadalah M. tuberculosisyang resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama. b. Polydrug Resistanceadalah M. tuberculosisyang resistan terhadap bersamaan. c. Multi Drug Resistance (MDR)adalah M. tuberculosisyang resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya. d.

Extensive Drug Resistance (XDR)adalah MDR disertai dengan resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.

e. Rifampicin Resistanceadalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi

menggunakan

metode

pemeriksaan

yang

sesuai,

pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR. i. Penatalaksanaan21 Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder). Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

57

• Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi. • Pemberian gizi yang adekuat. • Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

i.1. Paduan OAT Anak21

Prinsip pengobatan TB anak: • OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler • Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan • Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap: O Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. O

Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.

• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lainlain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. • Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan

58

kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk terjadi perlekatan jaringan. • Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR • Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. • OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Tabel . Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya Nama Obat

Isoniazid (H)

Dosis harian

Dosis

(mg/kgBB/

maksimal

hari)

(mg /hari)

10 (7-15)

300

Efek samping

Hepatitis,

neuritis

perifer, hipersensitivitis

Rifampisin (R)

15 (10-20)

600

Gangguan gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

59

trombositopenia, peningkatan enzim

hati,

cairan

tubuh berwarna

oranye

kemerahan

Pirazinamid (Z)

35 (30-40)

-

Toksisitas

hepar,

artralgia, gangguan gastrointestinal

Etambutol (E)

20 (15–25)

-

Neuritis

optik,

ketajaman mata berkurang, buta warna merah

hijau,

hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin (S)

15 – 40

1000

Ototoksik, nefrotoksik

• Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan tabel tabel berikut ini:

jenis

Fase intensif

Fase lanjutan Prednison

lama

TB Ringan

2HRZ

4HR

6 bulan

-

60

Efusi pleura

2 mgg dosis

TB

penuh-

Skeletal TB

kemudian tappering off

TB

BTA 2HRZE

4HR

-

positif

TB

9-12 bulan

paru 2HRZ+E

dengan

7-10HR

atau S

4 mgg dosis penuh-

tanda-tanda

kemudian

kerusakan

tappering off

luas: TB milier TB + destroyed lung Meningitis TB

4 mgg dosis 10HR

penuh-

Peritonitis

kemudian

TB

tappering off

12 bulan

Perikarditis TB Skeletal TB 2 mgg dosis penuhkemudian tappering off

61

2 mgg dosis penuhkemudian tappering off -

i.2. Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Berat badan

2 bulan

4 bulan

(kg)

RHZ (75/50/150)

(RH (75/50)

5-7

1 tablet

1 tablet

8-11

2 tablet

2 tablet

12-16

3 tablet

3 tablet

17-22

4 tablet

4 tablet

23-30

5 tablet

5 tablet

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa Keterangan: R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid • Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan

62

• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat badan saat itu • Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran • OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus) • Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable). • Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan • Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

i.3. Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat

63

digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.

Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan

dahaknya

BTA

positif,

pemantauan

pengobatan

dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos. i.4. Efek Samping pengobatan TB Anak21

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan diberikan pada: • bayi yang mendapat ASI eksklusif, • pasien gizi buruk, • anak dengan HIV positif.

Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman Nasional Pengendalian TB. i.5. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur21

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.

64

• Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal. • Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai. Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB kebal obat.

i.6. Pengobatan ulang TB anak Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang. j. Pencegahan21

j.1. Vaksinasi BCG pada Anak

Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan

65

vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.

Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu : 1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan 2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.

Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG. Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.

j.2. Skrining dan Manajemen Kontak 21

Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak yang mengalami paparan dari pasien TB BTA positif, dan (2)

66

orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB.

Latar belakang perlunya Investigasi Kontak: 1. Konsep infeksi dan sakit pada TB. 2. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat berisiko infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24.4–69.2%. 3. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi, bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa minggu. 4.

Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi kemungkinan berkembangnya sakit TB.

Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah : 1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan kasus sakit TB. 2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB, yang berisiko untuk berkembang jadi sakit TB 3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak usia < 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur.

Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak ini dilaksanakan secara sentripetal dan sentrifugal.

67

j.3. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid21

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier)

sehingga

diperlukan

pemberian

kemoprofilaksis

untuk

mencegah terjadinya sakit TB.

Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:

umur

HIV

Hasil pemeriksaan

Tatalaksana

Balita

(+)/(-)

Infeksi laten TB

INH profilaksis

Balita

(+)/(-)

Kontak

(+),

Uji INH profilaksis

tuberkulin (-) >5 th

(+)

Infeksi laten TB

INH profilaksis

>5 th

(+)

Sehat

INH profilaksis

>5 th

(-)

Infeksi laten TB

Observasi

>5 th

(-)

Sehat

Observasi

Keterangan: • Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan. • Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal

68

• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan. • Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

i) Bagaimana pencegahan dari penyakit respirasi pada anak ? a) Pneumonia24 Pengendalian dan pencegahan pneumonia anak-balita adalah Pneumonia bukan merupakan penyakit tunggal tersendiri namun sindrom penyakit yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Banyak

penyakit

menyerupai

respiratorik

pneumonia.

Oleh

mempunyai

gambaran

karena

tidak

itu

klinis mudah

memformulasikan kriteria klinik pneumonia yang akurat tanpa kelemahan terutama untuk tenaga kesehatan di tingkat komunitas. Pencegahan pencegahan

pneumonia

merupakan

anak-balita

komponen

strategis

adalah

Upaya

pemberantasan

pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakan strategi pencegahan spesifik.

Pencegahan

non-imunisasi

merupakan

pencegahan

nonspesifik misalnya mengatasi berbagai faktor-risiko

seperti

polusi udara dalam-ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan dan lain-lain. 

Imunisasi Dalam sejarah kedokteran imunisasi merupakan successstory program kesehatan masyarakat yang paling menarik. Contoh yang sangat mengesankan adalah penyakit cacar yang saat ini sudah dapat di eradikasi sebagai akibat signifikan keberhasilan program imunisasi. Diharapkan 69

menyusul adalah polio yang mudah-mudahan dalam waktu dekat akan dapat dieradikasi pula. Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan campak adalah imunisasi DPT dan campak dengan angka cakupan yang menggembirakan; DPT berkisar 89,6 %-94,6 % dan campak 87,8 %-93,5 %. Dari

beberapa

diperkirakanvaksin

studi

vaksin

pneumokokus

(vaccine

probe)

konjungat

dapat

mencegah penyakit dan kematian 20-35% kasus pneumonia pneumokokus dan vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian 15-30% kasus pneumonia Hib. Pada saat ini di banyak negara berkembang direkomendasikan vaksin Hib untuk di integrasikan ke dalamprogram imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus konjugat direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan. Mempercepat penemuan vaksin baru berdasarkan serotype molekuler (molecular serotypes) bakteri penyebab pneumonia dan pengembangan vaksin lain seperti RSV patut mendapat dukungan. Namun di samping motif kepentingan keilmuan (science) agaknya terdapat motif kepentingan

bisnis

(commerce)

dibalik

minat

dan

ketertarikan yang kuat dalam pengembangan vaksin ini. Negara berkembang merupakan pasar vaksin yang luarbiasa besarnya dan perusahaan yang berkepentingan tentu sangat berminat akan hal ini (Vashishtha VM 2009). Penggunaan vaksin baru dimasa datang seyogyanya berdasarkan kajian tentang ketersediaan (availability), keterjangkauan secara financial (affordability) dan bila mungkin berdasarkan „bukti profil epidemiologik negara bersangkutan‟. Keterjangkauan harga vaksin di samping ketersediaan dan peningkatan kapasitas rantai-dingin (cold

70

chain)

adalah

faktor

yang

menentukan

berhasilnya

penerapan program imunisasi di Negara berkembang. Kekurangan

yang

mungkin

masih

ditemukan

sehubungan dengan imunisasi sebagai pencegahan spesifik terutama di beberapa negara berkembang adalah sbb: cakupan imunisasi campak dan DPT/pertusis mungkin belum

memuaskan,

imunisasi

Hib

belum

termasuk

imunisasi wajib, imunisasi pneumokokus tidak efektif karena serotipe tidak sesuai, dan imunisasi terhadap patogen lain (RSV, stafilokokus, Gram negatif) belum tersedia.



