LAPORAN TUTORIAL MODUL 1: BATUK & SESAK PADA DEWASA SISTEM RESPIRASI
DISUSUN OLEH: KELOMPOK 3 1. NUR FAZRIANI MIRSYAH 2. FILOMENA PAULA G. D. 3. IIS AINU RAHMA 4. ANGGRY SUCIALANTIKA 5. ANISA ADAM 6. ASCARINA RAHYUNI 7. ASRI NURUL AFIFAH 8. NANI INDRAYANI 9. NERIL NAZIA 10. NINIS ILMI OCTASARI 11. NURZULIFA 12. PRABOWO SAPUTRA YUWANA 13. PRICELLA MUTIARI H. S.
(K1A1 12 025) (K1A1 13 083) (K1A1 15 055) (K1A1 15 056) (K1A1 15 057) (K1A1 15 059) (K1A1 15 060) (K1A1 15 093) (K1A1 15 094) (K1A1 15 095) (K1A1 15 104) (K1A1 15 105) (K1A1 15 106)
TUTOR: dr. WILLIAM TANYAWAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
1. Kasus Skenario I Seorang laki-laki 25 tahun, mahasiswa kedokteran, datang ke dokter pembimbingnya untuk menyampaikan kalau ia tidak dapat mengikuti kegiatan di RS karena sakit sekaligus untuk konsultasi tentang penyakitnya. Ia mengeluh batuk berdahak yang hebat warna mukoid, kadang kuning dan disertai demam yang hilang timbul, yang dialaminya sejak 2 minggu lalu. Selain itu ia juga mengeluh sakit kepala, myalga, anoreksia dan kadang-kadang diare. Suhunya mencapai 38,5C, denyut nadi 100x/mnt, tensi 115/70 mmHg, dan pernapasannya 20x/mnt. Sebelumnya ia juga pernah menderita batuk dan beringus tapi sudah agak baikan setelah minum obat antitusif dan antibiotik. Ini dialaminya 1 bulan sebelum sakit yang sekarang dideritanya.
2. Kata Sulit a. Obat Antitusif: Obat yang berfungsi menekan refleks batuk. b. Myalgia: Nyeri otot. c. Mucoid: Mengandung atau menyerupai mucus. d. Anorexia: Kekurangan atau kehilangan nafsu makan. 3. Kata Kunci a. Laki-laki 25 tahun b. Batuk berdahak hebat warna mukoid c. Cephalgia, myalgia, anorexia, kadang diare d. Demam intermitten sejak 2 minggu e. Suhu: 38,5C, nadi: 100x/mnt, BP: 115/70 mmHg, RR: 20x/mnt f. Riwayat batuk dan beringus 1 bulan lalu g. Riwayat minum obat antitusif dan antibiotik 4. Pertanyaan 1) Jelaskan anatomi, histologi dan fisiologi organ terkait ! 2) Penyakit apa saja yag memberi gejala batuk ? 3) Sebutkan etiologi dari batuk ! 4) Jelaskan patomekanisme dari batuk ! 5) Jelaskan hubungan dari masing-masing gejala ! 6) Jelaskan langkah-langkah diagnosis ! 7) Jelaskan diagnosis diferensial dari kasus !
2
5. Jawaban 1) Jelaskan anatomi, histologi dan fisiologi organ terkait ! a. Anatomi a) Pulmo1
*Atlas Netter : Topografi ParuTampak Anterior dan Posterior
Pulmo adalah parenkim yang berada bersama-sama dengan bronchus dan percabangan –percabangannya. Di bungkus oleh pleura, mengikuti gerakan dinding thorax pada waktu inspirasi dan expirasi. Bentuk ya di pengaruhi oleh organ-organ yang berada disekitarnya. Bentuk conus dengan bagian-bagiannya, sebagai berikut : apex, basis, facies costalis, facies mediastinalis, margo anterior, margo inferior an margo pulmonalis.
3
b) Pembagian Segmen Pulmo2
* Atlas Sobotta : Segmenta Bronchopulmonalia
Segmen bronchopulmonalis terbentuk sesuai dengan percabangan bronchus yang terletak pada lobus pulmonalis. Lobus superior dextra terbagi menjadi : o segmen apical, o segmen posterior o segmen anterior Lobus medius dexter terbagi menjadi : o segmen lateral o segmen medial
4
Lobus inferior dexter terbagi menjadi : o segmen apical o segmen mediobasali o segmen anterobasalis o segmen laterobasalis o segmen posterobasalis Lobus superior sinister dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) bagian superior dan (2) bagian inferior. Bagian superior dibentuk oleh : o segmen apicoposterior o segmen anterio Bagian inferior dibentuk oleh : o segmen lingualis superior o segmen lingualis inferior Lobus inferior sinister terbagi menjadi : o segmen apical o segmen anteromediobasalis o segmen laterobasalis segmen posterobasalis
5
c) Vaskularisasi1
*Atlas Netter : Vaskularisasi Pulmo
Ramus dexter dan ramus sinister arteri pulmonalis adalah percabgan dari arteri pulmonalis yang membawa darah untuk
pulmo
dexter dan pulmo sinister. Selanjutnya bercabang-cabang mengikuti percangan bronchus dan kapiler-kapirnya mencapai alveolus. Biasanya pulmo dexter menerima sebuah cabang dari arteria bronchialis, dan pulmo sinister menerima dua buah cabang dari arteria bronchialis. Arteri ini dipercabangkan dari dinding ventral aorta thoracalis bagian proximal. b) Innervasi1 Serabut-serabut syaraf simpatis dan nervus vagus membentuk plexus pulmonalis anterior dan plexus pulmonalis posterior.
6
c) Lymphonodus1 Terdiri dari gugusan (plexus) superfisialis dari profundus, yang superficial terletak subpleura, dan yang profundu mengikuti percabangan dari bronchus. Pembuluh-pembuluh limfe dari gugus superficialis tidak mempunyai
hubungan
dengan
yang
profunda,
kecuali
didaerah
pulmonalis.1 Pembuluh limfe pada pleura terdiri atas dua kelompok (1) yang ada pada pleura visceralis dan (2) yang berada pada pleura parietalis. Yang berasal dari kelompok visceralis mengalir menuju ke gugusan superficialis dari pulmo. Yang berasal dari kelompok parientalis menuju ke nn,sternalis, nn. Diaphragmatic, dan nn. Mediastinale posterior.1
a) Pleura Pleura adalah suatu membrane serosa yang membungkus pulmo, mempunyai asal yang sama dengan peritoneum. Terdiri atas pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara kedua lapisan pleura tersebut tersebut suatu rongga (celah) tertutup disebut cavum pleura, yang memungkinkan pulmo bebas bergerak pada waktu respirasi.1 Didalam celah tersebut terdapat sedikit cairan serous yang membuat permukaan pleura parietalis dan pleura visceralis menjadi licin sehingga mencegah terjadinya gesekan. Pleura parietalis melapisi fasies inferior cavities thoracis dan pleura visceralis langsung melekat pada pulmo.1
b) Vasculaisasi Diperoleh dari cabang-cabang arteria intercostalis, arteria mammaria interna, arteria musculophrenica dan arteria bronchialis.1
c) Innervasi Dilakukan oleh N. pherinicus, N. intercostalis, N. vagus dan truncus sympatichcus.1
7
b. Histologi Sistem Respirasi
Udara yang masuk ke paru-paru mula-mula melewati bagian atap atau superior rongga hidung. Di atap hidung terdapat epitel khusus yaitu epitel olfaktorius yang mendeteksi dan meneruskan bau-bauan. Pada epitel ini terdapat tiga jenis sel : sel penyokong atau sustentakuler, sel basal, dan sel olfaktorius. Di bawah epitel di jaringan ikat terdapat kelenjar olfaktorius serosa.4 a) Bagian konduksi sistem pernafasan4 Pada bagian konduksi sistem pernafasan terdiri atas rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus terminalis. Agar saluran nafas besar selalu terbuka maka, saluran ini di tunjang tulang rawan hialin (cartilago hyalin). Trakea sendiri dilingkari oleh cartilago hyalin berbentuk C yang tidak utuh. Serat elastik dan otot polos yang disebut otot trakealis yang menghubungkan ruang diantara ujung-ujung tulang rawan. Pada trakea terdapat berbagai jenis sel yaitu sel torak bersilia, sel goblet (produksi mukus), sel basal (aktif berdifferensiasi), sel sikat/brush cell, dan sel bergranula kecil. Kemudian bercabang 2 menjadi bronkus yang masuk ke dalam paru-paru maka cincin tulang rawan hialin diganti oleh lempeng tulang rawang hialin tidak beraturan yang mengelilingi bronkus. Sewaktu bronkus terus bercabang dan berkurang ukurannya jumlah dan ukuran lempengan ini ikut berkurang. Seperti halnya pada bagian akhir konduksi bronkiolus terminalis. Bronkiolus yang lebih besar dilapisi oleh epitel bertingkat semu bersilia, sering berkurangnya ukuran epitel ini menjadi epitel selapis bersilia. Sedangkan bronkiolus yang lebih kecil hanya
8
dilapisi oleh epitel selapis kuboid. pada bronkiolus terminalis juga terdapat sel clara (sekresi surfaktan) sebagai pengganti dari sel goblet. b) Bagian respiratorik sistem pernafasan4 Tempat ini dimulai pada tempat berlangsungnya pertukaran gas yang dimulai oleh bronkiolus respiratorius yang ditandai dengan adanya kantong-kantong udara berdinding tipis yaitu alveoli. Respirasi hanya dapat berlangsung pada alveoli, selain itu struktur intrapulmonal lainnya tempat berlangsungnya respirasi adalah duktus alveolaris, dan saccus alveolaris. Selain itu juga terdapat sel-sel dalam alveolus. Sel yang paling banyak adalah sel alveolus gepeng atau penumosit tipe 1, diantaranya terselip sel-sel pneumocyte 2. Makrofag juga ditemukan di dinding alveoli yang disebut macrophagocytus alveolaris, sedangkan pada alveoli disebut sel debu. c. Fisiologi Proses fisiologis respirasi di mana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi. Terdapat dua proses respirasi dalam tubuh yaitu respirasi eksternal dan respirasi internal. Respirasi eksternal, yaitu pertukaran gas antara O2 dan CO2 antara atmosfer dan sel tubuh. Respirasi internal, yaitu pertukaran O2 dan CO2 antara paru ke sel tubuh (mitokondria) untuk metabolisme tubuh.5 Pertukaran gas memerlukan empat tahap5: a) Ventilasi Ventilasi adalah proses dimana udara masuk ke lingkungan pernafasan (paru) dan menghembuskan keluar. Ventilasi terdiri dari inspirasi dan ekspirasi. 9
b) Difusi Difusi adalah O2 yang ada di dalam paru masuk ke dalam pembuluh darah kapiler yang ada disekitar paru, dan CO2 yang ada dalam kapiler paru dimasukkan kedalam paru. c) Transportasi gas (perfusi) Transportasi gas adalah O2 yang ada di pembuluh darah paruparu dibawah ke pembuluh darah sehingga O2 dapat sampai ke sel, dan sebaliknya. d) Regulasi Pengaturan yang diperankan oleh sistem saraf dan sistem hormon. Terdapat tiga jenis pusat kontrol yaitu: a. Pusat kontrol pernafasan
Batang otak (pons/medulla oblongata) berfungsi sebagai pernafasan spontan.
