Kel 3 Modul 2 Forensik.docx

  • Uploaded by: RezkyRamadhaniSyarif
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kel 3 Modul 2 Forensik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,431
  • Pages: 15
LAPORAN MODUL PEMERIKSAAN ORGAN DALAM

Disusun Oleh: Kelompok 3 1. Eka Selfia Nur 2. A. Nurul Azizah Abbas 3. Siti Khadidjah 4. A. Meutia Dewi Rahmayani Yahya 5. Abdul Hamid 6. Risky Amalia 7. Emi Andira 8. Muhammad Aril Afif 9. Syahrianti Sarea 10. Wahyudi 11. Ermi Marlina

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2018

A. SKENARIO Atas permintaan tertulis dari penyidik, dilakukan autopsi terhadap satu jenazah tanpa identitas berjenis kelamin laki-laki, berusia dewasa muda. Berdasarkan keterangan yang tercantum di Surat Permintaan Visum (SPV), jenazah tersebut ditemukan dalam keadaan tergantung di sebuah rumah kosong. Temuan-temuan autopsi sebagai berikut : a. Tanatologi:  Kaku mayat : tidak ada.  Lebam mayat : berwarna merah gelap, terdapat pada tungkai bawah, tidak hilang pada penekanan.  Tanda-tanda pembusukan: warna kehijauan pada dinding perut sebelah kanan bawah. b. Foto-foto pemeriksaan luar dan dalam:

2

c. Pemeriksaan penunjang:  Histopatologi : ditemukan tanda-tanda kongesti organ dalam.  Toksikologi : tidak dilakukan pemeriksaan. B. PERTANYAAN 1. Bagaimana deskripsi dari temuan-temuan pada pemeriksaan autopsi ? 2. Bagaimana patomekanisme luka/trauma hingga menyebabkan kematian ? 3. Apakah penyebab kematian paling mungkin (cause of death/COD) ? 4. Bagaimana perkiraan waktu kematian (interval postmortem) berdasarkan ilmu tanatologi?

3

C. PEMBAHASAN 1. Deskripsi temuan pemeriksaan a. Tanatologi 

Kaku mayat : tidak ada



Lebam mayat : berwarna merah gelap, terdapat pada tungkai bawah, tidak hilang pada penekanan.



Tanda-tanda pembusukan: warna kehijauan pada dinding perut sebelah kanan bawah.

b. Pemeriksaan luar dan dalam dari gambar 

Terdapat tardieu spot pada mata bagian atas. Khas pada asfiksia, tardieu’s spot (petechial hemorrages) adalah pelebaran pembuluh darah ditandai menculnya bintikbintik pendarahan pada konjungtiva bulbi.



Terdapat Sianosis Yaitu warna kebiru-biruan yang terdapat pada kuku jari-jari dari kedua tangan, kulit serta terdapat selaput lendir. Hal ini dapat terjadi pada kulit dan membrane mukosa akibat dari kosentrasi yang berlebihan dari deoksihmoglobin atau hemoglobin tereduksi pada pembuluh darah kecil dan dapat dengan mudah terlihat pada daerah ujung jari.1



Terdapat satu buah jeratan di leher berbentuk melingkar terjadi akibat tekanan benda asing di leher, bisa disebabkan oleh benda seperti tali.



Paru Tampak bercak-bercak pendarahan dibawah membrane mukosa pada organ paru dan paru mengalami edema1

2. Patomekanisme Berdasarkan tanda dan gejala yang dianalisis dalam skenario, kematian korban bisa diakibatkan oleh asfiksia. Asfiksia adalahkumpulan dari beberapa keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena

4

adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang dakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang (hipoksia) yang disertai peningkatan kadar karbon dioksida (hiperkapnea).Asfiksia dapat terjadi oleh keadaan alamiah, mekanik maupun keracunan. Dalam skenario ini, kemungkinan besar asfiksia terjadi akibat trauma mekanik. Keaadaan tersebut dapat dijumpai pada keadaan hanging atau strangulation. Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu: a. Fase dispneu. Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma. Hal ini akan merangsang pusat perapasan di medulla oblongata kemudian meningkatkan eksitasi otot-otot pernapasan. Frekuensi napas akan meningkat dan napas menjadi dalam dan dangkal (dispneu). Peningkatan CO2 atau hiperkapnea akan meningkatkan jumlah ikatan Hb-CO2 (Hb tereduksi) yang akan bermanifestasi merah gelap hingga biru pada permukaan tubuh yang dkenal dengan istilah sianosis. b. Fase konvulsi. Akibat kada CO2 yang naik mk akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat dan terjadi konvulsi (kejang) yang akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. c. Fase apneu. Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat. Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfinter dapat terjadi pengeluaran sperma, urin, dan tinja. d. Fase akhir/terminal. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbu smpai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya erkisar antara 4-5 menit.