Non-imunisasi Di samping imunisasi sebagai pencegahan spesifik pencegahan non-imunisasi sebagai upaya pencegahan nonspesifik merupakan komponen yang masih sangat strategis. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya pendidikan

kesehatan

kepada

berbagai

komponen

masyarakat, terutama pada ibu anak-balita tentang besarnya masalah pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola maka nan sehat; penurunan faktor risiko-lain seperti mencegah berat-badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah polusi udara dalam-ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah dan pencegahan serta tatalaksana infeksi HIV. b) Rhinopharyngitis24

71

Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu : 1. Istirahat cukup 2. Minum air putih yang cukup 3. Berkumur dengan air yang hangat 4. Pemberian farmakoterapi : a. Topikal Obat kumur antiseptic untuk Menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000-400.000 2 kali/hari. Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%. b. Oral sistemik Anti

virus

metisoprinol

(isoprenosine)

diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak kurang dari lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari. Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah menunjukkan

perbaikan

klinis

karena

dapat

menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat

72

diberikan berupa deksametason 3x0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari. Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ketiga, Ceftriakson 2 gr IV/IM single dose. Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati. Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi. Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik sekali sehari selama 3-5 hari. Konseling dan Edukasi : 1. Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur. 2. Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan yang dapat mengiritasi tenggorok. 3. Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga kebersihan mulut. 4. Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). c) Asma23 Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama semua dokter (anak) dalam menangani anak asma. Dewasa ini belum ada data yang cukup untuk dapat memperkirakan anak mana yang akan berlanjut asmanya atau akan menghilang. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI, penghindaran makanan berpotensi alergen, dengan atau tanpa pengurangan pajanan dengan tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah mengurangi alergi

73

makanan dan khususnya dermatitis atopik pada bayi. Manfaatnya untuk prevalensi asma jangka panjang masih dalam penelitian. Tindakan dini pada asma anak berdasarkan pendapat bahwa keterlambatan

pemberian

obat

pengendali

akan

berakibat

penyempitan jalan napas yang ireversibel. Namun dari bukti yang ada risiko tersebut tidak terjadi pada asma episodik ringan. Karena itu pemberian steroid hirupan sejak awal untuk asma episodik jarang tidak dianjurkan.

1. Faktor alergi dan lingkungan Telah banyak bukti bahwa alergi merupakan salah satu faktor penting berkembangnya asma. Paling tidak 7590% asma anak balita terbukti mengidap alergi, baik di negara berkembang maupun negara maju. Atopi merupakan faktor risiko yang nyata untuk menetapnya hiperreaktivitas bronkus dan gejala asma. Derajat asma yang lebih berat dapat diperkirakan dengan adanya dermatitis atopik. Terdapat hubungan antara pajanan alergen dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan peningkatan gejala asma pada anak. Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk setiap anak dengan gejala mengi. Penghindaran terhadap asap rokok merupakan rekomendasi penting. Keluarga dengan anak asma dianjurkan tidak memelihara binatang, khususnya kucing dan anjing. Perbaikan ventilasi ruangan, dan penghindaran kelembaban kamar perlu untuk anak yang sensitive terhadap debu rumah dan tungaunya. Perlu ditekankan bahwa anak asma seringkali menderita rinitis alergika dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan diagnosis kedua