Pons yang terdiri atas dua, yaitu: apneustic central (stimulasi neuron inspirasi di medulla oblongata) dan pneumotaxic center (mekanisme penghambatan inspirasi).
Korteks yang berfungsi sebagai pengatur pernapasan volunter misalnya ketika menyanyi dan berbicara.
yang
b. Efektor pernafasan
N. Phrenicus yang menginnervasi diaphragma
N. Intercostalis yang menginnervasi m. intercostalis dan m. abdominalis
N. Asesorius yang sternokleidomastoideus
N. Cervicalis inferior yang menginnervasi m. skaleneus.
menginnervasi
m.
c. Sensor pernapasan
Kemoreseptor sentral pada permukaan ventral medulla oblongata merespon dengan cepat setiap peningkatan konsentrasi CO2 atau peningkatan konsentrasi ion H+ dengan meningkatkan ventilasi. 10
Kemoreseptor perifer pada bifurcatio arteri karotis dan sepanjang arkus aorta diaktifkan oleh hipoksia, CO2 dan H+.
2) Penyakit apa saja yang memberi gejala batuk ? Penyakit-penyakit yang dapat memberikan gejala batuk6, yaitu: Batuk Akut Trakaeitis, virus ataupun bakterial Bronkitis, virus ataupun bakterial Bronkiolitis, virus ataupun bakterial Pneumonia, virus ataupun bakterial Asma Edema paru Emboli paru Batuk rejan (whooping cough) Benda asing Permulaan batuk kronik
Batuk Kronik Bronchitis kronik Asma Karsinoma Tuberculosis paru Penyakit intersitium Bronkoektasis Benda asing Tumor jinak Batuk rejan (whooping cough) Lesi medisatinum
3) Sebutkan etiologi dari batuk ! Etiologi dari batuk7, antara lain: Batuk Kronik
Batuk Akut atau Subakut
Asma Bronkoektasis Bronkitis kronik Rhinitis alergi Rhinitis non-alergi Rhinosinusitis kronik Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Neoplasma paru Obat-obatan (ACE-I) Psikogenik
Infeksi saluran napas atas (viral) Sinusitis akut Eksaserbasi asma Eksaserbasi PPOK Pertussis
11
4) Jelaskan patomekanisme dari batuk ! Berikut adalah patomekanisme dari batuk8: Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiridari reseptor batuk, saraf aferen, pusat batuk, saraf
eferen,dan efektor. Refleks
batuk tidak akan sempurna apabila salah
satu unsurnya tidak
terpenuhi. Adanya rangsangan pada reseptor batuk akan dibawa oleh saraf aferen ke pusat batuk yaitu medula untuk diteruskan ke efektor melalui saraf eferen. Reseptor batuk terdapat pada farings, larings, trakea, bronkus, hidung (sinus paranasal), telinga, lambung, dan perikardium sedangkan efektor batuk dapat berupa otot farings, larings, diafragma, interkostal, dan lain-lain.
Proses batuk terjadi didahului inspirasi maksimal, penutupan glotis, peningkatan tekanan intra toraks lalu glotis terbuka dan dibatukkan secara eksplosif untuk mengeluarkan benda asing yang ada pada saluran respiratorik. Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya sehingga terjadi peningkatan tekanan intratorakal. Selanjutnya terjadi penutupan glotis yang bertujuan mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal besar. Pada fase ini terjadi kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan intratorakal tinggi tekanan intraabdomen
pun
tinggi.
Setelah
tekanan
intratorakal
dan
intraabdomen meningkat maka glotis akan terbuka yang menyebabkan terjadinya ekspirasi yang cepat, singkat, dan kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-bahan yang tidak diperlukan seperti mukus dan lain-lain. Setelah fase tersebut maka otot respiratorik akan relaksasi yang dapat berlangsung singkat atau lama tergantung dari jenis batuknya. Apabila diperlukan batuk kembali maka fase relaksasi berlangsung singkat untuk persiapan batuk.
12
5) Jelaskan hubungan dari masing-masing gejala ! a. Sakit Kepala9 Penyakit paru dapat menimbulkan banyak kelainan patologis dalam tubuh, salah satunya hipoksia. Mekanisme terjadinya hipoksia pada penyakit paru adalah : (1) hipovenntilasi karena peningkatan tahanan saluran napas atau penurunan komplians paru; (2) kelainan rasio ventilasi-perfusi alveolus dan; (3) berkurangnya difusi membran pernapasan. Hipoksia sendiri mempunyai beberapa mekanisme untuk menimbulkan gejala sakit kepala diantaranya : 1. Iskemia Sel Otak Sel otak membutuhkan banyak oksigen dalam menunjang kerjanya. Saat terjadi kekurangan oksigen di dalam tubuh, maka jaringan otak akan mengalami iskemia. Iskemia inilah yang akan memicu sakit kepala. 2. Vasodilatasi Arteriol Otak Kurangnya
jumlah
oksigen
di
dalam
otak
akan
menyebabkan beberapa kompensasi. Salah satunya adalah dilatasi arteriol-arteriol sehingga aliran darah di kapiler bisa kembali ke jumlah normal. Namun, adanya vasodilatasi ini bisa menyentuh pusat nyeri di otak dan menyebabkan sakit kepala. b. Myalgia9 Keadaan hipoksia pada otot akan menyebabkan otot tidak bisa menghasilkan energi (ATP) secara aerob, melainkan anaerob. Di otot, reaksi anaerob berupa : Glukosa 2 asam piruvat (2 ATP + 2 NADH) 2 asam laktat
13
Ketika reaksi anaerob ini berlangusng secara terus-menerus, maka jumlah asam laktat dalam otot pun akan meningkat. Keadaan ini menyebabkan myalgia. c. Anoreksia10 Anoreksia merupakan gangguan pada pusat fisiologis yang mengatur masukan makanan yang dikontrol oleh hipotalamus. Anoreksia terjadi karena adanya gangguan proses transduksi. Data sekarang
menunjukkan
bahwa
anoreksia
dimediasi
oleh
ketidakmampuan hipotalamus untuk menerima respon dari sinyal perifer yang mengindikasikan kekurangan energi. Sitokin termasuk IL-1 dan TNF – α memediasi terjadinya resistensi hipotalamus dengan adanya hiperaktivasi neuron anorexigenic dan menekan saraf yang berfungsi untuk mengatur makan.