5

Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Saat hipoksia, jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.Kematian yang terjadi akibat tekanan di leher dipengaruhi oleh berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut. Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat, karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses pembendungan.Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan tekanan tali pada leher. Tandatanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang baik.Selain itu, akan muncul gejal lain seperti sianosis, tardiu’s spot, dan kongesti visceral/organ dalam. Sianosis merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang Universitas Sumatera Utara tidak berikatan dengan O2).

6

Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum. Pada asfiksia karena strngulasi, venous return dari kepala akan terganggu sehingga terjadi pembendungan pada kepala dan leher sehingga timbul perdarahan petekie pada konjungtiva, dan wajah Kongesti visceral dan Oedema merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan petekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). Berikut adalah bagan patomekanisme dari kemaian dan gejala pada skenario.

7

↑ tekanan intra kapiler

Trauma mekanik (hanging)

Vascular injury pada tempat penjeratan

Obstruksi mekanik Saluran pernapasan

Lebam pada tempat penjeratan

Tekanan O2 ↓

CO2 ↑

Dilatasi kapiler

Hb tereduksi/Hb-CO2 ↑

Statis kapiler

Sianosis & livor mortis

Obstruksi venous return

Toksik terhadap endotel vascular

Kongesti visceral/ statis darah pada organ tubuh

Endotel injury

Ruptur kapiler Livor mortis

Aliran darah vena ke jantung ↓

Aliran darah arteri pulmoner ↓

↑ permeabilitas vascular Tardiu’s spot (petekie) pada conjungtiva, pleura, pericardium, wajah dll

Oksigenasi darah di paru ↓

ASFIKSIA Paralisis otot pernapasan

ATP≠ Tidak ada relaksasi otot Cadaveric spasm

Otot pernapasan tidak kontraksi MENINGGAL

ATP↓ Relaksasi otot terhambat Rigor mortis

8

3. Cause of death/COD 1A : Gagal Napas 1B : Peningkatan Co2 dan penurunan O2 1C : Penekanan Saluran Jalan napas 1D : Hanging (penjeratan)

4. Perkiraan Waktu Kematian (interval postmortem) Berdasarkan Ilmu Tanatologi a. Rigor Mortis (kaku mayat) Rigor mortis berasal dari bahasa latin “rigor” berarti stiff/kaku dan “mortis” yang berarti tanda kematian (sign of death). Setelah kematian otototot tubuh akan melalui 3 fase, yaitu : 1) Inisial flaksid atau flaksid primer, 2) Onset rigiditas otot yang disebut kaku mayat, 3) Fase flaksid sekunder. Kaku mayat ( rigor mortis ) hilangnya kelenturan otot akibat habisnya ATP dan cadangan glikogen sehingga aktin-myosin menggumpal. Kaku mayat diperiksa pada persendian dan mulai tampak 2 jam setelah mati klinis. Prosesnya dimulai dari otot kecil diluar tubuh menuju kedalam (arah sentripetal dan craniocaudal). Kekakuan akan lengkap diseluruh tubuh setelah 12 jam, bertahan selama 12 jam, lalu menghilang sesuai urutan terbentuknya. Faktor yang mempercepat terbentuknya kaku mayat antara lain : aktivitas fisis sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, suhu lingkungan tinggi, dan tubuh kurus dengan otot kecil. Beberapa cara yang dipakai dalam menentukan terjadinya rigor mortis : 1) Pemeriksaan secara manual. 2) Alat fiksasi dari kayu yang menempel pada meja. 3) Pemeriksaan otot rangka dengan menggunakan mikroskop elektron kekakuan yang menyerupai kaku mayat :  Cadaveric spasm / instantaneous rigor kekakuan timbul dengan intensitas sangat kuat saat kematian. Terjadi akibat kelelahan atau emosi hebat sesaat sebelum meninggal. 9