74

kelainan itu yang diikuti dengan terapi yang adekuat akan memperbaiki gejala asmanya. 2. Pendidikan dan kemitraan dalam penanggulangan asma Kurangnya tatalaksananya

pengetahuan berhubungan

tentang dengan

asma

dan

peningkatan

morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Hal ini bukan saja terjadi pada pasien dan keluarganya, tapi juga pada tenaga kesehatan, bahkan pada dokternya. Banyak dokter tidak mengikuti perkembangan dan perubahan konsep tentang asma dan tatalaksananya. Lebih jauh lagi mereka tidak mempunyai ketrampilan praktis penggunaan alat-alat inhalasi, sehingga bahkan ada yang

sampai melarang

pasien yang sudah menggunakannya. Di banyak tempat di dunia asma anak masih banyak yang underdiagnosed dan undertreatment. Dengan demikian pendidikan asma sangat perlu dilakukan pada tenaga kesehatan di satu pihak, dan pasien dengan keluarganya serta gurusekolah di lain pihak. Selain kemitraan keluarga dan gurunya, keterlibatan unsur lain juga penting. Media masa dapat berperan konstruktif dalam menyebarkan informasi tentang asma kepada masyarakat luas. d) Tuberkulosis pada anak22 1. Vaksinasi BCG pada Anak Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis.

Pemberian

vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu

75

pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan. Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu : I.

Bayi terlahir dari ibu

pasien TB BTA

positif. Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan II.

Bayi

terlahir

dari

ibu

pasien

infeksi

HIV/AIDS. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak. Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG. Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis

supuratif

dan

pembentukan

keloid

lokal.

Kebanyakan reaksi akan sembuh selama beberapa bulan.

76

Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan. 2. Skrining dan Manajemen Kontak. Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu I.

anak yang mengalami paparan dari pasien TB BTA positif, dan

II.

orang

dewasa

yang

menjadi

sumber

penularan bagi anak yang didiagnosis TB. Latar belakang perlunya Investigasi Kontak: 1) Konsep infeksi dan sakit pada TB. 2) Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat berisiko infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24.4–69.2%. 3) Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi, bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa minggu. 4) Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi kemungkinan berkembangnya sakit TB. Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah : 1) Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan kasus sakit TB.

77

2) Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang

asimtomatik

TB,

yang

berisiko

untuk

berkembang jadi sakit TB 3) Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak usia < 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur. Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak ini dilaksanakan secara sentripetal dan sentrifugal. Istilah yang digunakan pada skrining dan manajemen kontak 1. Kasus Indeks

Kasus yang diidentifikasi sebagai kasus TB baru atau berulang; dapat berupa sumber kasus dewasa, atau anak sakit TB.

2. Sumber Kasus

Kasus TB (biasanya BTA sputum positif) yang menyebabkan infeksi atau sakit pada kontak.

3. Investigasi Kontak

Proses sistematis yang diitujukan untuk mengidentifikasi

kasus

TB

yang belum

terdiagnosis pada sekelompok orang yang kontak dengan kasus indeks. 4. Kontak erat

Hidup dan tinggal bersama dalam satu tempat tinggal dengan sumber kasus (contoh ayah, ibu, pengasuh, dll) atau mengalami kontak yang sering dengan sumber kasus (contoh sopir, guru, dll).

5. Kontak serumah

Seseorang yang saat ini tinggal bersama atau pernah tinggal bersama di satu tempat tinggal

78

selama

satu

malam

atau

lebih

ATAU

sering/beberapa hari, bersama-sama dengan kasus

indeks

selama

3

bulan

sebelum

diagnosis atau mulai terapi TB. 6. Terapi preventif

Pengobatan yang diberikan kepada kontak yang diidentifikasi infeksi TB. Yang memiliki risiko

berkembangnya

sakit

TB

setelah

terpapar dengan sumber kasus TB BTA positif, bertujuan untuk mengurangi kejadian sakit TB.

Langkah Pelaksanaan Skrining Kontak adalah  Jika Kasus Indeks adalah dewasa BTA positif 

Tentukan berapa jumlah anak yang kontak dengan kasus indeks, sesuai dengan definisi di atas



Setiap anak yang sudah diidentifikasi, harus dilakukan evaluasi tentang ada atau tidaknya infeksi dan gejala TB (lihat bab diagnosis)



Jika terdapat

gejala sugestif TB, harus

dievaluasi untuk kemungkinan sakit TB (lihat bab diagnosis) 

Catat semua anak yang teridentifikasi sebagai kontak TB pada register TB 01

79

Gejala utama TB a. BB turun atau sulit naik b. Demam menetap > 2 minggu dan atau keringat malam c. Batuk menetap = 3 minggu, non remitting d. Nafsu makan tidak ada disertai gagal tumbuh e. Fatique, kurang bermain, kurang aktifDiare f. menetap> 2 minggu 

Kontak dengan gejala sugestif TB harus dievaluasi menggunakan sistem skoring.