Anoreksia juga dapat disebabkan oleh menurunnya kadar O2 yang kemudian akan diteruskan ke nervus vagus untuk menyampaikan refleks ke vasovageal. Kemudian akan diteruskan ke medula oblongata dan ke eferen thalamus bagian medial sebagai pusat kenyang rangsang. d. Demam11 Demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau peradangan,sebagai respon terhadap masuknya mikroba, sel-sel fagosit tertentu(makrofag) mengeluarkan suatu bahan kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat, hipotalamus mendeteksi bahwa suhu normal prademam terlalu dingin sehingga bagian otak ini memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu. Secara spesifik, hipotalamus memicu menggigil agar produksi
14
panas meningkat, dan mendorong vasokontriksi kulit untuk segera mengurangi pengeluaran panas, kedua tindakan ini mendorong suhu naik. Meskipun makna fisiologis demam belum jelas, banyak pakar kedokteran percaya bahwa peningkatan suhu tubuh bermanfaat dalam mengatasi infeksi. Demam memperkuat respons peradangan dan mungkin menghambat perkembangan bakteri. Selama terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan titik patokan
hipotalamus
dengan
memicu
pelepasan
lokal
prostaglandin, yaitu mediator kimiawi lokal yang bekerja langsung pada hipotalamus. e. Batuk12 Refleks
batuk
mengeluarkan
benda
asing
dan
mikroorganisme, serta mengeluarkan mukus yang terakumulasi. Terdapat lapisan mukosiliaris yang terdiri dari sel-sel yang berlokasi dari bronkus keatas dan memproduksi mukus,serta sel-sel silia yang melapisi sel-sel penghasil mukus. Sel penghasil mukus menangkap partikel asing, dan silia bergerak secara ritmis untuk mendorong mukus dan semua partikel yang terperangkap, ke atas cabang pernapasan ke nasofaring tempat mukus tersebut dapat dikeluarkan sebagai sputum, dikeluarkan melalui hidung, atau ditelan. Proses kompleks ini kadang-kadang disebut sebagai sistem eskalator mukosiliaris. f. Diare13 Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, 15
tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear. Pada
diare
non
inflamasi,
diare
disebabkan
oleh
enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium. Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik. Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi. Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan
waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal
16
ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes mellitus. Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus. 6) Jelaskan langkah-langkah diagnosis ! Langkah – langkah yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis14 adalah: a. Anamnesis : - Menanyakan identitas pasien - Menanyakan keluhan utama : onset dan lamanya, sifatnya, keluhan lain yang menyertai, sudah pernah berobat atau belum - Riwayat penyakit masa lalu (Apakah pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya?; Tanyakan penyakit lain yang pernah diderita) - Mengenal riwayat psikososial : Tanyakan kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan/berpengaruh dengan keluhan sekarang. Misalnya riwayat merokok, riwayat pekerjaan, alergi akan binatang peliharaan dll. - Riwayat penyakit keluarga. b. Pemeriksaan Fisik PEMERIKSAAN FISIS TORAKS DEPAN (DADA)
17
INSPEKSI Inspeksi dalam keadaan statis 1.
Perhatikan muka (edema), mata (konjungtiva anemis atau tidak), dan bibir (sianosis atau tidak)
2.
Perhatikan posisi trakea : normal, deviasi kiri atau kanan
3.
Perhatikan bentuk dada (adakah kelainan bentuk atau ukuran toraks)
4.
Perhatikan posisi dari iga-iga (mendatar atau tidak)
5.
Bandingkan ruang sela iga (intercostal space) kiri dan kanan
6.
Perhatikan sternum dan klavikula (apakah ada kelainan bentuk)
7.
Perhatikan sudut epigastrium (apakah lancip atau tumpul)
8.
Perhatikan apakah ada pelebaran vena-vena di dinding toraks (venaektasi)
Inspeksi dalam keadaan dinamis 9.
Tentukan jenis pernapasan apakah ada pernapasan abnormal seperti Kusmaull, cheyne stokes, biot, apneu, dll)
10. Hitung frekuensi pernapasan 11. Bandingkan pergerakan dinding toraks kiri dan kanan apakah sama atau ada pergerakan salah satu dinding toraks yang tertinggal
PALPASI 1.
Dengan menggunakan kedua tangan untuk memeriksa apakah ada limfadenopati supraklavikularis dan leher
2.
Lakukan pemeriksaan posisi trakea dengan jari telunjuk apakah normal, deviasi ke kanan atau ke kiri
18
3.
Apakah ada massa di dinding toraks, apakah ada nyeri tekan lokal, dan apakah ada krepitasi yang menunjukkan emfisema subkutis
4.
Melakukan
pemeriksaan
pengembangan
rongga
toraks
(pemeriksa menempelkan tangan pada dinding toraks bagian bawah dengan kedua ibu jari bertemu pada garis mid sternalis dan jari lain mengarah ke sisi kiri dan kanan dinding toraks, kemudian pasien diminta inspirasi dalam sambil pemeriksa memperhatikan pergerakan dari kedua ibu jarinya apakah pergerakan simetris atau ada yang tertinggal 5.
Melakukan palpasi pada permukaan dinding toraks untuk menilai fremitus taktil mulai dari bagian apeks, medial dan basal. Bandingkan kiri dan kanan secara simetris sambil pasien diminta untuk mengucapkan kata “sembilan puluh sembilan” atau “iiiiiii..”
PERKUSI 1.
Jika memungkinkan, sebaiknya perkusi dilakukan dalam posisi pasien tegak karena suara perkusi dapat berubah akibat perubahan letak organ
2.
Menentukan puncak paru dengan perkusi bahu mulai lateral (suara redup) ke arah medial sampai terdengar perubahan menjadi sonor, berilah tanda. Lakukan perkusi dari pangkal leher (suara redup) ke arah lateral sampai terdengar perubahan suara sonor, berilah tanda. Puncak paru terletak diantara kedua tanda tersebut
3.
Melakukan perkusi pada kedua hemitoraks kiri dan kanan mulai dari bagian apeks, medial dan basal, dibandingkan antara kiri dan kanan
19
4.
Menentukan batas paru hepar pada linea mid klavikularis kanan, yaitu perubahan suara perkusi dari sonor menjadi redup, normalnya didapatkan pada ruang sela iga kelima kanan
5.
Melakukan perkusi untuk menentukan batas paru jantung kanan, kiri atas, dan kiri bawah
AUSKULTASI 1.
Stetoskop diletakkan di dinding toraks, dan pasien diminta untuk menarik nafas panjang
2.
Lakukan auskultasi secara sistematis mulai dari suara napas normal trakeal pada daerah trakea, kemudian suara napas normal bronkial pada daerah suprasternal
3.
Mendengarkan suara napas normal bronkovesikuler pada daerah di atas korpus sternum dan para sternalis, dibandingkan secara sistematis kiri dan kanan
4.
Mendengarkan suara napas normal vesikuler pada basal paru dan lateral dinding toraks
5.
Mendengarkan suara napas tambahan : * Ronki * Wheezing * Stridor, dll
PEMERIKSAAN FISIS TORAKS BELAKANG (PUNGGUNG) INSPEKSI Inspeksi dalam keadaan statis 1.
Perhatikan bentuk dinding toraks bagian belakang, adakah kelainan bentuk
20
2.
Perhatikan bentuk tulang belakang, apakah ada kelainan bentuk seperti kiposis, skoliosis, lordosis, atau gibus
3.
Bandingkan bentuk dinding toraks belakang kiri dan kanan
Inspeksi dalam keadaan dinamis 4.
Bandingkan pergerakan dinding toraks belakang kiri dan kanan, apakah sama atau ada pergerakan salah satu dinding toraks yang tertinggal
5.
Melakukan
pemeriksaan
pengembangan
rongga
toraks,
pemeriksa menempelkan tangan pada dinding toraks bagian bawah dengan kedua ibu jari bertemu pada garis mid sternalis dan jari lain mengarah ke sisi kiri dan kanan dinding toraks, kemudian pasien diminta inspirasi dalam sambil pemeriksa memperhatikan pergerakan dari kedua ibu jari apakah simetris atau ada yang tertinggal
PALPASI 1.
Melakukan palpasi pada permukaan dinding toraks untuk menilai fremitus taktil mulai dari bagian apeks, medial dan basal. Bandingkan kiri dan kanan secara simetris sambil pasien diminta untuk mengucapkan kata “sembilan puluh sembilan” atau “iiiiiii..”
PERKUSI 1.
Melakukan perkusi pada kedua hemitoraks belakang kiri dan kanan mulai dari dinding bagian apeks, medial dan basal
2.
Menentukan peranjakan batas paru belakang dengan cara menentukan (beri tanda) batas paru saat inspirasi biasa, kemudian menentukan (beri tanda) batas paru saat inspirasi
21
dalam. Normalnya batas paru beranjak turun sekitar 2 jari (+ 4 cm)
AUSKULTASI 1.
Mendengarkan suara napas normal bronkovesikuler pada daerah interskapula, dan suara napas normal vesikuler pada kedua hemitoraks belakang kiri dan kanan bagian medial dan lateral
2.