 Heat Stiffening (otot kaku, namun rapuh) terjadi pada korban mati terbakar. Korban akan membentuk sikap petinju atau pugilistic attitude.  Cold Stiffening pembekuan cairan tubuh akibat lingkungan dingin.1,5 Dalam skenario, dapat diketahui bahwa korban ditemukan saat keadaan rigor mortis sudah tidak ada atau menghilang yang menunjukkan waktu kematian korban sudah berlangsung sekitar 24 jam. b. Lebam Mayat Livor Mortis (Postmortem Lividity, Postmortem Stains, Postmortem Hypostatis, Postmortem Suggillation, Postmortem Vibices, lebam mayat) yaitu warna ungu kemerahan (livide) atau merah kebiruan pada bagian tubuh akibat akumulasi darah yang menetap di pembuluh darah kecil di bagian tubuh paling rendah akibat gaya gravitasi kecuali pada bagian yang tertekan alas keras. Livor Mortis dapat berwarna ungu kebiruan ataupun merah kebiruan.2,3,4 Livor Mortis terbentuk pada daerah tubuh yang menyokong berat badan tubuh seperti bahu, punggung, bokong, betis pada saat terbaring diatas permukaan yang keras akan tampak pucat yang terlihat kontras dengan warna livor mortis disekitarnya akibat dari kompresi pembuluh darah di daerah ini yang mencegah akumulasi darah.3 Patomekanisme Livor Mortis terbentuk saat terjadi kegagalan sirkulasi darah, pada saat arteri rusak dan aliran balik vena gagal mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed yaitu tempat pembuluh-pembuluh darah kecil afferen dan efferen saling berhubungan. Darah dan sel-sel darah terakumulasi memenuhi saluran tersebut dan sukar dialirkan ke daerah tubuh lainnya.3 Sel darah merah (eritrosit) akan bersedimentasi melalui jaringan longgar, tetapi plasma akan berpindah ke jaringan

longgar

yang

menyebabkan

terbentuknya

edema

10

setempat,menimbulkan blister pada kulit. Dari luar akan terlihat bintikbintik berwarna merah kebiruan atau adanya eritrosit pada daerah terendah terlihat dengan timbulnya perubahan warna kemerahan pada kulit yang disebut livor mortis. Pada tahap awal pembentukannya, livor mortis memiliki warna kemerahan yang dihasilkan dari jumlah eritrosit yang membawa hemoglobin yang teroksidasi. Meningkatnya interval waktu post mortem, akan mengakibatkan perubahan warna menjadi lebih gelap. Warna normal livor mortis ialah merah keunguan. Warna merah keunguan ini akan berubah menjadi warna ungu akibat hasil pemisahan oksigen dari hemoglobin eritrosit post mortem dan konsumsi oksigen terus-menerus oleh selsel yang awalnya mempertahankan fungsi sistem kardiovaskuler (misalnya sel-sel hati yang mempertahankan fungsi kardiovaskuler selama kira-kira 40 menit dan selotot rangka antara 2 sampai 8 jam). Produk Deoxyhemoglobin yang dihasilkan akan mengubah warna biru keunguan menjadi warna ungu.3Livor mortis mulai tampak 20-30 menit paska kematian, semakin lama intensitasnya bertambah kemudian menetap setelah 8-12 jam. Menetapnya livor mortis disebabkan oleh karena terjadinya perembesan darah ke dalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah akibat tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses hemolisa sel sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan demikian penekanan pada daerah terbentuknya livor mortis yang dilakukan setelah 8-12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya livor mortis pada penekanan dengan ibu jari memberi indikasi bahwa livor mortis belum terfiksasi secara sempurna. Lebam mayat dikatakan sempurna ketika area lebam tidak menghilang jika ditekan (misalnya dengan ibu jari) selama 30 detik. Akan tetapi, lebam baru masih dapat terbentuk setelah 24 jam jika dilakukan perubahan posisi.2,3Lebam postmortem dan memar pada antemortem dapat dibedakan dari penyebab, situasi yang mendasari, apakah terdeapat bengkak, dan jika dilakukan sayatan dan disiram air,