Jika tidak ada gejala sugestif TB, maka anak dapat

dipertimbangkan

untuk

mendapatkan

pengobatan preventif dengan Isoniazid selama 6 bulan apabila anak berumur < 5 tahun.  Jika kasus indeks adalah anak dengan sakit TB 

Tentukan sumber kasus dengan melakukan identifikasi terhadap

orang dewasa yang

pernah kontak erat dan atau kontak serumah (sesuai definisi di atas) dalam 3 bulan terakhir. 

Jika dapat diidentifikasi, evaluasi apakah tersangka sumber kasus TB dewasa tersebut sudah didiagnosis atau telah mendapat terapi TB.



Jika belum, pastikan sumber kasus mendapat manajemen yang layak sesuai pedoman kasus TB dewasa



Identifikasi juga anak lain yang mungkin sudah terpapar dari tersangka sumber kasus 80

tersebut dan evaluasi sesuai langkahlangkah di atas. 3. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut: Umur

HIV

Hasil pemeriksaan

Balita

(+)/(-)

Infeksi laten TB

Balita

(+)/(-)

Kontak

(+),

Tata laksana INH profilaksis

Uji INH profilaksis

tuberkulin (-) > 5 th

(+)

Infeksi laten TB

INH profilaksis

> 5 th

(+)

Sehat

INH profilaksis

> 5 th

(-)

Infeksi Laten TB

Observasi

> 5 th

(-)

Sehat

Observasi

Keterangan : 

Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.



Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, 81

pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal 

Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.



Bila

anak

tersebut

belum

pernah

mendapat

imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.21

82

DAFTAR PUSTAKA 1. Diktat Histologi. FK UNHAS 2. Setiati, Siti. Alwi, Idrus. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 & 2. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing 3. Yoga Aditama T. Patofisiologi Batuk. Jakarta : Bagian Pulmonologi FK UI, Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta. 4. Price, S., et al. 2015. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6. Jakarta: EGC. 5. Rab, Tabrani. 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media. 6. Radji, Maksum. 2013. Buku Ajar Mikrobiologi. Jakarta : EGC. 7. Jawetz, Ernest, Joseph Melnick, dan Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. 8. Setiati, Siti. 2015.

Edward

Adelberg.

2007.

Anamnesis & Pemeriksaan Fisik Komprehensif.

Jakarta: Interna Publishing 9. Wibisono, M. Jusuf. Winariani. Slamet Hariadi. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK-UNAIR 10. Setiati, Siti. Alwi, Idrus. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing 11. Soepandi, Efiaty A. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FK UI 12. Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial Vol. 58 No. 11. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo 13. You Can Control Your Asthma. InfoDATIN. Depkes.go.id. diakses 11 April 2017 14. Supriyatno, Bambang. 2005. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini pada Anak Vol. 55 No. 3. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universita Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo

83

15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma Bronkial di Indonesia. Jakarta: Indonesia 16. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2000. Konsensus Nasional Asma Anak Vol. 2 No. 1. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universita Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo 17. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Asma: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia 18. Continuing Profesional Development Dokter Indonesia. 2007. Tata Laksana Bronkiolitis 19. Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak.2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 20. Werdhani, Retno Asti. Jurnal patofisiologi, diagnosis dan klasifikasi tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI. 21. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)2009 22. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2013. Jakarta:Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 23. Buletin jendela epidemiologi pneumonia balita.2010. Jakarta : Kementrian kesehatan Republik Indonesi 24. Konsensus Nasional Asma Anak.Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66

84

Related Documents


More Documents from "Mahsun Fauzi"