Mendengarkan suara napas tambahan (ronki, wheezing, stridor, dll)
c. Pemeriksaan Penunjang -
Chest X-Ray
-
Pemeriksaan laboratorium
-
Pemeriksaan bakteriologis
-
Pemeriksaan gas darah
-
Pemeriksaan fungsi paru : dengan spirometri
7) Jelaskan diagnosis diferensial dari kasus !
a. Bronkitis Akut a) Definisi Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi (ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus.18 Bronkitis akut merupakan peradangan akut membran mukosa bronkus yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Penyakit ini
22
sering melibatkan trakea sehingga lebih tepat jika disebut trakeobronkitis akut.17 b) Etiologi Secara umum penyebab bronkitis dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan faktor host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara, merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri (Staphylococcus, Pertusis, Tuberculosis, mikroplasma), infeksi virus (RSV, Parainfluenza, Influenza, Adeno) dan infeksi fungi (monilia). Faktor polusi udara meliputi polusi asap rokok atau uap/gas yang memicu terjadinya bronkitis. Sedangkan faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan riwayat penyakit paru yang sudah ada.18 Penyebab yang paling sering adalah virus seperti virus influenza, parainfluenza, adenovirus, serta rhinovirus. Bakteri yang sering menjadi penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae, tetapi biasanya biasanya bukan merupakan infeksi primer. Penyakit ini biasanya
sembuh
dengan
sendirinya.
Namun,
jika
dilatarbelakangi oleh penyakit kronik seperti emfisema, bronkitis kronik, serta bronkiektasis, infeksi bakteri ini harus mendapat perhatian serius.17 c) Epidemiologi18 Penduduk di kota sebagian besar sudah terpajan dengan berbagai zat-zat polutan di udara, seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, asap pembakaran dan asap rokok, hal ini dapat memberikan dampak terhadap terjadinya bronchitis. Bronkitis lebih sering terjadi di musim dingin pada daerah yang beriklim tropis ataupun musim hujan pada daerah yang memiliki dua musim yaitu daerah tropis. Hasil penelitian
23
mengenai penyakit bronkitis di India, data yang diperoleh untuk usia penderita ( ≥ 60 tahun) sekitar 7,5%, untuk yang berusia (≥ 30-40 tahun) sekitar 5,7% dan untuk yang berusia (≥ 15-20 tahun) sekitar 3,6%. Selain itu penderita bronkitis ini juga
cenderung
kasusnya
lebih
tinggi
pada
laki-laki
dibandingkan pada perempuan, hal ini dipicu dengan keaktivitasan merokok yang lebih cenderung banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. d) Faktor Resiko18 -
Usia
-
Jenis kelamin
-
Lingkungan hidup
-
Gaya hidup
-
Faktor sosial ekonomi
-
Keturunan
e) Patofisiologi18 Temuan utama pada bronkitis adalah hipertropi kelenjar mukosa bronkus dan peningkatan jumlah sel goblet dengan infiltasi sel-sel radang dan edema pada mukosa sel bronkus. Pembentukan mukosa yang terus menerus mengakibatkan melemahnya melemahkan
aktifitas
silia dan faktor
mekanisme
pertahananya
fagositosis
dan
sendiri.
Pada
penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam saluran napas. f) Patologi18 Kelainan utama pada bronkus adalah hipertensi kelenjar mukus dan menyebabkan penyempitan pada saluran bronkus,
24
yang mengakibatkan diameter bronkus menebal lebih dari 3040% dari tebalnya didinding bronkus normal, dan akan terjadi sekresi mukus yang berlebihan dan kental. Sekresi mukus menutupi cilia, karena lapisan dahak menutupi cilia, sehingga cilia tidak mampu lagi mendorong dahak keatas, satu-satunya cara mengeluarkan dahak dari bronki adalah dengan batuk. g) Manifestasi Klinis18 Gejala umum bronkitis akut maupun bronkitis kronik adalah: -
Batuk dan produksi sputum adalah gejala yang paling umum biasanya terjadi setiap hari. Intensitas batuk, jumlah dan frekuensi produksi sputum bervariasi dari pasien ke pasien. Dahak berwarna yang bening, putih atau hijaukekuningan.
-
Dyspnea secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan
penyakit. Biasanya, orang dengan bronkitis
kronik mendapatkan sesak napas dengan aktivitas dan mulai batuk. -
Gejala kelelahan, sakit tenggorokan, nyeri otot, hidung tersumbat, dan sakit kepala dapat menyertai gejala utama.
-
Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus atau bakteri.
Biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan nagian atas seperti hidung buntu (stuffy), pilek (runny nose) dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat, biasanya dimulai dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat mengganggu di waktu malam. Udara dingin, banyak bicara, napas dalam, serta tertawa akan merangsang
25
terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh ada nyeri retrosternal, dan rasa gatal pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak; dapat bersifat mukus tetapi dapat juga mukopurulen. Sesak napas hanyaterjadi jika terdapat penyakit kronik kardiopulmonal. Peradangan bronkus biasanya menyebabkan
hiperreaktivitas
saluran
pernapasan
yang
memudahkan terjadinya bronkospasme. Pada penderita asma, penyakit ini dapat menjadi pencetus serangan asma. Pada pemeriksaan fisik, bisasanya ditemukaan keadaan normal, dan kadang-kadang terdengar suara wheezingdi beberapa tempat; ronkhi dapat terdengar jika produksi sputum meningkat. Foto toraks menunjukkan gambaran normal. h) Diagnosis16 Diagnosis dari bronkitis dapat ditegakkan bila pada anamnesa pasien mempunyai gejala batuk yang timbul tiba-tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa adanya bukti pasien menderita
pneumonia,
common
cold,
asma
akut
dan
eksaserbasi akut. Pada pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan adanya demam, gejala rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis. Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi
dapat
terdengar
ronki,
wheezing,
ekspirium
diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir banyak dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah.
Dalam
suatu
penelitian
terdapat
metode
untuk
menyingkirkan kemungkinan pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai menderita bronkitis, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai berikut:
26
-
Denyut jantung > 100 kali per menit
-
Frekuensi napas > 24 kali per menit
-
Suhu badan > 38o C
-
Pada
pemeriksaan
konsolidasi dan
fisik
paru
tidak
terdapat
focal
peningkatan suara napas.
i. Pemeriksaan fisik 1. Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat dan kemungkinan ada nasofaringitis. 2.
Keadaan paru : ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah batuk, wheezing dan krepitasi)
ii. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan dahak dan rontgen dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa dan untuk menyingkirkan
diagnosa
penyakit
lain.
Bila
penyebabnya bakteri, sputumnya akan seperti nanah.Untuk pasien anak yang diopname, dilakukan dengan tes C-reactive protein, kultur pernapasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes serum aglutinin untuk membantu mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari bakteri atau virus. Jumlah leukositnya berada > 17.500 dan pemeriksaan lainnya dilakukan dengan cara tes fungsi paru-paru dan gas darah arteri.
i) Penatalaksanaan15 Bronkitis akut biasanya simtomatik, yaitu tirah baring, menghindari udara dingin dan kering. Kadang-kadang inhalasi
27
uap air akan sangat membantu. Pada pasien yang menderita batuk yang sangat mengganggu, dapat diberikan obat batuk yang mengandung kodein atau dekstrometorfan. Antibiotik hanya diberikan jika terdapat infeksi sekunder bakterial atau pada PPOK j) Komplikasi15 -
Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik.
-
Pada orang yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan gizi kurang dapat terjadi Othitis Media, Sinusitis dan Pneumonia.
-
Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi.
-
Bila sekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasis atau bronkietaksis.
b. Tuberculosis Paru a) Definisi22 Tuberkulosis Paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis, yakni kumana aerob yang dapat hidup terutama diparu atau diberbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi
pada membrane selnya
sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya
terutama
terjadi pada malam hari. b) Etiologi22
28
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB antara lain disebabkan oleh: i.
Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada Negara yang sedang berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu dinegara maju
ii.
Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup
iii.
Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk dikelompok yang rentan terutama dinegaranegara yang miskin
iv.
Tidak memadainya pendidikan mengenai TB diantar para dokter
v.
Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostic dan pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat
vi.
Adanya epidemic HIV terutama di Afrika dan Asia
c) Epidemiologi24 Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi masalah kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency.TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat di seluruh dunia. Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di Negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk
29
yang padat dan tinggnya prevelensi maka lebih dari 65% dari kasuskasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia. Indonesia adalah Negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejaian BTA yang positif di Inonesia adalah 266.000 pada tahun 1998. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga tahun 1995 dan survey kesehatan nasional 2001, Tb menempati ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sampai sekarang angka kematian TB di Indoneia relative terlepas dari angka pandemic infeksi HIV karena masih relative rendahnya infeksi HIV , namun hal ini mungkin akan berubah dimasa mendatang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun. d) Patogenesis20 Penyakit tuberculosis ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama. Penyebar penyakit TB erring tidak tau jika ia menderita sakit TB. Droplet yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk dapat melayang diudara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada
dinding
sistem pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran pernapasan bagian atas, droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus, tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil tuberculosis akan membentuk suatu focus infeksi primer berupa tempat pembiakan basil tuberculosis dan tubuh penderita akan memberkan reaksi inflamasi.