11

lebam mayat akan pudar/hilang, tetapi pada kasus resapan darah (ekstravasasi akibat trauma) bercak tidak hilang.2,4 c. Pembusukan Pembusukan (dekomposisi atau putrefection) adalah keadaan dimana bahan-bahan organik terutama protein mengalami dekomposisi baik yang melalui autolisis atapun kerja bakteri pembusuk. Ada 17 tanda-tanda pembusukan, yaitu : 1) Wajah membengkak 2) Bibir membengkak 3) Mata menonjol 4) Lidah terjulur 5) Lubang hidung keluar darah 6) Lubang mulut keluar darah 7) Lubang lainnya keluar isinya seperti fese (usus), isi lambung, dan partus (gravid) 8) Badan gembung 9) Bulla atau kulit ari terlepas 10) Aborescent pattern/ morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan 11) Pembuluh darah bawah kulit melebar 12) Dinding perut pecah 13) Skrotum atau vulva membengkak 14) Kuku terlepas 15) Rambut terlepas 16) Organ dalam membusuk 17) Larva lalat Patomekanisme Proses degradasi jaringan akibat autolisis, yaitu pelepasan enzim digestif oleh sel pascakematian dan kerja bakteri (kuman komensal dalam usus).

12

Proses Pembusukan Proses pembusukan terjadi berturut-turut sebagai berikut : 1) Mulai 24 jam pasca kematian :  16-18 jam : warna kehijauan (sulf-met-hemoglobin) pada perut bagian kanan bawah  20-24 jam : bau pembusukan, darah pembusukan keluar dari hidung dan mulut 2) 36 jam pasca kematian Warna kehijauan menyebar keseluruh perut dan dada, bau busuk mulai tercium, kulit ari terkelupas, dan terbentuk vesikel bulla berisi cairan kemerahan berbau busuk, marbling (pembuuh darah superfisial tampak jelas). Pembentukan gas dalam tubuh dimulai dari lambung dan usus sehingga perut menjadi tegang, serta keluar cairan kemerahan dari mulut dan hidung. Pembengkakan tubuh akan tersebar menyeluruh, teraba krepitasi, serta gas pembentukan akan terkumpul pada rongga sehingga mayat dalam sikap setengah fleksi seperti petinju. 3) 36-48 jam pasca kematian Tampak larva lalat saat gas pembusukan nyata. Telur lalat yang tampak di alis, lubang hidung, dan bibir akan menetas setelah 24 jam . 4) 48-72 jam pasca kematian Rambut dan kuku mudah terlepas, wajah gembung dan berwarna kehijaun, kelopak mata dan lidah bengkak, pipi tembem, bibir tebal, seringkali mayat sudah tidak dapat lagi dikenali. Kondisi yang mempercepat proses pembusukan antara lain suhu keliling optimal (26,5-37° C), kelembaban udara cukup, banyak bakteri, tubuh gemuk, menderita penyakit atau sepsis, lokasi mayat di udara (laju pembusukan udara: air : tanah = 8:2:1). 1,5

13

Pada skenario, mayat yang ditemukan menunjukkan tanda-tanda pembusukan terdapat warna kehijauan pada perut bagian kanan bawah. Berdasarkan tanda-tanda tersebut, kemungkinan mayat ini meninggal sekitar waktu >16-18 jam yang lalu saat ditemukan.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. Aflanie, Iwan. Arizal, MH. Nirmalasari, Nila. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2017 2. Eng, V dan Oktavinda S. 2014. Tanatologi dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi . Jakarta: Media Aesculapius. 3. Thanos C.A, Djemi T, dan Nola T.S.M. 2016. Livor mortis pada Keracunan insektisida golongan organofosfat di kelinci. Jurnal e-Clinic (eCI), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016 4.

Bardale, R. 2011. Principle of Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher

5. Tanto, Chris dkk. Kapita selekta Kedokteran edisi IV Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius. 2016

15

Related Documents

Kel 3 Modul 2 Forensik.docx
November 2019 24
Modul 3 Kd 2
July 2020 39
- Modul 3 Kd 2
June 2020 46
Modul 3
April 2020 30

More Documents from ""

Tuan B Usia 70 Tahun.docx
November 2019 11
Laoran Modul 2.docx
November 2019 21
Kel 3 Modul 2 Forensik.docx
November 2019 24