30
Jumlah kuman yang terdapat pada saat batuk lebih banyak pada tuberkulosis laring dbanding dengan TB organ lainnya. Tuberkulosis yang mempunyai kaverna dan tuberkulosis yang belum mendapat pengobatan mempunyai angka penularan yang tinggi. Berdasarkan penularannya maka tuberculosis dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yakni: i.
Tuberkulosi primer Terdapat pada anak. Setelah tertular 6-8 minggu kemudian mulai dibentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga tes tuberkulin menjadi positif. Alveoli yang terinfeksi kuman mengalami lisis bakteri yang dilakukan oleh makrofag dan dengan terdapatnya sel langhans, yakni makrofag yang mempunyai inti di perifer, maka terjadi pembentukan granulasi. Keadaan ini disertai dengan fibrosis dan kalsifikasi yang terjadi di lobus bawah paru. Proses infeksi yang terjadi dilobus bawah paru yang disertai dengan pembesaran kelenjar limfe yang terdapat dihilus
disebut dengan kompleks Ghon yang
sebenarnya merupakan permulaan infeksi yang terjadi di alveoli atau di kelenjar limfe hilus. Kuman tuberculosis akan mengalami penyebaran secara hematogen ke apeks paru yang kaya oksigen dan berdiam dir (dorman) untuk menunggu reaksi lebih lanjut. ii.
Reaktivasi tuberkulosis primer 10% dari infeksi TB primer akan mengalami reaktivasi, terutama setelah 2 tahun infeksi primer. Reaktivasi disebut juga dengan TB postprimer. Kuman akan disebarkan melalui hematogen ke bagian segmen apikal posterior. Reaktivasi dapat terjadi melalui metastasis hematogen ke berbagai jaringan tubuh.
iii.
Tipe reinfeksi
31
Infeksi yang baru terjadi setelah infeksi primer jarang terjadi. Mungkin dapat terjadi apabila terdapat penurunan dari imunitas tubuh atau terjadi penularan secara terus menerus oleh kuman tersebut dalam suatu keluarga. e) Faktor Resiko21 Beberapa faktor risiko seseorang menderita TB adalah : i.
Jenis Kelamin Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir tidak ada perbedaan diantara anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.
ii.
Status Gizi Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit termasuk TB. Factor ini sangat berperan pada Negaranegara miskin dan tidak mengira usia
iii.
Sosioekonomi Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari kalangan sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan pemukiman yang terlampau padat sangan potensial dalam penyebaran penyakit TB,
iv.
Pendidikan Rendahnya
pendidikan
seseorang
penderita
TB
dapat
mempengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa seseorang yang
mempunyai pendidikan rendah akan
berpeluang untuk mengalami ketidaksembuhan 5,5 kali lebih
32
besar berbanding dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
v.
Factor-faktor Toksis Merokok, minuman keras dan narkotika merupakan factor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh.
f) Manifestasi Klinis25 Tanda-tanda klinis dari tuberculosis adalah terdapatnya keluhankeluhan berupa:
Batuk
Sputum mukoid atau purulen
Nyeri dada
Hemoptisis
Dispne
Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari
Berat badan berkurang
Anoreksia
Malaise
Ronkhi basah diapeks paru
Wheezing (mengi) yang terlokalisir Sebagian besar orang yang mengalamai infeksi primer tidak
menunjukkan gejala yang berarti. Namun, pada penderita infeksi primer yang menjadi progresif dan sakit, gejalanya berupa gejala umum dan gejala respiratorik. Perjalanan penyakit dan gejalanya bervariasi
tergantung pada umur dan keadaan penderita saat
terinfeksi. Gejala umum berupa demam dan malaise. Demam timbul pada petang dan malam hari disertai dengan berkeringat. Gejala demam bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi dalam
33
jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan. Pada wanita dapat pula terjadi amenorea. Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit tuberculosis paru aktif. Batuk ini sering bersifat persisten karena perkembangan penyakitnya lambat. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfe pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit. hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercak darah pada sputum, sampai ke batuk darah yang masif.25 Pada reaktivasi tuberculosis, gejalanya berupa demam menetap yang naik dan turun, berkeringat pada malam hari yang menyebabkan basah kuyup (drenching night sweat), kaheksia, batuk kronik dan hemoptisis. Pemeriksaan fisik sangat tidak sensitive dan sangat nonspesifik terutama pada fase awal penyakit. pada fase lanjut diagnosis lebih mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, terdapat demam, penurunan berat badan, crackle, mengi, dan suara bronchial. Tidak jarang terjadi efusi pleura.25 Pada tuberculosis postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis dengan fenomena papan catur, tuberculosis ginjal, sendi, dan tuberculosis pada kelenjar limfe di leher, yakni berupa skrofuloderma.25
34
g) Klasifikasi Tuberculosis24 a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit Tuberculosis Paru Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum)
atau
efusi pleura
tanpa
terdapat
gambaran
radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra
paru.
Pasien
yang
menderita
TB
paru
dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru Tuberculosis Ekstra Paru Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat. b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂dari 28 dosis). Pasien yang pernah diobati TB
35
adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: 1. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). 2. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. 3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default). 4. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan
pasien
disini
berdasarkan
hasil
uji
kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
36
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan rifampisin secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini
kedua
jenis
suntikan
(Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan
Rifampisin
(TB
RR):
resistan
terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
h) Langkah-langkah Diagnosis
Pemeriksaan Jasmani23 Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan
kelainan.
Kelainan
paru
pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda- tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
37
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang- kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”. Pemeriksaan Bakteriologik23 a. Bahan pemeriksasan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis.
Bahan
untuk
pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara: 1) Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan) 2) Dahak Pagi ( keesokan harinya ) 3) Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
38
mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita
yang
sesuai
dengan
formulir
permohonan
pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi
fasiliti laboratorium
berada jauh dari
klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain. Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara: a. Mikroskopik 1. Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen dan pewarnaan Kinyoun Gabbett 2. Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) b. Biakan Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : 1. Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
39
2. Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul. Pemeriksaan Radiologik23 Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CTScan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam- macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular c. Bayangan bercak milier d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif a. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas b. Kalsifikasi atau fibrotic c. Kompleks ranke d. Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
40
multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif). Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal
Pemeriksaan Penunjang23
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu
yang
dibutuhkan
untuk
pembiakan
kuman
tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar. Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat. 2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:
41
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. b. Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktivitipenyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah. c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksireaksi serologi yang terjadi d. ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
42
terbentuk garis control dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis 3. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis. 4. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis.
Interpretasi
hasil
analisis
yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah 5. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), transthoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain di luar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi
43
jarum halus). Pemeriksaan biopsy dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti histopatologi
infeksi TB didapatkan
pada
bila
pemeriksaan
jaringan paru atau jaringan diluar paru
memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan 6. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik.
7. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D. (Purified Protein Derivate) intrakutan. Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M.bovis, vaksin BCG dan Mycobacteria pathogen lainnya. Dasat tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan
44
dengan kuman pathogen baik yang virulen ataupun tdak, tubuh manusia akan mengadakan reaksi imonologi dengan bentuknya antibodi seluler pada permulaan dan kemudian di ikut oleh pembentukan
antibody humoral yang dalam perannya akan
menekankan antibody seluler. Bila pembentukan antibody seluler cukup misalnya paa penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana pembentukan antibody humoral amat berkurang (pada hipogma-globulinemia), maka akan mudah terjadi penyakit setelah penularan. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibody selular dan antigen tuberkuin. Bantak sedikitnya reaksi persenyawaan antibody seluler dan antigen tuberkulin amat di pengaruhi oleh antibody humoral, makin besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang di timbulkan. i) Diagnosis23 Tuberkulosis paru cukup mudah dikenali mulai dari keluhankeluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklahselalu mudah menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberculosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.23
45
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopik biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis tuberculosis paru, karena kekerapan mycobacterium atypic di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70% saja dari seluruh kasus tuberculosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis.23 Diagnosis TB paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu, dalam diagnosis TB paru sebaiknya dicantumkan status klinik, status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi. Who tahun 1991 memberikan kriteria pasien TB paru23:
Pasien dengan sputum BTA positif: 1. Pasien
yang
pada
pemeriksaan
sputumnya
secara
mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan 2. Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif 3. Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif
Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. Pasien
yang
pada
pemeriksaan
sputumnya
secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA setidaknya pada 2 kali pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif 2. Pasien
yang
pada
pemeriksaan
sputumnya
secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif
46
`
Disamping TB paru terdapat juga TB ekstra paru, yakni pasien
dengan kelainan histology atau/dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M.tuberculosae. Diluar pembagian tersebut diatas pasien digolongkan lagi berdaarkan riwayat penyakitnya, yakni:
Kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari 1 bulan
Kasus kambuh, yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, tetapi kemudian timbul lagi TB aktifnya
Kasus gagal (smear positive failure), yakni: 1. Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat obat anti TB lebih dari 5 bulan 2. Pasien
yang
menghentikan
pengobatannya
setelah
mendapat obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTA nya masih positif
Kasus kronik, yakni pasien yang sputum BTAnya tetap positif setelah ,mendapat pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
j) Terapi23 Dalam riwayat terapi tuberculosis dahulu dipakai satu macam obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagian besar kuman TB menang dapat dibinasakan namun sebagian kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa.untuk mencegah terjadinya resistensi, terapi TB dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.
47
Dengan memakai panduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan, karena:
Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih
Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah aterhadap INH
Namun belakangan ini d beberapa Negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih dari satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin. Jenis obat yang dipakai :
Obat primer (obat anti TB tingkat satu): isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol.
Obat sekunder (obat anti TB tingkat dua): kanamisin, pas (para amino salicylic acid), tiaetazon, etionamid, protionamid,
sikloserin,
ofloksasin,
viomisin,
siprofloksasin,
kapreomisin,
norfloksasin,
amikasin,
levofloksasin,
klofazimin. Sebelum ditemukn rifampisin, metode terapi TB paru adalah system jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau Etambutol (E) tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau PAS selama 12-18 bulan. Setelah rifampisin ditemukan paduan obat menjadi INH+ rifampisin + streptomisin atau etombutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH+ rifampisin atau etambutol (fase lanjut). Paduan ini selanjutnya berkembang sebagai terapi jangka pendek, dengan memberikan INH+ rifampisin + streptopomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebagai fase initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + Rifampisin atau etambutol atau streptomisin
48
2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan. Panduan obat yang dipakai di Indonesia dan dianjurkan oleh WHO adalah : 2 RHZ/4 RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3 , 2 RHS/4R2H2. Untuk TB paru yang berat (milier) dan TB ekstra paru, terapi tahap lanjutan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH. Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan pengobatan lebih rendah, jumlah pasien
yang
membangkang
menjadi
berkurang,
dan
tenaga
pengawasan pengobatan menjadi lebih efisien. Oleh karena itu, Depkes RI dalam rangka program pemberantasan penyakit TB paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat HRE/5 HaRa (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama 1 bulan, dan dilanjutkan dengan isoniazid + Rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan ), dari pada terapi jangka panjang HSZ/11 H2Z2 (INH + streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan ). Di Negara-negara yang sedang berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan (cure rate) yakni 85% karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan berobat pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi TB makin meluas, resistensi obat makin banyak.
49
k) Komplikasi24 Penyakit Tuberkulosis Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
Komplikasi dini : Pleuritis, Efusi Pleura, empiema, laringitis, usus, Poncet’s arthropathy.
Komplikasi lanjut : Obstruksi hjalan Napas → SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat→ fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.
50
c. Pneumonia a) Definisi19 Pneumonia dalam arti umum adalah peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme-bskteri, virus, jamur, parasitnamun pneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh penyebab selain mikroorganisme (fisik, kimiawi, alergi) sering disebut sebgai pneumonitis. b) Epidemiologi19 i.
Insidens Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan dan kecacatan tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau dalam rumah sakit/pusat
pearawatan
(pneumonia
nosokomial/PN
atau
pneumonia di pusat perawatan/PPP0. Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. Kejadian PN di ICU lebih sering daripada PN diruangan umum, yaitu dijumpai pada hamper 25% dari semua infeksi di ICU dan 90% terjadi pada saat ventilasi mekanik. PBV didapat 9-27% dari pasien diintubasi. Risiko PBV tertinggi pada saat awal masuk ICU. Pneumonia dapat terjadi pada orang yang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif
51
kronik (PPOK) juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, Diabetes Melitus, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan invasif seperti infuse, intubasi, trakeostomi, atau pemasangan ventilator. Pelu diteliti factor lingkungan khususnya tempat kediaman misalnya dirumah jompo, penggunaan antibiotic (AB) dan obat suntik IV, serta keadaan alkoholik yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi kuman gram negative. Pasien-pasien PK juga dapat terinfeksi oleh berbagai jenis pathogen yang baru. ii.
Patogenesis Proses pathogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imunitas) inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini akan menetukan klasfikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empiric, rencana terapi secara empiris serta prognosis dari pasien. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Sterptococcus Pneumoniae, melaui selang infus oleh Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh P.aeruginosa dan Enterobacter.
Patogenesis PK Gambaran interaksi dari ketiga factor tersebut tercermin pada kecenderungan terjadinya infeksi oleh kuman tertentu oleh factor perubah (modifying Factor), seperti trelihat pada table 1
52
Tabel 1 Faktor perubah yang meningkatkan risiko infeksi pada kecenderunan terjadinya infeksi oleh pathogen tertentu pada Pneumonia Komunitas Pneumokokkus yang resisten penisilin dan obat lain Usia >65 tahun Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir Alkoholisme Penyakit
imunosupresif
(termasuk
terapi
menggunakan
kortikosteroid) Penyakit penyerta yang multiple Kontak pada klinik lansia Patogen gram negative Tinggal di rumah jompo Penyakit kardiopulmonal penyerta Penyakit penyerta yang jamak Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika Pseudomonas Aeruginosa Penyakit Paru structural (bronchiektasis) Terapi KOrtikosteroid (>10mg prednisone/hari) Terapi antibiotic spectrum luas . 7 hari pada bulan sebelumnya Malnutrisi
Patogenesis PN Patogen yang sampai ke trakea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring., kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi, dan sumber bahan pathogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. PN terjadi akibat proses infeksi bila pathogen yang masuk saluran napas bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mucus), humoral (antibody dan komplemen)
53
dan seluler (leukosit, polinuklir, makrofag, limfosit, dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai factor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotic, obat-obatan
lain
dan
tindakan
invasive
pada
saluran
pernapasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi. Faktor resiko terjadinya PN dapat dikelompokkan atas 2 golongan yaitu yang tidak bias dirubah yaitu berkaitan dengan inang (seks pria, penyakit paru kronik, atau gagal organ jamak), dan terkait tindakan yang diberikan (intubasi atau slang nasogastrik). Pada faktor yang dapat dirubah dapat dilakukan upaya berupa mengontrol infeksi, disinfeksi dengan alcohol, pengawasan pathogen resistensi (multidrug resistant-MDR), pengehentian tata cara pemakaian AB. Faktor resiko kritis adalah ventilasi mekanik > 48 jam, lamanya perawatan di ICU, skor APACHE, adanya ARDS (acute respiratory distress syndrome). c) Riwayat Perjalanan Penyakit20 Riwayat perjalanan penyakit sangant membantu untuk menegakkan diagnosis pneumonia bakteriaal. Gejala umum pneumonia adalah demam, nbatuk, sesak napas. Gejala lain yang dapat digunakan adalah untuk membuat daignisa deferensial :
Sakit tenggorokan : Infeksi mononukleus, Streptokokkus grup A, pertusis, mikoplasma, psitakosis, atau Q fever
Koriza : Infeksi virus
Nyeri pleuritik ( nyeri tusuk) : umumnya pada pneumonia tetapi lebih sering pada infeksi penumokokkus
Gejala intestinal mual,muntah, diare, nyeri abdomen : legionella
Mual berat : Q fever, tularemia, psitakosis, atau legionella
Malaise berat : mikoplasma, Psitakosis atau Q Fever 54
Sakit kepala berat : mikoplasma, legionella, infeksi virus, Q fever, atau tularemia
Mialgia : Mikoplasma, infeksi virus, Q fever atau Tularemia
Gejala yang tiba-tiba timbul dan langsung berat : Streptococcus Pneumonia, Haemophillus Influenza, Staphylococcus aureus, Bakteri Gram negative, Yersinia Pestis,dan Coxiella Burnetri.
Gejala yang timbulnya lambat (Insidious) : Biasanya Pneumonia atipikal
Tidak ada produksi sputum : Proses interstitial, Misalnya mikoplasma, Infeksi virus
Produksi Sputum Sedikit : Pneumonia fase awal atau terdapat dehidrasi
Rusty sputum seperti karat besi : Infeksi Pneumokokkus
“Currant” Jelly seperti batu bata : Klebsiella, dan
Sputum berbau busuk : Pneumonia aspirasi, infeksi anaerob
d) Klasifikasi Pneumonia21
Berdasarkan klinis dan epideologis : 1) Pneumonia
Komuniti
(community
acquired
pneumonia) Pneumonia komuniti adalah pneumonia
yang
didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia. a) Etiologi Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan
dari
beberapa
kota
di
Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
55
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan
bahan
dan
metode
mikrobiologi
yang
berbeda
pemeriksaan
didapatkan
hasil
pemeriksaan sputum sebagai berikut :
Klebsiella pneumoniae 45,18%
Streptococcus pneumoniae 14,04%
Streptococcus viridans 9,21%
Staphylococcus aureus 9%
Pseudomonas aeruginosa 8,56%
Steptococcus hemolyticus 7,89%
Enterobacter 5,26%
Pseudomonas spp 0,9%
b) Diagnosis Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh >38°C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
56
Leukosit >10.000 atau < 4500
Penilaian derajat Keparahan penyakit Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini : Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
57
1. Frekuensi napas > 30/menit 2. Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg 3. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral 4. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus 5. Tekanan sistolik < 90 mmHg 6. Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor 1. Membutuhkan ventilasi mekanik 2. Infiltrat bertambah > 50% 3. Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) 4. Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah : a. Skor PORT lebih dari 70 b. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
c. Pneumonia pada pengguna NAPZA
58
Kriteria perawatan intensif Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi: a. Penderita rawat jalan I.
Pengobatan suportif / simptomatik Istirahat di tempat tidur Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas Bila
perlu
dapat
diberikan
mukolitik
dan
ekspektoran Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa I.
Pengobatan suportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
59
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif I.
Pengobatan suportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
II.
Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
III.
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif.
60
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.
2) Pneumonia
Nosokomial
(hospital-acquired
pneumonia)20 Pneumonia Nosokomial adalah pneumonia yang didapat selama perawatan di Rumah Sakit terutama pada usia lanjut, setelah operasi dan pada penggunaan ventilator.
Beberapa
Penyebab
dari
pneumonia
nosokomial adalah aspirasi lambung, aspirasi toraks, penggunaan penghambat histamine tipe II, penggunaan alat-alat nebulizer alat pelembab, pipa nasogastrik, pipa endotrakeal dan pemberian makanan melalui enteral.20 Menurut “Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit” (Centre Of Diseaase Control and Prevention) di Amerika atau yang lebih dikenal dengan CDC, bila salah salah satu syarat dibawah ini terpenuhi maka dapat dimasukkan ke dalam Pneumonia Nosokomial. Bila Pasien yang diamksud dirawat di RS maka didapatkan gejala-gejala selama perawatan sebagai berikut:
Ronki basah diseluruh paru dan selain itu juga didapatkan -
Sputum
yang
purulen
atau
cepatnya
perubahan sputum menjadi purulen -
Adanya
mikroorganisme
yang
dapat
dibuktikan dari biakan darah -
Kuman pathogen dapat ditemukan dari biopsy transrektal atau dari bronkoskopi
61
Pada
pemeriksaan
radiologi
dapat
dilihat
bayangan konsolidasi yang progresif sampai efusi pleura. Selain yang dapat dibuktikan seperti pada nomor 1 dapat pula -
Virus atau antigen virus dapat diisolasi dari sekresi saluran pernapasan
-
Peningkatan Antibodi IGM
-
Secara histopatologi dapat di buktikan dengan adanya Pneumonia
Pasien dengan usia kurang dari 12 bulan yang mendapat dua kali serangan apnea, takipnea, bradikardi, dan wheezing (mengi) dengan : -
Bertambahnya
produksi
sputum
dan
terpenuhinya salah satu criteria pada nomor 1 dan 2
Pada pasien dengan usia kurang dari 12 bulan dengan infiltrate
yang progresif ditambah
dengan 3 kriteria diatas Gambaran Klinik20 Sebagaimana
pneumonia
pada
umumnya,
pneumonia nosokomial juga ditandai dengan sesak napas yang progresif, batuk dan sputum yang purulen. Gejala dari penyakit ini sering terselubung dengan emboli paru, intoksikasi dan alergi, ARDS, dan dekompensasi Jantung. Bakteri penyebab Pneumonia nosokomial yang terbesar adalah bakteri anaerob (35% dari penyebab infeksi nosokomial), sisanya adalah Pseudomonas aeruginosa (17%), Staphylococcus (16%), Enterobacter
62
(11%), Sedangkan yang lainnya adalah virus Influenza (5%), dan spesies kandida (5%). Oleh karena perjalanan infeksi (rute of Infection) dan jenis bakteri penyebabnya telah diketahui maka beberapa tindakan pencegahan pneumonia nosokomial adalah
Mengobati penyakit dasar (Underlying Disease)
Jangan
menggunakan
antasida
maupun
penghambat H2 (H2 Blocker)
Mencabut
alat
bantu
nasotrakaeal
dan
endotrakeal
Mengawasi penggunaan antibiotic
Mengontrol
infeksi
dengan
meningkatkan
sterilisasi alat dan ruangan Terapi20 Yang menjadi masalah utama pada pengobatan pneumonia nosokomial adalah Oleh karena baik kuman penyebab maupun klinis pasien tidaklah pasti. Oleh karena berat dan progresifitas dari penyakit maka tindakan diagnosis laboratorium dan tes resistensi tidak dapat menunggu lama sehingga disini yang paling menentukan adalah pengalaman dokter untuk menilai terjadinya infeksi nosokomial tersebut. Pengecatan sputum secara langsung serta pengenalan keluhan klinis yang terjadi harus dilakukan tanpa menunggu hasil biakan. Secara rasional tindakan ini telah cukup kuat untuk menegakkan diagnosis penyakit ini.20
63
Atas Pertimbangan klinis dan pengecetan sputum maka dapat dibuat skema pengobatan sebgai berikut
Klinis
Pengecatan
Terapi
Sputum Langsung Tidak Berat
Gram Negatif
B Lactam
Tidak Berat
Gram
negative Azbeonam
alergi
terhadap Fluoroquinolone
/
B lactam Tidak Begitu Gram Positif
Vankomisin
Berat Tidak Begitu Gram
positif Penisilin
Berat
Gram spectrum luas
dan
dengan
Negatif Berat
Gram
positif Anti biotic untuk
dan
Gram anaerob + B Lactam
Negatif Berat Intubasi
+ Gram
Negatif Azbeonam
Flora Terhadap
+
Alergi Aminoglikosida B
Lactam Sangat Berat
Alergi terhadap Vankomisin B Lactam
/Azbeonam /Metronidazol
64
3) Pneumonia Aspirasi21 Pneumonia aspirasi dapat disebabkan oleh obstruksi (tersumbat) saluran pernapasan, pneumonitis oleh bahan kimiawi
(asam
lambung,
enzim
pencernaan),
pneumonitis oleh infeksi dan tenggelam di air. Predisposisi pneumonia aspirasi adalah pada pemabuk, epilepsy, pecandu obat narkotika, anesthesia umum, pemasangan NGT, cerebrovascular accident, penyakit gigi dan periodontal. Predileksi bagian paru yang terkena adalah pada segmen
paru/lobus
paru
bergantung
(dependent)
terutama segmen superior lobus bawah kanan. 4) Pneuomina pada penderita Immunocompromised20 Pneumonia
Immunocompromised
adalah
disebabkan akibat virus HIV dapat juga oleh sebab yang lain :
Kegagalan
pembentukan
antibody
akibat
kelainan congenital (Hipoglobulinemia) maupun akibat
proses
keganasan
seperti
misalnya
leukemia dan multiple myeloma.
Penekanan fungsi sel misalnya oleh AIDS atau terapi kortikosteroid
Berkurangnya jumlah granulosit misalnya oleh karena sitotoksik
Defek
komplemen
misalnya
pada
Hipokomplemen vaskulitis Klinis Tidak berbeda dengan pneumonia yang lainnya, Demam, dispnea, dan infiltrat pada paru merupakan
65
gejala yang pertama. Gejala ini makin memberat dalam beberapa hari dan pada foto rontgen kemungkinan memberikan kavitasi. Bila proses ini berlangsung progresif maka mulai tampak adanya hipoksemia dan berakhir
dengan
kegagalan
pernapasan.
Angka
kematian oleh karena pneumonia disebabkan oleh imunosupresif ini adalag 15%-40%. Beberapa
penyebab
pneumonia
pada
immunocompromised
Bakteri Terutama terjadi pada Immunocompromised yang ditandai dengan penurunan neutrofil. Berbagai
jenis
bakteri
nonpatogen
pada
immunocompromised yang dapat menimbulkan pneumonia antara lain adalah pneumococcus, streptococcus aureus dan bakteri gram negative yang
paling
sering
ditemukan
adalah
Haemophillus Influenza.
Virus
Fungi
Mikobakterium
Protozoa
Terapi Tergantung dari penyebab pneumoni. Disamping terapi diakukan pula tindakan pencegahan yang meliputi kebersihan, pemberian antibiotic sebagai pencegahan dan pemberian vaksinasi
66
Pembagian
ini
penting
untuk
memudahkan
penatalaksanaan.
Berdasarkan Bakteri Penyebab 1) Pneumonia bacterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya
Klebsiella
pada
penderita
alkoholik,
Staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza. 2) Pneumonia Atipikal disebabkan oleh Mycoplasma, legionella dan Chlamydia Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula dijumpai bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella spp. Penyebab lain Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti, virus Influenza tipe A & B, Adenovirus dan Respiratori syncitial virus. Diagnosis pneumonia atipik a. Gejalanya adalah tanda infeksi saluran napas yaitu demam, batuk nonproduktif dan gejala sistemik berupa nyeri kepala dan mialgia. Gejala klinis pada tabel di bawah ini dapat membantu menegakkan diagnosis pneumonia atipik. b. Pada pemeriksaan fisis terdapat ronki basah tersebar, konsolidasi jarang terjadi. c. Gambaran radiologis infiltrat interstitial. d. Labolatorium menunjukkan leukositosis ringan, pewarnaan Gram, biarkan dahak atau darah tidak ditemukan bakteri. e. Laboratorium untuk menemukan bakteri atipik.
67
Isolasi biarkan sensitivitinya sangat rendah Deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA) Polymerase Chain Reaction (PCR) Uji serologi Cold agglutinin Uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis M.pneumoniae Micro immunofluorescence (MIF). Standard serologi untuk C.pneumoniae Antigen dari urin untuk Legionella Untuk membantu secara klinis gambaran perbedaan gejala klinis atipik dan tipik dapat dilihat pada tabel 2, walaupun tidak selalu dijumpai gejala-gejala tersebut.
Penatalaksanaan Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah.
Juga
diperhatikan
ada
tidaknya
factor
68
modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae . yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam factor modifikasis adalah: (ATS 2001) a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin Umur lebih dari 65 tahun Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir Pecandu alkohol Penyakit gangguan kekebalan Penyakit penyerta yang multipel b. Bakteri enterik Gram negatif Penghuni rumah jompo Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru Mempunyai kelainan penyakit yang multipel Riwayat pengobatan antibiotic c. Pseudomonas aeruginosa Bronkiektasis Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir Gizi kurang
Pengobatan pneumonia atipik Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :
69
1. Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin) 2. Fluorokuinolon respiness 3. Doksisiklin a. Terapi Sulih (switch therapy) Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk
mengurangi
biaya
perawatan
dan
mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat
suntik ke oral
harus
memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat 9diberikan secara sequential (obat sama,
potensi
sama),
switch
over
(obat
berbedpotensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah). Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral Contoh
step
down
amoksisilin,
sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral. Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan. Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti :
70
Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna Penderita sudah tidak panas ± 8 jam Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk) Leukosit menuju normal/normal Evaluasi pengobatan Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat
yang
telah
diberikan
dan
bakteri
penyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar 1.
Prognosis Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita
71
pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian
penderita
pneumonia
komuniti
dengan
peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%. Pencegahan Pola hidup sebut termasuk tidak merokok Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang
efektivitinya.
Pemberian
vaksin
tersebut
diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner,
PPOK,
HIV,
dll.
Vaksinasi
ulang
direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3. 3) Pneumonia Virus 4) Pneumonia Jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah ( immunocompromised).
72
Berdasarkan Predileksi Infeksi 1) Pneumonia Lobaris. Sering pada pneumonia bacterial, jarang pada bayi dan orangtua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pad aspirasi benda asing atau proses keganasan. 2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltarat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bacteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
e) Etiologi21 Pneumonia
dapat
disebabkan
oleh
berbagai
macam
mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. f) Patogenesis21 Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 1) Inokulasi langsung
73
2) Penyebaran melalui pembuluh darah 3) Inhalasi bahan aerosol 4) Kolonisasi dipermukaan mukosa Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama. g) Patologi21 Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sitoplasmik
mengelilingi
bakteri
tersebut
kemudian
dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akantampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
74
1) Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema. 2) Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah 3) Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak. 4) Zona resolusi E : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag. Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas. h) Diagnosis21 1) Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. 2) Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi
redup,
pada
auskultasi
terdengar
suara
napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. 3) Pemeriksaan penunjang
Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
75
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pemeriksaan labolatorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 2025% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
i) Pengobatan21 Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu : 1) penyakit yang berat dapat mengancam jiwa 2) bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. 3) hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
76
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) Golongan Penisilin 1) TMP-SMZ 2) Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) 1) Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi 2) Marolid baru dosis tinggi 3) Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa Aminoglikosid 1) Seftazidim, Sefoperason, Sefepim 2) Tikarsilin, Piperasilin 3) Karbapenem : Meropenem, Imipenem 4) Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) 1) Vankomisin 2) Teikoplanin 3) Linezolid
Hemophilus influenzae 1) TMP-SMZ 2) Azitromisin 3) Sefalosporin gen. 2 atau 3 4) Fluorokuinolon respirasi
Legionella 1) Makrolid 2) Fluorokuinolon 3) Rifampisin 77
Mycoplasma pneumoniae 1) Doksisiklin 2) Makrolid 3) Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae 1) Doksisikin 2) Makrolid 3) Fluorokuinolon
j) Komplikasi21 Komplikasi yang dapat terjadi : 1) Efusi pleura 2) Empiema 3) Abses paru 4) Pneumotoraks. 5) Gagal napas. 6) Sepsis
d. Sinusitis a) Definisi26 Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis, penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis adalah radang pada mukosa sinus paranasalis. Bila peradangan ini mengenai beberapa sinus disebut multisinus, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. b) Etiologi dan Faktor Predisposisi26
78
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi anatra lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan factor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, dan kebisaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. c) Patofisiologi26 Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antim ikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami edema, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai rinosinusitis non bakterial yang biasanya sembuh tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut rinosinusitis akut bakterialis yang memerlukan terapi antibiotik.
79
Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. d) Gejala Sinusitis26 Gejala utama sinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada wajah dan adanya ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan. Gejala lainnya yaitu : demam dan lesu, sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak, batuk kronik, dan gangguan tenggorokan. e) Diagnosis26 Anamnesis : Pilek yang sudah lama disertai sekret yang berbau busuk, kurangnya sensitifitas dalam merasakan dan bau, sering terasa ada lendir yang mengalir di tenggorokan (post nasal drip). Pemeriksaan Fisik : Rhinoskopi anterior, Rhinoskopi posterior dan pemeriksaan nasoendoskopi. Tanda khas yang ditemukan ialah adanya pus di meatus medius atau di meatus superior. Pemeriksaan Mikrobiologik Dan Laboratorium Pemeriksaan mikrobiologik dengan mengambil sekret dari meatus medius atau meatus superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan CT Scan dengan Posisi waters, PA & Lateral yang merupakan gold standard diagnosis sinusitis.
80
f) Terapi26 Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih ialah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Antibiotik yang biasanya diberikan pada Sinusitis Kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan. Pada tindakan Operasi (Pembedahan) yang dapat dilakukan adalah Bedah Sinus Endoskopi Fungsional(BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa : sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur. g) Komplikasi26 Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi lain yang dapat dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses subperiostal serta kelainan paru. a. Komplikasi Orbita Komplikasi
orbita
disebabkan
oleh
sinus
paranasal
yang
berdekatan dengan mata (orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Kelainan yang dapat timbul ialah :
81
edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus. b. Komplikasi Intrakranial Komplikasi
intrakranial
dapat
berupa
meningitis,
abses
ekstradural/subdural, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus. c. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. d. Kelainan Paru Kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
82
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Ajar Anatomi Biomedik 1. 2015. Makassar: Bagian Anatomi FK UNHAS 2. Paulsen F. 2012. Sobotta : Atlas Antomi Manusia. Jilid 2. Edisi 23. Jakarta: EGC 3. Netter, Frank Henry. 2013. Atlas of Human Anatomy Edition 5. Singapura: Elsevier 4. Eroschenko, Victor P. 2010. Atlas Histologi diFiore. Edisi 11. Jakarta: EGC 5. Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. 1997. Jakarta: EGC 6. Djojodibroto,Darmanto. 2014. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC 7. Boulet, Louis-Phillipe. Cote, Gilles. Cough: Etiology, evaluation and treatmens. 2012. Kanada: Canadian Thoracic Society 8. Supriyatno, Bambang. 2010. Batuk Kronik pada Anak. Jakarta: Departmen Ilmu Kesehatan Anak FK UI 9. Guyton, Arthur C, John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC. 10. Muliawati, Yanti. Harlinda, Haroen. Linda W. A. Rotty. 2012. Cancer Anorexia – Cachexia Syndrome. Acta Medica Indonesiana – The Indonesian Journal of Internal Medicine : Vol. 44 No. 2. 11. Sherwood, Lauralee. 2015. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta : EGC 12. J. Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC 13. Umar Zein, Khalid Huda Sagala, Josia Ginting. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Fakultas Kedokteran Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara 14. Djaharuddin, Irawaty. Tabri, Nur Ahmad. 2017. Penuntun CSL Sistem Respirasi. Makassar: Bagian Respirasi FK UNHAS 15. Rab, Tabrani. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: CV. Trans Info Media 83
16. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC 17. Djojodibroto, Darmanto. 2014. Respirologi. Jakarta: EGC 18. Jurnal Universitas Sumatera Utara 19. Setiati, Siti. Alwi, Idrus. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing 20. Rab, Tabrani. 2008. Ilmu Penyakit Paru. Riau: Penerbit Hipokrates 21. Pneumonia Komuniti: Pedoman diagnosis dan tata laksana di Indonesia. 2003. Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia 22. Depkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 23. PDPI. 2002. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia 24. Setiaty, S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing 25. Tabrani, Rab. 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : TIM 26. Soepandi, Efiaty A. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FK UI
84